PRO
KONTRA REFORMULASI GBHN SEBAGAI REFERENSI MAKRO PENYELENGGARAAN NEGARA KESATUAN
REPUBLIK INDONESIA
Ikomatussuniah, SH., MH.
Fakultas Hukum Universitas
Sultan Ageng Tritayasa
Jl. Raya Jakarta KM. 04 Pakupatan Serang
E-mail: Ikomatussuniah80@yahoo.co.id
A.
Pendahuluan
Pelaksanaan
sistem penyelenggaraan negara terkait visi misi dan program pemerintahan yang
sekarang dirasakan tidak berkesinambungan dari setiap pergantian kekuasaan,
menimbulkan wacana untuk reformulasi GBHN. Sebagai bahan pemikiran, pada era
Presiden Soeharto, beliau menerapkan manajemen modern terkait perencanaan
pembangunan nasional dengan melaksanakan empat kegiatan kunci dari menajemen
universal, yaitu POAC. Planning,
organizing, actuating, Controlling. Perencanaan (planning) dilaksanakan dengan belbagai tingkat mulai dari Penahapan
Pembangunan Jangka Panjang (PJPT, 25 tahun), jangka menengah (Pelita, 5 tahun),
dan jangka pendek (GBHN, satu tahun). Pengorganisasian (organizing) dilakukan sejak tahap perekrutan sumber daya manusia
hingga penataan struktur organisasi. Perwujudannya (actuating) dimulai sejak tahap pengambilan keputusan hingga
pelaksanaan pembangunan di lapangan. Sementara kontrol (controlling) dilakukan selain untuk menjaga agar hasil tidak jauh
berbeda dengan perencanaan, juga untuk mendapat analisa karya (Riant Nugroho
Dwidjowijoto, 1996:XXVI). Terkait wacana tersebut, dewasa ini terdapat pro
kontra terkait pelaksanaan program penyelenggaraan negara tentang apakah
kembali kepada GBHN ataukah dilanjutkan dalam Sistem Perencanaan Pembangunan
Nasional yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 25 tahun 2004 yang kemudian
secara spesifik tentang RPJPN pengaturannya terdapat di Undang-Undang Nomor 17
tahun 2007 tentang Rencana Pembanguunan Jangka Panjang Nasional.
B. Pembahasan
1. Pro Reformulasi GBHN Sebagai
Referensi Makro Penyelenggaraan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sebelum amandemen, UUD
terdiri atas pembukaan, batang tubuh dan penjelasan, ketiga bagian tersebut
merupakan satu kesatuan yang mengikat lembaga negara dan seluruh masyarakat Indonesia.
Dalam pra amandemen, tugas MPR sebagai pemegang kekuasaan tertinggi adalah
(Syahrial Sarbaini, 2011:124) :
a)
Menetapkan Undang-Undang Dasar (Pasal 3)
b)
Menetapkan Garis-Garis Besar Haluan
Negara (Pasal 3)
c)
Memilih Presiden dan Wakil Presiden (Pasal
6 ayat (2))
Wewenang
MPR, antara lain:
a)
Membuat putusan yang tidak dapat
dibatalkan oleh lembaga negara lain, termasuk penetapan GBHN;
b)
Meminta pertanggungjawaban Presiden
mengenai pelaksanaan GBHN dan menilai pertanggungjawaban tersebut;
c)
Mencabut kekuasaan dan memberhentikan
Presiden dalam masa jabatannya apabila Presiden sungguh-sungguh melanggar GBHN
dan/atau UUD;
d)
Mengubah UUD.
GBHN adalah singkatan
dari Garis-Garis Besar Haluan Negara, GBHN dalam UUD tersebut ditetapkan oleh
MPR, dan MPR meminta pertanggungjawaban Presiden, menilainya bahkan
memberhentikan Presiden jika melanggar terkait pelaksanaan GBHN tersebut.
Disini dapat dianalisa, bahwa GBHN merupakan referensi makro penyelengaraan
negara yang telah ditetapkan oleh MPR sebagai lembaga tertinggi pada saat itu.
MPR merupakan penjelmaan dari seluruh rakyat Indonesia dan melaksanaka
kedaulatan rakyat Indonesia. Hal ini sesuai dengan Pasal 1 ayat (2) yang
menyatakan “Kedaulatan adalah ditangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat.” Pola umum pembangunan nasional dalam GBHN adalah (Ucu
Syarief, 2011):
a)
Menyeluruh,
bahwa pembangunan dilaksanakan sesuai dengan arah sebagaimana yang telah
digariskan GBHN.
b)
Terarah,
bahwa pembangunan dilaksanakan sesuai dengan arah sebagaimana yang telah
digariskan GBHN
c)
Terpadu,
bahwa terpadu antara program pembangunan juga bahwa pelaksanaan pembangunan
dilaksanakan atas kerja sama antara berbagai intansi pemerintah dan pemerintah
dengan masyarakat.
d)
Berlangsung
secara terus menerus, bahwa pembangunan itu berlangsung selama kurun waktu yang
sangat panjang dengan tiap-tiap yang berlanjutan.
