Selasa, 14 Mei 2013


PEMBENAHAN SISTEM KERJA OUTSOURCING

Oleh: Ikomatussuniah, SH., MH.
Tenaga Pengajar Fakultas Hukum
Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
Jl. Raya Jakarta KM 4 Pakupatan – Serang
PEDAHULUAN
Berdasarkan laman www.bps.co.id yang diunduh pada tanggal 11 Desember 2012, Jumlah angkatan kerja di Indonesia pada Februari 2012 mencapai 120,4 juta orang, bertambah sekitar 3,0 juta orang dibanding angkatan kerja Agustus 2011 sebesar 117,4 juta orang atau bertambah sebesar 1,0 juta orang dibanding Februari 2011. Dari sekian banyak angkatan kerja yang produktif itu, banyak tenaga kerja yang merupakan tenaga kerja outsource. Prinsip outsourcing merupakan salah satu prinsip hubungan kerja yang dipakai di negara kita berdasarkan Undang-Undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Outsourcing adalah penyerahan pekerjaan tertentu suatu perusahaan kepada pihak ketiga yang dilakukan dengan tujuan untuk mengurangi resiko dan mengurangi beban perusahaan tersebut (Libertus Jehani, 2008:1). Outsourcing merupakan prinsip kerja yang didalamnya mencakup beberapa pihak yaitu perusahaan pemberi kerja, perusahaan penyedia tenaga kerja dan tenaga kerja itu sendiri. Sistem outsourcing sebenarnya sudah diatur dalam Pasal 1601b KUHperdata tentang pemborongan pekerjaan. Disebutkan bahwa pemborongan pekerjaan adalah suatu kesepakatan dua belah pihak yang saling mengikatkan diri, untuk menyerahkan suatu pekerjaan kepada pihak lain dan pihak lainnya membayarkan sejumlah harga. Pada Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sudah dinyatakan bahwa pemborongan pekerjaan tidak boleh dilakukan pada core business, sehingga aturan  ini mendorong perusahaan untuk melakukan penyerahan pekerjaan seperti satpam, cleaning service, catering kepada perusahaan penyedia tenaga kerja. Akan tetapi, di dalam undang-undang tersebut tidak dijelaskan arti dari core business itu sendiri, sehingga para pengusaha masing-masing dapat menafsirkan dari arti kata tersebut. Hal ini menimbulkan perbedaan kebijakan serta perlakukan terhadap para pekerja outsource antara perusahaan yang satu dengan perusahaan lainnya.


