Minggu, 19 April 2015

PRO KONTRA REFORMULASI GBHN SEBAGAI REFERENSI MAKRO PENYELENGGARAAN NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA


PRO KONTRA REFORMULASI GBHN SEBAGAI REFERENSI MAKRO PENYELENGGARAAN NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA
Ikomatussuniah, SH., MH.
Fakultas Hukum Universitas Sultan Ageng Tritayasa 
Jl. Raya Jakarta KM. 04 Pakupatan Serang
A.    Pendahuluan
Pelaksanaan sistem penyelenggaraan negara terkait visi misi dan program pemerintahan yang sekarang dirasakan tidak berkesinambungan dari setiap pergantian kekuasaan, menimbulkan wacana untuk reformulasi GBHN. Sebagai bahan pemikiran, pada era Presiden Soeharto, beliau menerapkan manajemen modern terkait perencanaan pembangunan nasional dengan melaksanakan empat kegiatan kunci dari menajemen universal, yaitu POAC. Planning, organizing, actuating, Controlling. Perencanaan (planning) dilaksanakan dengan belbagai tingkat mulai dari Penahapan Pembangunan Jangka Panjang (PJPT, 25 tahun), jangka menengah (Pelita, 5 tahun), dan jangka pendek (GBHN, satu tahun). Pengorganisasian (organizing) dilakukan sejak tahap perekrutan sumber daya manusia hingga penataan struktur organisasi. Perwujudannya (actuating) dimulai sejak tahap pengambilan keputusan hingga pelaksanaan pembangunan di lapangan. Sementara kontrol (controlling) dilakukan selain untuk menjaga agar hasil tidak jauh berbeda dengan perencanaan, juga untuk mendapat analisa karya (Riant Nugroho Dwidjowijoto, 1996:XXVI). Terkait wacana tersebut, dewasa ini terdapat pro kontra terkait pelaksanaan program penyelenggaraan negara tentang apakah kembali kepada GBHN ataukah dilanjutkan dalam Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 25 tahun 2004 yang kemudian secara spesifik tentang RPJPN pengaturannya terdapat di Undang-Undang Nomor 17 tahun 2007 tentang Rencana Pembanguunan Jangka Panjang Nasional.
B.     Pembahasan
1.      Pro Reformulasi GBHN Sebagai Referensi Makro Penyelenggaraan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sebelum amandemen, UUD terdiri atas pembukaan, batang tubuh dan penjelasan, ketiga bagian tersebut merupakan satu kesatuan yang mengikat lembaga negara dan seluruh masyarakat Indonesia. Dalam pra amandemen, tugas MPR sebagai pemegang kekuasaan tertinggi adalah (Syahrial Sarbaini, 2011:124) :
a)      Menetapkan Undang-Undang Dasar (Pasal 3)
b)      Menetapkan Garis-Garis Besar Haluan Negara (Pasal 3)
c)      Memilih Presiden dan Wakil Presiden (Pasal 6 ayat (2))
Wewenang MPR, antara lain:
a)      Membuat putusan yang tidak dapat dibatalkan oleh lembaga negara lain, termasuk penetapan GBHN;
b)      Meminta pertanggungjawaban Presiden mengenai pelaksanaan GBHN dan menilai pertanggungjawaban tersebut;
c)      Mencabut kekuasaan dan memberhentikan Presiden dalam masa jabatannya apabila Presiden sungguh-sungguh melanggar GBHN dan/atau UUD;
d)     Mengubah UUD.
GBHN adalah singkatan dari Garis-Garis Besar Haluan Negara, GBHN dalam UUD tersebut ditetapkan oleh MPR, dan MPR meminta pertanggungjawaban Presiden, menilainya bahkan memberhentikan Presiden jika melanggar terkait pelaksanaan GBHN tersebut. Disini dapat dianalisa, bahwa GBHN merupakan referensi makro penyelengaraan negara yang telah ditetapkan oleh MPR sebagai lembaga tertinggi pada saat itu. MPR merupakan penjelmaan dari seluruh rakyat Indonesia dan melaksanaka kedaulatan rakyat Indonesia. Hal ini sesuai dengan Pasal 1 ayat (2) yang menyatakan “Kedaulatan adalah ditangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.” Pola umum pembangunan nasional dalam GBHN adalah (Ucu Syarief, 2011):
a)      Menyeluruh, bahwa pembangunan dilaksanakan sesuai dengan arah sebagaimana yang telah digariskan GBHN.
b)      Terarah, bahwa pembangunan dilaksanakan sesuai dengan arah sebagaimana yang telah digariskan GBHN
c)      Terpadu, bahwa terpadu antara program pembangunan juga bahwa pelaksanaan pembangunan dilaksanakan atas kerja sama antara berbagai intansi pemerintah dan pemerintah dengan masyarakat.
d)     Berlangsung secara terus menerus, bahwa pembangunan itu berlangsung selama kurun waktu yang sangat panjang dengan tiap-tiap yang berlanjutan.
