Minggu, 22 April 2012

HUKUM KETENAGAKERJAAN

HUKUM KETENAGAKERJAAN DAN HUKUM KERJA

  Istilah dan Pengertian

     Penggantian istilah buruh dengan istilah pekerja, memberi konsekuensi  bahwa hukum perburuhan tidak sesuai lagi. Perburuhan berasal dari kata “buruh”  yang secara etimologi dapat diartikan keadaan memburuh, yaitu keadaan dimana seorang buruh bekerja pada orang lain (pengusaha).1
     Ketenagakerjaan berasal dari kata dasar “tenaga kerja” yang artinya; “segala hal yang berhubungan dengan tenaga  kerja pada waktu sebelum, selama dan sesudah masa kerja”.2
 Dengan  demikian hukum perburuhan lebih sempit cakupannya dibandingkan dengan hukum ketenagakerjaan, karena didalam hukum perburuhan hanya menyangkut selama tenaga kerja (buruh) tersebut bekerja.Disamping itu subjek yang diatur dalam hukum perburuhan lebih sempit karena hanya mengatur tentang buruh saja sedangkan dalam hukum ketenagakerjaan subjek dan objek hukumnya lebih luas.
Kelompok tenaga kerja terbagi atas:
1.      Angkatan kerja, range usia angkatan kerja ini adalah 18-65 tahun, dimana dalam  range usia ini terdapat potensi orang bekerja dan juga menganggur.
2.      Bukan angkatan kerja, tidak ada range usia dalam kelompok ini. Kategorinya mulai dari anak-anak sampai dewasa, dengan ketentuan kelompok yang bersekolah, mengurus rumah tangga dan penerima pendapatan.

Hukum kerja digunakan sebagai pengganti istilah hukum perburuhan, dengan ruang lingkup atau cakupan dan pengertian yang sama dengan hukum perburuhan yaitu berkaitan dengan keadaan bekerjanya buruh /pekerja pada suatu perusahaan.
     Prinsipnya hukum kerja adalah: “Serangkaian peraturan yang mengatur segala kejadian yang berkaitan dengan bekerjanya seseorang pada orang lain dengan menerima upah”.3
a.       Serangkaian peraturan; sumber hukum yang berisi peraturan yang berkaitan dengan hukum kerja.
·         Era tahun 2000-an ada 3 peraturan sebagai sumber hukum kerja:
1.      UU No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh
2.      UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
3.      UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.
·         Sumber hukum tertulis yang merupakan ciri khas hukum kerja:
1.      Peraturan Perusahaan; peraturan yang dibuat pengusaha tentang syarat kerja dan tata tertib perusahaan.
2.      Perjanjian Kerja; perjanjian antara pekerja dan pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban para pihak.
3.      Perjanjian Kerja Bersama; perjanjian hasil perundingan satu atau beberapa serikat pekerja yang tercatat pada instansi yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan dengan pengusaha atau beberapa pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban para pihak.

