BENTUK
TANGGUNG JAWAB MORAL PEMERINTAH DALAM SIDANG ISBAT AWAL RAMADHAN DAN LEBARAN
UMAT DEMI PERSATUAN DAN KESATUAN.
Oleh:
Ikomatussuniah, SH., MH.
Tenaga Pengajar
Fakultas Hukum
Universitas
Sultan Ageng Tirtayasa
Jl. Raya Jakarta
KM 4 Pakupatan – Serang
ISLAM,
RU’YAH DAN HISAB
Islam
adalah rahmatallil’alamiin, rahmat
bagi seluruh alam, ini berarti bukan hanya untuk umat Islam saja, tetapi memang
Islam bermanfaat untuk seluruh mahluk. Esensi Islam adalah “perdamaian”
(Suparman Usman, 2000: 15). Seorang muslim adalah orang yang membuat perdamaian
dengan Tuhan, manusia dan mahluk ciptaan Tuhan lainnya. Damai dengan Tuhan berarti tunduk dan patuh
terhadap segala perintah-Nya dan larangan-Nya, damai dengan manusia berarti
melakukan perbuatan baik dan tidak merugikan manusa lain, damai dengan mahluk
ciptaan Tuhan lainnya berarti menjaga perbuatan dan tingkah laku untuk tidak
menyakiti dan merugikan mahluk selain manusia, yaitu flora, fauna maupun mahluk
ghaib. Ini berarti secara keseluruhan manusia harus menjaga hubungan baik antara
hablumminallaah, hablumminannaas serta hablumminal
khulq.
Berdasarkan
laman id.answer.yahoo.com, hasil sensus pendduduk yang dilakukan oleh Badan
Pusat Statistik (BPS) pada Mei 2010, penduduk yang beragama Islam sebanyak 207,2
juta jiwa (87,1%), Kristen Protestan sebanyak 16,5 juta jiwa (6,96%), Katolik
sebanyak 6,9 juta jiwa (2,91%), Hindu sebanyak 4 juta jiwa (1,69%), Kong Hu Chu
sebanyak 117,09 ribu jiwa (0,05%,), aliran lainnya sebanyak 299,6 ribu jiwa dan
yang tak teridentifikasi 896,7 ribu jiwa (0,4%). Berdasarkan laman
serba-sepuluh.blogspot.com tentang daftar 10 negara dengan jumlah penduduk
muslim terbesar di dunia, Indonesia menempati urutan teratas. Dari data-data
yang telah ada, dapat disimpulkan bahwa umat Islam di Indonesia merupakan
jumlah penduduk mayoritas, akan tetapi walaupun begitu Indonesia bukanlah
negara Islam.
Muslim
di Indonesia terkenal dengan sifatnya yang moderat dan toleran. Cendikiawan
muslim di Indonesia tersebar diberbagai
pelosok daerah. Mereka membuat perkumpulan-perkumpulan organisasi masyarakat
untuk tujuan dakwah. Organisasi masyarakat
Islam yang berkembang di
masyarakat antara lain: Nahdlatul Ulama, Al Irsyad, Al Ittihadiyah, Al
Wasliyah, Mathlaiul Anwar, Persatuan Islam Tionghoa Indonesia, Muhammadiyah,
Perti, FPI, Syarikat Islam Indonesia, Rabithal Alawiyah, Persis, Az Zikro. Hal
ini menunjukan khazanah hablumminannaas yang
kompleks tetapi tetap satu untuk kemashlahatan ummat dalam mencapai rido Allah Subhaanallhu wa Ta’ala.
Berdasarkan
laman emka.we.id; ormas-ormas Islam yang ada bersepakat untuk berpegang teguh
pada empat pilar dalam kehidupan bernegara yaitu Pancasila, NKRI, UUD 1945 dan
Bhineka Tunggal Ika. Ini berarti mereka tetap satu kesatuan visi dan misi dalam
melakukan segala bentuk aktivitas demi
persatuan kesatuan umat, bangsa dan negara.
