Selasa, 19 November 2013

PERLINDUNGAN TENAGA KERJA ANAK DI KABUPATEN SERANG

PERLINDUNGAN TENAGA KERJA ANAK DI KABUPATEN SERANG
Oleh: Ikomatussuniah, SH., MH.
Tenaga Pengajar Fakultas Hukum
Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
Jl. Raya Jakarta KM 4 Pakupatan – Serang

PENDAHULUAN
            Kabupaten Serang merupakan salah satu wilayah kabupaten/kota di Provinsi Banten.  Mengenai permasalahan ketenagakerjaan, permasalahan yang muncul salah satunya adalah tentang perlindungan tenaga kerja anak. Anak adalah amanat dari Yang Maha Kuasa. Dalam tumbuh kembangnya anak harus mendapat perlakuan yang baik, tanpa ada intimidasi dalam bentuk fisik maupun psikis. Tumbuh kembang anak harus sesuai usia. Anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Hak tersebut telah diatur dalam Pasal 28B ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945.  Kondisi anak di Indonesia masih banyak yang belum terlindungi dengan baik. Faktor ekonomi orang tua merupakan salah satu faktor utama dalam meningkatkan kesejahteraaan anak. Faktor lemahnya ekonomi orang tua dapat menjadi penyebab anak menjadi tulang punggung orang tua untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarganya. Ini menjadi ironi, disatu pihak anak tidak boleh dieksploitasi, karena memang akan mengganggu tumbuh kembangnya baik secara fisik maupun psikis, di pihak lain anak dituntut untuk dapat membantu orang tua dalam mencari nafkah demi kehidupan.  Inilah yang mengakibatkan semakin banyakanya tenaga kerja anak. Khusus untuk tenaga kerja anak di Kabupaten Serang, tentang perlindungannya harus menjadi isu utama dalam menentukan kebijakan agar anak mendapat haknya dengan baik dan dapat menjalankan kewajibannya dengan baik pula.

PERLINDUNGAN TENAGA KERJA ANAK DI KABUPATEN SERANG
Definisi anak berdasarkan Pasal 1 angka 26 Undang-Undang No 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan adalah setiap orang yang belum berusia 18 tahun, hal ini dapat disimpulkan bahwa pekerja anak adalah mereka yang bekerja dalam range usia di bawah 18 tahun. Konvensi International Labour Organization (ILO) Nomor 138 Tahun 1973 mengenai usia minimum untuk diperbolehkan bekerja, yang telah diratifikasi oleh Indonesia dalam Undang-Undang No. 20 tahun 1999, terdapat dalam lampiran Undang-Undang tersebut menegaskan, bahwa usia minimum untuk diperbolehkan bekerja adalah tidak boleh kurang dari usia tamat wajib sekolah, dan dalam keadaan apapun tidak boleh kurang dari 15 (lima belas) tahun. Konvensi ini lebih lanjut menyatakan bahwa undang-undang nasional juga dapat mengizinkannya dipekerjakannya  mereka yang berusia yang sedikitnya 15 tahun tetapi belum menyelesaikan wajib sekolah, asalkan pekerjaan tersebut tidak membahayakan kesehatan dan perkembangan mereka, serta tidak memberikan kesulitan bagi mereka untuk bersekolah atau berpartisipasi dalam program latihan kejuruan.
Di Kabupaten Serang, berdasarkan pengamatan terdapat banyak pekerja anak yang bekerja di sektor perusahaan informal seperti perusahaan industri  dan buruh tani, pekerja anak ini banyak yang tidak terjamin hak-haknya. Berdasarakan http://www.tempo.co/read/news/2013/06/10 dipaparkan bahwa pemerintah pusat, telah melakukan penarikan pekerja anak di 21 Provinsi dan 89 kabupaten/kota di Indonesia sebanyak 32.000 pekerja anak. Program pengurangan pekerja anak ini, untuk mendukung program keluarga harapan (PPA-PKH). Anak ditarik dari pekerjaannya dikembalikan ke keluarganya agar dapat sekolah kembali secara formal. Untuk di Kabupaten Serang pada tahun 2013 ini, 90 pekerja anak terdata telah ditarik dari pekerjaannya agar dapat bersekolah secara formal untuk belajar di tingkat SD/SMP/SMA, madrasah, pesantren atau kejar paket. Hal ini merupakan langkah besar yang menunjukan bahwa Pemerintah Kabupaten Serang telah melakukan eksyen nyata untuk melindungi hak-hak anak agar tidak dieksploitasi oleh lingkungan dan agar mereka dapat berkembang sesuai usianya dengan baik. Kedepannya, diharapakan tidak hanya 90 orang anak saja yang diselamatkan dari “keterpurukan pendidikan” dan menjadi pekerja anak, karena dia harus menjadi tulang punggung keluarga. Pada usianya yang mencapai angka 487 tahun, semoga langkah ini menjadi komitmen nyata berkelanjutan yang dilakukan Pemerintah Kabupaten Serang dalam menyelenggarakan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan publik untuk mensejahterakan masyarakatnya. Dirgahayu Kabupaten Serang.


PERLINDUNGAN TENAGA KERJA ANAK DI KABUPATEN SERANG
Oleh: Ikomatussuniah, SH., MH.
Tenaga Pengajar Fakultas Hukum
Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
Jl. Raya Jakarta KM 4 Pakupatan – Serang

PENDAHULUAN
            Kabupaten Serang merupakan salah satu wilayah kabupaten/kota di Provinsi Banten.  Mengenai permasalahan ketenagakerjaan, permasalahan yang muncul salah satunya adalah tentang perlindungan tenaga kerja anak. Anak adalah amanat dari Yang Maha Kuasa. Dalam tumbuh kembangnya anak harus mendapat perlakuan yang baik, tanpa ada intimidasi dalam bentuk fisik maupun psikis. Tumbuh kembang anak harus sesuai usia. Anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Hak tersebut telah diatur dalam Pasal 28B ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945.  Kondisi anak di Indonesia masih banyak yang belum terlindungi dengan baik. Faktor ekonomi orang tua merupakan salah satu faktor utama dalam meningkatkan kesejahteraaan anak. Faktor lemahnya ekonomi orang tua dapat menjadi penyebab anak menjadi tulang punggung orang tua untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarganya. Ini menjadi ironi, disatu pihak anak tidak boleh dieksploitasi, karena memang akan mengganggu tumbuh kembangnya baik secara fisik maupun psikis, di pihak lain anak dituntut untuk dapat membantu orang tua dalam mencari nafkah demi kehidupan.  Inilah yang mengakibatkan semakin banyakanya tenaga kerja anak. Khusus untuk tenaga kerja anak di Kabupaten Serang, tentang perlindungannya harus menjadi isu utama dalam menentukan kebijakan agar anak mendapat haknya dengan baik dan dapat menjalankan kewajibannya dengan baik pula.

