Kamis, 31 Mei 2012

Desentralisasi Pengelolaan Lingkungan.


.   Desentralisasi Pengelolaan Lingkungan.
       Semenjak dikeluarkannya UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang telah telah diubah dengan UU Nomor 32 Tahun 2004, maka pengaturan mengenai lingkungan hidup telah mengalami perubahan pula. UU  Pemerintah Daerah sebagai Hukum Positif memerlukan peraturan organiknya berupa peraturan pelaksanaannya.[1] Oleh karena itu, untuk lebih merinci pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, khususnya di bidang lingkungan hidup, maka hal ini diatur dalam Pasal 2 ayat (3) butir 18 PP Nomor 25 Tahun 2000 tersebut menyangkut bidang lingkungan hidup sebagai berikut:[2]
1.      Penetapan pedoman pengendalian sumber daya alam dan pelestarian fungsi lingkungan.
2.      Pengaturan pengelolaan lingkungan dalam pemanfaatan sumber daya laut diluar 12 (dua belas) mil.
3.      Penilaian analisis mengenai dampak lingkungan bagi kegiatan-kegiatan yang potensial berdampak negatif pada masyarakat luas dan/atau menyangkut pertahanan dan keamanan, yang lokasinya meliputi lebih dari satu wilayah provinsi, kegiatan yang beralokasi di wilayah sengketa dengan negara lain, di wilayah laut di bawah 12 ( dua belas) mil dan berdomisili dilintas batas negara.
4.      Penetapan baku mutu lingkungan dan penetapan pedoman tentang pencemaran lingkungan hidup.
5.      Pedoman tentang konversasi sumber daya alam.
       Kewenangan yang berkaitan dengan pengelolaan lingkungan hidup di luar dari kewenangan yang dialokasikan kepada pemerintah (pusat) dan provinsi menjadi kewenangan otonomi kabupaten/kotamadya yang meliputi kewenangan-kewenangan sebagai berikut:[3]
1.      Pemberian konsesi ( pemanfaatan/pengusahaan ) sumber daya alam yang berdampak pada keseimbangan daya dukung ekosistem dan masyarakat adat/setempat (penyelenggara perizinan).
2.      Pengendalian dampak dari suatu kegiatan terhadap sumber daya air, udara, tanah, termasuk melaksanakan pengawasan penataan sampai dengan penjatuhan sanksi administratif (pengendalian dampak lingkungan).
Kedua kewenangan  tersebut selama ini dimiliki pemerintah pusat. Selama diserahkannya wewenang pengelolaan lingkungan hidup kepada daerah, baik provinsi maupun kabupaten/kota,  kondisi lingkungan tidak lebih baik dari sebelumnya. Padahal dengan terjadinya penyerahan tersebut, pemerintah pusat dan masyarakat berharap pengelolaan lingkungan akan lebih baik. Terlalu banyak masalah yang terjadi di daerah, baik provinsi maupun kabupaten/kota, misalnya:
1.      Tersedianya sumber daya manusia yang andal dalam bidang lingkungan.
2.      Kurangnya perhatian gubernur atau bupati/walikota dalam menata atau menanggulangi pencemaran atau kerusakan lingkungan yang terjadi di daerahnya.


[1] [1]  Supriadi, Hukum  Lingkungan Indonesia Sebuah Pengantar, Sinar Grafika, Jakarta, 2006.hlm.175.
[2] PP Nomor 25 Tahun 2000 tentang  Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi Sebagai Daerah Otonom. 
[3]Supriadi., op., cit., hlm. 177.

Selasa, 29 Mei 2012


  Politik Hukum Lingkungan
Sejarah dan perkembangan politik hukum di Indonesia dimulai pada saat diproklamirkannya kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 oleh sang proklamator Ir. Soekarano dan Muh. Hatta. Dari kemerdekaan itulah mulai dijalankannya suatu roda pemerintahan dengan menciptakan hukum –hukum yang baru yang terlepas dari hukum-hukum para penjajah yang selama hampir 3,5 abad menjajah negeri ini.
