Selasa, 25 Maret 2014

PENANGGUHAN PELAKSANAAN UPAH MINIMUM


Oleh: Ikomatussuniah, SH., MH.
Tenaga Pengajar Fakultas Hukum
Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
Jl. Raya Jakarta KM 4 Pakupatan – Serang

PENDAHULUAN
            Perburuhan, ketenagakerjaan tidak habis-habisnya menjadi persoalan di Negara ini. Keterkaitan ekonomi dan hukum dengan berbagai aspek kehidupan dalam ranah ketenagakerjaan atau perburuhan selalu menjadi perbincangan dan permasalahan yang terkesan tidak kunjung selesai dari tahun ke tahun, walaupun sebenarnya permasalahan yang timbul selalu sama dari tahun ke tahun, yaitu masalah upah minimum. Berdasarkan Permenakertrans No.7 tahun  2013 Tentang Upah Minimum, definisi upah minimum adalah upah bulanan terendah yang terdiri atas upah pokok termasuk tunjangan tetap yang ditetapkan oleh gubernur sebagai jaring pengaman. Sedangkan menurut Kepmen No.231 Tahun 2003, upah minimum adalah upah minimum yang ditetapkan oleh gubernur. Upah minimum terdiri atas UMP atau UMK dan UMSP atau UMSK. Penetapan Upah Minimum didasarkan pada Kebutuhan Hidup Layak (KHL) dengan memperhatikan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi. Upah minimum diarahkan pada pencapaian KHL. Pencapaian KHL merupakan perbandingan besarnya Upah Minimum terhadap nilai KHL pada periode yang sama. Untuk pencapaian KHL gubernur menetapkan tahapan pencapaian KHL dalam bentuk peta jalan pencapaian KHL bagi Perusahaan Industri Padat Karya Tertentu dan bagi perusahaan lainnya dengan mempertimbangkan kondisi kemampuan dunia usaha. Pada perkembangannya penetapan Upah Minimum Regional (UMR) yang ditandatangi oleh gubernur selalu ada kemungkinan gejolak penolakan penerapan upah dalam bentuk pengajuan penangguhan pelaksanaan upah minimum.
                                        

PENANGGUHAN PELAKSANAAN UPAH MINIMUM
            Pelaksanaan keputusan gubernur terkait penetapan upah tidak selalu berjalan seperti yang diharapkan. Gejolak penolakan dan ketidaksiapan pengusaha dalam mematuhinya terkadang membuat suasana menjadi tidak kondusif. Ketidaksesuaian pendapat ini haruslah diakomodir secara profesional. Lembaga tripartite yang terdiri atas pengusaha, buruh dan pemerintah harus dapat bermusyawarah sehingga dapat menghasilkan suatu keputusan terbaik yang dapat menyelesaikan permasalahan yang ada.  Salah satu ketidaksiapan pengusaha dalam penetapan upah adalah melaksanakan apa yang sudah menjadi kebijakan pemerintah terkait upah minimum yang termaktub dalam keputusan gubernur suatu daerah provinsi. Dalam teknis pelaksanaan, terhadap kasus tersebut terdapat alternative penyelesaian berupa permohonan penangguhan pelaksanaan upah minimum kepada gubernur. Dalam praktek memang pengusaha dilarang membayar upah pekerja lebih rendah dari upah minimum, akan tetapi dalam hal pengusaha tidak mampu membayar upah minimum, maka pengusaha dapat mengajukan penangguhan pelaksanaan upah minimum. Pengaturan penangguhan pelaksanaan upah minimum diatur tata caranya dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 231 Tahun 2003 tentang Tata Cara Penangguhan Upah Minimum. Permohonan penangguhan pelaksanaan upah minimum diajukan oleh pengusaha kepada gubernur melalui instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan Provinsi paling lambat sepuluh hari sebelum tanggal berlakunya upah minimum. Permohonan penangguhan didasarkan atas kesepakatan tertulis antara pengusaha dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh yang tercatat di instansi ketenagakerjaan.  Permohonan penangguhan pelaksanaan upah minimum harus disertai dengan :
a. naskah asli kesepakatan tertulis antara pengusaha dengan serikat pekerja/serikat buruh atau pekerja/buruh perusahaan yang bersangkutan;
b. laporan keuangan perusahaan yang terdiri dari neraca, perhitungan rugi/laba beserta penjelasan - penjelasan untuk 2 (dua) tahun terakhir;
c. salinan akte pendirian perusahaan;
d. data upah menurut jabatan pekerja/buruh;
e. jumlah pekerja/buruh seluruhnya dan jumlah pekerja/buruh yang dimohonkan penangguhan pelaksanaan upah minimum;
f. perkembangan produksi dan pemasaran selama 2 (dua) tahun terakhir, serta rencana produksi dan pemasaran untuk 2 (dua) tahun yang akan datang;
            Penangguhan yang disetujui oleh gubernur ditetapkan untuk jangka waktu paling lama 12 bulan. Penangguhan diberikan dengan:
a. membayar upah minimum sesuai upah minimum yang lama, atau;
b. membayar upah minimum lebih tinggi dari upah minimum lama tetapi lebih rendah dari upah minimum baru, atau;
c. menaikkan upah minimum secara bertahap.
Setelah berakhir izin penangguhan maka pengusaha wajib melaksanakan ketentuan upah minimum yang baru. Penolakan atau persetujuan atas permohonan penangguhan yang diajukan oleh pengusaha diberikan dalam jangka waktu paling lama satu bulan sejak diterimanya permohonan penangguhan secara lengkap oleh gubernur. Selama permohonan penangguhan dalam proses penyelesaian maka pengusaha tetap membayar upah yang biasa diterima oleh pekerja/buruh. Apabila permohonan penagguhan ditolak, maka upah yang diberikan  sekurang-kurangnya sama dengan upah minimum baru yang berlaku.