Umat
Islam di Indonesia bahkan diseluruh dunia setiap tahun melakukan ibadah puasa
pada bulan ramadhan dan merayakan lebaran. Untuk menentukan awal dan akhir jatuhnya tanggal bulan ramadhan dan
bulan-bulan lainnya, para ulama dan cendikiawan melakukan metode ru’yah dan hisab. Mereka yang mampu melaksanakan hisab dan ru’yah biasanya
ulama yang otoritas keilmuannya di bidang falak
atau ilmu astronomi diakui oleh banyak orang. Makna ru’yah secara bahasa adalah melihat hilaal dengan mata kepala, adapun hilaal secara bahasa adalah bulan yang nampak pada malam pertama
sampai malam ketiga di setiap bulannya dan setelah itu barulah dikatakan bulan
(lihat akhwat.web.id). Dalam bahasa Indonesia hilaal dikenal dengan bulan sabit. Makna hisab secara bahasa adalah menghitung atau mengira, dan hisab terbagi dua, yaitu:
1. Hisab
yang menghitung melalui penanggalan bulan ke bulan lainnya sesuai perjalanan
matahari.
2. Hisab
yang menghitung dengan melihat perjalanan dan pergerakan bulan, matahari dan
bintang (Lihat Majmu’ Al Fatawa 25/ 180-181).
KH.Syafi’i
adalah seorang ulama yang mempunyai
kemampuan meru’yah bulan untuk menentukan awal bulan yang lazim disebut ru’yatul hilaal. Dalam keterangan beliau
dalam Rubrik Potret di majalah Hidayah edisi 30 tahun 2004, menyatakan bahwa
untuk dapat meneliti ru’yatul hilaal langkah-langkah
yang dilakukan adalah;
a. Mulanya
dilakukan penelitian hisab. Hisab memudahkan untuk melakukan imkanur ru’yah (kepastian bahwa bulan
sudah dapat dilihat sesuai dengan ketinggiannya). Dengan hisab, dapat diketahui jadwal waktu beribadah. Termasuk mengetahui
kapan bulan puasa dimulai dan lebaran dilaksanakan.
b. Meski
sudah ada hisab, ru’yatul hilaal harus tetap dilaksankan, meski diketahui bahwa hilaal atau bulan akan tampak pada jam,
hari dan bulan tertentu, tetap ru’yatul
hilaal harus tetap dilaksanakan.
c. Agar
bisa melihat hilaal, pastikan sudah
masuk kedalam tahap imkanur ru’yat,
perkiraaan bahwa sudah benar-benar dapat melakukan ru’yatul hilaal.
d. Penelitian
dilakukan seusai maghrib.
e. Memprediksi
ketinggian bulan dengan tepat, peru’yah harus dapat memastikan dimana letak
bulan tersebut. Ataukah ada disebalah utara atau selatan.Berdasarkan hal itu si
peneliti datang ke lokasi tempat meru’yah.
Salah
sau dasar dalil dalam al-Qur’an dalam melakukan ru’yah antara lain terdapat dalam Q.S. Al-Baqarah : 189 yang
berarti: “Mereka bertanya kepadamu tentang hilaal-hilaal,
katakanlah hilaal-hilaal itu adalah
merupakan patokan waktu bagi (ibadah ibadah) manusia dan haji ”. Puasa merupakan
salah satu ibadah manusia, maka hilaal
dijadikan penentu waktu puasa dan lebaran. Ibnu Katsir rahimahullaahu berkata bahwa pada ayat ini Allah Subhaanallaahu wa Ta’ala menjadikan hilaal sebagai penentu waktu puasa kaum
muslimin dan masa iddah bagi para
wanita (Tafsir Ibnu Katsir 1/226).
Menurut
Hadist Abi Hurairah radhiyallaahu ‘anhu,
rasulullah, SAW bersabda: “kalau kalian melihat hilaal (awal ramadhan) maka berpuasalah, dan jika kalian melihatnya
(hilaal tanda masuk bulan syawal)
maka berbukalah. Dan jika pandangan kalian terhalangi oleh awan, maka
berpuasalah tiga puluh hari” (Diriwayatkan oleh Imam Al Bukhari, Muslim dan
An-Nasa’i). Berdasarkan hadist tersebut maka pendapat jumhur ulama menyatakan
bahwa tidak boleh berpuasa ramadhan kecuali yakin sudah keluar dari bulan
sya’ban dan yakinnya tersebut dengan cara melihat hilaal atau menyempurnakan sya’ban sebayak tiga puluh hari,
demikian pula tidak dinyatakan keluar dari ramadhan kecuali dengan keyakinan
dengan cara melihat hilaal juga. Penentuan
hukum haruslah dengan keyakinan bukan keraguan, dengan cara melihat hilaal adalah salah satu bentuk
memastikan tidak ada sedikitpun keraguan dalam menentukan awal ramadhan maupun
awal bulan-bulan lainnya, termasuk awal syawal. Menurut pendapat ahlul hadist yang mengeluarkan
hadist-hadist tentang ru’yah seperti Al Bukhari menyatakan perintah menggunakan
ru’yah disebabkan karena rasulullah SAW, menyatakan kita adalah umat yang tak
dapat menulis dan menghitung. Dan hukum itu berlaku ada atau tidak
ditentukannya oleh ada atau tidaknya sebab itu, maka jika umat sudah mampu
menghitung dan menulis, hisab dan ru’yah bisa digunakan kedua-duanya dalam menentukan
arah bulan. Berdasarkan pernyataan tersebut dapat dipahami bahwa cara hisab dan ru’yah bisa digunakan untuk menetukan awal bulan (lihat
akhwat.web.id) .