Hukum  dalam pengertiannya sebagai kaidah-kaidah yang berlaku tidaklah lahir begitu saja akan tetapi memerlukan suatu proses pembentukan hukum, hukum itu adalah suatu produk politik yang berasal dari kristalisasi kehendak-kehendak politik yang saling berinteraksi serta bersaing.[1] Karena hukum berasal dari suatu proses politik didalamnya maka demi menjaga kerangka cita hukum ( rechtside ) perlu adanya suatu acuan yakni Politik Hukum. Pengertian politik hukum sebagai ilmu studi ( ilmu politik hukum ) adalah studi tentang kebijakan hukum dan latar belakang poltik dan lingkungan yang nantinya mempengaruhi lahirnya hukum itu sendiri. Kebijaksanaan  disini tentang menentukan bagian aspek-aspek mana yang diperlukan dalam pembentukan hukum. Pembentukan hukum dalam suatu sistem hukum sangat ditentukan oleh konsep hukum  yang dianut oleh suatu masyarakat hukum, juga oleh kualitas pembentuknya. Proses ini berbeda pada setiap kelas masyarakat. Dalam masyarakat sederhana, pembentukannya dapat berlangsung sebagai proses penerimaan terhadap kebiasaan-kebiasaan hukum atau sebagai proses pembentukan atau pengukuhan kebiasaan yang secara langsung melibatkan kesatuan-kesatuan hukum dalam masyarakat itu. Dalam masyarakat Eropa Kontinental pembentukan hukum dilakukan oleh badan legislatif. Sedangkan dalam masyarakat common law (Anglo saxon) kewenangan terpusat pada hakim. Negara Indonesia sebagai Negara hukum, konsep hukumnya mengikuti Eropa Kontinental, dimana pembentukan hukumnya dilakukan oleh badan legislative (DPR). Landasan Juridis pemberian kewenangan kekuasaan pembentukan undang-undang kepada badan legislative didasarkan pada pertama : “DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang[2] ,setiap RUU dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama[3]  sertaDalam hal rancangan undang-­undang yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak rancangan undang­-undang tersebut disetujui rancangan undang­undang tersebut sah menjadi undang­undang dan wajib diundangkan”.[4] adalah UU No. 12 tahun 2011 tentang peraturan pembentukan perundang-undangan sebagi landasan  yuridis kedua. Kewenangan DPR dalam pembentukan undang-undang diatur dalam BAB IV tentang “perencanaan penyusunan undang-undang” dan BAB V tentang “pembentukan peraturan perundang-undangan”.[5]
Kembali pada sejarah politik hukum di Indonesia dari awal kemerdekaan hingga sampai saat ini yang mengalami beberapa periode serta era kepemimpinan yang berkuasa didalamnya ternyata telah terjadi tolak tarik atau dinamika antara konfigurasi politik otoriter (nondemokratis). Demokrasi dan Otoriterisme muncul secara bergantian dengan kecenderungan linier disetiap periode pada konfigurasi otoriter. Sejalan dengan hal itu, perkembangan karakter produk hukum memperlihatkan keterpengaruhannya dengan terjadi tolak tarik antara produk hukum yang berkarakter konservatif dengan kecenderungan linier yang sama. Tolak tarik karakter hukum menunjukan bahwa karakter produk hukum senantiasa berkembang seirama dengan perkembangan konfigurasi politik. Meskipun kepastiannya bervariasi, konfigurasi politik yang demokratis senantiasa diikuti munculnya produk hukum yang responsive/otonom, sedang konfigurasi politik yang otoriter senantiasa disertai oleh munculnya hukum yang berkarakter konserfatif/ortodoks. Dari latar belakang itulah perlunya suatu kajian terhadap perkembangan dan sejarah poltik hukum di Indonesia.