PERLINDUNGAN TENAGA KERJA ANAK DI KABUPATEN SERANG
Definisi anak berdasarkan Pasal 1 angka 26 Undang-Undang No 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan adalah setiap orang yang belum berusia 18 tahun, hal ini dapat disimpulkan bahwa pekerja anak adalah mereka yang bekerja dalam range usia di bawah 18 tahun. Konvensi International Labour Organization (ILO) Nomor 138 Tahun 1973 mengenai usia minimum untuk diperbolehkan bekerja, yang telah diratifikasi oleh Indonesia dalam Undang-Undang No. 20 tahun 1999, terdapat dalam lampiran Undang-Undang tersebut menegaskan, bahwa usia minimum untuk diperbolehkan bekerja adalah tidak boleh kurang dari usia tamat wajib sekolah, dan dalam keadaan apapun tidak boleh kurang dari 15 (lima belas) tahun. Konvensi ini lebih lanjut menyatakan bahwa undang-undang nasional juga dapat mengizinkannya dipekerjakannya  mereka yang berusia yang sedikitnya 15 tahun tetapi belum menyelesaikan wajib sekolah, asalkan pekerjaan tersebut tidak membahayakan kesehatan dan perkembangan mereka, serta tidak memberikan kesulitan bagi mereka untuk bersekolah atau berpartisipasi dalam program latihan kejuruan.
Di Kabupaten Serang, berdasarkan pengamatan terdapat banyak pekerja anak yang bekerja di sektor perusahaan informal seperti perusahaan industri  dan buruh tani, pekerja anak ini banyak yang tidak terjamin hak-haknya. Berdasarakan http://www.tempo.co/read/news/2013/06/10 dipaparkan bahwa pemerintah pusat, telah melakukan penarikan pekerja anak di 21 Provinsi dan 89 kabupaten/kota di Indonesia sebanyak 32.000 pekerja anak. Program pengurangan pekerja anak ini, untuk mendukung program keluarga harapan (PPA-PKH). Anak ditarik dari pekerjaannya dikembalikan ke keluarganya agar dapat sekolah kembali secara formal. Untuk di Kabupaten Serang pada tahun 2013 ini, 90 pekerja anak terdata telah ditarik dari pekerjaannya agar dapat bersekolah secara formal untuk belajar di tingkat SD/SMP/SMA, madrasah, pesantren atau kejar paket. Hal ini merupakan langkah besar yang menunjukan bahwa Pemerintah Kabupaten Serang telah melakukan eksyen nyata untuk melindungi hak-hak anak agar tidak dieksploitasi oleh lingkungan dan agar mereka dapat berkembang sesuai usianya dengan baik. Kedepannya, diharapakan tidak hanya 90 orang anak saja yang diselamatkan dari “keterpurukan pendidikan” dan menjadi pekerja anak, karena dia harus menjadi tulang punggung keluarga. Pada usianya yang mencapai angka 487 tahun, semoga langkah ini menjadi komitmen nyata berkelanjutan yang dilakukan Pemerintah Kabupaten Serang dalam menyelenggarakan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan publik untuk mensejahterakan masyarakatnya. Dirgahayu Kabupaten Serang.


Senin, 07 Oktober 2013

KEMBALI KEPADA EKONOMI KERAKYATAN
Oleh: Ikomatussuniah, SH., MH.
Tenaga Pengajar Fakultas Hukum
Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
Jl. Raya Jakarta KM 4 Pakupatan – Serang
PENDAHULUAN
Indonesia, negara yang terkenal dengan sebagai negara kepulauan, berbagai macam suku adat dan bahasa. Karakteristik masyarakat yang sangat beragam dan kompleks mengakibatkan Indonesia menjadi negara yang eksklusif secara topografi dan demografi. Masyarakat yang terjalin dalam suatu asas Bhinneka Tunggal Ika, berbeda-beda akan tetapi satu jua. Berbeda-beda bahasa, bangsa, adat istiadat dan agama tidak mengakibatkan perpecahan, akan tetapi hal tersebut semakin memperkuat rasa persaudaraan dan persatuan bangsa. Dalam bermasyarakat tidak dipungkiri, terjalin hubungan perekonomian dalam rangka pemenuhan kebutuhan hidup keseharian mereka. Perekonomian yang merupakan suatu jalinan yang terintegrasi secara lahir dan bathin kaitannya untuk pemenuhan kebutuhan hidup ekonomis berupa pangan, sandang dan papan agar kesejahteraan para individu orang yang terkumpul dalam suatu lingkungan kelompok masyarakat tercapai, dilaksanakan dengan asas kebersamaan dan saling bahu membahu. Rasa gotong royong dan musyawarah mufakat dalam pengambilan keputusan untuk kepentingan bersama, selalu menjadi acuan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Pancasila, hal yang dipaparkan diatas oleh para stakeholders kemudian telah dirumuskan dalam sila kedua kemanusiaan yang adil dan beradab, sila ketiga persatuan Indonesia, sila keempat kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan perwakilan serta sila kelima keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Perekonomian yang terjalin berdasarkan hubungan sosial ekonomi rakyat yang baik antar masyarakat, menimbulkan suatu asas perekonomian yang berbentuk asas ekonomi kerakyatan. Ekonomi kerakyatan telah mendarah daging sejak zaman kerajaan Sriwijaya dan Majapahit, yang merupakan embrio kelahiran bangsa Indonesia. Ekonomi kerakyatan yang berkembang berasal dari suatu kebiasaan perekonomian yang disebut dengan barter. Barter merupakan suatu sistem dalam perdagangan. Barter adalah pertukaran langsung antara satu barang dengan barang lainnya, dimana orang menjual barang-barang dan mengerjakan jasa-jasa yang produktif untuk memperoleh barang-barang dan jasa-jasa lainnya secara langsung di dalam pertukaran (Syamsudin Mahmud, 1985: 1).
EKONOMI KERAKYATAN DALAM UUD 1945
Pergeseran asas perekonomian di Indonesia telah terjadi. Ekonomi liberal kapitalis, hal ini diakui atau tidak diakui, disadari atau tidak disadari telah menjadi dasar perekonomian di Indonesia kita dewasa ini. Kontrak pinjaman luar negeri, yang secara manis dan halus telah mengiming-imingi kemakmuran dengan konsep negara kesejahteraan, pada kenyataannya telah menjerumuskan seluruh rakyat Indonesia kejurang ekonomi liberal kapitalis. Ekonomi kerakyatan yang berdasarkan kekeluargaan yang selama ini digadang-gadang sebagai asas perekonomian Indonesia, telah bergeser perlahan tapi pasti kearah sistem liberal kapitalis, yaitu sistem ekonomi yang aset-aset produktif dan faktor-faktor produksinya sebagian besar dimiliki oleh individu atau swasta. Sementara tujuan utama kegiatan produksi adalah untuk mendapatkan keuntungan atau laba. Ciri-ciri dari sistem ekonomi liberal kapitalis antara lain: 
a. Masyarakat diberi kebebasan dalam memiliki sumber-sumber produksi.
b. Pemerintah tidak ikut campur tangan secara langsung dalam kegiatan ekonomi.
c. Masyarakat terbagi menjadi dua golongan, yaitu golongan pemilik sumber daya produksi dan masyarakat pekerja (buruh).
d. Timbul persaingan dalam masyarakat, terutama dalam mencari keuntungan.
e. Kegiatan selalu mempertimbangkan keadaan pasar.
f. Pasar merupakan dasar setiap tindakan ekonom.
g. Biasanya barang-barang produksi yang dihasilkan bermutu tinggi.
Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Amandemen keempat terpaparkan dalam pasal 33, tentang dasar perekonomian di Indonesia, yaitu:
(1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.
(2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak  dikuasai oleh negara.
(3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
(4) Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.****)
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang.****)

 Pada amandemen keempat UUD 1945 pasal (1), (2) dan (3) telah memberikan landasan perekonomian pro kesejahteraan rakyat, akan tetapi pada pasal 33 ayat (4) dan (5) dapat ditafsirkan sebagai landasan yang memberikan dasar tindakan melakukan perekonomian liberal kapitalis, yaitu dalam asas efisiensi berkeadilan. Disini dapat dilihat terdapat ambiguitas dari penentu kebijakan dalam menentukan arah kebijakan dalam perekonomian negara demi kesejahteraan rakyat. Lagi-lagi rakyat dipertaruhkan karena adanya “kepentingan” yang bermain didalam suatu kebijakan. Berharap pemangku kebijakan dapat lebih arif dalam menentukan arah kebijakan. Kembalikan arah kebijakan perekonomian yang terindikasi kearah liberal kapitalis ke khittah asas perekonomian bangsa Indonesia, yaitu perekonomian berbasis kerakyatan yang telah diamanatkan dalam pembukaan dan batang tubuh UUD 1945 sebelum amandemen keempat. Wallahu’alambisshawab.

