PEMBENAHAN SISTEM KERJA OUTSOURCING
Oleh: Ikomatussuniah, SH., MH.
Tenaga Pengajar Fakultas Hukum
Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
Jl. Raya Jakarta KM 4 Pakupatan – Serang
PEDAHULUAN
Berdasarkan
laman www.bps.co.id yang diunduh pada
tanggal 11 Desember 2012, Jumlah angkatan kerja di Indonesia pada Februari 2012
mencapai 120,4 juta orang, bertambah sekitar 3,0 juta orang dibanding angkatan
kerja Agustus 2011 sebesar 117,4 juta orang atau bertambah sebesar 1,0 juta orang
dibanding Februari 2011. Dari sekian banyak angkatan kerja yang produktif itu,
banyak tenaga kerja yang merupakan tenaga kerja outsource. Prinsip outsourcing
merupakan salah satu prinsip hubungan kerja yang dipakai di negara kita
berdasarkan Undang-Undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Outsourcing adalah penyerahan pekerjaan
tertentu suatu perusahaan kepada pihak ketiga yang dilakukan dengan tujuan
untuk mengurangi resiko dan mengurangi beban perusahaan tersebut (Libertus
Jehani, 2008:1). Outsourcing merupakan
prinsip kerja yang didalamnya mencakup beberapa pihak yaitu perusahaan pemberi
kerja, perusahaan penyedia tenaga kerja dan tenaga kerja itu sendiri. Sistem outsourcing sebenarnya sudah diatur
dalam Pasal 1601b KUHperdata tentang pemborongan pekerjaan. Disebutkan bahwa
pemborongan pekerjaan adalah suatu kesepakatan dua belah pihak yang saling
mengikatkan diri, untuk menyerahkan suatu pekerjaan kepada pihak lain dan pihak
lainnya membayarkan sejumlah harga. Pada Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan sudah dinyatakan bahwa pemborongan pekerjaan tidak
boleh dilakukan pada core business,
sehingga aturan ini mendorong perusahaan
untuk melakukan penyerahan pekerjaan seperti satpam, cleaning service, catering
kepada perusahaan penyedia tenaga kerja. Akan tetapi, di dalam undang-undang
tersebut tidak dijelaskan arti dari core
business itu sendiri, sehingga para pengusaha masing-masing dapat
menafsirkan dari arti kata tersebut. Hal ini menimbulkan perbedaan kebijakan serta
perlakukan terhadap para pekerja outsource
antara perusahaan yang satu dengan perusahaan lainnya.
LANDASAN
FILOSOFIS YURIDIS OUTSOURCING
Berdasarkan
Pasal 27 ayat (2) UUD 1945, menyatakan “Tiap-tiap warga negara berhak atas
pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. Prinsip outsourcing yang ada dan berlaku di
Indonesia sekarang ini, terkesan bahwa hak-hak dasar sebagai manusia dari
setiap tenaga kerja diabaikan. Perlakuan yang berbeda yang berbeda antara
tenaga kerja outsource atau yang
kerapkali di sebut sebagai tenaga kerja kontrak, berbeda dengan tenaga kerja
tetap. Khususnya mengenai hak-hak dari tenaga kerja outsource tersebut. Diskriminasi upah, status kontrak
sehingga tidak terjaminnya kepastian kerja bagi pekerja outsource, merupakan tanda bahwa tidak terlaksanakannya kaedah
norma dalam UUD 1945 khususnya pasal 27 ayat (2) tersebut. Diskriminasi hak
merupakan pencideraan terhadap hak atas pekerjaan yang layak bagi kemanusiaan. Salah
satunya adalah tidak terjaminnya
kelangsungan kerja bagi pekerja kontrak. Karena setiap saat pekerja dapat diberhentikan dan perusahaan tidak
diharuskan membayar kompensasi PHK. Ciri bahwa ini merupakan pencideraan dari
pasal 27 ayat (2) UUD 1945 lainnya adalah karena pada kenyataannya banyak
sekali penyimpangan dalam sistem kontrak. Penyimpangan yang sering terjadi
antara lain (Libertus Jehani, 2008: 4) : upah pekerja kontrak dibawah
ketentuan UMR / UMP, pekerja kontrak tidak diikutsertakan
dalam program Jamsostek, para pekerja kontrak dari perusahaan outsourcing bekerja pada bidang- bidang
yang terus-menerus, perusahaan outsourcing
nakal baik langsung maupun tidak memungut
uang dari calon pekerja, perusahaan outsourcing memotong upah para
pekerjanya sendiri dan para pekerja kontrak tidak mendapat THR.