           
   Sejarah Hukum Lingkungan[6]
Pengaturan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan secara nasional baru dilakukan dalam beberapa dasawarsa terakhir ini. Sebagai langkah pertama, Menteri Negara Penertiban Aparatur Negara (PAN) telah mengadakan rapat Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Pencegahan Pencemaran pada tahun 1971, sebagai persiapan menjelang Konferensi Stockholm telah diselenggarakan sebuah seminar tentang “Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Pembangunan Nasional” di Bandung, yang berlangsung dari tanggal 15 sampai dengan 18 Mei 1972. Sebagai tindak lanjut dari Konferensi Stockholm, Pemerintah Republik Indonesia membentuk Panitia Interdepartemental yang disebut: Panitia Perumus dan Rencana Kerja bagi Pemerintah di Bidang Pengembangan Lingkungan Hidup berdasarkan Keputusan Presiden No.16/1972. Panitia tersebut diketuai oleh MenPan/Wakil Ketua BAPPENAS sedangkan sekretariatnya ditempatkan di LIPI. Panitia ini berhasil merumuskan program pembangunan lingkungan dalam wujud Bab 4 dalam Repelita II berdasarkan butir 10 Pendahuluan BAB III GBHN 1973-1978. Dengan Keputusan Presiden No. 27 tahun 1975 telah dibentuk Panitia Inventarisasi dan Evaluasi Kekayaan Alam dengan tugas pokok menelaah secara nasional pola-pola pemerintahan dan persediaan serta perkembangan teknologi, baik di masa kini maupun di masa datang, dengan maksud menilai implikasi sosial, ekonomis, ekologis dan politis dari pola-pola tersebut untuk dijadikan dasar penentuan kebijaksanaan pemanfaatan serta pengamanannya sebagai salah satu sumber daya pembangunan nasional.
GBHN yang ditentukan oleh MPR tahun 1978 menggariskan langkah lanjut untuk pembinaan pengelolaan lingkungan hidup. Dalam rangka aparatur lingkungan hidup telah diangkat untuk pertama kali dalam kabinet,[7] yaitu dalam Kabinet Pembangunan III, seorang Menteri yang mengkoordinasikan aparatur pemerintah dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup. Menteri tersebut adalan Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup (disingkat PPLH) yang kedudukan, tugas pokok, fungsi dan tata kerjanya ditetapkan dengan Keputusan Presiden No.35 Tahun 1978. Sebagai Menteri PPLH telah diangkat Prof.Dr.Emil Salim, Guru Besar Ekonomi pada Universitas Indonesia. GBHN yang ditetapkan MPR tahun 1983 meningkatkan pembinaan dan pengelolaan lingkunan hidup yang telah digariskan dalam GBHN 1978-1983. Dalam Kabinet Pembangun IV (1983-1988) telah ditetapkan seorang Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup. Kedudukan, fungsi, tugas pokok dan tata kerjanya ditetapkan dalam keputusan Presiden No.25 Tahun 1983. Sebagai Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup telah diangkat Prof. Dr. Emil Salim. Dalam Kabinet Pembangunan V (1988-1993) Prof. Dr. Emil Salim telah diangkat kembali sebgai Menteri Kependudukan dan Lingkungan Hidup. Dalam Kabinet Pembangunan VI (1993-1998) telah diangkat Ir. Sarwono Kusumaatmadja sebagai Menteri Negara Lingkungan Hidup. Dalam Kabinet Pembangunan VII (1998) telah diangkat Prof. Dr. Yuwono Sudarsono sebagai Menteri Negara Lingkungan Hidup. Sedangkan dalam Kabinet Reformasi Pembangunan (1998-1999) telah diangkat Dr. Paniangan Siregar sebagai menteri Negara Lingkungan Hidup. Pada Kabinet Persatuan-Persatuan (1999-2001) dijabat oleh Dr. Alexander Sonny Keraf sebagai Menteri Negara Lingkungan Hidup. Dalam Kabinet Gotong Royong (2001-2004) diangkat Nabiel Karim sebagai Menteri Negara Lingkungan Hidup. Dalam Kabinet Indonesia Bersatu (2004-2009) telah diangkat Ir. Rachmat Nadi Witoelar Kartaadipoetra sebagai Menteri Negara Lingkungan Hidup. Dalam Kabinet Indonesia Bersatu II (2009-sekarang) diangkat Gusti Muhammad Hatta sebagai Menteri Lingkungan Hidup.