Selasa, 14 Mei 2013


PEMBENAHAN SISTEM KERJA OUTSOURCING

Oleh: Ikomatussuniah, SH., MH.
Tenaga Pengajar Fakultas Hukum
Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
Jl. Raya Jakarta KM 4 Pakupatan – Serang
PEDAHULUAN
Berdasarkan laman www.bps.co.id yang diunduh pada tanggal 11 Desember 2012, Jumlah angkatan kerja di Indonesia pada Februari 2012 mencapai 120,4 juta orang, bertambah sekitar 3,0 juta orang dibanding angkatan kerja Agustus 2011 sebesar 117,4 juta orang atau bertambah sebesar 1,0 juta orang dibanding Februari 2011. Dari sekian banyak angkatan kerja yang produktif itu, banyak tenaga kerja yang merupakan tenaga kerja outsource. Prinsip outsourcing merupakan salah satu prinsip hubungan kerja yang dipakai di negara kita berdasarkan Undang-Undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Outsourcing adalah penyerahan pekerjaan tertentu suatu perusahaan kepada pihak ketiga yang dilakukan dengan tujuan untuk mengurangi resiko dan mengurangi beban perusahaan tersebut (Libertus Jehani, 2008:1). Outsourcing merupakan prinsip kerja yang didalamnya mencakup beberapa pihak yaitu perusahaan pemberi kerja, perusahaan penyedia tenaga kerja dan tenaga kerja itu sendiri. Sistem outsourcing sebenarnya sudah diatur dalam Pasal 1601b KUHperdata tentang pemborongan pekerjaan. Disebutkan bahwa pemborongan pekerjaan adalah suatu kesepakatan dua belah pihak yang saling mengikatkan diri, untuk menyerahkan suatu pekerjaan kepada pihak lain dan pihak lainnya membayarkan sejumlah harga. Pada Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sudah dinyatakan bahwa pemborongan pekerjaan tidak boleh dilakukan pada core business, sehingga aturan  ini mendorong perusahaan untuk melakukan penyerahan pekerjaan seperti satpam, cleaning service, catering kepada perusahaan penyedia tenaga kerja. Akan tetapi, di dalam undang-undang tersebut tidak dijelaskan arti dari core business itu sendiri, sehingga para pengusaha masing-masing dapat menafsirkan dari arti kata tersebut. Hal ini menimbulkan perbedaan kebijakan serta perlakukan terhadap para pekerja outsource antara perusahaan yang satu dengan perusahaan lainnya.


LANDASAN FILOSOFIS YURIDIS OUTSOURCING
Berdasarkan Pasal 27 ayat (2) UUD 1945, menyatakan “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. Prinsip outsourcing yang ada dan berlaku di Indonesia sekarang ini, terkesan bahwa hak-hak dasar sebagai manusia dari setiap tenaga kerja diabaikan. Perlakuan yang berbeda yang berbeda antara tenaga kerja outsource atau yang kerapkali di sebut sebagai tenaga kerja kontrak, berbeda dengan tenaga kerja tetap. Khususnya mengenai hak-hak dari tenaga kerja outsource tersebut. Diskriminasi upah, status kontrak sehingga tidak terjaminnya kepastian kerja bagi pekerja outsource, merupakan tanda bahwa tidak terlaksanakannya kaedah norma dalam UUD 1945 khususnya pasal 27 ayat (2) tersebut. Diskriminasi hak merupakan pencideraan terhadap hak atas pekerjaan yang layak bagi kemanusiaan. Salah satunya adalah tidak terjaminnya  kelangsungan kerja bagi pekerja kontrak. Karena setiap saat pekerja  dapat diberhentikan dan perusahaan tidak diharuskan membayar kompensasi PHK. Ciri bahwa ini merupakan pencideraan dari pasal 27 ayat (2) UUD 1945 lainnya adalah karena pada kenyataannya banyak sekali penyimpangan dalam sistem kontrak. Penyimpangan yang sering terjadi antara lain (Libertus Jehani, 2008: 4) : upah pekerja kontrak dibawah ketentuan UMR / UMP, pekerja kontrak tidak diikutsertakan dalam program Jamsostek, para pekerja kontrak dari perusahaan outsourcing bekerja pada bidang- bidang yang terus-menerus, perusahaan outsourcing nakal  baik langsung maupun tidak memungut uang dari calon pekerja, perusahaan outsourcing memotong upah para pekerjanya sendiri dan para pekerja kontrak tidak mendapat THR.
Penyimpangan-penyimpangan  tersebut sebenarnya sudah ada sanksi hukumnya. Beberapa penyimpangan,  seperti tindakan pengusaha yang memungut uang dari calon pekerja dan membayar upah dari ketentuan minimum dikategorikan sebagai kejahatan.  Namun,  karena pengawasan juga lemah, ketentuan tersebut seperti tidak ada artinya. Pada Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, mengenai definisi outsourcing ini terdapat dalam bentuk perjanjian kerja waktu tertentu atau disebut juga tenaga kerja kontrak. Pasal yang mengatur tentang outsourcing terdapat dalam Bab IV tentang Hubungan Kerja, yaitu  pasal 64 sampai 66 UU Ketenagakerjaan:
1.    Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh yang diibuat secara tertulis.
2.    Penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain dilaksanakan melalui perjanjian pemborongan pekerjaan yang dibuat secara tertulis. Pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan lain harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut; dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama, dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan, merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan serta tidak menghambat proses produksi secara langsung.
PEMBENAHAN SISTEM KERJA OUTSOURCING
Pada prinsip sistem kerja outsourcing sebetulnya kita tidak boleh antipati, prinsip ini jikalau dilakukan dengan pengaturan kebijakan yang proporsional dengan mempertimbangkan hak dan kewajiban yang semestinya bagi buruh dan pengusaha, maka prinsip ini dapat menguntungkan pengusaha dan buruh.  Sebenarnya sistem pengawasannyalah yang harus diperketat dan dipertegas oleh pemerintah, bukan menghapus outsourcing. Dasar utama dari tuntutan masayarakat, sebenarnya adalah mengenai jaminan hidup layak bukan penghapusan outsourcing-nya. Jaminan kehidupan bagi setiap warga negara untuk hidup layak dari pemangku kebijakan belum berpihak pada masyarakat. Hak-hak sebagai seorang warga negara untuk hidup layak dijamin oleh negara yang tertera dalam kaedah norma, masih sekedar tataran teori. Inilah permasalahan yang sebenarnya. Selain itu, ketidak patuhan para perusahaan penyedia dan pengguna jasa outsourcing-lah yang menyebabkan pelanggaran hak dari pekerja. Seperti di negara-negara lain, outsourcing tetap diperlukan karena terbukti meningkatkan efisiensi usaha dan menyerap tenaga kerja yang banyak (Koran Jakarta, 6/12/12). Oleh karena itu pemerintah harus merivisi UU Ketenagakerjaan secara komprehensif terkait mengenai pengaturan outsourcing. Peraturan Menteri Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Nomor 19 Tahun 2012 (Permen Outsourcing) telah diterbitkan. Aturan tersebut tetap membolehkan penggunaan alih daya pada jasa pembersihan (cleaning service), keamanan, transportasi, jasa boga dan migas pertambangan. Ada peraturan yang aneh disini, mengapa untuk migas pertambangan diperbolehkan menggunakan prinsip outsourcing, hal ini terkesan bermuatan politis dan terkesan berpihak pada pengusaha. Permen ini ternyata juga mengundang reaksi terutama dari Apindo. Mereka merasa pemerintah bertepuk sebelah tangan kepada pihak buruh. Pemerintah tidak melakukan koordinasi dengan pihak pengusaha dalam menentukan kategori pekerjaan core business dan non core business dalam penggunaan tenaga kerja alih daya atau outsourcing tersebut. Pada akhirnya, pemerintah sebagai mediator antara pengusaha dan pekerja seharusnya melindungi hak-hak dari kedua belah pihak tersebut secara proporsional. Kebijakan yang dikeluarkan akan menentukan arah pembangunan dan perikehidupan dalam berbangsa dan bernegara yang bertujuan untuk menciptakan negara yang sejahtera lahir dan batin. Pekerja merupakan warga negara yang haknya harus dilindungi, dan pengusaha merupakan partner pemerintah yang haknyapun harus terperhatikan. Seyogyanya, permasalahan outsourcing ini dibicarakan dan dimusyawarakan antara pemerintah sebagai pemangku kebijakan dengan pengusaha dan pekerja. Sehingga persepsi yang sama dalam suatu peraturan perundangan atau kebijakan dapat terwujud. Wallahu’alam bisshawaab.