LANDASAN FILOSOFIS YURIDIS OUTSOURCING
Berdasarkan Pasal 27 ayat (2) UUD 1945, menyatakan “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. Prinsip outsourcing yang ada dan berlaku di Indonesia sekarang ini, terkesan bahwa hak-hak dasar sebagai manusia dari setiap tenaga kerja diabaikan. Perlakuan yang berbeda yang berbeda antara tenaga kerja outsource atau yang kerapkali di sebut sebagai tenaga kerja kontrak, berbeda dengan tenaga kerja tetap. Khususnya mengenai hak-hak dari tenaga kerja outsource tersebut. Diskriminasi upah, status kontrak sehingga tidak terjaminnya kepastian kerja bagi pekerja outsource, merupakan tanda bahwa tidak terlaksanakannya kaedah norma dalam UUD 1945 khususnya pasal 27 ayat (2) tersebut. Diskriminasi hak merupakan pencideraan terhadap hak atas pekerjaan yang layak bagi kemanusiaan. Salah satunya adalah tidak terjaminnya  kelangsungan kerja bagi pekerja kontrak. Karena setiap saat pekerja  dapat diberhentikan dan perusahaan tidak diharuskan membayar kompensasi PHK. Ciri bahwa ini merupakan pencideraan dari pasal 27 ayat (2) UUD 1945 lainnya adalah karena pada kenyataannya banyak sekali penyimpangan dalam sistem kontrak. Penyimpangan yang sering terjadi antara lain (Libertus Jehani, 2008: 4) : upah pekerja kontrak dibawah ketentuan UMR / UMP, pekerja kontrak tidak diikutsertakan dalam program Jamsostek, para pekerja kontrak dari perusahaan outsourcing bekerja pada bidang- bidang yang terus-menerus, perusahaan outsourcing nakal  baik langsung maupun tidak memungut uang dari calon pekerja, perusahaan outsourcing memotong upah para pekerjanya sendiri dan para pekerja kontrak tidak mendapat THR.
Penyimpangan-penyimpangan  tersebut sebenarnya sudah ada sanksi hukumnya. Beberapa penyimpangan,  seperti tindakan pengusaha yang memungut uang dari calon pekerja dan membayar upah dari ketentuan minimum dikategorikan sebagai kejahatan.  Namun,  karena pengawasan juga lemah, ketentuan tersebut seperti tidak ada artinya. Pada Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, mengenai definisi outsourcing ini terdapat dalam bentuk perjanjian kerja waktu tertentu atau disebut juga tenaga kerja kontrak. Pasal yang mengatur tentang outsourcing terdapat dalam Bab IV tentang Hubungan Kerja, yaitu  pasal 64 sampai 66 UU Ketenagakerjaan:
1.    Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh yang diibuat secara tertulis.
2.    Penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain dilaksanakan melalui perjanjian pemborongan pekerjaan yang dibuat secara tertulis. Pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan lain harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut; dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama, dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan, merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan serta tidak menghambat proses produksi secara langsung.
PEMBENAHAN SISTEM KERJA OUTSOURCING
Pada prinsip sistem kerja outsourcing sebetulnya kita tidak boleh antipati, prinsip ini jikalau dilakukan dengan pengaturan kebijakan yang proporsional dengan mempertimbangkan hak dan kewajiban yang semestinya bagi buruh dan pengusaha, maka prinsip ini dapat menguntungkan pengusaha dan buruh.  Sebenarnya sistem pengawasannyalah yang harus diperketat dan dipertegas oleh pemerintah, bukan menghapus outsourcing. Dasar utama dari tuntutan masayarakat, sebenarnya adalah mengenai jaminan hidup layak bukan penghapusan outsourcing-nya. Jaminan kehidupan bagi setiap warga negara untuk hidup layak dari pemangku kebijakan belum berpihak pada masyarakat. Hak-hak sebagai seorang warga negara untuk hidup layak dijamin oleh negara yang tertera dalam kaedah norma, masih sekedar tataran teori. Inilah permasalahan yang sebenarnya. Selain itu, ketidak patuhan para perusahaan penyedia dan pengguna jasa outsourcing-lah yang menyebabkan pelanggaran hak dari pekerja. Seperti di negara-negara lain, outsourcing tetap diperlukan karena terbukti meningkatkan efisiensi usaha dan menyerap tenaga kerja yang banyak (Koran Jakarta, 6/12/12). Oleh karena itu pemerintah harus merivisi UU Ketenagakerjaan secara komprehensif terkait mengenai pengaturan outsourcing. Peraturan Menteri Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Nomor 19 Tahun 2012 (Permen Outsourcing) telah diterbitkan. Aturan tersebut tetap membolehkan penggunaan alih daya pada jasa pembersihan (cleaning service), keamanan, transportasi, jasa boga dan migas pertambangan. Ada peraturan yang aneh disini, mengapa untuk migas pertambangan diperbolehkan menggunakan prinsip outsourcing, hal ini terkesan bermuatan politis dan terkesan berpihak pada pengusaha. Permen ini ternyata juga mengundang reaksi terutama dari Apindo. Mereka merasa pemerintah bertepuk sebelah tangan kepada pihak buruh. Pemerintah tidak melakukan koordinasi dengan pihak pengusaha dalam menentukan kategori pekerjaan core business dan non core business dalam penggunaan tenaga kerja alih daya atau outsourcing tersebut. Pada akhirnya, pemerintah sebagai mediator antara pengusaha dan pekerja seharusnya melindungi hak-hak dari kedua belah pihak tersebut secara proporsional. Kebijakan yang dikeluarkan akan menentukan arah pembangunan dan perikehidupan dalam berbangsa dan bernegara yang bertujuan untuk menciptakan negara yang sejahtera lahir dan batin. Pekerja merupakan warga negara yang haknya harus dilindungi, dan pengusaha merupakan partner pemerintah yang haknyapun harus terperhatikan. Seyogyanya, permasalahan outsourcing ini dibicarakan dan dimusyawarakan antara pemerintah sebagai pemangku kebijakan dengan pengusaha dan pekerja. Sehingga persepsi yang sama dalam suatu peraturan perundangan atau kebijakan dapat terwujud. Wallahu’alam bisshawaab.