Penyimpangan-penyimpangan tersebut sebenarnya sudah ada sanksi
hukumnya. Beberapa penyimpangan, seperti
tindakan pengusaha yang memungut uang dari calon pekerja dan membayar upah dari
ketentuan minimum dikategorikan sebagai kejahatan. Namun,
karena pengawasan juga lemah, ketentuan tersebut seperti tidak ada
artinya. Pada Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan,
mengenai definisi outsourcing ini
terdapat dalam bentuk perjanjian kerja waktu tertentu atau disebut juga tenaga
kerja kontrak. Pasal yang mengatur tentang outsourcing
terdapat dalam Bab IV tentang Hubungan Kerja, yaitu pasal 64 sampai 66 UU Ketenagakerjaan:
1.
Perusahaan dapat menyerahkan
sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian
pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh yang diibuat secara
tertulis.
2. Penyerahan
sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain dilaksanakan melalui perjanjian
pemborongan pekerjaan yang dibuat secara tertulis. Pekerjaan yang dapat
diserahkan kepada perusahaan lain harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut; dilakukan secara
terpisah dari kegiatan utama, dilakukan
dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan, merupakan kegiatan
penunjang perusahaan secara keseluruhan serta tidak menghambat proses produksi secara
langsung.
PEMBENAHAN
SISTEM KERJA OUTSOURCING
Pada
prinsip sistem kerja outsourcing
sebetulnya kita tidak boleh antipati, prinsip ini jikalau dilakukan dengan
pengaturan kebijakan yang proporsional dengan mempertimbangkan hak dan
kewajiban yang semestinya bagi buruh dan pengusaha, maka prinsip ini dapat
menguntungkan pengusaha dan buruh. Sebenarnya
sistem pengawasannyalah yang harus diperketat dan dipertegas oleh pemerintah,
bukan menghapus outsourcing. Dasar
utama dari tuntutan masayarakat, sebenarnya adalah mengenai jaminan hidup layak
bukan penghapusan outsourcing-nya. Jaminan
kehidupan bagi setiap warga negara untuk hidup layak dari pemangku kebijakan
belum berpihak pada masyarakat. Hak-hak sebagai seorang warga negara untuk
hidup layak dijamin oleh negara yang tertera dalam kaedah norma, masih sekedar
tataran teori. Inilah permasalahan yang sebenarnya. Selain itu, ketidak patuhan
para perusahaan penyedia dan pengguna jasa outsourcing-lah
yang menyebabkan pelanggaran hak dari pekerja. Seperti di negara-negara lain, outsourcing tetap diperlukan karena terbukti meningkatkan efisiensi
usaha dan menyerap tenaga kerja yang banyak (Koran Jakarta, 6/12/12). Oleh karena itu pemerintah harus merivisi UU
Ketenagakerjaan secara komprehensif terkait mengenai pengaturan outsourcing. Peraturan Menteri
Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Nomor 19 Tahun 2012 (Permen Outsourcing) telah
diterbitkan. Aturan tersebut tetap membolehkan penggunaan alih daya pada
jasa pembersihan (cleaning service),
keamanan, transportasi, jasa boga dan migas pertambangan. Ada peraturan yang
aneh disini, mengapa untuk migas pertambangan diperbolehkan menggunakan prinsip
outsourcing, hal ini terkesan
bermuatan politis dan terkesan berpihak pada pengusaha. Permen ini ternyata
juga mengundang reaksi terutama dari Apindo. Mereka merasa pemerintah bertepuk
sebelah tangan kepada pihak buruh. Pemerintah tidak melakukan koordinasi dengan
pihak pengusaha dalam menentukan kategori pekerjaan core business dan non core
business dalam penggunaan tenaga kerja alih daya atau outsourcing tersebut. Pada akhirnya, pemerintah sebagai mediator
antara pengusaha dan pekerja seharusnya melindungi hak-hak dari kedua belah
pihak tersebut secara proporsional. Kebijakan yang dikeluarkan akan menentukan
arah pembangunan dan perikehidupan dalam berbangsa dan bernegara yang bertujuan
untuk menciptakan negara yang sejahtera lahir dan batin. Pekerja merupakan
warga negara yang haknya harus dilindungi, dan pengusaha merupakan partner
pemerintah yang haknyapun harus terperhatikan. Seyogyanya, permasalahan outsourcing ini dibicarakan dan
dimusyawarakan antara pemerintah sebagai pemangku kebijakan dengan pengusaha
dan pekerja. Sehingga persepsi yang sama dalam suatu peraturan perundangan atau
kebijakan dapat terwujud. Wallahu’alam
bisshawaab.