Selasa, 09 April 2013


Pelaksanaan Tata Kelola Lingkungan Berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Dalam Mengatasi Kemacetan Dan Banjir Di Daerah Industri Cikande Serang[1]
Oleh: Ikomatussuniah, SH., MH
ABSTRAK
Untuk menganalisis pelaksanaan proses membangun pabrik di daerah Cikande pada tahapan pra konstruksi, konstruksi dan masa operasional sesuai dengan tata kelola lingkungan, penulis menggunakan cara penelitian kualitatif, dengan tipe penelitian empiris yaitu penelitian tentang hukum dan sifat penelitian bersifat deskriptif analitis. Penelitian tata kelola lingkungan pada pembangunan pabrik di daerah industri Cikande Kabupaten Serang sudah ideal, tetapi dalam pelaksanaannya tidak semua konsep tersebut berjalan baik. Kemacetan dan banjir menjadi masalah yang belum terpecahkan. Kemacetan yang terjadi dapat menyebabkan berkurangnya produktivitas kinerja para pegawai yang bekerja di area industri Cikande. Mereka sebelum sampai ditempat kerja, mereka sudah kelelahan karena macet yang terjadi. Banjir yang kerap terjadi karena meluapnya air dari sungai Ciujung ataupun dari saluran drainase yang mampet, menyebabkan keresahan bagi para investor karena dapat menyebabkan kerugian. Program Pemerintah dalam Pembangunan Berkelanjutan berdasarkan tata kelola lingkungan hidup haruslah mengacu pada konsep teori modern environment law. Modern environment law merupakan teori hukum lingkungan yang mengedepankan pelestarian lingkungan dalam pembangunan suatu daerah industri. Macet dan banjir dapat terurai dengan baik apabila masyarakat, pemerintah dan pengusaha menerapkan sistem tata kelola lingkungan yang baik berdasarkan peraturan perundang-undangan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang berlaku.  Sanksi yang tegas harus dilaksanakan agar tidak ada pengusaha nakal dan oknum pegawai pemerintah yang berlaku buruk sehingga merugikan masyarakat.
Kata kunci: tata, kelola, lingkungan, macet, banjir.
I.         PENDAHULUAN
       Perkembangan dunia industri di Indonesia sangat  pesat. Pengkajian mengenai rancang bangun suatu industri yang terbentuk dalam suatau pabrik harus memperhatikan semua aspek, termasuk aspek tata kelola lingkungan yang diatur oleh Undang-undang dan peraturan-peraturan  daerah. Hal ini tentu berkaitan dengan Hukum Lingkungan, yaitu hukum yang mengatur tatanan lingkungan (=lingkungan hidup).[2] Industri yang terbentuk dalam suatu bangunan pabrik yang didalamnya dilakukan kegiatan dan  usaha, dimungkinkan dapat menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup, meliputi: [3] 
a.    Pengubahan bentuk lahan dan bentang alam;
b.    Ekploitasi sumberdaya alam baik yang terbaharui maupun yang tidak terbaharui;
c.    Proses dan kegiatan yang secara potensial dapat menimbulkan pemborosan, pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup serta kemerosotan sumberdaya alam dan pemanfaatannya;
d.   Proses dan kegiatan yang hasilnya dapat mempengaruhi lingkungan alam, lingkungan buatan serta lingkungan sosial dan budaya;
e.    Proses dan kegiatan yang hasilnya dapat mempengaruhi pelestarian kawasan konservasi sumber daya alam dan/atau perlindungan cagar budaya;
f.     Introduksi jenis tumbuh-tumbuhan, jenis hewan dan jasad renik;
g.    Pembuatan dan penggunaan bahan hayati dan non hayati;
h.    Penerapan teknologi yang diperkirakan mempunyai potensi besar untuk mempengaruhi lingkungan hidup;
i.      Kegiatan yang mempunyai resiko tinggi dan/atau mempengaruhi pertahanan Negara.
       Karena itu setidaknya ada 3 alasan menjadi penting ketika membangun pabrik dilihat dari sisi tata kelola lingkungan, ditambah dengan adanya otonomi daerah, maka masalah lingkungan dalam pembangunan pabrik akan mendapatkan perhatian yang lebih serius.
       Ketiga alasan tersebut: pertama, dalam membicarakan proyek  kapital industri.[4] Proyek kapital pembangunan industri adalah suatu industri yang oleh American Institute of Chemical Enginees digolongkan sebagai industri yang didalam proses pengolahan atau pabrikasi dari bahan mentah menjadi produk yang diinginkan terjadi proses perubahan kimia (unit proces) dan atau fisika (unit operation).  Dilakukan dalam waktu bersamaan atau berurutan  dengan  cara terkoordinasi dalam peralatan yang keseluruhannya akan merupakan kilang atau fasilitas produksi/industri.  Kegiatan proyek pembangunan  industri diarahkan untuk melakukan perencanaan atau desain baik secara engeneering, ekonomi maupun tata kelola lingkungan, dalam tata kelola lingkungan potensi pencemaran terhadap lingkungan oleh suatu industri yang operasinya didasarkan atas adanya proses kimia dan fisika dianggap cukup besar, misalnya adanya pembakaran yang tidak sempurna sehingga terjadi penyebaran senyawa karbon yang dapat membahayakan lingkungan, atau mungkin terjadinya kebakaran bahan kimia yang beracun atau senyawa hidrokarbon yang mengalir atau tersebar kesekeliling  kilang dapat membahayakan kehidupan flora dan fauna ditempat tersebut. Oleh karena itu kilang industri itu harus dilengkapi dengan peralatan yang dapat memberikan  tanda adanya kebocoran yang mungkin terjadi agar tidak menyebar keluar kilang yang dapat membahayakan lingkungan sekitarnya.
       Kedua. Analisis mengenai dampak lingkungan hidup, disatu sisi merupakan studi kelayakan untuk melaksanakan suatu rencana usaha dan/atau kegiatan, disisi lain merupakan syarat yang harus dipenuhi untuk mendapatkan izin melakukan usaha dan atau kegiatan. Berdasarkan analisis dapat diketahui secara lebih jelas dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup, baik dampak negatif maupun positif yang akan timbul dari usaha dan atau kegiatan sehingga dapat dipersiapkan langkah untuk menanggulangi dampak negatif dan mengembangkan dampak positif.
       Berdasarkan Penjelasan Pasal 15 ayat (1) UU No. 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, untuk mengukur atau menentukan dampak besar dan penting tersebut, diantaranya digunakan kriteria mengenai: [5]
a.       Besarnya jumlah manusia yang akan terkena dampak rencana usaha dan/ atau kegiatan;.
b.      Luas wilayah penyebaran dampak;
c.       Intensitas dan lamanya dampak berlangsung;
d.      Banyaknya komponen lingkungan hidup lain yanga akan terkena dampak;
e.       Sifat kumulatif dampak;
f.       Berbalik (reversible) atau tidak berbalik (irreversible) dampak
        Pengelolaan limbah merupakan kegiatan yang meliputi pengurangan, penyimpanan, pengumpulan,  pengangkutan, pemanfaatan, pengolahan, dan/atau penimbunan.[6]
        Ketiga.  Berdasarkan penilaian Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan (Proper) 2009 terhadap kinerja 627 perusahaan, terdapat 56 perusahaaan berperingkat hitam, 48 perusahaan merah minus, 82 perusahaan merah, 229 perusahaan biru minus, 170 perusahaan biru, 41 perusahaan hijau, dan hanya satu perusahaan yang berperingkat emas.[7]
       Tindakan tegas bagi pencemar dan pelanggar lingkungan merupakan bentuk penerapan prinsip berkeadilan dalam  pengelolaan lingkungan, terutama dalam melindungi masyarakat dan lingkungan hidup. Setelah berlakunya Undang-undang baru, kedepan tidak hanya perusahaan berlabel hitam yang mendapat warning, tetapi juga perusahaan yang termasuk  daftar merah dan merah minus. Perusahaan-perusahaan itu bisa diperkarakan kemeja  hijau. Hal itu berdasarkan alasan perusahaan berperingkat merah hanya melakukan sebagian persyaratan pengelolaan lingkungan sesuai dengan Undang-undang, sedangkan peserta proper berperingkat  merah minus masih sedikit sekali melakukan pengelolaan lingkungan sesuai dengan Undang-undang. Sebelum dituntut secara hukum, perusahaan itu akan dibina terlebih dahulu. Perusahaan yang dua kali masuk daftar hitam akan mendapatkan pembinaan dari Deputi Penataan Hukum Kantor Negara Lingkungan Hidup. Pasalnya,  filosofi dasar proper adalah pembinaan dan pengawasan.[8]
