Sabtu, 20 Oktober 2012


PANCASILA CEGAH TAWURAN

Oleh: Ikomatussuniah, SH., MH.
Tenaga Pengajar Fakultas Hukum
Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
Jl. Raya Jakarta KM 4 Pakupatan – Serang
PERGESERAN TUJUAN SISTEM PENDIDIKAN
       Pendidikan merupakan salah satu hak dasar yang harus didapat oleh semua warga negara,  tanpa terkeculi. Semua warga negara berhak mendapatkan pendidikan yang layak, baik formal maupun non formal. Tugas semua pihak dalam memajukan dan memberikan pendidikan yang baik bagi generasi penerus bangsa ini. Pemerintah, masyarakat bahkan pihak swasta harus bahu membahu dalam melakukan kegiatan untuk mencerdaskan seluruh generasi yang akan datang. Seperti yang termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 alinea ke-4, yang didalamnya tertera tujuan negara kesejahteraan yang menjadi konsep dalam memajukan dan menciptakan kehidupan yang nyaman, aman, tentaram dan sejahtera. Mencerdaskan kehidupan bangsa, inilah yang menjadi tujuan dalam sistem pendidikan di negara kita. Tetapi, kenyataan yang terjadi sekarang  ini, telah bergesar kepada sistem pendidikan yang tidak mempunyai arah tujuan di tingkat implementasinya. Para pelajar kita hanya sekedar mengejar ijazah dan kelulusan belaka. Sistem pendidikan yang coba untuk diterapkan, ternyata tidak memberikan kontribusi positif pada pengembangan moral, skiil dan kepribadian para pelajar. Sebenarnya tidak semua pelajar melakukan hal negatif, tetapi yang terekspos akhir-akhir ini adalah kegiatan oknum pelajar yang melakukan tindak kekerasan sehingga mengakibatkan jatuh korban. Contoh kasus tawuran yang pecah dan menjadi headline dibeberapa surat kabar dan statiun televisi adalah tawuran antara SMAN 70 dan SMAN 6 Jakarta dan tawuran mahasiswa seperti di Universitas Negeri Makassar. Kekerasan yang terjadi sebenarnya mungkin diawali dengan hal yang sepele, misalnya ketersinggungan, mengatasnamakan solidaritas kawan dan membela nama sekolah karena nama sekolah mereka di jelek-jelekan, sehingga mereka tidak terima lalu emosi mereka tersulut dan terjadilah tawuran. Tindakan yang seperti ini sudah keluar dari nilai-nilai yang terkandung secara tersurat maupun tersirat dalam Pancasila.
PANCASILA TAMENG TAWURAN PELAJAR
Empat pilar Kebangsaan Indonesia adalah UUD 1945, Pancasila, Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Bhineka Tunggal Ika. Pancasila, inilah salah satu pilar yang kebangsaan Indonesia. Pancasila terdiri dari lima sila, tentu semua orang sudah mengetahuinya dan bahkan hafal diluar kepala. Sila kesatu sampai ke lima dari pelajar tingkat Sekolah Dasar sampai Perguruan Tinggi dipastikan hafal. Akan tetapi, nilai-nilai yang terkandung di dalam Pancasila sekarang sudah mulai luntur dan tidak dilaksanakan oleh masyarakat. Hal ini dibuktikan dengan adanya  korupsi yang sudah mendarah daging, kekerasan mudah ditemukan dimana-mana dan dari pedesaaan sampai perkotaan perbuatan-perbuatan asusila banyak dilakukan. Norma-norma agama, kesusilaan, sosial dan hukum dianggap angin lalu, tidak diperdulikan, bahkan lebih ekstrim lagi, apabila orang berbuat baik dianggap aneh, dan orang yang berbuat diluar ketentuan norma dan nilai-nilai dianggap hebat. Sungguh semua sudah tidak beraturan dan sungguh tragis.