Sejarah peraturan perundang-undangan Hukum Lingkungan di bagi menjadi tiga periode:
1.      Zaman Hindia Belanda.[8]
Selanjutnya dalam sejarah peraturan perundang-undangan lingkungan terdapat peraturan-peraturan sejak zaman Hindia Belanda, sebagaimana dikemukakan oleh Prof. Dr. Koesnadi Hardjosoemantri, SH.ML: “Apabila diperhatikan peraturan perundang-undangan pada waktu zaman Hindia Belanda sebagaimana tercantum dalam Himpunan Peraturan-peraturan Perundangan di bidang Lingkungan Hidup yang disusun oleh Panitia Perumus dan rencana kerja bagi pemerintah dibidang pengembangan lingkungan hidup diterbitkan pada tanggal 15 Juni 1978, maka dapatlah dikemukakan, bahwa pertama kali diatur adalah mengenai perikanan, mutiara dan perikanan bunga karang yaitu Parelvisscherij, Sponservisscherijordonantie (Stb.1916 No.157) dikeluarkan di Bogor oleh Gubernur Jendral Indenburg pada tanggal 29 Januari 1916, dimana ordonansi tersebut memuat peraturan umum dalam rangka melakukan perikanan siput mutiara, kulit mutiara, teripang dan bunga karang dalam jarak tidak lebih dari tiga-mil laut Inggris dari pantai-pantai Hindia Belanda (Indonesia). Yang dimaksud dengan melakukan perikan terhadap hasil laut ialah tiap usaha dengan alat apapun juga untuk mengambil hasil laut dari laut tersebut.  Ordonansi yang sangat penting bagi lingkungan hidup adalah Hinder-ordonantie (Stbl.1926 No. 226, yang diubah/ditambah, terakhir dengan Stbl.1940 No. 450), yaitu ordonansi Gangguan. Dalam hubungan dengan terjemahan Hinderordonantie menjadi Undang-Undang Gangguan yang sering terdapat dalam berbagai dokumen dan peraturan perlu dikemukakan bahwa ordonantie tidak dapat diterjemahkan menjadi Undang-undang, karena ordonantie merupakan produk perundang-undangan zaman Hindia Belanda, sedangkan undang-undang merupakan produk negara yang merdeka. Meskipun sebuah ordonantie hanya bisa dicabut denga sebuah undang-undang, ini tidaklah berarti ordonantie dapat diterjemahkan dengan undang-undang inilah yang tepat adalah mentransformasikan ordonantie ke bahasa Indonesia menjadi ordonansi. Di dalam pasal 1 Ordonansi Gangguan  ditetapkan larangan mendirikan tanpa izin tempat-tempat usaha yang perinciannya jenisnya dicantumkan dalam ayat (1) pasal tersebut, meliputi 20 jenis perusahaan. Di dalam ordonansi ini ditetapkan pula berbagai pengecualian atas larangan ini. Di bidang perusahaan telah dikeluarkan Bedrijfsreglemeningsordonantie 1934 (Stbl.1938 No. 86 jo. Stbl. 1948 No.224). Ordonansi yang penting di bidang perlindungan satwa adalah Dierenbeschermingsordonnantie (Stbl.1931 No. 134), yang mulai berlaku pada tanggal 1 Juli 1931 untuk seluruh wilayah Hindia Belanda (Indonesia). berdekatan dengan ordonansi ini adalah peraturan tentang uruan, yaitu Jachtordonnantie 1931 (Stbl.1931 No.133) dan Jachtordonntie Java en Madoera 1940 (Stbl.1940 No.733) yang berlaku untuk Jawa dan Madura sejak tanggal 1 Juli 1940. Ordonansi ini mencabut yang mengatur cagar-alam dan suaka-suaka margasatwa, yaitu Natuurmonumenten en reservatenordonnantie 1932 (Stbl.1932 No.17) dan menggantikannya dengan Natuurbeschermingsordonnantie 1941 tersebut. Ordonansi tersebut dikeluarkan untuk melindungi kekayaan alam di Hinda Belanda (Indonesia). Peraturan-peraturan yang tercantum didalamnya berlaku terhadap suaka-suaka alam atau Natuur monumenten, dengan perbedaan atas suaka-suaka margasatwa dan cagar-cagar alam.