       Pembangunan di daerah dalam kerangka program Pembangunan Nasional merupakan rangkaian upaya pembangunan yang berkesinambungan yang meliputi seluruh kehidupan masyarakat, bangsa dan negara untuk melaksanakan tugas mewujudkan tujuan nasional untuk mewujudkan negara kesejahteraan telah diamanatkan bahwa:[9]
a)      Negara berkewajiban memberikan perlindungan kepada segenap bangsa Indonesia dan seluruh wilayah teritorial Indonesia
b)      Negara berkewajiban memajukan kesejahteraan umum
c)      Negara berkewajiban mencerdaskan kehidupan bangsa.
Pelaksanakan pembangunan nasional perlu memperhatikan  pembangunan berkelanjutan [10]  secara seimbang, hal ini sesuai dengan hasil konfrensi  PBB tentang Lingkungan Hidup yang diadakan di Stockholm Tahun 1972 dan suatu Deklarasi Lingkungan Hidup KTT Bumi di Rio de Janeiro Tahun 1992 yang menyepakati prinsip dalam pengambilan keputusan pembangunan harus memperhatikan dimensi lingkungan dan manusia serta KTT Pembangunan Berkelanjutan di Johannesburg Tahun 2002 yang membahas dan mengatasi kemerosotan kualitas lingkungan hidup.
Bagi Indonesia mengingat bahwa kontribusi yang dapat diandalkan dalam menyumbangkan pertumbuhan ekonomi dan sumber devisa serta modal pembangunan adalah sumberdaya alam, dapat dikatakan bahwa sumberdaya alam mempunyai peranan penting dalam perekonomian, dan penerapannya harus memperhatikan apa yang telah disepakati dunia internasional.[11]
 Sejalan dengan lajunya pembangunan  nasional yang dilaksanakan, permasalahan lingkungan hidup yang saat ini sering dihadapi adalah kerusakan lingkungan di areal pertambangan yang berpotensi merusak bentang alam dan adanya tumpang tindih penggunaan lahan untuk pertambangan di hutan lindung. Kasus-kasus pencemaran lingkungan juga cenderung  meningkat. Kemajuan transportasi dan industrialisasi yang tidak diiringi dengan  penerapan teknologi bersih memberikan dampak negatif terutama pada lingkungan perkotaan.[12]
Berdasarkan PP No. 25 Tahun 2000 Tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi Sebagai Daerah Otonom khususnya mengenai lingkungan hidup, terdapat kewenangan otonomi kabupaten atau kotamadya, yang meliputi kewenangannya sebagai berikut:[13]
1.      Pemberian konsesi ( pemanfaatan/pengusahaan ) sumber daya alam yang berdampak pada keseimbangan daya dukung ekosistem dan masyarakat adat/setempat (penyelenggara perizinan).
2.      Pengendalian dampak dari suatu kegiatan terhadap sumber daya air, udara, tanah, termasuk melaksanakan pengawasan penataan sampai dengan penjatuhan sanksi administratif (pengendalian dampak lingkungan).
Banten merupakan daerah otonom. Berdasarkan kewenangan yang terdapat dalam PP diatas, Kecamatan Cikande merupakan wilayah admnistratif dari Kabupaten Serang Provinsi Banten. Pada daerah ini terdapat kawasan industri Serang Timur. Aktivitas yang terjadi di daerah Kawasan Industri Serang timur Cikande selain mempunyai dampak positif, ternyata dampak negatif dapat dirasakan pula. Penyerapan tenaga kerja dan aktivitas produksi yang dapat menghasilkan dan meningkatkan nilai ekonomis, taraf hidup serta kesejahteraan masyarakat merupakan hal positif yang dapat dirasakan, akan tetapi kerusakan lingkungan yang disebabkan aktivitas yang dilakukan, ternyata tidak dapat terelakkan. Perubahan bentang alam yang tak terkendali mengakibatkan kerusakan lingkungan. Hal tersebut dirasakan dengan timbulnya berbagai macam dampak negatif yang dirasakan oleh masyarakat sekitar. Dampak negatif tersebut diantaranya adalah banjir dan kemacetan yang ditimbulkan oleh buruknya penerapan tata kelola lingkungan sesuai dengan peraturan perundangan yang ada. Ini masih menjadi persoalan kita semua, mulai dari pemerintah, pengusaha serta masyarakat. Rencana Pemkab Serang untuk membangun jalan simpang susun, agar kemacetan dapat terurai,  dari tahun 2008 sampai sekarang belum terlaksana, karena banyaknya kendala yang dihadapi.
II.                KENDALA TATA KELOLA LINGKUNGAN YANG MENGAKIBATKAN BANJIR DI DAERAH CIKANDE
Dalam pelaksanaan pembangunan nasional yang berkelanjutan, sektor sumberdaya alam dan lingkungan hidup perlu memperhatikan penjabaran lebih lanjut mandat yang terkandung dari Program Pembangunan Nasional, yaitu pada dasarnya merupakan upaya untuk mendayagunakan sumberdaya alam yang dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat dengan memperhatikan kelestarian fungsi dan keseimbangan lingkungan hidup.  Pembangunan Berkelanjutan (World Summit on Sustainable Development – WSSD) di Johannesburg Tahun 2002[14], Indonesia aktif dalam membahas dan berupaya mengatasi kemerosotan kualitas lingkungan hidup, maka diputuskan untuk melaksanakan pembangunan yang berkelanjutan untuk kesejahteraan generasi sekarang dan yang akan datang dengan bersendikan pada pembangunan ekonomi, sosial budaya, lingkungan hidup yang berimbang sebagai pilar-pilar yang saling bergantung dan memperkuat satu sama lain. Pembangunann berkelanjutan mengandung makna jaminan mutu  kehidupan manusia dan tidak melampaui kemampuan ekosistem untuk mendukungnya. Konsep ini mengandung dua unsur: [15]
1.    Kebutuhan, khususnya kebutuhan dasar bagi golongan masyarakat yang kurang beruntung, yang amat perlu mendapatkan prioritas tinggi dari semua Negara.
2.    Keterbatasan. Penguasaan teknologi dan organisasi sosial harus memperhatikan keterbatasan kemampuan lingkungan untuk memenuhi kebutuhan manusia pada saat ini dan di masa datang.  
Hal ini mengingat visi pembangunan berkelanjutan bertolak dari Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 yaitu terlindunginya segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; tercapainya kesejahteraan[16]umum dan kehidupan bangsa yang cerdas; dan dapat berperannya bangsa Indonesia dalam melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.       
 Sesuai dengan Undang-undang No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan PP No. 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom, dalam bidang lingkungan hidup memberikan pengakuan politis melalui transfer otoritas dari pemerintah pusat ke daerah:
a.       Meletakan daerah pada posisi penting dalam pengelolaan lingkungan hidup.
b.      Memerlukan prakarsa lokal dalam mendesain kebijakan.
c.       Membangun hubungan interdependensi antar daerah.
d.      Menetapkan pendekatan kewilayahan.
       Dapat dikatakan bahwa konsekuensi pelaksanaan Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dengan PP No. 20 Tahun 2000  tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom, pengelolaan lingkungan hidup titik tekannya ada di daerah, maka kebijakan nasional dalam bidang lingkungan hidup secara eksplisit PROPENAS merumuskan program yang disebut sebagai pembangunan sumberdaya alam dan lingkungan hidup.
       Program itu mencakup: [17]
