Senin, 16 Mei 2016

SISTEM PENGUPAHAN INDONESIA YANG BERKEADILAN SOSIAL
Ikomatussuniah, SH., MH
Tenaga Pengajar Fakultas Hukum
Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
Jl. Raya Jakarta Km. 04 Pakupatan-Serang



A.      Pendahuluan

       Ketenagakerjaan merupakan peralihan kata dari perburuhan. Semenjak diundangkannya aturan perundangan ketenagakerjaan dalam Undang-Undang No 13 Tahun 2003, maka istilah perburuhan sesuai dengan Undang-Undang No. 2 Tahun 1974 tentang perburuhan, berganti menjadi ketenagakerjaan. Berdasarkan pasal 1 angka 1 Undang-Undang Ketenagakerjaan, pengertian ketenagakerjaan adalah segala hal yang berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu sebelum, selama dan sesudah masa kerja. Tentang upah, ini termasuk kedalam kategori pengaturan ketenagakerjaan sebelum, selama dan sesudah masa kerja. Sebelum masa kerja, upah diperjanjikan dalam perjanjian kerja antara pengusaha dan pekerja. Selama masa kerja, upah diberikan sesuai kinerja dan perjanjian kerja yang telah disepakati oleh kedua belah pihak yaitu pengusaha dan pekerja. Setelah masa kerja, pemutusan hubungan kerja dapat menimbulkan hak dan kewajiban antara pekerja dan pengusaha baik berupa uang pesangon, uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak. Upah berdasarkan pasal 1 angka 30 Undang Undang No 13 2013 Tentang Ketenagakerjaan adalah:
       Hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan  menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan atau peraturan perundangan, termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau yang akan dilakukan.