            Demikian pemaparan cara bagaimana melakukan penangguhan pelaksanaan upah minimum. Semoga dapat bermanfaat. 

SOSIALISASI PERMENAKERTRANS NOMOR 7 TAHUN 2013 TENTANG UPAH MINIMUM

SOSIALISASI PERMENAKERTRANS NOMOR 7 TAHUN 2013 TENTANG UPAH MINIMUM
Oleh: Ikomatussuniah, SH., MH.
Tenaga Pengajar Fakultas Hukum
Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
Jl. Raya Jakarta KM 4 Pakupatan – Serang



           PENDAHULUAN
            Mengenai Pengaturan Upah Minimum telah diatur dalam Permenaker RI Nomor: Per-01/MEN/1999 tentang Upah Minimum yang kemudian dicabut dengan dikeluarkannya Permenakertrans Nomor 7 tahun 2013 tentang Upah minimum, hal tersebut dinyatakan dalam Ketentuan Penutup bahwa pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor PER-01/MEN/1999 tentang Upah Minimum sebagaimana diubah dengan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor KEP.226/MEN/2000 tentang Perubahan Pasal 1, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 8, Pasal 11, Pasal 20, dan Pasal 21 Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor PER-01/MEN/1999 tentang Upah Minimum, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
PERMENAKERTRANS NOMOR 7 TAHUN 2013
            Upah Minimum merupakan upah bulanan terendah yang terdiri atas upah pokok termasuk tunjangan tetap yang ditetapkan oleh Gubernur sebagai jaring pengaman. Upah Minimum terdiri atas Upah Minimum Provinsi (UMP) atau Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) dan Upah Minimum Sektoral Provinsi (UMSP) atau Upah Minimum Sektoral Provinsi Kabupaten/Kota (UMSK). 
Penetapan upah minimum didasarkan pada kebutuhan hidup layak (KHL) dengan memperhatikan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi. Upah minimum diarahkan pada pencapaian KHL, yang merupakan perbandingan besarnya upah minimum terhadap nilai KHL pada periode yang sama. Untuk Pencapaian KHL gubernur menetapkan tahapan pencapaian KHL dalam bentuk peta jalan pencapaian KHL bagi Perusahaan Industri Padat Karya Tertentu dan bagi perusahaan lainnya dengan mempertimbangkan kondisi kemampuan dunia usaha. Langkah penyusunan peta jalan pencapaian KHL adalah:
a. menentukan tahun pencapaian Upah Minimum sama dengan KHL;
b. memprediksi nilai KHL sampai akhir tahun pencapaian;
c. memprediksi besaran nilai Upah Minimum setiap tahun;
d. menetapkan prosentase pencapaian KHL dengan membandingkan prediksi besaran   Upah Minimum dengan prediksi nilai KHL setiap tahun.
            UMP serentak per tanggal 1 November harus ditetapkan dan diumumkan oleh masing-masing gubernur. Selain UMP, gubernur dapat menetapkan UMK atas rekomendasi Dewan Pengupahan Provinsi dan rekomendasi Bupati/Walikota. UMK ditetapakan dan diumumkan oleh gubernur selambat-lambatnya tanggal 21 November setelah penetapan UMP, dan besaran UMK lebih besar dari UMP. Upah minimum yang ditetapkan oleh gubernur berlaku terhitung mulai tanggal 1 Januari tahun berikutnya. Untuk pengaturan selengkapnya dalam Permenakertrans tersebut, hal-hal yang menjadi point adalah:
a.       Bab I tentang Ketentuan Umum yang terdapat pada pasal 1 dan 2.
b.      Bab II tentang Dasar dan Wewenang penetapan Upah Minimum yang terdapat pada pasal 3 – 11.
c.       Bab III tentang Tata Cara penetapan Upah Minimum yang terdapat pada pasal 12 -14.
d.      Bab IV tentang Pelaksanaan Penetapan Upah Minimum yang terdapat pada pasal 15 -19.
e.       Bab V tentang Pengawasan yang terdapat pada pasal 20.
f.       Bab VI tentang Ketentuan penutup yang terdapat pada pasal 21 dan 22.

Terlepas dari pro dan kontra yang ada dengan dikeluarkannya Permenakertrans Nomor 7 Tahun 2013 ini, seluruh pihak yang berkepentingan dalam hal ini pihak pekerja, pengusaha dan pemerintah, diharapkan dapat bersinergi dengan baik, sehingga tercipta suasana yang kondusif dan dapat menciptakan iklim hubungan industrial yang positif.  Demikian sekelumit tentang pengaturan tentang upah minimum yang terkandung dalam Permenakertrans Nomor 7 Tahun 2013. Semoga bermanfaat. Wallahu’alambisshawaab.