1.      Program Pengembangan dan Peningkatan Akses Informasi Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup.  Program ini bertujuan untuk memperoleh dan menyebarluaskan informasi yang lengkap mengenai potensi dan produktivitas sumber daya alam dan lingkungan hidup melalui inventarisasi dan evaluasi, serta penguasaan sistem informasi. Sasaran yang ingin dicapai melalui program ini adalah tersedia dan teraksesnya informasi sumber daya alam dan lingkungan hidup, baik berupa infrastruktur data spasial, nilai dan neraca sumberdaya alam dan lingkungan hidup oleh masyarakat luas di setiap daerah.
2.      Program Peningkatan Efektifitas Pengelolaan, Konservasi dan Rehabilitasi Sumber Daya Alam. Tujuan dari program ini adalah menjaga keseimbangan pemanfaatan dan pelestarian sumberdaya alam dan lingkungan hidup hutan, laut, air, udara dan mineral. Sasaran yang akan dicapai dalam program ini adalah termanfaatkannya suberdaya alam untuk mendukung kebutuhan bahan baku industri secara efisien dan berkelanjutan. Sasaran lain diprogram ini adalah terlindunginya kawasan-kawasan konservasi dari kerusakan akibat pemanfaatan sumberdaya alam yang tidak terkendali dan eksploitatif.
3.      Program Pencegahan dan Pengendalian Kerusakan dan Pencemaran Lingkungan Hidup. Tujuan Program ini adalah untuk meningkatkan kualitas lingkungan hidup dalam upaya mencegah kerusakan dan/atau pencemaran lingkungan dan pemulihan kualitas lingkungan yang rusak akibat pemanfaatan sumberdaya alam yang berlebihan, serta kegiatan industri dan transportasi. Sasaran program ini adalah tercapainya kualitas lingkungan hidup yang bersih dan sehat sesuai dengan baku mutu lingkungan yang ditetapkan.
4.      Program Penataan Kelembagaan dan Penegakan Hukum, Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Pelestarian Lingkungan Hidup. Program ini bertujuan untuk mengembangkan kelembagaan, menata sistem hukum, perangkat hukum dan kebijakan, serta menegakan hukum untuk mewujudkan pengelolaan sumber daya alam dan pelestariaan lingkungan hidup yang efektif dan berkeadilan. Sasaran program ini adalah tersedianya kelembagaan bidang sumber daya alam dan lingkungan hidup yang kuat dengan didukung oleh perangkat hukum dan perundangan serta terlaksannya upaya penegakan hukum secara adil dan konsisten.
5.      Program Peningkatan Peranan Masyarakat dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Pelestarian Fungsi Lingkungan Hidup. Tujuan dari program ini untuk meningkatkan peranan dan kepedulian pihak-pihak yang berkepentingan dalam pengelolaan sumbserdaya alam dan pelestarian fungsi lingkungan hidup. Sasaran program ini adalah tersedianya sarana bagi masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya alam dan pelestaraian fungsi lingkungan hidup sejak proses perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan, perencanaan, pelaksanaan sampai pengawasan. Sisi lemah dalam pelaksanaan peraturan perundangan lingkungan hidup yang menonjol adalah penegakan hukum. sehingga menimbulkan permasalahan lingkungan hidup. Sesuai dengan rencana Tindak Pembangunan Berkelanjutan dalam Perlindungan dan pengelolaan lingkungan Hidup dilakukan peningkatkan kualitas lingkungan melalui upaya pengembangan sistem hukum, instrumen hukum, penataan dan penegakan hukum termasuk instrumen alternatif, serta upaya rehabilitasi lingkungan. Kebijakan daerah dalam mengatasi permasalahan lingkungan hidup khususnya permasalahan kebijakan dan penegakan hukum yang merupakan salah satu permasalahan lingkungan hidup di daerah dapat meliput: [18]
a.       Regulasi Perda tentang lingkungan.
b.      Penguatan kelembagaan lingkungan hidup.
c.       Penerapan dokumen pengelolaan lingkungan hidup dalam proses perijinan.
d.      Sosialisasi/pendidikan tentang peraturan perundangan dan pengetahuan tentang lingkungan hidup.
e.       Meningkatkan kualitas dan kuantitas koordinasi dengan instansi terkait dan stakeholders.
f.       Pengawasan terpadu tentang penegakan hukum lingkungan.
g.      Memformulasikan bentuk dan macam sangsi pelanggaran lingkungan hidup.
h.      Peningkatan kualitas dan kuantitas sumberdaya manusia.
i.        Peningkatan pendanaan dalam pengelolaan lingkungan hidup.
j.        Regulasi Perda tentang lingkungan.
k.      Penguatan kelembagaan lingkungan hidup.
l.        Penerapan dokumen pengelolaan lingkungan hidup dalam proses perijinan.
m.    Sosialisasi/pendidikan tentang peraturan perundangan dan pengetahuan tentang lingkungan hidup.
n.      Meningkatkan kualitas dan kuantitas koordinasi dengan instansi terkait dan stakeholders.
o.      Pengawasan terpadu tentang penegakan hukum lingkungan.
p.      Memformulasikan bentuk dan macam sangsi pelanggaran lingkungan hidup.
q.      Peningkatan kualitas dan kuantitas sumberdaya manusia.
r.        Peningkatan pendanaan dalam pengelolaan lingkungan hidup.
        Kondisi lingkungan dari waktu ke waktu ada kecenderungan penurunan kualitas, penyebab utamanya yaitu karena pada tingkat pengambilan keputusan. Kepentingan pelestarian sering diabaikan sehingga menimbulkan adanya pencemaran dan kerusakan lingkungan[19]. Dengan terjadinya kerusakan dan pemcemaran lingkungan[20] ternyata juga menimbulkan konflik sosial maupun konflik lingkungan.
Berbagai permasalahan tersebut diperlukan perangkat hukum perlindungan terhadap lingkungan hidup. Secara umum telah diatur dengan undang-undang No.4 Tahun 1982. Namun berdasarkan pengalaman dalam pelaksanaan berbagai ketentuan tentang penegakan hukum sebagaimana tercantum dalam Undang-undang Lingkungan Hidup, maka dalam Undang-undang Pengelolaan Lingkungan Hidup diadakan berbagai perubahan untuk memudahkan penerapan ketentuan yang berkaitan dengan penegakan hukum lingkungan yaitu Undang-undang No.4 tahun 1982 diganti dengan Undang-undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup  dan diganti lagi dengan Undang-undang No.32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan diatur lebih lanjut dalam peraturan pelaksanaannya. Dalam penerapannya ditunjang dengan peraturan perundang-undangan yang sektoral. Hal ini mengingat pengelolaan lingkungan hidup memerlukan koordinasi dan keterpaduan secara sektoral dilakukan oleh departemen dan lembaga pemerintah non departemen sesuai dengan tugas dan tanggungjawab masing-masing, seperti Undang-undang No.22 Tahun 2001 tentang Gas dan Bumi, UU No.24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang  dan diikuti pengaturan lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, Keputusan Menteri, Peraturan Daerah maupun Keputusan Gubernur. [21]  
       Kemorosatan fungsi alam berupa banjir yang terjadi di daerah industri Cikande, Serang Timur, merupakan salah satu efek dari tidak terlaksananya rencana awal yang termaktub dalam berkas izin lingkungan berupa Amdal atau UKL/UPL. Berkas UKL/UPL merupakan berkas izin yang harus dilengkapi oleh seorang pengusaha ketika membuat atau membangun suatu industri atau pabrik. Pemaparan dalam berkas UKL/UPL haruslah meliputi pemaparan rencana yang akan dilakukan ketika seorang pengusaha akan melakukan kegiatan yang menyebabkan perubahan bentang alam dan diperkirakan akan ada pencemaran atau kerusakan lingkungan yang mungkin terjadi ketika melakukan kegiatan. Berkas UKL/UPL didalamnya terkandung pemaparan tentang masa pra konstruksi, masa konstruksi dan masa operasional yang akan dilakukan oleh pengusaha tersebut dalam melakukan aktivitas pembangunan dan opersional pabrik tersebut. Pada masa pra konstruksi, pada umumnya masa ini tidak mengakibatkan kerusakan bentang alam, karena pada masa ini, proses yang dilakukan adalah kegiatan pembebasan lahan, pematangan lahan dan proses perizinan. Masa konstruksi, dalam masa ini bersinggungan dengan bentang alam. Masa konstruksi kegiatan yang dilakukan merupakan proses pembangunan pabrik yang mengakibatkan banyak polusi udara, polusi suara dan bahkan kerusakan jalan yang diakibatkan karena banyaknya kendaraan berat yang keluar masuk untuk membawa barang-barang konstruksi, apabila pengaturan pembangunan tidak dilakukan dengan baik , dimungkinkan saluran drainase yang ada dapat tersumbat dan mengakibatkan banjir, oleh karena itu dalam masa konstruksi ini pembuatan drainase harus diperhatikan, dan daerah serapan air harus dibuat, agar air yang mengalir karena air limbah ataupun air hujan dapat tersalurkan dengan baik. Masa operasional, merupakan masa kegiatan yang dilakukan oleh pabrik tersebut dalam melakukan produksi. Daerah serapan air dan drainase yang telah dibuat, apabila tidak dapat menampung debit air ataupun saluran tersebut macet, maka akan mengakibatkan air meluap dan banjir.