        Tujuan negara tertuang dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945, yang mengidentifikasikan bahwa Indonesia merupakan negara hukum menganut konsep welfare state (negara kesejahteraan) yang didalamnya termaktub keadilan sosial (Juniarso Ridwan, 2010:11). Konsep upah tidak terlepas dari peran negara dalam ikut andil memberikan rasa kesejahteraaan dalam bentuk keadilan sosial bagi para pengusaha dan pekerja yang memang merupakan bagian rakyat Indonesia. Sistem perekonomian yang dijalankan oleh pemerintah, pengusaha dan pekerja idealnya merupakan sistem yang berdasarkan simbiosis muatualisme, saling menguntungkan satu sama lain. Keadilan sosial dalam negara kesejahteraan dapat diwujudkan melalui perangkat kebijakan sosial  yang disediakan negara. Upah merupakan suatu kebijakan sosial yang pemerintah turut campur untuk penentuannya.
B.       Pembahasan
       Demi menciptakan keadilan dan kesejahteraan,  pengaturan pengupahan diatur dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan pasal 88-98. Pada pasal 98 khusus dipaparkan tentang Dewan Pengupahan yang dibentuk untuk memberikan saran, pertimbangan, dan merumuskan kebijakan pengupahan yang akan ditetapkan oleh pemerintah serta untuk pengembangan sistem pengupahan nasional. Keanggotaan Dewan Pengupahan terdiri dari unsur pemerintah, organisasi pengusaha, serikat pekerja/serikat buruh, perguruan tinggi dan pakar. Lebih lanjut mengenai Dewan Pengupahan diatur dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 107 tahun 2004 Tentang Dewan Pengupahan.
                 Beberapa data yang dapat di analisa untuk sistem pengupahan yang bekeadilan sosial dapat dilihat pada data yang diberikan oleh Dirjen PHI dan Jamsos R.Irianto Simbolon pada acara Forum Konsolidasi Dewan Pengupahan Tingkat Nasional yang diselenggarakan pada tanggal 7 September 2014 di Hotel Grand Sahid, Jakarta, bahwa,:
1.    UMP ditetapkan dan diumumkan oleh masing-masing gubernur serentak setiap tanggal 1 November pada setiap tahunnya, akan tetapi berdasarkan pemaparan data dari Dirjen PHI dan Jamsos, diketahui, bahwa:
a.    Provinsi yang menetapkan UMP 2014 serentak tepat waktu 1 November 2013 yaitu NAD, Sumut, Riau, Kepri, Sumsel, DKI Jakarta, Sulsel, Sulteng dan Papua Barat.
b.    Provinsi yang menetapkan UMP 2014 sebelum 1 November 2013 yaitu Sumbar, Jambi, Babel, Bengkulu, Banten, NTB, NTT, Kalbar, Kalsel, Kalteng, Kaltim, Gorontalo, Sulut, Sultra, Maluku, Papua.
c.    Provinsi yang menetapkan UMP 2014 setelah 1 November 2013 yaitu Lampung, Bali, Maluku Utara, Sulawesi Barat.
d.   Provinsi yang tidak Menetapkan UMP 2014 dan hanya menetapkan UMK yaitu Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah dan DI Yogjakarta.
2.    Pada penetapan upah minimum provinsi industry padat karya , yang diamanatkan dalam Inpres Nomor 9 Tahun 2013 dan Permenakertrans Nomor 7 Tahun 2013: “kebijakan penetapan upah minimum dalam rangka keberlangsungan usaha dan peningkatan kesejahteraan pekerja”, hanya Provinsi NTT saja yang menetapkan yaitu Rp. 1.125.000.
3.    UMP Tertinggi adalah DKI Jakarta Rp. 2.441.000, dan persentase tertinggi kenaikan UMP 2014 adalah Provinsi Bali dengan kenaikan 30,62%
4.    UMP terendah adalah NTT Rp. 1.150.000, dan persentase terendah kenaikan UMP 2104 adalah Kaltim dengan 7,66%
5.    Terdapat 16 provinsi yang menetapkan UMP lebih besar sama dengan KHL, yaitu: NAD, Sumut, Sumbar, Riau, Kepri, Jambi, Bengkulu, Lampung, Banten, Bali, DKI Jakarta, Kalsel, Kaltim, Sulut, Sulsel, Papua. Pada tahun 2013 terdapat 11 provinsi yang UMP lebih besar sama dengan KHL dengan demikian tahun 2014 bertambah 5 provinsi.
6.    Terdapat empat provinsi menetapkan UMP 90 s.d 99 % KHL, yaitu: Sumsel, Babel, Sultra, Sulteng
7.    Terdapat enam provinsi menetapkan UMP 80 s.d 89 % KHL, yaitu: NTB, Kalbar, Kalteng, Gorontalo, Maluku Utara, Papua Barat
8.    Terdapat tiga provinsi menetapkan UMP < 80% KHL, yaitu: NTT, Sulbar dan Maluku.
       Apabila diperhatikan dari data yang disajikan diatas, terlihat bahwa keadaan upah dan sistem upah belum berkeadilan sosial karena memang banyak permasalahan di daerah diantaranya terkait dewan pengupahan yang bertugas, yaitu:
a.    Dewan Pengupahan Provinsi/Kab/Kota belum sepenuhnya memahami tata cara survey dan penetapan nilai KHL sesuai peraturan perundang-undangan, sehingga mekanisme penetapan upah belum sesuai dengan ketentuan.
b.    Belum optimal koordinasi Dewan Pengupahan Nasional, Dewan Pengupahan Prov dan Dewan Pengupahan Kab/Kota
c.    Belum terbentuknya petunjuk teknis tentang Peta Jalan pencapaian KHL (Road Map) sebagaimana diamanatkan dalam Permenakertrans Nomor 7 tahun 2013.
d.   Kurangnya dukungan anggaran untuk pelaksanaan tugas Dewan Pengupahan.
C.    Penutup
         Pemerintah sebagai pemegang kebijakan publik turut campur dalam menyusun dan menegakan suatu sistem pengupahan yang ideal agar keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dalam sila ke lima Pancasila dapat terlaksana dengan baik. Keadilan sosial yang tercipta dalam sistem pengupahan mendorong terwujudnya suatu negara kesejahteraan.
Wallahu ‘alam Bisshawaab.
           