Minggu, 23 Maret 2014

CLASS ACTION TERHADAP UTANG SWASTA BANTUAN LIKUIDASI BANK INDONESIA MENJADI UTANG NEGARA

CLASS ACTION TERHADAP UTANG SWASTA BANTUAN LIKUIDASI BANK INDONESIA MENJADI UTANG NEGARA

                                                                                       
Ikomatussuniah, SH., MH.
Fakultas Hukum Universitas Sultan Ageng Tritayasa
Jl. Raya Jakarta KM. 04 Pakupatan Serang

ABSTRACT
       Liquidation of Bank Indonesia Case Assistance in 1998, is still a mess. Ambiguity completion BLBI indicated since been spreading the cronies culture and corruption in Indonesia as well as the less of a forceful and law enforcement. The researcher examines that the transfer of BLBI debt private bankers turning to the country's debt. It is caused BLBI debt charged to the state. The debt principal and interest of the  debt rogue bankers, is paid from the state budget that comes from the tax. This is detrimental to people and the state, people can do a class action.

Keywords: bank, corruption, class action.

ABSTRAK
       Kasus Bantuan Likuidasi Bank Indonesia tahun 1998, sampai sekarang masih menjadi kemelut. Ketidakjelasan penuntasan kasus BLBI diindikasikan karena sudah menjalarnya budaya kroni dan korupsi di negara Indonesia serta ketidaktegasan aparat hukum dalam penegakan hukum. Dengan penelitian literatur, penulis menelaah tentang kasus BLBI yang mengalihkan utang para bankir swasta beralih menjadi utang negara. Hal ini menyebakan pembayaran utang BLBI dibebankan kepada negara, yaitu pada APBN. Utang para bankir berupa pokok dan bunganya, dibayarkan dari APBN yang berasal dari uang pajak. Ini merugikan rakyat dan negara, rakyat dapat melakukan class action.
Kata kunci: bank, korupsi, class action.