Tawuran pelajar merupakan salah satu dampak dari tidak terimplementasikannya sila kesatu Pancasila oleh para pihak. Sila kesatu Ketuhanan Yang Maha Esa. Konsep dari sila kesatu terkandung makna yang mendalam yaitu; hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan manusia dan hubungan manusia dengan alam. Hubungan manusia dengan Tuhannya, hubungan ini bersifat vertikal. Hubungan yang tertanam secara bathiniah dan lahiriah dengan penguasa dan pencipta mahluk. Jika manusia sudah mengimani hubungan manusia dengan Tuhannya, dipastikan manusia tersebut akan melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangn-Nya. Jika pelajar sudah menerapkan konsep ini, tentu dia akan berusaha melakukan tugasnya sesuai porsi. Tugas pelajar adalah belajar dan berusaha mencari identitas diri dengan cara-cara yang positif. Tawuran dijadikan alasan bagi mereka untuk mencari identitas diri, tetapi cara seperti ini berdampak negatif bagi diri dan orang lain. Apabila mereka sudah mengenali siapa Tuhannya, dapat dipastikan mereka akan lebih banyak melakukan hal positif dan segala sesuatu yang diperbuat diniatkan untuk ibadah kepada Tuhan. Hubungan manusia dengan manusia, konsep ini mengedapankan rasa sosial kemanusiaan tanpa melihat ras, agama, golongan dan perbedaan-perbedaan lainnya. Mereka akan berusah menjaga hubungan yang baik terhadap sesama manusia, dan tidak akan menyakiti manusia lain. Jika konsep ini terlaksana, maka tawuran tidak akan terjadi dengan alasan apapun yang sebenarnya hanya mengedepankan ego masing-masing tanpa berpikir panjang.  Hubungan manusia dengan alam, pada konsep ini manusia akan selau menjaga sikapnya terhadap alam dan mahluk ciptaan Tuhan lainnya. Pada tataran ini pelajar diberi pemahaman bahwa yang hidup di jagat raya ini tidak hanya manusia, bahkan manusia hanyalah salah satu komponen dari begitu banyak ciptaan Tuhan lainnya. Secara logika, manusia tanpa alam tidak akan bisa hidup, tetapi jika alam tanpa manusia, rasanya alam akan baik-baik saja. Sila kesatu Pancasila jika memang sudah dilaksanakan dengan baik, maka ketentuan sila-sila lainnya mulai dari sila ke-2 Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab sampai sila ke-5 Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia, secara otomatis sudah dapat terimplemetasikan. Nilai yang terkandung dalam Pancasila yang merupakan nilai relegius, sosio, politik ekonomi, nasionalisme dan demokrasi yang disusun oleh para stakeholders kemerdekaan bangsa Indonesia yaitu Ir. Soekarno, Dr. Muhammad Hatta, Mr. Dr. Muhammad Yamin dan Dr. Soepomo, telah dibuat sesempurna mungkin sesuai dengan nilai-nilai yang sudah ada terlebih dahulu dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di masyarakat Indonesia sejak jaman Majapahit dan Sriwijaya. Sehingga dapat disimpulkan bahwa  Pancasila disusun berdasarkan nilai-nilai kearifan yang sudah ada dan berkembang di masyarakat Indonesia sejak jaman dahulu.
Makna Pendidikan dalam sila-sila yang terdapat dalam Pancasila, merupakan makna fundamental dari keseluruhan perkembangan pendidikan seorang warga negara secara batiniah dan lahiriah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam sila ke satu, Ketuhanan Yang Maha Esa, mengandung paham relegius-nasionalisme; yaitu paham Ketuhanan yang berdasarkan keyakinan individu masing-masing warga negara terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan tetap mengedepankan rasa toleransi beragama, contoh dalam Islam terdapat dalam QS. 109:6 yang berarti “Untukmu agamamu, dan untukku agamaku”. Paham sila kesatu ini menanamkan bahwa setiap warga negara berhak melakukan ibadah sesuai dengan keyakinannya masing-masing dan menghargai perbedaan keyakinan yang ada sehingga kerukunan antar umat beragama terwujud dengan baik. Dalam sila kedua dan ketiga, Kemanusiaan Yang adil dan Beradab serta Persatuan Indonesia mengandung paham sosio-nasionalisme; yaitu paham hubungan sosial yang terjalin baik antara individu dengan individu, individu dengan kelompok serta kelompok dengan kelompok lainnya sehingga dapat menciptakan kondisi lingkungan kehidupan bernegara yang nyaman, aman, tentram dan sejahtera sesuai dengan konsep welfare state yang termaktub dalam pembukaan UUD 1945 alinea ke-4. Terakhir dalam sila keempat dan kelima, Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan/Perwakilan dan Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia, mengandung makna politis ekonomi-demokrasi nasionalisme  yaitu paham yang merupakan dasar setiap warga negara dalam melakukan kegiatan politik dan ekonomi dengan asas demokrasi nasionalisme untuk kesejahteraan rakyat demi kemajuan bangsa Indonesia di dalam maupun luar negeri sehingga dapat diperhitungkan dalam kancah pergaulan internasional.