GBHN
merupakan refrensi makro penyelenggaraan negara. GBHN yang merupakan representasi
program pemerintah dan rakyat secara terpusat dan berkesinambungan sehingga
visi, misi, tujuan dan program negara dapat dilaksanakan sesuai yang
diamanatkan dalam Pancasila dan UUD 1945. Beberapa pertimbangan GBHN dirasakan
perlu disusun dan direformulasi kembali antara lain:
a. Rencana
Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) yang dibuat pemerintah melalui DPR hanya
mewakili partai. Berbeda dengan GBHN yang merupakan amanat rakyat
(Republika,12/06/2013).
b. Penahapan
Pembangunan Jangka Panjang dalam GBHN mencapai jangka waktu sampai dengan 25
tahun (Riant Nugroho Dwidjowijoto, 1996:XXVI), sedangkan RPJP hanya 20 tahun
(Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Rencana Pembangunan
Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025).
c. Landasan
pembangunan dalam GBHN merupakan kesepakatan bersama antara pemerintah dan MPR
sebagai penjewantahan rakyat dalam melaksanakan visi, misi, tujuan dan program
pemeritahan sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945.
d. Dalam
RPJP Landasan pembangunan tersebut dinilainya sempit karena hanya menekankan
pada visi presiden atau kepala daerah yang terpilih. Jangka waktunya sama
dengan masa jabatan tersebut sehingga tidak efektif (Republika,12/06/2013).
e. GBHN
merupakan landasan operasional pembangunan yang memanfaatkan kekuataan modal
sosial dalam bentuk pernyataaan kehendak rakyat secara menyeluruh dan terpadu
dengan cara perencanaan yang efektif, efisien dan berkesinambungan.
f. GBHN
memiliki pola umum pembangunan dan visi misi yang jelas dan terarah tanpa
melihat pergantian kekuasaan.
Berdasarkan pemaparan
diatas, maka konsekuensi logis dari reformulasi GBHN terkait peran dan fungsi
MPR, maka kedudukan, tugas dan wewenang MPR dalam konstitusi harus
direformulasi kembali.
2. Kontra Reformulasi GBHN Sebagai
Referensi Makro Penyelenggaraan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Hilangnya GBHN tidak
membuat Indonesia kehilangan pegangan perencanaan pembangunan sama sekali.
Karena:
a.
Melalui UU No. 25 tahun 2004 tentang
rencana pembangunan nasional, dirumuskanlah beberapa pokok program pembangunan
dan institusi penopangnya. Perencanaan pembangunan setingkat REPELITA, kini
dirumuskan ulang sebagai Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) dengan
alokasi waktu lima tahun. Sementara, RPJM ini disusun berdasarkan Rencana
Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) yang berlangsung selama 20 tahun.
b.
Apabila MPR adalah pihak yang berwenang
merumuskan GBHN, maka yang berwenang merumuskan RPJP dinyatakan dalam ketentuan
umum Pasal 1 butir 21 dari Undang-Undang tersebut: “Musyawarah Perencanaan
Pembangunan yang selanjutnya disingkat Musrenbang adalah forum antarpelaku
dalam rangka menyusun rencana pembangunan Nasional dan rencana pembangunan
Daerah.” Musrenbang adalah pihak yang punya wewenang untuk merumuskan RPJP:
musrenbang daerah berwenang untuk merumuskan RPJPD, sementara musrenbang
nasional berwenang untuk merumuskan RPJPN. Oleh karena keanggotaan musrenbang
mencakup semua warga masyarakat tanpa kecuali, maka skema perencanaan yang
diturunkan dari UU No. 25 tahun 2004 ini dapat dilihat sebagai model
pembangunan ekonomi yang lebih demokratis (Widiyanto dan Syafa’atun Kariadi,
2011:116-146).
c.
Seperti halnya GBHN, musrenbang
penentuan RPJP, RPJD dan RPJN merupakan terbuka ruang dimana masyarakat dapat
mengintervensi secara politik, melalui gagasannya sendiri, jalan pembangunan
yang telah ditetapkan pemerintah sejak Orde Baru. RPJPN hasil musyawarah
perencanaan pembangunan di tingkat nasional berhasil dirumuskan pada tahun 2005
dan dibakukan ke dalam UU No. 17 tahun 2007 tentang “Rencana Pembangunan Jangka
Panjang Nasional 2005-2025”.
C. Penutup
Berdasarkan
pemaparan diatas dapat diambil kesimpulan bahwa pro kontra terhadap reformulasi
GBHN ditinjau dari peran dan fungsi MPR dalam sistem perencanaan pembangunan
nasional dapat ditinjau dari berbagai segi. Berdasarkan hal tersebut apa yang
terdapat di GBHN sama dengan RPJPN. Tinggal pelaksanaannya saja yang harus
dimaksimalkan agar visi, misi, tujuan dan program pembangunan nasional dapat
terlaksana sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945. Wallahu’alam bisshawaab.