A.    Pendahuluan
Perbankan merupakan salah satu barometer dalam melakukan pembangunan yang bertujuan mewujudkan kesejahteraan. Kaitannya dengan kesejahteraan, melalui pengaturan keuangan yang dilakukan oleh perbankan, dengan pemerintah sebagai regulator, perbankan merupakan titik penting dalam mewujudkan perekonomian yang tangguh dan berkeadilan sosial sesuai dengan tujuan konsep negara kesejahteraan.   Perkembangan konsep negara hukum di masa sekarang telah membawa kepada konsep negara kesejahteraan yang erat kaitannya dengan peranan hukum administrasi negara. Hal ini dikarenakan dalam konsep negara kesejahteraan peran negara dan pemerintah semakin dominan.[1] Konsep negara kesejahteraan telah diamanatkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 pada alinea ke-4, bahwasanya pertama, negara berkewajiban membentuk suatu pemerintahan negara yang memberikan perlindungan kepada seluruh warga negara dan seluruh tumpah darah Indonesia yang terdiri atas seluruh wilayah teritorial Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kedua, negara berkewajiban memajukan kesejahteraan umum, baik dalam bidang ekonomi, sosial budaya, politik dan hukum. Ketiga, negara berkewajiban mencerdaskan kehidupan bangsa dengan memberikan kesempatan yang luas dan sama terhadap seluruh warga negara untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Keempat, Negara Indonesia sebagai bagian dari penduduk dunia, berkewajiban melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
 Perbankan Indonesia pada tahun 1997-1998 mengalami krisis karena terimbas krisis moneter yang terjadi di negara-negara Asia Tenggara lainnya. Krisis ini di perparah dengan gejolak politik. Bank-bank mengalami kesulitan likuiditas. Besarnya stock utang luar negeri swasta dan umumnya berjangka pendek serta minimya pengawasan pemerintah terhadap utang-utang yang dilakukan oleh pihak swasta dalam negeri yang berasal dari pinjaman swasta world bank, mengakibatkan utang swasta tersebut menjadi menumpuk sebesar 85% dari keseluruhan utang yang masuk ke dalam negeri. Untuk menanggulangi permasalahan yang terjadi khususnya dalam perbankan di Indonesia, pemerintah melalui Bank Indonesia melakukan skema bantuan atau pinjaman berupa Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) kepada bank-bank yang mengalami permasalahan likuditas pada saat krisis moneter 1998. Skema ini berdasarkan perjanjian yang dibuat antara pemerintah Indonesia dengan International Monetary Fund (IMF). Pada tahun 1998, BI menyalurkan BLBI sebesar Rp. 147, 7 trilliun kepada 48 bank. Berdasarkan audit BPK, terhadap penggunaan dana BLBI terdapat indikasi penyimpangan sebesar Rp. 130 triliun.[2] Saat ini utang BLBI berikut bunganya mencapai angka 650 triliun rupiah. Dan pembayaran pokok berikut bunganya menjadi tanggungan negara, bukan lagi tanggungan para pengemplang dana BLBI tersebut. Akumulasi cicilan pembayaran utang baik bunga maupun pokok selama 12 tahun (2000-2011) mencapai Rp. 1.843,10 triliun. Pembayaran cicilan pokok dan bunga rata-rata 25% dari APBN. Jikalau 25% anggaran ini digunakan untuk kesejahteraan rakyat, tentu akan lebih bermanfaat.[3] Ketidakmampuan pemerintah untuk mengendalikan dan menuntaskan kasus BLBI ini merupakan ciri ketidaktegasan pengambil kebijakan.  Presiden dalam hal ini sebagai penentu arah pemerintahan, ternyata dari periode ke periode pergantian tampuk kepemimpinan, tidak ada yang memberikan kontribusi jelas terhadap penyelesaian kasus BLBI ini. Wacana korupsi tentu sangat mungkin untuk digelontorkan dalam kasus ini, akan tetapi sampai sekarangpun Komisi Pemberantasan Korupsi belum juga dapat menuntaskan kasus BLBI ini. Ini juga merupakan salah satu kegagalan pemerintah dalam mewujudkan kesejahteraan umum. Salah satu kegagalan pemerintah dalam memenuhi hak konstitusional rakyat Indonesia berupa kesejahteraan adalah tingginya korupsi yang kemudian melahirkan ketidaksejahteraan bagi masyarakat.[4]
Perekonomian merupakan salah satu hal yang penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, bila perekonomian dengan disertai penegakan hukum yang baik maka tujuan negara mencapai negara kesejahteraan dapat terwujud. Kebijakan tentang perkonomian khususnya tentang perbankan, juga merupakan tugas pemerintah dalam melakukan tugasnya sebagai pelayan publik. Pemerintah melalui lembaga eksekutif dan legislatif, melakukan pengaturan keuangan dan alokasinya melalui berbagai kebijakan yang dikeluarkan yang terencana dalan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Kebijakan penggunaan dana APBN tersebut sepenuhnya dipergunakan untuk kesejahteraan seluruh masyarakat Indonesia, bukan untuk individu ataupun golongan saja. Konsep pengalihan utang berupa obligasi rekap BLBI sekarang ini, tentu tidak sesuai dengan Pancasila khususnya pasal kelima yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dan Pembukaan UUD 1945 aline ke-4. Kebijakan pemerintah yang mengalihkan utang swasta BLBI ke utang negara merupakan suatu bentuk keputusan atau ketetapan alat administrasi negara. Jika suatu keputusan alat admisnstrasi negara ternyata merugikan rakyat dan negara, maka rakyat dapat melakukan gugatan publik atau class action untuk memohon pembatalan pelaksanaan keputusan tersebut kepada Peradilan Tata Usaha Negara.