Pelajar atau peseta didik adalah tiap warga negara yang melakukan kegiatan belajar mengajar dalam pendidikan formal maupun nonformal yang melalui proses sehingga menjadi manusia cerdas secara akidah, moral dan intelektual. Pendekatan pendidikan yang dilakukan dapat dengan cara pendekatan psikologis, pendekatan sosial dan pendekatan edukatif/pedagogis. Idealnya pendekatan pendidikan yang dilakukan tidak hanya dalam tataran lingkungan sekolah saja, tetapi peran keluarga, masyarakat dan segenap stakeholders harus ikut menunjang program tersebut demi tercapainya tujuan pembentukan manusia yang ideal.
Kenyataan yang terjadi sekarang ini, pelajar dalam melakukan kegiatan belajar mengajar ternyata hanya sekedar formalitas. Esensi dari sila kesatu Pancasila-pun mereka tidak memahami, apalagi sila-sila berikutnya. Semua ini tidak terlepas dari cara pembelajaran atau sistem pendidikan sekarang yang hanya mengedepankan output berupa nilai yang bagus. Para stakeholders tanpa sadar telah membuat generasi robot. Mereka diciptakan untuk memenuhi tuntutan program yang harus dilaksanakan. Pelajar sekarangpun lebih mengagungkan materiil dibanding kemampuan otak, moralitas dan akidah. Sehingga nilai intelektualitas, empati dan nilai relegius tidak terserap dengan baik. Sergapan perkembangan teknologi dan materi global yang mereka dapat dengan mudah melalui gadget-gadget yang mereka milki, telah meninabobokan mental generasi penerus kita menjadi generasi yang berakhlak rendah, matrealistis, instan, egois dan manja. Sekarang menjadi tugas bersama khususnya para pembuat kebijakan, orang tua, guru dan pemuka agama untuk memberikan pendidikan yang baik secara lahir dan batin kepada para penerus bangsa supaya mereka tidak terjerumus, dan menjadi calon penerus bangsa yang bisa membawa perubahan lebih baik dan maju demi kebanggaan bangsa Indonesia. Wallahu ‘alam Bisshawaab.


Kamis, 18 Oktober 2012


PANCASILA SEBAGAI DASAR KECERDASAN INTELEKEKTUAL, EMOTIONAL DAN SPIRITUAL PESERTA DIDIK (STUDY KASUS TAWURAN PESERTA DIDIK)

Oleh: Ikomatussuniah, SH., MH.
Tenaga Pengajar Fakultas Hukum
Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
Jl. Raya Jakarta KM 4 Pakupatan – Serang
SILA PANCASILA DAN KONSEP NEGARA KESEJAHTERAAN
Pancasila, satu Ketuhanan Yang Maha Esa, dua Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab, tiga Persatuan Indonesia, empat Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawarantan/Perwakilan dan Lima Keadilan Sosial Bagi Seluruh Indonesia. Itulah Pancasila. Isi yang terkandung dari setiap sila yang dapat dipastikan setiap orang hafal, dari tingakat Sekolah Dasar sampai Pendidikan Tinggi. Akan tetapi, nyatanya dikehidupan berbangsa dan bernegara masih belum terlaksana sesuai dengan cita-cita stakeholders penyusun Pancasila. Pencetusan dan perumusan Pancasila merupakan pemikiran yang konseptual dari Ir. Soekarno, Dr. Muhammad Hatta, Mr. Muhammad Yamin, Prof.Mr.Dr. Soepomo dan tokoh-tokoh lainnya. Konsep yang disusun tersebut, bukanlah konsep imajiner yang susah untuk diterapkan. Nilai-nilai Pancasila sebenarnya bukanlah ciptaan atau karangan dari para pencetus sila-sila ini. Konsep dasar sila–sila tersebut berasal dari nilai-nilai yang hidup dan berkembang dalam bangsa Indonesia sendiri. Nilai-nilai Pancasila digali dari bangsa Indonesia sendiri yang telah tumbuh dan berkembang semenjak lahirnya bangsa Indonesia. Yang dapat dipersamakan dengan lahirnya bangsa Indonesia yang memilliki wilayah seperti Indonesia merdeka saat ini adalah masa kerajaan Sriwijaya dan Majapahit. Pada masa itu, nilai-nilai ketuhanan, seperti percaya kepada Tuhan telah berkembang dan sikap toleransi juga telah lahir, begitu pula nilai kemanusiaan yang adil dan beradab serta sila-sila lainnya (Syahrial Sarbaini, 2009:10).