Minggu, 15 Mei 2016

PENYELENGGARAAN PROGRAM JAMINAN PENSIUN

Majalah Dinamika Vol. 39, No. 1, Triwulan III Tahun 2015, ISSN 1907-220

PENYELENGGARAAN PROGRAM JAMINAN PENSIUN

Ikomatussuniah, SH., MH
Tenaga Pengajar Fakultas Hukum Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
Jl. Raya Jakarta Km. 04 Pakupatan-Serang



PENDAHULUAN
       Negara Indonesia berdasarkan alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, mempunyai tujuan sebagai Negara kesejahteraan. Negara Kesejahteraan berorientasi pada keseimbangan kerjasama antara pemerintah, rakyat dan pengusaha. Keseimbangan kerjasama yang harmonis dapat mewujudkan good governance, sehingga ruh Negara kesejahteraan teraplikasi keseluruh lapisan masyarakat. Dalam rangka mewujudkan tujuan sebagai suatu Negara yang sejahtera, pemerintah memberikan jaminan perlindungan bagi setiap rakyat Indonesia agar dapat hidup secara layak dan berprikemanusiaan. Oleh karena itu, disusunlah suatu peraturan perundangan tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004, dan Undang Undang Nomor 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). BPJS terdiri atas BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. Peta Jalan pun disusun untuk pelaksanaan BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan tersebut. Khusus dalam BPJS Ketenagakerjaan, kebijakan terbaru tentang jaminan pensiun diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2015 Tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Pensiun. Program ini sempat menjadi polemik antara pemerintah, pekerja dan pengusaha dalam menetapkan besaran iuran yang akan dibayarkan. Akan tetapi, akhirnya pada tanggal 30 Juni 2015, Peraturan Pemerintah (PP) tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Pensiun ditandatangani oleh Presiden Republik Indonesia, Bapak Joko Widodo, dan berdasarkan PP tersebut per tanggal 1 Juli 2015 ini, Peraturan Pemerintah tentang Jaminan Dana Pensiun dinyatakan berlaku.