Dalam sudut tertentu, dalam negara kesejahteraan tugas pemerintah dalam menyelenggarakan kepentingan umum menjadi sangat luas. Untuk itu diperlukan keleluasaan untuk bergerak dalam administrasi negara sesuai kewenangan  yang diberikan. Dalam kenyataannya admininsrtasi negara dalam melaksanakan tugasnya itu terkadang melampaui batas wewenang yang ditetapkan dalam hukum administrasi negara. Maka indikasi korupsi dapat terjadi.[5]
Berdasarkan Ketentuan Umum Bagian Pertama Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986, gugatan adalah permohonan yang berisi tuntutan-tuntutan terhadap pengadilan untuk mendapatkan keputusan. Tergugat adalah Badan atau Pejabat TUN dan diajukan ke Pengadilan untuk mendapatkan keputusan. Gugatan dalam kasus BLBI dapat dilakukan dengan cara class action. Class action atau gugatan perwakilan kelompok. Dalam gugatan perwakilan (class action) terdiri atas seluruh anggota kelas (class representatives dan class members) sama-sama langsung mengalami atau menderita suatu kerugian dan tuntutannya dapat  berupa ganti kerugian berupa uang (monetary damage) dan/atau tuntutan pencegahan (remedy) atau tuntutan berupa perintah pengadilan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu (injunction) yang sifatnya deklaratif.[6] Dalam kasus BLBI ini, warga negara atau rakyat dapat mengajukan class action, karena memang telah merugikan rakyat dan negara.
Bertitik tolak pada latar belakang yang dikemukakan diatas, maka permasalahan inti dalam tulisan ini adalah pemaparan mengenai kasus BLBI yang merupakan utang swasta kemudian beralih kepada utang negara, ini merupakan indikasi korupsi yang harus dibuktikan karena telah merugikan rakyat dan negara, serta bagaimana pelaksanaan wacana class action terhadap kebijakan obligasi rekap tersebut agar rakyat dan negara terbebas dari kewajiban membayar utang BLBI.
B.     Pembahasan
1.      Pengambilalihan Utang Swasta Menjadi Utang Negara (Kasus BLBI)
Kasus BLBI dapat digolongkan kedalam kejahatan perbankan oleh bank, hal ini kemudian menjadi rumit ketika pemerintah merasa bahwa ini adalah tanggung jawab yang harus dipenuhi oleh pemerintah dalam rangka menstabilkan perekonomian negara dengan cara mengambil alih utang swasta perbankan menjadi kewajiban utang negara pada tahun 2000.  Kesalahan fatal terjadi pada 1 November tahun 2000. DPR, Pemerintah dan BI menetapkan keputusan politik menyangkut pembagian beban antara Pemerintah dan BI terhadap dana BLBI yang sudah dikucurkan. Ini merupakan awal pengalihan beban utang swasta menjadi beban utang negara.[7] Inilah awal konspirasi kroni politik yang berindikasikan korupsi, karena selanjutnya pembayaran utang beserta bunganya dibayarkan dari kas negara yaitu APBN. Ini merupakan suatu skandal besar, karena sudah jelas kejahatan BLBI menindas ekonomi rakyat. BLBI yang dimanipulasi menjadi utang negara dalam bentuk obligasi rekap perbankan sebesar 650 triliun rupiah  pada tahun 1998,  merupakan pangkal membengkaknya utang negara hingga mencapai 1.970 triliun rupiah. Beban utang inilah yang merampas hak rakyat untuk mendapat kesejahteraan dari uang pajak yang mereka bayarkan.[8] Korupsi BLBI membebani rakyat (Koran Jakarta; 15/10/2012) karena:[9]
Kerugian negara sebesar 650 trilun rupiah melebihi kerugian yang ada pada kasus korupsi lainnya. Pembayaran pokok dan bunga berbunga dari obligasi rekap BLBI sebesar 60 triliun rupiah dianggarkan dan dibayarkan dari APBN, dimana penerimaan terbesar APBN adalah dari pajak yang dibayarkan oleh rakyat. Logikanya, jika 60 triliun rupiah ini digunakan untuk program pro rakyat sehingga rakyat sejahtera, tentu uang ini lebih bermanfaat. Setiap generasi mendatang harus menanggung kewajiban pengemplang BLBI. Semua pengemplang BLBI berkewarganegaraan ganda. Utang Indonesia semakin membengkak karena skandal BLBI ini, sehingga setiap warga negara bahkan bayi yang baru lahirpun terhitung sudah harus menanggung utang.
Menurut Dr. IS.Susanto, SH dalam makalahnya berjudul “Tinjauan Yuridis Kejahatan Perbankan” menggolongkan tindak pidana perbankan kedalam tindak pidana korporasi. Secara umum tindak pidana korporasi dapat dibedakan atas, pertama, crimes for corporatian yakni pelanggaran hukum dilakukan oleh korporasi karena menginginkan tujuannya yakni mencari keuntungan dengan cara apapun. Kedua, criminal corporation yakni dibentuknya badan usaha memang ditujukan untuk melakukan perbuatan jahat (Dummy Corporation).[10] Dalam kasus BLBI ini dapat digolongkan pada kelompok pertama, crimes for corporation. Dalam kasus ini para bankir dengan cara apapun termasuk melakukan loby kepada para pengambil kebijakan untuk kepentingannya agar mereka terbebas dari kewajibannya mengembalikan dana BLBI yang mereka telah terima. Krisis yang terjadi pada industri perbankan pada tahun 1997, yang kemudian menyebabkan digelontorkannya dana Bantuan Likuidasi Bank Indonesia pada tahun 1998, merupakan indikasi yang memperlihatkan adanya kelemahan-kelemahan internal pada industri tersebut.[11]