b.      Peraturan tersebut mengatur segala kejadian, misalnya;
·         Sakit
·         Hamil/bersalin
·         Kecelakaan
·         Menjaga keselamatan dan kesehatan kerja
·         Cuti
·         Diputuskan hubungan kerjanya
·      Lain-lain kejadian yang perlu pengaturannya dalam suatu peraturan perundang-undangan.
c.       Adanya orang yang bekerja pada pihak lain.
Maksudnya seseorang bekerja dengan bergantung pada orang lain yang memberi perintah dan meguasainya sehingga orang tersebut harus tunduk pada orang lain yang mempekerjakannya. Yang tidak tercakup dalam hukum kerja:
·         Seseorang yang bekerja untuk kepentingan sendiri, dengan resiko dan tanggung jawab sendiri
·         Orang yang bekerja atas resiko sendiri, misal praktek dokter
·         Bekerjanya secara sukarela untuk kepentingan orang lain/masyarakat
·         Bekerja karena melaksanakan suatu sanksi, misal narapidana
·         Bekerja untuk melaksanakan kewajiban Negara, misal wajib militer.
d.      Upah
Upah merupakan unsur terpenting dalam bekerjanya seseorang kepada orang lain. Inti dari  hukum kerja adalah upah.
Ø  Sebelum Kemerdekaan
Keadaan hukum  kerja sangat memprihatinkan. Pada masa itu jenis hubungan kerja terdiri atas:
a.       Perbudakan; adalah suatua jenis hbungan kerja dimana budak tidak memiliki hak apapun. Para budak hanya mempunyai kewajiban untuk melakukan segala  pekerjaan dan perintah majikan tanpa boleh menentang. Majikan adalah pihak yang berkuasa penuh terhadap perekonomian, hidup dan mati para budak. Sebab-sebab terjadinya perbudakan di Indonesia:
1.      Kerajaan-karajaan yang melakukan peperangan dan kalah diwajibkan secara teratur mengirimkan budak-budak serta upeti.
2.      Kepala suku dan orang-orang yang dianggap kuat selalu menggunakan kharismanya, sehingga banyak penduduk yang lemah mengabdi kepada mereka, dan akhirnya tunduk pada perintahnya.
3.      Adanya saudagar-saudagar silam yang memang memelihara dan menjamin kelangsungan hidup orang-orang yang keadaan ekonominya minim.
4.      Adanya orang-orang yang sangat menderita sehingga kurang mampu dan menyerahkan nasibnya pada orang-orang tertentu yang tingkat kesejahteraan hidupnya lebih baik.
Tahun 1836 dikeluarkan RR 1836 dilanjutkan dengan RR 1854 dalam pasal 115-117 secara tegas menghendaki agar perbudakan dihapus paling lambat 1 januari 1860.
b.      Rodi (Kerja Paksa)
Rodi adalah suatu kehendak atau perbuatan penguasa untuk  mengerahkan penduduk mengerjakan pekerjaan tanpa pemberian imbalan atau upah, dan tanpa perikemanusiaan.
Imam Soepomo membagi rodi dalam tiga jenis;
1.      Rodi gubernemen; untuk para gubernur dan pegawainya.
2.      Rodi perorangan; untuk kepentingan kepala dan pembesar-pembesar  Indonesia.
3.      Rodi desa; untuk kepentingan desa.
c.       Poenali sanksi
Tahun 1819 di Hindia Belanda sudah ada hubungan kerja, tanpa ada  paksaan siapapun. Namun karena perusahaan-perusahaan perkebunan waktu itu sulit untuk mendapatkan  buruh karena adanya rodi, maka pemerintah Belanda mengeluarkan stb 1838 No.50, dimana pengusaha diberikann kewenangan untuk mengadakan perjanjiankerja dengan kepala desa. Dalam perjanjian kerja tersebut ditentukan antara lain:
·         Jangka waktu berlakunya perjanjian kerja
·         Besarnya upah yang diberikan
·         Perumahan dan pangan serta macam pekerjaan yang akan dikerjakan.