Peserta didik atau biasa kita sebut sebagai pelajar atau mahasiswa, merupakan asset negara yang harus dididik dan dicerdaskan tidak hanya secara intelektualitas saja, tetapi pencerdasan secara emosional dan spiritual pun harus diberikan dengan baik, agar suatu saat kelak mereka dapat menjadi manusia yang cerdas dan berakhlak mulia minimal untuk dirinya sendiri dan demi kemajuan kesejahteraan bangsa. Konsep tujuan negara dalam konsep negara kesejahteraan (welfare state) yang termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 alinea ke-4 adalah:
1.    Negara berkewajiban memberikan perlindungan kepada segenap bangsa Indonesia dan seluruh wilayah teritorial Indonesia
2.    Negara berkewajiban memajukan kesejahteraan umum
3.    Negara berkewajiban mencerdaskan kehidupan bangsa.
Konsep negara kesejahteraan erat kaitannya dengan peranan hukum administrasi negara, dalam hal ini pemerintah memberikan pelayanan publik kepada masyarakat dalam memberikan fasilitas pendidikan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.   Dalam konsep negara kesejahteraan, peran negara dan pemerintah semakin dominan. Negara kesejahteraan mengacu pada peran negara yang aktif mengelola dan mengorganisasi perekonomian, politik, sosial dan budaya. Ini berarti, pendidikan adalah tanggung jawab negara dan para stakeholders lainnya.
TAWURAN, BUKTI GAGALNYA SISTEM PENDIDIKAN
Pencerdasan secara intelektual, emosional dan spiritual menjadi tugas dari seluruh elemen bangsa, yaitu lingkungan keluarga, kebijakan pemerintah, masyarakat dan stakeholders lainnya. Tawuran yang terjadi akhir-akhir ini oleh oknum peserta didik merupakan bukti kegagalan sistem pendidikan yang dilakukan oleh seluruh stakeholders, tidak hanya kesalahan pemerintah saja. Kebijakan yang dikeluarkan tentang sistem pendidikan yang terkesan hanya mengedepankan kecerdasan intelektual, mengakibatkan degradasi moral peserta didik kita. Kecerdasan emosional dan spiritual mereka tergerus oleh lingkungan yang terbentuk sekarang ini. Lingkungan yang hanya megedepankan sisi material, terpaan globalisasi teknologi dengan banyak beredarnya jaringan internet yang ternyata lebih banyak berdampak negatif sehingga mereka menjadi insan-insan instan yang berakhlak rendah, malas dan manja.
Empat pilar kebangsaan adalah UUD 1945, Pancasila, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika.
Pancasila sebagai salah satu pilar bangsa mengamanatkan, nilai-nilai moral kepada seluruh elemen bangsa. Sila kesatu Ketuhanan Yang Maha Esa, mempunyai konsep dasar dalam kehdupan seorang warganegara. Konsep hubungan baik antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia lainnya dan hubungan manusia dengan dengan mahluk ciptaan Tuhan lainnya, merupakan konsep utama dalam sila kesatu. Apabila konsep-konsep dalam sila kesatu sudah dapat dipamahi, maka nilai-nilai yang tersurat dan tersirat dalam sila-sila berikutnya akan secara otomatis terealisasikan. Inilah mengapa Pancasila dijadikan dasar dalam mencerdaskan peserta didik secara intelektual, emosional dan spiritualnya. Pemahaman yang diberikan dalam sistem pendidikan kita masih sekedar tataran teori, prakteknya belum terlaksana. Sehingga, peserta didik menjadi peserta didik yang lebih mengedepankan emosional daripada akal sehatnya. Pada umumnya tawuran yang terjadi berawal dari hal-hal yang sepele, karena ketersinggungan pribadi atau kelompok, sehingga dapat mengakibatkan tawuran yang berujung jatuhnya korban. Unsur nalar bahwa tawuran merupakan sesuatu yang buruk, tidak menjadi pertimbangan ketika emosional lebih dikedepankan, diperparah lagi dengan pemakaian obat-obatan atau minuman keras sebelum tawuran agar timbul keberanian dan tidak ada lagi rasa takut. Ini yang memperburuk keadaan. Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan seorang mantan peserta didik yang pernah melakukan tawuran, sebelum mereka tawuran, mereka mengkonsumsi minuman beralkohol terlebih dahulu sebanyak 3 atau 4 gelas. Minuman keras yang dikonsumsi berdampak pada hilangnya rasa takut dan rasa sakit apabila mereka terkena pukulan. Rasa sakit baru akan terasa setelah pengaruh minuman keras tersebut hilang. Sungguh menyedihkan keadaan sistem pendidikan kita. Tenaga pengajar atau guru, bahkan keluarga dan pemerintah terkesan tidak dapat berbuat banyak, karena lingkungan pergaulan juga dapat mempengaruhi perkembangan psikologis seseorang. Dengan alasan pencarian jati diri, para oknum peserta didik ini melakukan tindakan diluar norma dan nilai-nilai yang ada dalam agama serta kehidupan berbangsa bernegara. Kasus tawuran yang terjadi antara SMAN 70 dan SMAN 6 di Jakarta, serta tawuran mahasiswa di Makasar, menjadi bukti tidak berdayanya sistem pendidikan menghalau nilai-nilai negatif yang masuk pada peserta didik. Ini juga membuktikan kegagalan sistem pendidikan yang tidak bisa memberikan benteng secara emosional spiritual kepada peserta didik dalam menyaring hal-hal negatif yang mungkin mempengaruhinya.