Agar tidak terjerembab kedalam kemiskinan, maka obligasi rekap BLBI harus dihentikan. Pengelolaan utang pemerintah dinilai menyesatkan karena menempatkan pos utang dalam anggaran negara sebagai belanja tanpa ada perimbangan aset hasil dari belanja utang tersebut. Ini berarti rakyat hanya menanggung utang dan tidak menikmati belanja utang karena alokasi pembayaran utang sebesar Rp. 322,709 trilliun per tahun, hanya untuk menutupi kewajiban pengemplang dana BLBI.[12]  Oleh karena itu, demi keadilan untuk seluruh rakyat Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia 1945, pemerintah semestinya menghentikan pembayaran utang pengemplang dana BLBI yang berasal dari APBN, dimana sumber pendapatan APBN tersebut, sebagian besar berasal dari pajak yang dibayarkan oleh rakyat. Apabila hal ini tidak dihentikan, maka pemerintah dapat dinilai telah mengabaikan tanggung jawab menyejahterakan seluruh rakyat Indonesia tanpa terkecuali, khususnya rakyat kecil, karena ternyata pajak rakyat digunakan untuk membayar utang para obligor nakal dengan konsekuensi mengurangi alokasi anggaran yang seharusnya digunakan untuk kesejahteraan rakyat. Menurut Direktur Eksekutif Perkumpulan Prakarsa, Setyo Budiantoro menyatakan bahwa pembayaran obligasi rekap menyebabkan anggaran untuk pembangunan dikorbankan.[13]
Dalam kasus ini, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harus mengusut dugaan korupsi dalam manipulasi BLBI ini sampai tuntas. BLBI yang seharusnya adalah piutang negara, malah dibalik menjadi utang negara dalam bentuk obligasi rekapitalisasi perbankan yang diterbitkan pada tahun 1998. Negara harus menanggung bunga dan pokok obligasi yang akan jatuh tempo pada 2033. Hal ini dapat dikategorikan sebagai kejahatan keuangan yang merupakan hasil kolaborasi pihak luar, konglomerat hitam dan elite politik.[14] Penghapusan utang sudah merupakan pelanggaran hukum, akan tetapi ini lebih parah lagi dimana telah terjadi pengubahan piutang menjadi utang. Hal ini tentu menambah beban negara karena kerugian yang harus ditanggung negara akibat mengeluarkan dana untuk membayar bunga obligasi rekap setiap tahunnya dari APBN. Seharusnya pemerintah yang sekarang melakukan koreksi terhadap kebijakan pemerintah terdahulu yang membuat suatu kebijakan yang salah sehingga  menyengsarakan seluruh warga negara. Karena kesalahan kebijakan dari pemerintahan terdahulu, maka APBN tersandera oleh obligasi rekap. [15]
Telah dipaparkan bahwa obligasi rekap merupakan utang pengemplang dana BLBI. Untuk menyelesaikan kasus ini dan memberikan pijakan hukum, Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa piutang bank BUMN bukan piutang negara. Menurut Pakar Hukum Pidana Universitas Islam Indonesia, Mudzakir, menyatkan bahwa keputusan MK itu adalah perintah hukum yang harus ditaati dan dijalankan. Kalau memang piutang BUMN bukan piutang negara maka utang BUMN juga bukan utang negara.[16] Hal ini dapat menjadi acuan dasar dan pijakan bahwa melalui sistematika analogi, maka obligasi rekapitalisasi perbankan eks BLBI adalah utang swasta, bukanlah utang negara. Oleh karena itu, seharusnya obligasi rekap ditarik dan pembayaran pokok beserta bunga utang BLBI dari negara dihentikan. Keputusan MK dapat dijadikan dasar tindakan pemerintah dalam menyetop pembayaran obligasi rekap. Keputusan ini mempertegas bahwa utang swasta tidak pada tempatnya dibebankan kepada rakyat. Beban BLBI harus menjadi tanggung jawab pengemplang BLBI dan bukan tanggung jawab negara. BLBI merupakan dana talangan dari Bank Indonesia sehingga merupakan uang negara dan harus dikembalikan. Menurut Abdilla Fauzi Ahmad, anggota Komisi XI DPR-RI menyatakan: “Seharusnya pemerintah menyadari bahwa keberadaan obligasi rekap adalah fenomena yang tidak masuk akal. Pengemplang BLBI-lah yang berutang kepada negara, namun malah sekarang menagih kepada negara.”[17]
2.      Class Action
            Untuk dapat menuntaskan kasus BLBI ini, semua pihak harus mempunyai komitmen yang jelas dan tegas. Pemerintah harus menjalankan putusan yang telah dikeluarkan oleh MK, KPK harus tetap tegas dalam menjalankan tugas mulianya memberantas korupsi salah satunya mengusut skandal BLBI ini sampai tuntas. Tidak ada alasan bagi KPK untuk tidak menyelesaikan kasus BLBI. Terkait Masyarakat dapat melakukan class action terhadap keputusan atau ketetapan pemerintah yang berawal pada tanggal 1 November tahun 2000 dimana DPR, Pemerintah dan Bank Indonesia menetapkan keputusan politik menyangkut pembagian beban antara Pemerintah dan BI terhadap dana BLBI yang sudah dikucurkan.[18]
            Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986, istilah yang digunakan terhadap keputusan pemerintah yang bersifat administratif ini disebut keputusan tata usaha negara, yang dalam Pasal 1 angka 3 diberikan pengertian sebagai “suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara berdasarkan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual dan final, yang menimbulkan akibat-akibat hukum bagi seorang atau badan hukum perdata ”[19]  Syarat formil sahnya suatu ketetapan atau keputusan mencakup:[20]
a.       Alat perlengkapan negara yang membuat ketetapan itu haruslah alat perlengkapan negara yang berwenang.
b.      Dalam pembentukannya, kehendak alat perlengkapan negara yang membuat ketetapan tidak boleh ada kekurangan (bersifat yuridis).
c.       Ketetapan haruslah berdasarkan keadaan tertentu.
d.      Ketetapan harus dapat dilaksanakan dan tanpa melanggar peraturan-peraturan yang lain, menurut isi dan tujuannya sesuai dengan peraturan yang menjadi dasar ketetapan itu.