JAMINAN DANA PENSIUN
       Jaminan pensiun adalah jaminan sosial yang bertujuan tuntuk mempertahankan derajat kehidupan yang layak bagi peserta (yang telah terdaftar dan membayar iuran yang dibayarkan oleh peserta dan pemberi kerja secara teratur), dan/atau ahli warisnya dengan memberikan penghasilan setelah peserta memasuki usia pensiun, mengalami cacat total tetap atau meninggal dunia. Jaminan pensiun berdampak pada timbulnya manfaat pensiun bagi para pesertanya. Bagi peserta, jaminan ini akan dibayarkan setiap bulan kepada peserta yang memasuki usia pensiun, mengalami cacat total tetap, atau kepada ahli waris kepada peserta yang meninggal dunia.
       Peserta terdiri atas pekerja yang bekerja pada pemberi kerja penyelenggara Negara dan selain penyelenggara Negara. Untuk kepesertaan bagi pekerja yang bekerja pada pemberi kerja penyelenggara Negara diatur dalam Peraturan Pemerintah tersendiri. Kepesertaan pada program jaminan pensiun mulai berlaku semenjak peserta terdaftar dan iuran pertama telah dibayarkan kepada BPJS Ketenagakerjaan. BPJS Ketenagakrjaan memberikan bukti pembayaran iuran pertama kepada Pemberi Kerja selain penyelenggara Negara. Bukti tersebut sebagai dasar dimulainya perlindungan jaminan pensiun. Kepesertaan jaminan pensiun berakhir pada saat peserta meninggal dunia atau memncapai usia pensiun dan menerima akumulasi iuran beserta hasil pengembangannya sekaligus. Pemberi kerja selain penyelenggara Negara dalam hal ini pengusaha, wajib mendaftarkan pekerjanya ke BPJS Ketenagakerjaan sebagai peserta, paling lama 30 hari terhitung sejak tanggal pekerja tersebut bekerja. Apabila pengusaha lalai tidak mendaftarkan, maka pekerja berhak mendaftar sendiri dalam jaminan pensiun BPJS Ketenagakerjaan dengan mengisi formulir pendaftaran dan melampirkan:
a.       Perjanjian kerja, surat keputusan pengangkatan, atau bukti lain yang menunjukan sebagai pekerja;
b.      Kartu Tanda Penduduk; dan
c.       Kartu Keluarga.
       Terkait apabila pekerja belum terdaftar dalam BPJS Ketenagakerjaan, maka Pemberi Kerja selain penyelenggaran negara wajib memberikan manfaat pensiun kepada pekerjanya sesuai peraturan pemerintah. BPJS Ketenagakerjaan menerbitkan nomor kepesertaan bagi pekerja paling lama satu hari setelah iuran pertama dibayar lunas. Paling lama tujuh hari setelah nomor kepesertaan diterbitkan maka BPJS Ketenagakerjaan memberikan kartu kepesertaan. Nomor kepesertaan merupakan nomor kepesertaan tunggal untuk semua program jaminan sosial ketenagekerjaan yang diikuti peserta. Dalam hal terjadi perubahan data peserta dan keluarganya, maka peserta wajib menyampaikan perubahan data secara lengkap kepada Pemberi Kerja selain penyelenggara negara. Apabila peserta tidak bekerja, maka data perubahan diserahkan kepada BPJS Ketenagakerjaan. Peserta yang pindah tempat kerja wajib memberitahukan kepesertaannya kepada pemberi kerja baru dengan menunjukan kartu kepesertaannya. Pemeberi kerja tempat kerja baru wajib meneruskan kepesertaan pekerja dengan melaoprkan kartu kepesertaan dan membayar iuran kepada BPJS Ketenagakerjaan sejak Pekerja bekerja di Pemberi Kerja tempat kerja baru.
       Penerima Manfaat Pensiun adalah peserta, satu orang istri atau suami yang sah sesuai peraturan perundang-undangan, maksimal 2 orang anak, atau satu orang tua. Berdasarkan pasal 14 ayat (2) PP No. 45 Tahun 2015 menyatakan bahwa anak peserta yang lahir paling lama 300 hari setelah terputusnya hubungan pernikahan istri atau suami yang telah terdaftar dinyatakan sah atau setelah peserta meninggal dunia dapat didaftarkan sebagai penerima manfaat pensiun. Dalam hal terjadi perubahan susunan penerima manfaat pensiun, peserta harus mendaftarkan perubahan daftar penerima Manfaat Pensiun paling lama 30 hari terhitung sejak tanggal perubahan susunan penerima Manfaat Pensiun kepada Pemberi Kerja selain penyelenggara negara. Perubahan daftar penerima manfaat pensiun tidak dapat dilakukan setelah peserta menerima Manfaat Pensiun pertama atau meninggal dunia kecuali untuk anak sesuai ketentuan pasal 14 ayat (2). Apabila terjadi perselisihan penetapan ahli waris maka diselesaikan secara musyawarah antar ahli waris, jika tidak terselesaikan juga maka perselisahan penetapan ahli waris diselesaikan di pengadilan.
       Usia pensiun  pertama kali ditetapkan 56 (lima puluh enam) tahun, seterusnya mulai 1 Januari 2019 usia pensiun menjadi 57 (lima puluh tujuh) tahun. Usia pensiun selanjutnya bertambah 1(satu) tahun untuk setiap 3 (tiga) tahun berikutnya sampai mencapai usia 65 (enam puluh lima) tahun. Dalam hal peserta telah memasuki usia pensiun, tetapi yang bersangkutan tetap dipekerjakan, peserta dapat memilih untuk menerima manfaat pensiun pada saat mencapai usia pensiun atau pada saat berhenti bekerja dengan ketentuan paling lama 3 (tiga) tahun setelah usia pensiun. Manfaat pensiun berupa:
a.        pensiun hari tua (Paragraf 2 Pasal 19 PP No.45/2015);
b.       pensiun cacat (Paragraf 3 Pasal 20 PP No.45/2015);
c.        pensiun janda atau duda (Paragraf 4 Pasal 21 PP No.45/2015);
d.       pensiun anak (Paragraf 5 Pasal 22 PP No.45/2015);
e.        atau pensiun orang tua (Paragraf 6 Pasal 23 PP No.45/2015);
       Iuran jaminan pensiun wajib dibayarkan setiap bulan, iurannya adalah sebesar 3 % dari upah perbulan. Iuran tersebut wajib ditanggung bersama oleh pemberi kerja selain penyelenggara negara dan peserta, dengan ketentuan 2% dari upah ditanggung oleh pemberi kerja selain penyelenggara negara dan 1% dari upah ditanggung oleh peserta. Besaran iuran tersebut dilakukan evaluasi paling singkat 3 (tiga) tahun dengan mempertimbangkan kondisi ekonomi nasional dan perhitungan kecukupan kewajiban aktuaria. Hasil evaluasi digunakan sebagai dasar untuk penyesuaian kenaikan iuran secara bertahap menuju 8%. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembayaran Iuran diatur dengan Peraturan BPJS Ketenagakerjaan. Terkait Pengawasan dilakukan oleh Instansi yang bertanggung jawab di bidang Ketenagakerjaan.