Keempat ordonansi di bidang perlindungan alam dan satwa tersebut diatas telah dicabut berlakunya dengan diundangkannya UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya pada tanggal 10 Agustus 1990. Dalam hubungan denggan pembentukan kota telah dikeluarkan Stadsvormingsordonnantie (Stbl. 1948 No. 168), disingkat SVO, yang mulai berlaku pada tanggal 23 Juli 1948. Yang menarik disini adalah bahwa Stadsvormingsordonnantie diterbitkan pada tahun 1948, padahal Republik Indonesia di proklamasikan kemerdekaanya pada tanggal 17 Agustus 1945. Penjelasannya adalah bahwa SVO tersebut ditetapkan di wilayah yang secara de facto diduduki Belanda. Berbagai ordonansi tersebut diatas telah dijabarkan lebih lanjut dalam verordeningen, seperti misalnya: Dierenbeschermingsverordening (Stbl. 1931 No. 266); berbagai Bedrijfsreglementeringsverordeningen yang meliputi bidang-bidang tertentu seperti pabrik sigaret, pengecoran logam, pabrik es, pengolahan kembali karet, pengasapan karet, perusahaan tekstil; Jachtveiordening Java en Madura 1940 (Stbl. 1940 No. 247 jo. Stbl. 1941 No.51); dan Stadsvormingsverordening, disingkat SW (Stbl. 1949 No. 40). Begitu pula terdapat peraturan tentang air, yauit Algemeen Waterreglement (Stbl. 1936 No. 489 jo. Stbl. 1949 No. 98)
2.      Zaman Jepang[9]
Pada waktu zaman pendudukan Jepang, hampir tidak ada peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan hidup yang dikeluarkan, kecuali Osamu S Kanrei No. 6, yaitu mengenai larangan menebang pohon aghata, alba dan balsem tanpa izin Gunseikan. Peraturan perundang-undangan di waktu itu terutama ditentukan untuk memperkuat kedudukan penguasa Jepang di Hindia Belanda, dimana larangan diadakan untuk menjaga bahan pokok untuk membuat pesawat peluncur (gliders) yang berbahan pokok kayu aghata, alba, balsem dalam rangka menjaga logistik tentara, karena kayu pohon tersebut ringan, tetapi sangat kuat.
3.      Periode Setelah Kemerdekaan[10]
Pada periode ini secara bertahap muncul beberapa peraturan-peraturan antara lain:
a.       UU No. 4 prp Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia:
b.      UU No. 5 Tahun 1967 tentang Kehutanan;
c.       UU No. 11 Tahun 1967 tentang Pokok Pertambangan;
d.      UU No. 1 Tahun 1973 tentang Landas Kontinen Indonesia;
e.       UU No. 11 Tahun 1974 tentang Perairan;
f.       UU No. 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup;
g.      UU No. 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia;
h.      UU No. 9 Tahun 1985 tentang Perikanan;
i.        UU No. 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan Konvensi Hukum Laut 1982;
j.        UU No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Hayati dan Ekosistemnya;
k.      UU No. 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang;
l.        PP No. 17 Tahun 1974 tentang Pengawasan Pelaksanaan Eksplorasi dan Eksploitasi Minyak dan Gas Bumi di Daerah Lepas Pantai (LN No. 20 Tahun 1974 TLN No. 3031);
m.    PP No. 15 Tahun 1984 tentang Pengelolaan Sumber Daya Alam Hayati di Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia;
n.      PP No. 6 Tahun 1988 tentang Koordinasi Instansi Vertikal di Daerah;
o.      Keputusan menteri Pertanian No. 67 Tahun 1967 tentang Empat Daerah Operasi Bagi Kapal-Kapal Perikanan;
p.      Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung;
q.      Keputusan Presiden No. 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.