Sedangkan syarat materiil sahnya keputusan meliputi antara lain:[21]

a.       Syarat yang ditentukan berhubungan dengan persiapan dengan dibuatnya ketetapann dan berhubungan dengan cara dibuatnya ketetapan harus dipenuhi.
b.      Ketetapan harus diberi bentuk yang telah ditentukan di dalam peraturan yang menjadi dasar dikeluarkannya ketetapan tersebut.
c.       Syarat-syarat yang ditentukan berhubungan dengan dikeluarkannya ketetapan harus dipenuhi.
d.      Jangka waktu yang ditentukan timbulnya hal-hal yang menyebabkan dibuatnya ketetapan tidak boleh dilewati.

Dalam kasus penetapan dana BLBI yang merupakan penetapan keputusan politik pemerintah dimana utang swasta menjadi utang negara, secara persyaratan formal ketetapan tersebut telah melanggar peraturan-peraturan yang lain, yaitu Pancasila sila kelima dan Pembukaan UUD 1945 alinea ke-4. Sedangkan berdasarkan syarat materiil, ketetapan tersebut tidaklah diberi bentuk, karena keputusan BLBI menjadi tanggungan pemerintah hanyalah keputusan politik antara DPR, Pemerintah dan Bank Indonesia pada 1 November 2000. Hal ini telah mengindikasiakan bahwa sebenarnya keputusan tersebut mengalami kekurangan atau cacat. Kekurangan atau cacat dari suatu keputusan dapat menjadi sebab keputusan tersebut tidak sah (niet rechtgelding).[22]
            Ketetapan yang sah adalah ketetapan yang tidak mengandung kekurangan, dan ketetapan yang dengan sendirinya mempunyai kekuatan hukum dan kekuatan berlaku.[23] Menyangkut ketetapan tidak sah menurut Van Der Wel dalam uraiannya yang juga dikutip oleh Soehino berkesimpulan bahwa:[24]
1)      Ketetapan yang isinya sungguh sungguh tidak mungkin dapat dilaksanakan, dapat dianggap batal sama sekali.
2)      Ketetapan yang mengalami kekurangan dapat dipertimbangkan kekurangannya esensial atau tidak. Kalau tidak menimbulkan akibat apa-apa terhadap sah tidaknya maka kekurangan ini tidak esensial. Sedangkan terhadap kekurangan esensial haruslah dilihat kasus per kasus.

Dalam kasus BLBI ini, ketetapannya memiliki kekurangan esensial karena ketetapan yang dilakukan telah melanggar peraturan diatasnya yaitu ground norm Pancasila khususnya sila kelima, dan UUD 1945 khususnya Pasal 27 ayat (2) yaitu tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Karena keputusan mengambil alih utang swasta para bankir nakal menjadi utang negara ini, mengakibatkan alokasi dana untuk memberikan kehidupan yang layak bagi seluruh penduduk Indonesia demi terwujudnya kesejahteraan tidak dapat terwujud, karena dananya dipakai untuk membayar utang pengemplang dana BLBI. Terhadap kekurangan yang esensial ini, maka ketetapan ini mutlak tidak sah, dan terhadap hal ini tiap orang bisa menuntut pernyataan tidak sah dan tiap orang dapat  menuntut pembatalan.[25] Jalan yang ditempuh dapat melalui class action. Class action merupakan gugatan perwakilan kelompok. Gugatan ini dilakukan dikarenakan terdapat kesamaan kerugian dari pihak-pihak yang berkepentingan. Tentu dalam hal ini rakyat sangat dirugikan kepentingannya. Gugatan ini dapat dilakukan oleh satu atau sejumlah orang untuk membela haknya atau orang lain yang sama-sama menderita kerugian, tuntutannya dapat berupa ganti kerugian berupa uang, pemulihan atau berupa perintah pengadilan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang bersifat deklaratif. Ini berarti, class action dapat dilakukan dalam kasus pengalihan utang swasta BLBI menjadi utang negara, karena rakyat jelas dirugikan dalam keputusan ini. Ketetapan tentang BLBI ini merupakan ketetapan yang tidak menyenangkan bagi masyarakat, dan menimbulkan kerugian rakyat dan negara. Ketetapan atau keputusan ini merugikan masyarakat karena menimbulkan kerugian terhadap perorangan yang bertentangan dengan hukum secara luas dan kepentingan umum, dan karena pembuat ketetapan ini adalah alat perlengkapan administrasi tinggi, yaitu  DPR, pemerintah dan BI, maka dengan jalan class action permasalahan ini dapat diajukan kepada hakim administrasi untuk menentukan sah tidaknya dan memohon untuk pembatalannya.[26]
C.    Simpulan
            Kasus pengalihan utang swasta BLBI menjadi utang negara, berawal dari kebijakan  politis yang terjadi pada 1 November 2000 berupa keputusan bahwa DPR, Pemerintah dan BI menanggung sebagian pembayaran utang BLBI dari para obligor BLBI. Utang para obligor eks dana BLBI adalah sebesar 650 trilliun rupiah. Keputusan ini ternyata membawa bencana dalam pengelolaan anggaran negara yang terdapat dalam APBN. Pembebanan pembayaran utang bankir nakal tersebut telah membebankan anggaran keuangan negara yang terdapat dalam APBN sehingga anggaran negara pada tahun 2013 ini diperkirakan defisit. Utang Luar negeri semakin menumpuk dan telah mencapai 2000 trilliun rupiah, karena harus menanggung cicilan pokok dan bunga utang dana eks BLBI tersebut. Sungguh ironis, alokasi dana yang seharusnya dianggarkan untuk kepentingan masyarakat agar masyarakat dapat hidup layak sesuai dengan Pasal 27 UUD 1945, ternyata digunakan untuk membayar utang para pengemplang dana BLBI. Keputusan nasionalisasi utang tersebut tidak berbentuk, ini merupakan kesalahan fatal dalam suatu keputusan alat administrasi negara, ditambah lagi keputusan tersebut bertentangan dengan kepentingan umum. Untuk menyelesaikan kasus ini dan memberikan pijakan hukum, Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa piutang bank BUMN bukan piutang negara, ini berarti dapat diinterpretasikan bahwa utang swasta bukanlah  utang negara, maka Keputusan MK dapat dijadikan dasar tindakan pemerintah dalam menyetop pembayaran obligasi rekap. Jikalau pemerintah masih tidak memperdulikan keputusan MK tersebut, maka rakyat melalui gugatan keterwakilan atau yang biasa disebut class action dapat mengajukan gugatan berupa pembatalan pemberlakuan keputusan pengalihan utang swasta BLBI ke utang negara kepada PTUN, dikarenakan cacat hukum.

DAFTAR PUSTAKA

Buku
Astuti, Puji. 2011, Hukum Tata Pemerintahan, Jakarta: Universitas Terbuka.