       Demikian sekilas pemaparan tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Pensiun yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 45 tahun 2015, semoga dapat bermanfaat. Wallahu’alam bisshawaab.

KEBIJAKAN KETENAGAKERJAAN TENTANG UPAH

Majalah Dinamika Vol. 40, No. 1, Triwulan I Tahun 2016, ISSN 1907-2201

KEBIJAKAN KETENAGAKERJAAN TENTANG UPAH

Ikomatussuniah, SH., MH
Dosen Fakultas Hukum Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
Jl. Raya Jakarta Km. 04 Pakupatan-Serang
ikomatussuniah-design.blogspot.com


PENDAHULUAN
       Indonesia, Negara Kesatuan yang kaya akan sumber daya alam dan faktor-faktor produksi, salah satu kekayaan sekaligus salah satu faktor produksi dalam pertumbuhan ekonomi adalah pertumbuhan penduduk Indonesia yang signifikan. Berdasarkan pemaparan BPS pada Konsolidasi Dewan Pengupahan Se-Indonesia Tahun 2014,  dipaparkan bahwa ledakan pertumbuhan penduduk yang diakibatkan oleh baby boom mengakibatkan perumbuhan angkatan kerja meningkat. Permasalahan tejadi ketika angkatan kerja meningkat akan tetapi tidak diimbangi dengan peningkatan lapangan pekerjaan. Maka, yang terjadi adalah banyaknya pengangguran. Penduduk dikatakan penganggur apabila tidak bekerja, tetapi mencari pekerjaan, atau mempersiapkan usaha, atau mereka yang merasa tidak mungkin mendapat pekerjaan atau mereka yang sudah punya pekerjaan tetapi belum memulai bekerja (BPS, 2010). Pengangguran akan terdegradasi apabila pertumbuhan ekonomi secara makro dan mikro berkembang dengan baik. Peningkatan Pertumbuhan ekonomi akan pula meningkatkan kesempatan kerja.  Skill dan produktivitas pekerja yang baik akan pula meningkatkan kesempatan kerja. Produktivitas pekerja dapat diukur melalui rasio nilai PDB/PDRB dengan jumlah penduduk yang bekerja. Kondisi dimana full employment terjadi, terkait dengan pengupahan, maka terjadi peningkatan upah minimum sehingga mengakibatkan penurunan jumlah pekerja. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor, misalanya karena pengusaha tidak ataupun kurang mendapat order produksi sehingga efeknya berimbas kepada pemotongan biaya produksi yang berupa biaya upah tenaga kerja. Terkait dengan upah, pemerintah mengeluarkan paket kebijakan ekonomi terkait ketenagakerjaan yang mengusung ruh keadilan dan kesejahteraan untuk semua pihak.