Tetapi terdapat ketimpangan dimana tenaga kerja yang dikirim tidak mendapatkan upah dan mereka mendapat perlakuan yang tidak sesuai dengan perikemanusiaan, hak dan kewajiban tenaga kerja mereka tidak tahu sama sekali, akhirnya banyak yang melarikan diri dari tempat kerja sehingga perusahaan kekurangan tenaga kerja lagi. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, Pemerintah mengeluarkan stb.1876  No. 111 dengan nama Algemen Politic Stafleglemen, yang antara lain menentukan: “Seseorang yang tiada alasan yang dapat diterima meninggalkan atau menolak melaksanakan pekerjaan dapat dipidana dengan denda antara 16-20 guilden atau dengan rodi selama 7 sampai 12 hari”. Dengan ancaman pidana inilah,  hubungan kerja ini disebut Poenali Sanksi.  Poenali sanksi sangat menekan tenaga kerja karena:
1.      Boleh meninggalkan tempat kerja dengan ijin tertulis; tanpa ijin tertulis didenda 50 guilden / kerja 1 tahun tanpa upah.
2.      Tenaga kerja yang tidak melakukan kewajiban dikenakan sanksi.
3.      Apabila  mendapat ijin untuk meninggalkan tempat kerja harus membawa kartu pengenal  ; sanksi denda 25 guilden atau kerja tanpa upah selama 12 hari.
4.      Apabila terkena hukum pidana, setelah mendapat kebebasan, polisi wajib mengembalikannya ketempat kerja.
5.      Tidak dibenarkan dengan alasan apapun untuk melakukan PHK sepihak.
6.      Masyarakat tidak diperkenankan memberikan pondokan kepada tenaga kerja yang meninggalkan tempat kerja tanpa ijin dan tidak membawa tanda pengenal.
Ketentuan-ketentuan diatas sangat merugikan tenaga kerja  karena bertentangan dengan hak asasi manusia. Oleh karena itu, pemerintah  Belanda mengeluarkan stb.1941 No.514 yang menghapus poenali sanksi sejak tanggal 1 januari 1942.
Ø  Setelah Kemerdekaan
     Masalah ketenagakerjaan diatur dalam UUD 1945 diatur dalam Pasal 27 (2): “Tiap-tiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”.
Setelah Indonesia mempertahankan kedaulatannya pada tahun 1948, pemerintah mulai memperhatikan masalah ketenagakerjaan dan mengeluarkan berbagai peraturan, seperti:
a.       UU No. 33 Tahun 1947 jo. UU No. 2 Tahun 1951 tentang Kecelakaan
b.      UU No. 12 Tahun 1948 jo. UU No. 1 Tahun 1951 tentang Kerja
c.       UU No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja
d.      UU No. 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja.
Kemudian dalam era 2000-an Undang-undang  tersebut sebagian besar dicabut dan diganti.
     Secara yurudis hubungan antara pekerja dan pengusaha adalah bebas, seseorang tidak boleh diperbudak, diperulur maupun diperhambakan, karena memang tidak sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945, namun secara sosiologis pekerja/buruh tidaklah bebas, karena bermodal tenaganya saja kadangkala seorang pekerja terpaksa menerima hubungan kerja dengan pengusaha meskipun hubungan itu memberatkan pekerja sendiri, lebih-lebih lapangan kerja sekarang tidak sebanding dengan banyaknya tenaga kerja yang membutuhkan.
     Pemerintah mengeluarkan peraturan perundasng-undangan untuk turut serta melindungi pihak yang lemah (pekerja/buruh) dari kekuasaan pengusaha, guna menempatkan pada kedudukan yang layak sesuai  harkat martabat manusia.
     Pada hakikatnya hukum kerja dengan semua peraturan perundang-undangan bertujuan melaksanakan keadilan sosial dengan memberikan  perlindungan kepada buruh terhadap kekuasaan pengusaha, dengan sifat peraturan yang memaksa dan memberikan sanksi tegas kepada pengusaha yang melanggar. Dengan sifatnya yang  memaksa ikut campur pemerintah, membuat hukum kerja menjadi hukum publik dan privat sekaligus.  