Akhirnya, sistem pendidikan yang baik bukanlah sistem pendidikan yang hanya mengedepankan nilai intelektualitas saja, akan tetapi kecerdasan emosional dan spiritual seseorang juga merupakan hal utama. Kecerdasan intelektualitas apabila tidak diimbangi dengan kecerdasan secara moral dan spiritual, maka ia akan menjadi insan yang bisa menghalalkan segala cara. Apabila moralitas seorang peserta didik sudah buruk, tidak terbayangkan bagaimana jadinya generasi penerus bangsa kita ini. Pendidikan dengan tujuan mencerdaskan anak bangsa secara menyeluruh baik secara intelektual, emosional dan spiritual menjadi pekerjaan rumah kita semua. Inilah tugas kita bersama agar sistem pendidikan yang diterapkan bisa menciptakan generasi yang cerdas dan berakhlak mulia. Wallahu a’lam bisshawaab.

Senin, 15 Oktober 2012


SALAH KAPRAH KEBIJAKAN PEMERINTAH YANG MENGALIHKAN UTANG SWASTA DANA BLBI MENJADI UTANG NEGARA
Oleh: Ikomatussuniah, SH., MH.
Tenaga Pengajar Fakultas Hukum
Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
Jl. Raya Jakarta KM 4 Pakupatan – Serang
Indonesia, negara yang pada tahun 1998 mengalami suksesi kepemimpinan. Presiden Soeharto setelah menjabat selama 32 tahun, mengundurkan diri atas desakan dari masyarakat dan seluruh komponen bangsa. Demonstrasi-demonstrasi, perusakan-perusakan, penjarahan dan ketidakstabilan keamanan yang terjadi mengakibatkan imbas negatif untuk seluruh segi kehidupan berbangsa dan bernegara. Demonstrasi yang diwarnai dengan kekerasan, penculikan dan pelanggaran Hak Asasi Manusia lainnya sampai sekarang masih menjadi pekerjaan rumah pemerintah untuk penyelesainnya. Perekonomianpun ikut goyah, akhirnya  terjadilah ketidakstabilan perekonomian yang mengakibatkan krisis moneter tahun 1997-1998. Berdasarkan laman putracenter.net yang diunduh pada tanggal 15 oktber 2012, penyebab krisis ekonomi Indonesia tahun 1997-1998 adalah:
1.    Yang pertama, stok hutang luar negeri swasta yang sangat besar dan umumnya berjangka pendek, telah menciptakan kondisi bagi “ketidakstabilan”. Hal ini diperburuk oleh rasa percaya diri yang berlebihan, bahkan cenderung mengabaikan, dari para menteri di bidang ekonomi maupun masyarakat perbankan sendiri menghadapi besarnya serta persyaratan hutang swasta tersebut.
2.    Yang kedua, dan terkait erat dengan masalah di atas, adalah banyaknya kelemahan dalam sistem perbankan di Indonesia. Dengan kelemahan sistemik perbankan tersebut, masalah hutang swasta eksternal langsung beralih menjadi masalah perbankan dalam negeri.
3.    Yang ketiga, sejalan dengan makin tidak jelasnya arah perubahan politik, maka isu tentang pemerintahan otomatis berkembang menjadi persoalan ekonomi pula.
4.    Yang keempat, perkembangan situasi politik telah makin menghangat akibat krisis ekonomi, dan pada gilirannya memberbesar dampak krisis ekonomi itu sendiri.