Selanjutnya peraturan perundangan-undangan setelah dilakukan penggantian terhadap UU No. 4 Tahun 1982 dengan UU No. 23 tahun 1997 tentang Undang-Undang Pokok Lingkungan Hidup yang kemudian di ganti dengan UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, juga mulai memperhatikan bagaimana untuk menjaga agar lingkungan tidak tercemar, yaitu mengeluarkan Undang-undang yang menjaga agar bagaimana lingkungan secara dini akan terjaga dari pencemaran atas adanya proses pembangunan yaitu AMDAL (Analisa Mengenai Dampak Lingkungan) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 1993 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan dan Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah B3, Peraturan Pemerintah No. 85 Tahun 1999 tentang Peraturan Perubahan atas Peraturan pemerintah No. 18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah B3, Peraturan Pemrintah No. 19 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran dan/atau Perusakan Laut, Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan, Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia nomor: Kep-13/MENLH/3/94 tentang  Pedoman Susunan Keanggotaan Dan Tata Kerja Komisi Amdal, Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia Nomor: Kep-14/MENLH/3/1994 tanggal 19 Maret 1994 tentang Pedoman Umum Penyusunan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan, Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Republik Indonesia Nomor: Kep-056 Tahun 1994 tentang Pedoman Mengenai Ukuran Dampak Penting, Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia Nomor: Kep-15/MENLH/3/1994 tanggal 19 Maret 1994 tentang Pembentukan Komisi Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Terpadu, Keputusan Presiden Republik Indonesia nomor 77 tahun1994 tentang Badan Pengendalian Dampak Lingkungan, Surat Keputusan Menteri Perindustrian Nomor: 250/M/SK/10/1994 tentang Pedoman Teknis Penyusunan Pengendalian Dampak Terhadap Lingkungan Hidup Pada Sektor Industri, Keputusan Bersama Menteri Kesehatan Republik Indonesia dan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup Republik Indonesia/Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan nomor: 181/MENKES/SKB.II/1993, KEP.09/BAPEDAL/02/1993 Tanggal 26 Februari 1993 tentang Pelaksanaan Pemantauan Dampak Lingkungan, Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor: 29 tahun 1992 tentang Pedoman Tata Cara Pelaksanaan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Bagi Proyek-Proyek PMA Dan PMDN di Daerah, Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi Nomor: 523K/201/MPE/1992 tentang Pedoman Teknis Penyusunan Penyajian Informasi Lingkungan, Rencana Pengelolaan Lingkungan dan Rencana Pemantauan Lingkungan Untuk Usaha Pertambangan Bahan Galian Golongan C, Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia Nomor: KEP-11/MENLH/3/1994 tanggal 19 Maret 1994 tentang Jenis Usaha Atau Kegiatan Yang Wajib Dilengkapi Dengan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor: 12 tahun 1995 tentang perubahan Peraturan pemerintah Republik Indonesia nomor 19 tahun 1994 tentang Pengolahan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 tahun 1994 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang, Keputusan Presiden Republik Indonesia nomor 75 Tahun 1993 tentang Koordinasi Pengelolaan Tata Ruang Nasional, Keputusan Presiden republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 35 tahun 1991 tentang Sungai, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 27 tahun 1991 tentang Rawa, Peraturan Pemrintah Republik Indonesia   nomor 18 tahun 1994 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam Di Zona Pemanfaatan Taman Nasional, Taman Hutan Raya Dan Taman Wisata Alam, Undang-undang Republik Indonesia tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya, Peraturan Pemerintah Nomor 41 tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara, Peraturan Pemerintah nomor 20 Tahun 1990 tentang Pengendalian Pencemaran Air, Undang-undang nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 10 tahun 1993 tanggal 19 Februari 1993 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 5 tahun 1992 tentang Cagar Budaya, Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia nomor: Kep-24/MENLH/11/1994 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Audit Lingkungan, Keputusan Menteri negara lingkungan Hidup Republik Indonesia Nomor : Kep-10/MENLH/1994 tentang pencabutan keputusan menteri negara kependudukan dan lingkungan hidup nomor:
a.       Kep-49/MENKLH/6/1987 tentang Pedoman penentuan dampak penting dan lampirannya;
b.      Kep-50/MENKLH/6/1987 tentang pedomann umum penyusunan analisis mengenai dampak lingkungan dan lampirannya;
c.       Kep-51/MENKLH/6/1987 tentang pedoman umum penyusunan studi evaluasi mengenai dampak lingkungan dan lampirannya;
d.      Kep-52/MENKLH/1987 tentang batas waktu penyusunan studi evaluasi menganai dampak lingkungan;
e.       Kep-53/MENKLH/6/1987 tentang pedoman susunan keanggotaan dan tata kerja komisi.
       Perkembangan hukum lingkungan tidak dapat dipisahkan dari gerakan sedunia untuk memberikan perhatian lebih besar kepada lingkungan hidup. Deklarasi-deklarasi Internasional yang Berkaitan dengan Lingkungan Hidup.
a.       Deklarasi Stockholm. Deklarasi Stockholm sebagai akibat dari sidang umum PBB 1 Juni 1970 yang menyerukan untuk meningkatkan usaha dan tindakan nasional serta internasional guna menanggulangi “proses kemerosotan kualitas lingkungan hidup” agar dapat diselamatkan keseimbangan dan keserasian ekologis, demi kelangsungan hidup manusia. Deklarasi Stockholm menghasilkan :
1)      Deklarasi tentang LH (Preamble dan 26 asas yang disebut Stockholm Declaration) didalamnya terdapat hal-hal yang memberikan arahan terhadap penangann masalah lingkungan hidup termasuk didalamnya pengaturannya melalui perundang-undangan.