GBHN merupakan refrensi makro penyelenggaraan negara. GBHN yang merupakan representasi program pemerintah dan rakyat secara terpusat dan berkesinambungan sehingga visi, misi, tujuan dan program negara dapat dilaksanakan sesuai yang diamanatkan dalam Pancasila dan UUD 1945. Beberapa pertimbangan GBHN dirasakan perlu disusun dan direformulasi kembali antara lain:
a.    Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) yang dibuat pemerintah melalui DPR hanya mewakili partai. Berbeda dengan GBHN yang merupakan amanat rakyat (Republika,12/06/2013).
b.    Penahapan Pembangunan Jangka Panjang dalam GBHN mencapai jangka waktu sampai dengan 25 tahun (Riant Nugroho Dwidjowijoto, 1996:XXVI), sedangkan RPJP hanya 20 tahun (Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025).
c.    Landasan pembangunan dalam GBHN merupakan kesepakatan bersama antara pemerintah dan MPR sebagai penjewantahan rakyat dalam melaksanakan visi, misi, tujuan dan program pemeritahan sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945.
d.    Dalam RPJP Landasan pembangunan tersebut dinilainya sempit karena hanya menekankan pada visi presiden atau kepala daerah yang terpilih. Jangka waktunya sama dengan masa jabatan tersebut sehingga tidak efektif (Republika,12/06/2013).
e.    GBHN merupakan landasan operasional pembangunan yang memanfaatkan kekuataan modal sosial dalam bentuk pernyataaan kehendak rakyat secara menyeluruh dan terpadu dengan cara perencanaan yang efektif, efisien dan berkesinambungan.
f.     GBHN memiliki pola umum pembangunan dan visi misi yang jelas dan terarah tanpa melihat pergantian kekuasaan.
Berdasarkan pemaparan diatas, maka konsekuensi logis dari reformulasi GBHN terkait peran dan fungsi MPR, maka kedudukan, tugas dan wewenang MPR dalam konstitusi harus direformulasi kembali.
2.      Kontra Reformulasi GBHN Sebagai Referensi Makro Penyelenggaraan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Hilangnya GBHN tidak membuat Indonesia kehilangan pegangan perencanaan pembangunan sama sekali. Karena:
a.       Melalui UU No. 25 tahun 2004 tentang rencana pembangunan nasional, dirumuskanlah beberapa pokok program pembangunan dan institusi penopangnya. Perencanaan pembangunan setingkat REPELITA, kini dirumuskan ulang sebagai Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) dengan alokasi waktu lima tahun. Sementara, RPJM ini disusun berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) yang berlangsung selama 20 tahun.
b.      Apabila MPR adalah pihak yang berwenang merumuskan GBHN, maka yang berwenang merumuskan RPJP dinyatakan dalam ketentuan umum Pasal 1 butir 21 dari Undang-Undang tersebut: “Musyawarah Perencanaan Pembangunan yang selanjutnya disingkat Musrenbang adalah forum antarpelaku dalam rangka menyusun rencana pembangunan Nasional dan rencana pembangunan Daerah.” Musrenbang adalah pihak yang punya wewenang untuk merumuskan RPJP: musrenbang daerah berwenang untuk merumuskan RPJPD, sementara musrenbang nasional berwenang untuk merumuskan RPJPN. Oleh karena keanggotaan musrenbang mencakup semua warga masyarakat tanpa kecuali, maka skema perencanaan yang diturunkan dari UU No. 25 tahun 2004 ini dapat dilihat sebagai model pembangunan ekonomi yang lebih demokratis (Widiyanto dan Syafa’atun Kariadi, 2011:116-146).
c.       Seperti halnya GBHN, musrenbang penentuan RPJP, RPJD dan RPJN merupakan terbuka ruang dimana masyarakat dapat mengintervensi secara politik, melalui gagasannya sendiri, jalan pembangunan yang telah ditetapkan pemerintah sejak Orde Baru. RPJPN hasil musyawarah perencanaan pembangunan di tingkat nasional berhasil dirumuskan pada tahun 2005 dan dibakukan ke dalam UU No. 17 tahun 2007 tentang “Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005-2025”. 
C.    Penutup
Berdasarkan pemaparan diatas dapat diambil kesimpulan bahwa pro kontra terhadap reformulasi GBHN ditinjau dari peran dan fungsi MPR dalam sistem perencanaan pembangunan nasional dapat ditinjau dari berbagai segi. Berdasarkan hal tersebut apa yang terdapat di GBHN sama dengan RPJPN. Tinggal pelaksanaannya saja yang harus dimaksimalkan agar visi, misi, tujuan dan program pembangunan nasional dapat terlaksana sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945. Wallahu’alam bisshawaab.