Untuk menanggulangi permasalahan yang terjadi khususnya dalam perbankan di Indonesia, pemerintah melalui Bank Indonesia melakukan skema bantuan atau pinjaman berupa Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) kepada bank-bank yang mengalami permasalahan likuditas pada saat krisis moneter 1998. Skema ini berdasarkan perjanjian yang dibuat antara pemerintah Indonesia dengan International Monetary Fund (IMF). Pada tahun 1998, BI menyalurkan BLBI sebesar Rp. 147, 7 trilliun kepada 48 bank. Berdasarkan audit BPK, terhadap penggunaan dana BLBI terdapat indikasi penyimpangan sebesar Rp. 130 triliun. Dana BLBI tersebut ternyata tidak dikembalikan ke BI oleh para bankir yang menerima dana tersebut. Bahkan sampai sekarang beberapa orang bankir lebih memilih untuk buron, ketimbang mengembalikan dana yang pernah mereka terima untuk pemulihan likuiditas perbankan mereka. Ironisnya, sekarang beberapa bank yang mendapat kucuran dana BLBI itu ternyata sudah pulih likuiditasnya, dan bisa memberikan remunerasi kepada para direksinya, dan sampai sekaran gmereka belum juga membayar utang BLBI yang pernah mereka terima. Saat ini utang BLBI berikut bunganya sudah mencapai angka 650 triliun rupiah. Dan pembayaran pokok berikut bunganya menjadi tanggungan negara, bukan lagi tanggungan para pengemplang dana BLBI tersebut. Akumulasi cicilan pembayaran utang baik bunga maupun pokok selama 12 tahun (2000-2011) mencapai Rp. 1.843,10 triliun. Pembayaran cicilan pokok dan bunga rata-rata 25% dari APBN. Jikalau 25% anggaran ini digunakan untuk kesejahteraan rakyat, tentu sangat bermanfaat.
Kesalahan fatal terjadi pada 1 November tahun 2000. DPR, Pemerintah dan BI menetapkan keputusan politik menyangkut pembagian beban antara Pemerintah dan BI terhadap dana BLBI yang sudah dikucurkan. Ini merupakan awal pengalihan beban utang swasta menjadi beban utang negara. Ini merupakan suatu skandal besar, karena sudah jelas kejahatan BLBI menindas ekonomi rakyat. BLBI yang dimanipulasi menjadi utang negara dalam bentuk obligasi rekap perbankan sebesar 650 triliun rupiah  pada tahun 1998,  merupakan pangkal membengkaknya utang negara hingga mencapai 2.000 triliun rupiah. Beban utang inilah yang merampas hak rakyat untuk mendapat kesejahteraan dari uang pajak yang mereka bayarkan. Korupsi BLBI membebani rakyat (Koran Jakarta; 15/10/2012) karena:
a.       Kerugian negara sebesar 650 trilun rupiah melebihi kerugian yang ada pada kasus korupsi lainnya.
b.      Pembayaran pokok dan bunga berbunga dari obligasi rekap BLBI sebesar 60 triliun rupiah dianggarkan dan dibayarkan dari APBN, dimana penerimaan terbesar APBN adalah dari pajak yang dibayarkan oleh rakyat. Logikanya, jika 60 triliun rupiah ini digunakan untuk program pro rakyat sehingga rakyat sejahtera, tentu uang ini lebih bermanfaat.
c.       Setiap generasi mendatang harus menanggung kewajiban pengemplang BLBI.
d.      Semua pengemplang BLBI berkewarganegaraan ganda.
e.       Utang Indonesia semakin membengkak karena skandal BLBI ini, sehingga setiap warga negara bahkan bayi yang baru lahirpun terhitung sudah harus menanggung utang.
Dari pemaparan diatas, terlihat jelas pemerintah salah kaprah dalam melihat dan melakukan tindakan terhadap para pengemplang dana BLBI. Pemerintah selama empat kali masa perubahan pemerintahan setelah Soeharto, mulai dari Presiden B.J. Habibie, KH. Abdurrahman Wahid, Megawati dan Susilo Bambang Yudhoyono, terkesan membiarkan kesalahan fatal ini. Pengambilalihan utang obligor nakal BLBI ini menjadi utang negara dan dibebankan pada anggaran pendapatan dan belanja negara yang berasal dari pajak rakyat, sungguh menyayat hati rakyat, dan ini bertentangan dengan konsep negara kesejahteraan yang termaktub dalam Pembukaan UUD 1945 alinea ke-4.  Negara kesejahteraan mengacu kepada peran negara yang aktif mengelola dan mengorganisasi perekonomian. Jika pemerintah tidak bisa mengambil keputusan yang tegas tentang dana BLBI ini, berarti pemerintah belum bisa mewujudkan cita-cita negara kesejahteraan.