2)      Rencana aksi lingkungan hidup manusia (action plan), termasuk didalamnya 18 rekomendasi tentang perencanaan dan pengelolaan pemukiman manusia.
3)      Rekomendasi tentang kelembagaan dan keuangan yang menunjang aksi tersebut (UNEP).
4)      Menetapkan 5 Juni sebagai hari lingkungan hidup sedunia.
5)      Sekretariat UNEP di Nairobi.
6)      Bangsa-bangsa perlu membangkitkan kesadaran serta partisipasi masyarakat dengan menyediakan informasi tentang lingkungan yang meluas.  
7)      Bangsa-bangsa perlu memberlakukan undang-undang tentang lingkungan yang efektif dan menciptakan undang-undang nasional tentang jaminan bagi para korban pencemaran dan kerusakan lingkungan lainnya.
8)      Pihak pencemar harus menanggung akibat pencemaran .
9)      Bangsa-bangsa perlu kerjasama menegakkan sistem ekonomi internasional yang terbuka untuk pertumbuhan ekonomi dan pembangunan berkelanjutan.
10)  Pembangunan berkelanjutan memerlukan pemahaman ilmiah yang baik tentang masalah-masalahnya (perlu pengetahuan dan teknologi inovatif).
11)  Diperlukan partisipasi penuh para perempuan dalam mencapai pembangunan berkelanjutan, kreativitas semangat dan keberanian kaum muda dan perlu mengakui dan mendukung identitas kebudayaan dan kepentingan penduduk asli.
12)  Perang membawa kehancuran pada pembangunan berkelanjutan dan bangsa-bangsa perlu menghormati  hukum-hukum internasional yang melindungi lingkungan di masa konflik bersenjata.
b.      Deklarasi Rio de Jeneiro 1992 (179 negara):
1)      Rio declaration tentang lingkungan hidup dan pembangunan dengan 27 asas yang menetapkan dan tanggung jawab bangsa-bangsa dalam memperjuangkan kesejahteraan manusia.
2)      Agenda 21 rancangan tentang cara mengupayakan pembangunan yang berkelanjutan dan segi sosial, ekonomi dan lingkungan hidup.
3)      Pernyataan tentang prinsip-prinsip yang menjadi pedoman bagi pengelolaan, pelestarian dan pembangunan semua jenis hutan secara berkelanjutan yang merupakan unsur mutlak bagi pembangunan ekonomi dan pelestarian segala bentuk kehidupan.
Asas-asas Rio de Janeiro:
1)      Manusia berhak atas kehidupan yang sehat, produktif dalam keselarasan dengan alam.
2)      Pembangunan masa kini tidak boleh merugikan kebutuhan pembangunan lingkungan generasi kini dan yang akan datang.
3)      Bangsa-bangsa memiliki hak dan kedaulatan untuk memanfaatkan Sumber Daya Alam mereka sendiri tanpa menimbulkan kerusakan lingkungan di luar wilayah perbatasan.
4)      Bangsa-bangsa perlu menciptakan undang-undang internasioanal.
5)      Bangsa-bangsa perlu mengambil tindakan pencegahan untuk melindungi lingkungan.
6)      Untuk mencapai pembangunan berkelanjutan, perlindungan lingkungan harus menjadi integral dari proses pembangunan.
7)      Mengentaskan kemiskinan dan memperkecil kesenjangan dalam taraf kehidupan di berbagai pelosok dunia merupakan keharusan dalam mencapai pembangunan berkelanjutan.
8)      Bangsa-bangsa perlu bekerjasama untuk melestarikan, melindungi dan memulihkan kesehatan ekosistem bumi.
9)      Bangsa-bangsa perlu mengurangi dan menghapuskan pola produksi, konsumsi yang tidak berkelanjutan dan merencanakan kebijakan-kebijakan demografi yang layak.
10)  Masalah lingkungan dapat ditangani dengan partisipasi seluruh warga negara.
11)  Bangsa-bangsa perlu membangkitkan kesadaran serta partisipasi masyarakat dengan menyediakan informasi tentang lingkungan yang meluas.