III.     KEMACETAN DI DAERAH INDUSTRI CIKANDE – SERANG
Daerah Pancatama Idustrial Estate  Cikande Serang Banten berada di Kabupaten Serang, di Jalan Raya Jakarta-Serang.[22] Lokasi ini dipilih menjadi area penelitian karena di daerah ini setiap hari kerja selalu macet. Peneliti mengasumsikan bahwa kemacetan yang terjadi tidak hanya karena tempat  tersebut menjadi pusat industri sehingga banyak pekerja yang beraktivitas, namun hal tesebut dikarenakan belum terimplementasikannya tata kelola lingkungan yang baik di daerah industri tersebut. Untuk melakukan spesifikasi dan memudahkan penelitian apakah benar asumsi tersebut, peneliti  memilih melakukan penelitian terhadap UKL/ UPL dari salah satu pabrik yang ada di daerah Pancatama Industrial Estate. Dari hasil pemantauan dan wawancara, para pekerja merasakan kemacetan ketika akan berangkat ataupun pulang kerja. Kemacetan ini bisa berdampak pada ketidak  efisienan waktu. Banyak waktu kerja yang terbuang karena macet.  Setelah peneliti analisis, penumpukan kendaraan disatu jalur  jalan yang mengakibatkan kemacetan, juga dikarenakan adanya pasar-pasar sepanjang jalan utama menuju Cikande. Terlebih  pada setiap hari Senin dan Kamis, terdapat pasar harian yang mengakibatkan kemacetan lebih parah lagi. Kemacetan karena  banyaknya kendaraan juga mengakibatkan peningkatan polusi udara. Bahan  buangan karbondioksida yang dihasilkan dari kendaraan-kendaraan tersebut sudah tentu menambah polusi udara, dan membuat lingkungan serta kwalitas udara yang tidak nyaman. Selain kemacetan, karena tidak teraturnya sistem drainase di daerah industri tersebut, menyebabkan banjir sering terjadi, khususnya di musim penghujan. Hal tersebut sudah tentu akan mengurangi kwalitas hidup dari penduduk yang bertempat tinggal ataupun memilih beraktivitas di daerah tersebut.
Lokasi penelitian di Komplek Pancatama Leuwilimus, Cikande, Serang. Dalam peraturan daerah Kabupaten Serang No. 9 Tahun 2002 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah bahwa wilayah Desa Leuwilimus, Kecamatan Cikande dan Desa Nambo Ilir Kecamatan Kibin, merupakan daerah dengan peruntukan sebagai zona aneka industri. Pembangunan industri tersebut diharapkan dapat memberikan manfaat serta menciptakan lapangan pekerjaan baru, khususnya untuk tenaga kerja setempat dan sekitarnya, sehingga akan memberikan dampak positif bagi kehidupan sosial dan memacu laju pertumbuhan ekonomi di wilayah Kabupaten Serang.
 Pada waktu operasional pabrik dikawasan ini, akan terjadi kegiatan mobilisasi karyawan dan pengunjung serta transportasi barang, kegiatan tersebut akan mengakibatkan peningkatan volume lalu lintas di ruas jalan di dalam daerah Industri Pancatama Blok E-57 yang akan memberikan kontribusi terhadap pencemaran terhadap gas buang, debu dan kebisingan yang berasal dari kendaraan dan gangguan terhadap lalu lintas, aksesibilitas transportasi, dampak sosial serta keamanan disekitar kegiatan. Pembangunan pabrik merupakan kegiatan merubah fungsi lahan kosong menjadi bangunan yang nantinya akan membawa dampak perubahan lingkungan baik yang bersifat positif maupun negatif, maka berbagai dampak negatif penting yang mungkin timbul dapat diantisipasi dan dilakukan upaya pengelolaannya secara dini, sehingga kegiatan dapat berlangsung dengan baik.
IV.             PENUTUP
Faktor pelaksana peraturan yaitu masyarakat, pengusaha serta pemerintah daerah  masih banyak melanggar, hal ini menjadi kendala besar ketika peraturan yang sudah ada, tidak terimplementasikan. Faktor sanksi yang belum dilaksanakan secara tegaspun menjadi salah satu penyebab tata kelola lingkungan pabrik khususnya di daerah Industri serang Timur Cikande belum baik. Dari kesimpulan tersebut, penulis sarankan beberapa hal yang berkaitan dengan tata kelola lingkungan hidup di daerah Industri Pancatama Cikande Kabupaten Serang, sebagai bahan masukan, baik bagi masyarakat, pemerintah dan pihak swasta (investor), yaitu:
1.    Lokasi industri di daerah Cikande berpengaruh terhadap masyarakat dan lingkungan hidup pada umumnya. Kondisi ini tentu saja harus menjadi bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan yang berkaitan dengan Lingkungan Hidup, karena industri yang ada harus tetap menjaga sumber daya alam, sehingga pembangunan dapat berkelanjutan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Ini berarti sebelum suatu pabrik berdiri, seharusnya mereka lolos uji terlebih dahulu untuk mendapatkan izin lingkungan berupa Amdal dan UKL/UPL. Pemkab Serang harus jeli dan selektif dalam memberikan izin lingkungan kepada para investor sesuai peraturan perundangan yang berlaku.
2.    Masalah kemacetan lalu lintas, sebaiknya dilakukan koordinasi secara rutin antara para investor yang ada di area Industri Cikande dengan pemerintah daerah dalam hal ini Dinas Perhubungan Kabupaten Serang. Hal ini bisa dilakukan dengan cara pengaturan jam kerja antar pabrik. Agar tidak terjadi penumpukan kendaraan dan karyawan disatu waktu. Kemudian setiap pabrik menyediakan bus atau angkutan karyawan, sehingga mereka tidak membawa kendaraan sendiri, untuk mengurangi kemacetan. Pengaturan trayek dan tempat pangkalan angkutan umum yang jelas, sehingga angkutan umum tidak bertumpuk pada satu titik di sembarang area lokasi industri saja, yang dapat mengakibatkan terhambatnya arus lalu lintas. Ini diperlukan campur tangan pemerintah untuk mengaturnya dalam hal ini adalah Dinas Perhubungan Kabupaten Serang.
3.    Pemerintah Daerah Kabupaten Serang hendaknya segera merealisasikan program yang telah disusun semenjak tahun 2008 mengenai pembangunan jalur  alternatif jalan simpang susun  atau interchange ke arah area Industri Cikande tersebut. Jangan sampai ini tertunda lagi karena hal-hal atau kasus yang akhirnya merugikan masyarakat. Pemda Serang harus benar-benar mengawal program ini sampai dengan selesai sesuai dengan target waktu yang ditentukan pada tahun 2014 nanti. Merelokasi pasar-pasar yang berada di sepanjang jalan daerah industri Cikande, agar kemacetan dapat berkurang. Pembukaan lahan pemukiman khusus di daerah Cikande untuk para buruh atau karyawan yang berkerja di area tersebut. Untuk masalah banjir, sebaiknya pihak Dinas Pekerjaan Umum dan para pemilik pabrik selalu berkoordinasi, agar sistem drainase dibentuk dengan baik dan lebih banyak membuka ruang hijau seperti taman kota serta membuat sumur resapan. Dalam penegakan hukum lingkungan, para oknum harus diberi sanksi yang tegas, dengan pemberlakuan ketentuan sanksi sesuai peraturan perundangan yang berlaku.