Sumber Hukum Ketenagakerjaan
1.      Undang-undang , Perpu
2.      Peraturan lain ; Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, Peraturan / Keputusan Instansi lain
3.      Kebiasaan
4.      Putusan dari Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan; mempunyai sanksi perdata dan pidana.
5.      Perjanjian
6.      Traktat ; Perjanjian  konvensi Meja Bundar terdapat suatu persetujuan pemberian bantuan kepegawaian oleh Nederland  untuk dinas sipil Indonesia dan sebaliknya.


BAB I. Ketentuan Umum; pasal 1
BAB II. Landasan Asas dan Tujuan; Pasal 2, 3, 4
BAB III. Kesempatan dan Perlakuan Yang Sama; pasal 5, 6 
BAB IV. Perencanaan Tenaga Kerja dan Informasi Ketenagakerjaan; pasal 7, 8
BAB V. Pelatihan Kerja; pasal 9 – 30
·         Pelatihan Kerja ; pasal 9 – 12
·         Penyelenggara Pelatihan  ; pasal 13 – 16
·         Penghentian Penyelenggaraan pelatihan ; pasal 17
·         Pengakuan Kompetensi Kerja : psal 18
·         Pelatihan Bagi Pekerja Cacat ; pasal 19
·         Sistem Pelatiha Kerja Nasional ; pasal 20
·         Pemagangan ; pasal 21 – 27
·         Lembaga Koordinasi Pelatihan Kerja Nasional ; pasal 28
·         Peran Pemerintah Pusat atau Daerah ; pasal 29
·         Lembaga Produktivitas ; pasal 30
                   BAB VI. Penempatan Tenaga Kerja; pasal 31 – 38
·         Pelaksanaan Penempatan Tenaga Kerja ; pasal 31 – 32
·         Klasifikasi Penempatan ; pasal 33,34
·         Perekrutan ; pasal 35
·         Pelayanan Penempatan ; pasal 36
·         Pelaksana Penempatan ; pasal 37, 38
                 BAB VII. Perluasan Kesempatan Kerja; pasal 39 – 41
·         Tanggung jawab Pemerintah dan Masyarakat ; pasal 39, 41
·         Diluar Hubungan Kerja ; pasal 40
                 BAB VIII. Pengunaan Tenaga Kerja Asing; pasal 42 – 49
                 BAB IX. Hubungan Kerja; pasal 50 – 66
·         Hubungan Kerja ; pasal 50
·         Perjanjian Kerja ; pasal 51
·         Dasar Perjanjian Kerja ; pasal 52
·         Biaya Pembuatan Perjanjian ; pasal 53
·         Unsur-unsur Perjanjian Kerja Tertulis ; pasal 54, 55
·         Waktu ; pasal 56 – 60
·         Berakhirnya ; pasal 61,62
·         Unsur-unsur Perjanjian Lisan ; pasal 63
·         Perjanjian  Pemborongan ; pasal 64,65
·         Penyedia Jasa Pekerja ; pasal 66
                BAB X. Perlindungan, Pengupahan dan Kesejahteraan; pasal 67 – 101
·         Bagian Kesatu ; Perlindungan
Paragraf I; Penyandang cacat; pasal 67
Paragraf 2; Anak; pasal 68 – 75
Paragraf 3; Perempuan; pasal 76
Paragraf 4; Waktu Kerja; pasal 77 – 85
Paragraf 5; Keselamatan dasn Kesehatan Kerja; pasal 86, 87
·         Bagian Kedua ; Pengupahan ; pasal 88 – 98
Kebijakan Pengupahan; pasal 88
Upah minimum; pasal 89, 90
Pengaturan Pengupahan; pasal 91, 92
Kewajiban Pengusaha membayar upah; pasal pasal 93
Upah pokok; pasal 94
Denda; pasal 95
Daluarsa; pasal 96
Ketentuan Peraturan Pemerintah; pasal 97
Dewan PEngupahan Nasional, Propinsi dan Kabupaten/Kota; pasal 98
·         Bagian Ketiga ; Kesejahteraan ; pasal 99 – 101
Jaminan Sosial; pasal 99
Fasilitas Kesejahteraan; pasal 100
Koperasi Pekerja: pasal 101
            BAB XI. Hubungan Industrial; pasal 102 – 149
·         Bagian Kesatu ; Umum ; pasal 102,103
·         Bagian Kedua ; Serikat Pekerja/Buruh ; pasal 104
·         Bagian ketiga ; Organisasi Usaha ; pasal 105
·         Bagian Keempat ; Lembaga Kerja Bipartit ; pasal 106
·         Bagian Kelima ; Lembaga Kerja Tripartit ; pasal 107
·         Bagian keenam ; Peraturan Perusahaan ; pasal 108 – 115
·         Bagian Ketujuh ; Perjanjian kerja Bersama ; pasal 116 – 135
·         Bagian Kedelapan ; Lembaga penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial ; pasal 136 – 149
Paragraf 1; Perselisihan Hubungan Industrial; pasal 136
Paragraf 2; Mogok Kerja: pasal 137 – 145
Paragraf 3; Penutupan Perusahaan; pasal 146 – 149
            BAB XII. Pemutusan Hubungan Kerja; pasal 150 - 172
·         Ketentuan PHK ; pasal 150,151
·         Permohonan Penetapan PHK ; pasal 152
·         Alasan Larangan PHK ; pasal 153
·         Pengecualiaan Penetapan PHK ; pasal 154
·         PHK tanpa Penetapan ; pasal 155
·         Uang Pesangon ; pasal 156
·         Komponen Upah ; pasal 157
·         Alasan PHK ; pasal 158
·         Penolakan PHK ; pasal 159
·         Kewajiban Pengusaha apabila Pekerja Ditahan ; pasal 160
·         Pelanggarn Perjanjian Kerja oleh Pekerja ; pasal 161
·         Pengunduran diri ; pasal 162,168
·          PHK karena Perubahan Status Perusahaan ; pasal 163