KEBIJAKAN KETENAGAKERJAAN TENTANG UPAH
       Paket kebijakan ekonomi tahap empat terfokus kepada ketenagakerjaan. Terkait ketenagakerjaan memang merupakan ranah kajian dalam keilmuan hukum privat dan hukum publik. Berdasarkan hukum privat, ketenagakerjaan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 pada pasal 1 ayat (1) menyatakan bahwa ketenagakerjaan adalah segala hal yang berhubungan dengan tenaga kerja  pada waktu sebelum, selama dan sesudah  masa kerja. Dalam ranah privat, tenaga kerja dan pengusaha atau pemberi kerja mempunyai hubungan khusus dalam melaksanakan kesepakatan kerja yang termaktub dalam perjanjian kerja sehingga menimbulkan suatu hubungan kerja. Perjanjian kerja ini diatur secara umum dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata terkait syarat sahnya suatu perjanjian, yaitu (Subekti, 1996:134):
1.      Perizinan yang bebas dari orang-orang yang mengikatkan diri;
2.      Kecakapan untuk membeuat suatu perjanjian;
3.      Suatu hal tertentu yang diperjanjikan;
4.      Suatu sebab (“oorzaak) yang halal, artinya tidak terlarang .    
       Ranah hukum publik ketenagakerjaan tercermin dari peran pemerintah dalam mengatur regulasi ketenagakerjaan demi terciptanya keseimbangan kesejahteraan dan keadilan yang diamanatkan oleh Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar RI 1945 khususnya tentang konsep Negara kesejahteraan. Salah bentuk peran pemerintah adalah dengan dibentuknya Lembaga Kerjasama Tripartit yang merupakan forum komunikasi, konsultasi dan musyawarah tentang masalah ketenagakerjaan yang anggotanya terdiri dari unsur organisasi pengusaha, serikat pekerja/serikat buruh dan pemerintah. Terdapat pula suaut lembaga non struktural yang bersifat tripartit yaitu Organisasi Dewan Pengupahan yang bertugas memberikan saran, dan pertimbangan kepada Pemerintah dalam rangka perumusan kebijakan pengupahan dan pengembangan sistem pengupahan, yang diatur dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 107 Tahun 2004 Tentang Dewan Pengupahan.
       Kebijakan ekonomi yang dikeluarkan dalam bentuk Paket Kebijakan IV, fokus pada Ketenagakerjaan, antara lain tentang formula upah minimum, baik Upah Minimum Provinisi (UMP), Upah minimum Kabupaten/Kota (UMK) maupun Upah Minimum Sektoral Kabupaten/Kota (UMSK). Formula Kenaikan upah minimum dipengaruhi dua faktor, yaitu inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Formulasi upah ini tidak lagi berdasarkan perhitungan nilai Kebutuhan Hidup Layak yang selama ini telah dilakukan, Kebutuhan Hidup Layak akan ditinjau ulang per periode 5 (lima) tahun sekali. Formulasi kenaikan upah ini dapat berefek positif , yaitu (Koran Jakarta, 15/10/2015):
1.       Dipastikan bahwa kenaikan Upah Minimum bagi para pekerja akan terjadi setiap tahun.
2.      Formula upah tidak hanya menguntungkan pengusaha, tetapi juga pekerja.
3.      Formula tersebut membuat kenaikan upah setiap tahun lebih terprediksi dan terukur.
4.      Upah yang terformulasi dan terukur mengakibatkan dunia usaha dapat lebih bergerak dan berkembang, sehingga lapangan pekerjaan akan semakin luas.
5.      Kenaikan Upah akan realisitis dan para pedagang/pengusaha dapat dengan mudah menyesuaikan harga sehingga berpengaruh terhadap inflasi.

       Kebijakan ini telah diluncurkan dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Republik Indoneisa Nomor 78 Tahun 2015 Tentang Pengupahan. Gejolak penolakan terhadap Peraturan Pemerintah ini, khususnya dari Serikat Pekerja massif terjadi.  Akan tetapi diharapakan, lewat kebijakan ini kepastian hukum dan kepastian ekonomi sehingga regulasi yang ada dapat meningkatkan rasa keadilan serta kesejahteraan dapat terwujud dengan baik, tentunya dengan dukungan semua pihak, dalam hal ini pemerintah itu sendiri, pengusaha, pekerja, akademisi dan masyarakat pada umumnya. Wallahu ‘alam Bisshawaab