DAFTAR PUSTAKA
Buku Teks:
Iman Soeharto. 1990, Manajemen Proyek Industri (Persiapan, Pelaksanaan, Pengelolaan). Erlangga.
Munadjat Danusaputro. 1985, Hukum Lingkungan, Buku I: Umum, Bina Cipta, Bandung.
Otto Soemarwoto. 2004, Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan, Djambatan, Jakarta.

P.Joko Subagyo. 1999, Hukum Lingkungan Masalah dan Penanggulangannya, Rineka Cipta, Jakarta.

Raihan. 2007, Lingkungan dan Hukum Lingkungan, Universitas Islam Jakarta, Jakarta.

Silalahi Daus. 2001, Hukum Lingkungan Dalam Sistem Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia, Alumni, Bandung.

Supriadi. 2006, Hukum Lingkungan Di Indonesia Sebuah Pengantar, Sinar Grafika, Jakarta.

Tesis, koran
Ikomatussuniah. 2011, Tesis: Implementasi Tata Kelola Lingkungan Hidup Dalam Pembangunan Pabrik Di Daerah Cikande Kabupaten Serang Provinsi Banten.
Koran Jakarta, 20 Oktober 2009.

Peraturan Perundang-undangan
Pembukaan UUD 1945
Undang-Undang Republik Indonesia No.32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.


Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan

Internet




[1]Disarikan dari tesis yang berjudul:Implementasi Tata Kelola Lingkungan Hidup Dalam Pembangunan Pabrik Di Daerah Cikande Kabupaten Serang Provinsi Banten”. Oleh Ikomatussuniah. SH., MH. 2011.
[2] Munadjat Danusaputro, Hukum Lingkungan, Buku I: Umum, Bina Cipta, Bandung, 1985, hlm.67.
[3] Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan.

[4] Iman Soeharto, Manajemen Proyek Industri (Persiapan,Pelaksanaan, Pengelolaan). Erlangga,1990, hlm.12

[5] Lihat Penjelasan Pasal 15 ayat (1) UU No. 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
[6] Pasal 1 ayat (23) Undang-Undang Republik Indonesia No.32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

[7] Koran Jakarta, 20 Oktober 2009.
[8]Koran Jakata, op. cit., hlm. 18
[9] Pembukaan UUD 1945 alinea ke-4.
[10] Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang RI No. 32 Tahun 2009.
[14] Lihat Supriadi, Hukum Lingkungan Di Indonesia Sebuah Pengantar, Sinar Grafika, Jakarta, 2006, hlm. 76.
[15] Ibid., hlm. 4
[16]  Ibid.
[17] Ibid., hlm. 5
[18]  Ibid. hlm. 6
[19] Lihat Otto Soemarwoto, Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan, Djambatan, Jakarta, 2004,  hlm. 221-257.
[20] Lihat P.Joko Subagyo, Hukum Lingkungan Masalah dan Penanggulangannya, Rineka Cipta, Jakarta, 1999, hlm. 16.
[21] Ibid
[22]http://www.google.co.id/#hlid&source=hp&biw=922&bih=359&q=lokasi+industri+di+cikande+serang.