12)  Bangsa-bangsa perlu memberlakukan undang-undang tentang lingkungan yang efektif dan menciptakan undang-undang nasional tentang jaminan bagi para korban pencemaran dan kerusakan lingkungan lainnya.
13)  Pihak pencemar harus menanggung akibat penccemaran.
14)  Bangsa-bangsa perlu kerjasama menegakkan sistem ekonomi internasional yang terbuka untuk pertumbuhan ekonomi dan pembangunan berkelanjutan.
15)  Pembangunan berkelanjutan memerlukan pemahaman ilmiah yang baik tentang masalah-masalahnya (perlu pengetahuan dan teknologi inovatif)
16)  Diperlukan partisiasi penuh para perempuan dalam mencapai pembangunan berkelanjutan, kreativitas semangat dan keberanian kaum muda dan perlu mengakui dan mendukung identitas kebudayaan dan kepentingan penduduk asli.
17)  Perang membawa kehancuran pada pembangunan berkelanjutan dan bangsa-bangsa perlu menghormati hukum-hukum internasional yang melindungi lingkungan dimasa konflik bersenjata.
       Agenda 21 Rio de Janeiro. Deklarasi di Rio de Janeiro Brasil 3 – 14 Juni 1992 yang lebih populer dengan KTT RIO (Konferensi Tingkat Tinggi Bumi) dihadiri oleh 179 negara merupakan dokumen komprehensif setebal 700 halaman yang berisikan program aksi pembangunan berkelanjutan menjelang abad 21. Agenda 21 Global terdiri dari 39 bab yang dibagi dalam 4 bagian yaitu:
1.      Dimensi sosial ekonomi; membahas masalah pembangunan yang dititik beratkan pada segi manusia serta isu-isu kunci seperti perdagangan dan keterpaduan pengambilan keputusan.
2.      Konservasi dan pengelolaan SDA untuk pembangunan; merupakan bagian terbesar dari agenda 21 yang membahas berbagai permasalahan SDA, ekosistem dan isu-isu penting yang mana kesemuanya perlu pengkajian lebih lanjut bila tujuan pembangunan berkelanjutan ingin dicapai baik pada tingkat global, nasional dan lokal.
3.      Peranan kelompok utama; membahas isu kemitraan antar pengelola lingkungan yang perlu dikembangkan dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan.
4.      Sarana pelaksanaan; mengkaji dan menganalisis pertanyaan  “bagaimana kita dapat mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan berwawasan lingkungan?”. Bagian ini menilai sumberdaya-sumberdaya yang dapat digunakan untuk mendukung pembangunan tersebut. Selain membahas aspek pendanaan, teknologi, isu-isu pendidikan, struktur kelembagaan dan perundang-undangan, data dan informasi serta pengembangan kapasitas nasional yang berkaitan dengan isu pembangunan berkelanjutan.
       Secara umum dokumen agenda 21 menawarkan berbagai kegiatan konstruktif dan inovatif yang dapat dijalankan oleh negara maju dan berkembang, serta hal-hal penting dalam mencapai pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan antara lain:
1.      Kemitraan nasional (hubungan antara perencanaan pemabangunan, pengelolaan lingkungan dan pertimbangan-pertimbangan sosial).
2.      Setiap negara disarankan menggali strategi pembangunan.
3.      Aspek-aspek yang berkaitan dengan isu-isu perdagangan, investasi dan hutang (biaya-biaya lingkungan dimasukkan dalam pertimbangan).
4.      Kemiskinan dianggap sebagai penyebab maupun hasil dari penurunan kualitas lingkungan.
5.      Pola konsumsi yang dianut beberapa negara menyebabkan terjadinya polusi dan penurunan kualitas lingkungan.
6.      Pembangunan pertanian berkaitan dengan keamanan pangan bagi penduduk .
                        7.   Pentingnya pendidikan dan kesadaran masyarakat.




[2] Pasal 20 ayat (1) UUD RI 1945.
[3] Pasal 20 ayat (2) UUD RI 1945.
[4] Pasal 20 ayat (5) UUD RI 1945.
[6] Sentanon.blogspot.com/2010/03.
[7] Alamendah.wordpress.com/2010/04/16/daftar-menteri-lingkungan-hidup-indonesia/
[8] Op.Cit.
[9] Ibid.
[10] Ibid.