Keputusan untuk mengambil alih utang swasta menjadi utang negara, terjadi pada masa kepemimpinan Megawati sebagai presiden. Sekarang masyarakat sudah paham akan situasi sebenarnya, dan tidak bisa dibodohi lagi, seharusnya pemerintah yang berkuasa saat ini di bawah kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, berani  mengambil kebijakan tegas untuk memberhentikan pembayaran pokok dan bunga berbunga obligasi rekap BLBI yang dibayarkan dari uang rakyat. Lebih baik uang tersebut digunakan untuk pengembangan pertanian dan infrastruktur yang jelas-jelas akan membawa kesejahteraan rakyat secara perekonomian, sosial dan budaya. 

Selasa, 09 Oktober 2012


MENELISIK TAWURAN PELAJAR YANG KERAP TERJADI DARI SUDUT PANDANG PANCASILA SEBAGAI SALAH SATU PILAR BANGSA INDONESIA

Oleh: Ikomatussuniah, SH., MH.
Tenaga Pengajar Fakultas Hukum
Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
Jl. Raya Jakarta KM 4 Pakupatan – Serang
       Pendidikan merupakan salah satu hak dasar yang harus didapat oleh semua warga negara,  tanpa terkeculi. Semua warga negara berhak mendapatkan pendidikan yang layak, baik formal maupun non formal. Tugas semua pihak dalam memajukan dan memberikan pendidikan yang baik bagi generasi penerus bangsa ini. Pemerintah, masyarakat bahkan pihak swasta harus bahu membahu dalam melakukan kegiatan untuk mencerdaskan seluruh generasi yang akan datang. Seperti yang termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 alinea ke-4, yang didalamnya tertera tujuan negara kesejahteraan yang menjadi konsep dalam memajukan dan menciptakan kehidupan yang nyaman, aman, tentaram dan sejahtera. Mencerdaskan kehidupan bangsa, inilah yang menjadi tujuan dalam sistem pendidikan di negara kita. Tetapi, kenyataan yang terjadi sekarang  ini, telah bergesar kepada sistem pendidikan yang tidak mempunyai arah tujuan di tingkat implementasinya. Para pelajar kita hanya sekedar mengejar ijazah dan kelulusan belaka. Sistem pendidikan yang coba untuk diterapkan, ternyata tidak memberikan kontribusi positif pada pengembangan moral, skiil dan kepribadian para pelajar. Sebenarnya tidak semua pelajar melakukan hal negatif, tetapi yang terekspos akhir-akhir ini adalah kegiatan oknum pelajar yang melakukan tindak kekerasan sehingga mengakibatkan jatuh korban. Kekerasan yang terjadi sebenarnya mungkin diawali dengan hal yang sepele, misalnya mengatasnamakan solidaritas kawan dan membela nama sekolah karena nama sekolah mereka di jelek-jelekan, sehingga mereka tidak terima dan emosi mereka tersulut dan terjadilah tawuran pelajar. Tindakan yang seperti ini sudah keluar dari nilai-nilai yang terkandung secara tersurat maupun tersirat dalam Pancasila.

PANCASILA TAMENG TAWURAN PELAJAR
Empat pilar Kebangsaan Indonesia adalah UUD 1945, Pancasila, Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Bhineka Tunggal Ika. Pancasila, inilah salah satu pilar yang kebangsaan Indonesia. Pancasila terdiri dari lima sila, tentu semua orang sudah mengetahuinya dan bahkan hafal diluar kepala. Sila kesatu sampai ke lima dari pelajar tingkat Sekolah Dasar sampai Perguruan Tinggi dipastikan hafal. Akan tetapi, nilai-nilai yang terkandung di dalam Pancasila sekarang sudah mulai luntur dan tidak dilaksanakan oleh masyarakat. Hal ini dibuktikan dengan adanya  korupsi yang sudah mendarah daging, kekerasan mudah ditemukan dimana-mana, dari pedesaaan sampai perkotaan perbuatan-perbuatan asusila banyak dilakukan. Norma-norma agama, susila, sosial dan hukum dianggap angin lalu, tidak diperdulikan, bahkan lebih ekstrim lagi, apabila orang berbuat baik dianggap aneh, dan orang yang berbuat diluar ketentuan norma dan nilai-nilai dianggap hebat. Sungguh semua sudah tidak beraturan dan sungguh tragis.