·         PHK karena Perusahaan Tutup ; pasal 164
·         PHK karena Perusahaan Pailit ; pasal 165
·         Berakhirnya hubungan kekrja karena pekerja meninggal ; pasal 166
·         PHK karena Usia Pensiun ; pasal 167
·         Permohonan PHK Pekerja ; pasal 169
·         Batal Demi Hukum ; pasal 170
·         Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial ; pasal 171
·         Pemajuan PHK karena Sakit Berkepanjangan, cacat ; pasal 172
            BAB XIII. Pembinaan; pasal 173 – 175
            BAB XIV. Pengawasan; pasal 176 – 181
            BAB XV. Penyidikan; pasal 182
            BAB XVI. Ketentuan Pidana dan Sanksi Administratif
·         Bagian Pertama ; Ketentuan PIdana ; pasal 183 – 189
·         Bagian Kedua ; Sanksi Adminstratif ; pasal 190
            BAB XVII. Ketentuan Peralihan; pasal 191
·         BAB XVIII. Ketentuan Penutup; pasal 192,193
     Memperhatikan Pasal 56 ayat (2), ayat (3) dan ayat (5) Undang-undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi:-----------------------------------------------------------------
MENGADILI:
Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian;---------------------------------
     Menyatakan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan:---
·         Pasal 158;--------------------------------------------------------------------------------------
·         Pasal 159;--------------------------------------------------------------------------------------
·         Pasal 160 ayat (1) sepanjang mengenai anak kalimat “….Bukan atas pengaduan pengusaha….”;----------------------------------------------------------------
·         Pasal 170 sepanjang mengenai anak kalimat “….kecuali pasal 158 ayat (1),….”;----------------------------------------------------------------------------------------
·         Pasal 171 sepanjang menyangkut anak kalimat “….Pasal 158 ayat (1) ….”;---
·         Pasal 186 sepanjang mengenai anak kalimat “….Pasal 137 dan Pasal 138 ayat (1)….”;-----------------------------------------------------------------------------------
Bertentangan dengan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;------------------------------------------------------------------------------------------------
     Menyatakan Pasal 158; Pasal 159; Pasal 160 ayat (1) sepanjang mengenai anak kalimat “…. Bukan atas pengaduan pengusaha ….”; Pasal 170 sepanjang mengenai anak kalimat “…. Kecuali Pasal 158 ayat (1) ….”; Pasal 171 sepanjang menyangkut anak kalimat “…. Pasal 158 ayat (1) ….”;
5 Lihat lampiran Putusan Mahkamah Konstitusi R.I Perkara Nomor: 012/PUU-I/2003                                                          
dan pasal 186 sepanjang mengenai anak kalimat “…. Pasal 137 dan Pasal 138 ayat (1) ….” Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;----------------------------------------------------
     Menolak para Pemohon untuk selebihnya;---------------------------------------------
Sehubungan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 012/PUU-I/2003 tanggal 28 Oktober 2004, berdasarkan Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor : SE. 13/MEN/SJ-HK/I/2005 Tentang Putusan Mahkamah Konstitusi Atas Hak Uji Materiil Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan Terhadap Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, maka Pasal-pasal Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, tidak digunakan lagi sebagai dasar/acuan dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
Oleh karena itu, penyelesaian kasus pemutusan hubungan kerja (PHK) karena pekerja/buruh melakukan kesalahan berat perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a.       Pengusaha yang akan melakukan PHK dengan alasan pekerja/buruh melakukan kesalahan berat (eks pasal 158 ayat 1), maka PHK dapat dilakukan setelah ada putusan hakim pidana yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
b.      Apabila pekerja ditahan oleh pihak yang berwajib dan pekerja/buruh tidak dapat melaksanakan pekerjaan sebagaimana mestinya maka berlaku ketentuan pasal 160 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan.Dalam hal terdapat “alasan mendesak” yang mengakibatkan tidak memungkinkan hubungan kerja dilanjutkan, maka pengusaha dapat menempuh upaya penyelesaian melalui lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.

referensi :


1  Zaeni Asyhadie, Hukum Kerja, Edisi 1, PT.Raja Grafindo , Jakarta, 2007, hlm. 1.
 2 Lihat pasal 1 ayat (1) UU No. 13 tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan
 3 Zaeni Asyhadie, Hukum…, Op.Cit., hlm 3.