Ridwan, Juniarso dan Achmad Sodik Sudrajat. 2010, Hukum Administrasi Negara Dan Kebijakan Pelayanan Publik,  Bandung: Nuansa.

Sitompul, Zulkarnain. 2007, Lembaga Penjamin Simpanan Substansi dan Permasalahan, Bandung: Book Terrace & Library.
Sulaiman, Robintan. 2001, Otopsi Kejahatan Bisnis, Jakarta: Pusat Studi Hukum Bisnis Fakultas   Hukum Universitas Pelita Harapan.


Undang-Undang

Undang Undang Dasar 1945

--------------------------, Nomor 5 tahun 1986 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

Jurnal, majalah, koran

Ikomatussuniah, Artikel berjudul “Salah Kaprah; Kebijakan Pemerintah Yang Mengalihkan Utang Swasta Dana BLBI Menjadi Utang Negara”. Majalah Dinamika Kabupaten Serang,  vol. 36 No. 4, triwulan IV, 2012. Serang: CV. Alfa Pratama Mandiri.


Ridwan, “Peran Lembaga Pendidikan Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia”, Jurnal Dinamika Hukum, vol. 12 No 3, September 2012,  Jawa Tengah: Fakultas Hukum Universitas Jendral Soedirman.

Koran Jakarta, terbit pada tanggal 15/10/2012.

-----------------, Tagih Utang Kepada Obligor BLBI, terbit pada tanggal 6/9/2012.

-----------------, Pembayaran Obligasi rekap Miskinkan Generasi Mendatang, terbit pada tanggal 7 September 2012.


-----------------, Cuma Soal Waktu, RI Ambruk Akibat Beban Utang, terbit pada tanggal 17 September 2012. 

-----------------, KPK Mesti Usut Dugaan Korupsi Manipulasi Utang BLBI, terbit pada tanggal 15 September 2012.

-----------------, Putusan MK Haruskan Negara Hentikan Obligasi Rekap, terbit pada tanggal 1 Oktober 2012.

-----------------, Putusan MK Bisa Jadi Pijakan Hentikan Obligasi Rekap, terbit pada 29 September 2012.

Internet






[1]   Juniarso Ridwan dan Achmad Sodik Sudrajat, 2010, Hukum Administrasi Negara Dan Kebijakan Pelayanan Publik,  Bandung: Nuansa, hlm. 52-53.
[2]   Ikomatussuniah,  Artikel berjudul “Salah Kaprah; Kebijakan Pemerintah Yang Mengalihkan Utang Swasta Dana BLBI Menjadi Utang Negara”. Majalah Dinamika Kabupaten Serang,  vol. 36 No. 4, triwulan IV , 2012, Serang: CV. Alfa Pratama Mandiri, hlm. 4.

[3]   Ibid. hlm. 4-5.
[4]   Ridwan, “Peran Lembaga Pendidikan Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia”, Jurnal Dinamika Hukum, vol. 12 No 3, September 2012,  Jawa Tengah: Fakultas Hukum Universitas Jendral Soedirman, hlm. 548.
[5]   Juniarso Ridwan, 2010, Hukum Adminstrasi..., op.cit., hlm. 61.
[7]   Ikomatussuniah, “Salah Kaprah...”, op.cit. hlm. 5.
[8]   Ibid.
[9]   Koran Jakarta, terbit pada tanggal 15/10/2012, hlm. 1.
[10]  Lihat Robintan Sulaiman, 2001, Otopsi Kejahatan Bisnis, Jakarta: Pusat Studi Hukum Bisnis Fakultas   Hukum Universitas Pelita Harapan,  hlm. 75.
[11]   Zulkarnain Sitompul, 2007, Lembaga Penjamin Simpanan Substansi dan Permasalahan, Bandung: Book Terrace & Library, hlm. 21.
[12]   Koran Jakarta, Artikel berjudul “Tagih Utang Kepada Obligor BLBI”, terbit pada tanggal 6/9/2012, hlm. 1.
[13]  Koran Jakarta, Artikel berjudul “Pembayaran Obligasi rekap Miskinkan Generasi Mendatang”, terbit pada tanggal 7 September 2012, hlm. 1.
[14]  Koran Jakarta, Artikel berjudul “Cuma Soal Waktu, RI Ambruk Akibat Beban Utang”, terbit pada tanggal 17 September 2012, hlm. 1. 
[15]   Koran Jakarta, Artikel berjudul “KPK Mesti Usut Dugaan Korupsi Manipulasi Utang BLBI”, terbit pada tanggal 15 September 2012, hlm. 1.
[16]   Koran Jakarta, Artikel berjudul “Putusan MK Haruskan Negara Hentikan Obligasi Rekap”, terbit pada tanggal 1 Oktober 2012, hlm. 1.
[17]  Ibid.
[19]  Lihat Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 tahun 1986 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
[20]   Puji Astuti. 2011, Hukum Tata Pemerintahan, Jakarta: Universitas Terbuka.hlm. 3.20.
[21]  Ibid. hlm. 3.23.
[22]   Ibid.
[23]   Ibid. hlm. 3.24.
[24]   Ibid, hlm. 3.25.
[25]   Ibid. hlm. 3.26.
[26] Ibid. hlm. 3. 27.