Tawuran pelajar merupakan salah satu ekses dari tidak terimplementasikannya sila kesatu Pancasila oleh para pihak. Sila kesatu Ketuhanan Yang Maha Esa. Konsep dari sila kesatu terkandung makna yang mendalam yaitu; hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan manusia dan hubungan manusia dengan alam. Hubungan manusia dengan Tuhannya, hubungan ini bersifat vertikal. Hubungan yang tertanam secara bathiniah dan lahiriah dengan penguasa dan pencipta mahluk. Jika manusia sudah mengimani hubungan manusia dengan Tuhannya, dipastikan manusia tersebut akan melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangn-Nya. Jika pelajar sudah menerapkan konsep ini, tentu dia akan berusaha melakukan tugasnya sesuai porsi. Tugas pelajar adalah belajar dan berusaha mencari identitas diri dengan cara-cara yang positif. Tawuran dijadikan alasan bagi mereka untuk mencari identitas diri, tetapi cara seperti ini berdampak negatif bagi diri dan orang lain. Apabila mereka sudah mengenali siapa Tuhannya, dapat dipastikan mereka akan lebih banyak melakukan hal positif dsan segala sesuatu yang dilakukan diniatkan untuk ibadah kepada Tuhan. Hubungan manusia dengan manusia, konsep ini mengedapankan rasa sosial kemanusiaan tanpa melihat ras, agama, golongan dan perbedaan-perbedaan lainnya. Mereka akan berusah menjaga hubungan yang baik terhadap sesama manusia, dan tidak akan menyakiti manusia lain. Jika konsep ini terlaksana, maka tawuran tidak akan terjadi dengan alasan apapun yang sebenarnya hanya mengedepankan ego masing-masing tanpa berpikir panjang.  Hubungan manusia dengan alam, pada konsep ini manusia akan selau menjaga sikapnya terhadap alam dan mahluk ciptaan tuhan lainnya. Pada tataran ini pelajar diberi pemahaman bahwa yang hidup di jagat raya ini tidak hanya manusia, bahkan manusia hanyalah salah satu komponen dari begitu banyak ciptaan Tuhan lainnya. Secara logika, manusia tanpa alam tidak akan bisa hidup, tetapi jika alam tanpa manusia rasanya alam akan baik-baik saja. Sila kesatu Pancasila jika memang sudah dilaksanakan dengan baik, maka ketentuan sila-sila lainnya mulai dari sila ke-2 Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab sampai sila ke-5 Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia, secara otomatis sudah dapat terimplemetasikan. Maka, sebenarnya nilai yang terkandung dalam Pancasila yang merupakan paham sosio-nasionalis yang disusun oleh para stakeholders kemerdekaan bangsa Indonesia yaitu Ir. Soekarno, Dr. Muhammad Hatta, Mr. Dr. Muhammad Yamin dan Dr. Soepomo, telah dibuat sesempurna mungkin sesuai dengan nilai-nilai yang sudah ada terlebih dahulu dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di masyarakat Indonesia sejak jaman Majapahit dan Sriwijaya.
Pelajar dalam melakukan kegiatan belajar mengajar ternyata hanya sekedar formalitas. Esensi dari sila kesatu Pancasila-pun mereka tidak memahami. Semua ini tidak terlepas dari cara pembelajaran atau sistem pendidikan sekarang yang hanya mengedepankan output berupa nilai yang bagus. Para stakeholders tanpa sadar telah membuat generasi robot. Mereka diciptakan untuk memenuhi tuntutan program yang harus dilaksanakan. Pelajar sekarangpun lebih mengagungkan materiil dibanding kemampuan otak dan moralitas. Sergapan perkembangan teknologi dan materi global yang mereka dapat dengan mudah melalui gadget-gadget yang mereka milki, telah menina bobokan mental generasi penerus kita, menjadi generasi yang matrealistis, instan, egois dan manja. Sekarang menjadi tugas bersama khususnya para pembuat kebijakan, orang tua, guru dan alim ulama untuk memberikan pendidikan yang baik kepada para penerus bangsa supaya mereka tidak terjerumus, dan menjadi calon penerus bangsa yang bisa membawa perubahan lebih baik dan maju demi kebanggaan bangsa Indonesia.