SIDANG
ISBAT PEMERINTAH RI
Fenomena
adanya perbedaan penentuan awal ramadhan dan lebaran yang terjadi di negeri kita selama ini, adalah merupakan
suatu rahmat dalam beragama, bermasyarakat
dan bernegara, akan tetapi ini jangan sampai merusak rasa persatuan dan
kesatuan bangsa kita, dan menjadi laknat
bagi negara. Peran Pemerintah dalam menengahi perbedaan yang ada sangatlah
penting. Pemerintah harus mempunyai
ketegasan untuk menengahi khilafiyah
ini demi persatuan dan keutuhan umat, khususnya umat Islam di Indonesia. Peran
Pemerintah berdasarkan filosofi negara
kita yaitu Pancasila, mulai dari sila Ketuhanan Yang Maha Esa sampai Keadilan Sosial
bagi Seluruh Rakyat Indonesia, di uji. Dalam perbedaan yang ada, Pemerintah
berkewajiban menaungi seluruh warga negara dalam bingkai Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Sidang Isbat merupakan
langkah positif yang dilakukan Pemerintah melalui Kementrian Agama Republik
Indonesia dalam menentukan awal ramadhan dan lebaran, agar ada persamaan
pendapat dengan cara musyawarah mufakat, dan meminimalisir perbedaan yang ada. Isbat
berasal dari bahasa arab yang berarti konfirmasi, pembenaran, penegasan,
peneguhan, penentuan, pengiyaan. Sidang isbat
penentuan awal ramadhan dan lebaran merupakan langkah pemerintah dalam
mengakomodir kemungkinan segala perbedaan yang ada dan meniadakan keraguan di
masyarakat awam, hal ini dilakukan demi
untuk memberikan rasa tentram, nyaman dalam kehidupan beragama,
berbangsa dan bernegara.
Menurut
Q.S An-Nisa : 59 yang berarti; “hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah
dan taatilah Rasul (Muhammad) dan Ulil Amri diantara kalian”. Berdasarkan ayat
tersebut, maka dapatlah dikategorikan Pemerintah
adalah ulil amri dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, jika
memang Pemerintah menganjurkan hal yang
baik, walaupun para pejabatnya tidak semuanya baik, dan tentunya tidak bertentang
dengan perintah serta larangan yang sudah digariskan oleh Allah , SWT dan
rasul-Nya, maka wajib dipatuhi.
Sidang
Isbat di Kementiran Agama Republlik
Indonesia pada hari kamis, 19 Juli 2012 pukul 19.00-21.00 WIB, telah ditetapkan
awal ramadhan 1433 H jatuh pada tanggal 21 Juli 2012. Hal ini berdasarkan
perhitungan, penelitian dan pendapat jumhur ulama se Indonesia dan ilmuwan dari
institusi Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional. Terlepas dari berbagai
perbedaan tentang penentuan awal ramadhan, dari 17 ormas Islam yang
diundang, 3 ormas Islam menetapkan awal
ramadhan 1433 H jatuh pada tanggal 20 juli 2012, dan 14 ormas Islam lainnya menetapkan
awal ramadhan 1433 H jatuh pada tanggal 21 juli 2012. Perbedaan adalah rahmat,
tidak boleh menimbulkan perpecahan, disinilah rasa toleransi di uji. Persatuan
dan kesatuan umat Islam di Indonesia haruslah di nomorsatukan. Rasulullah, SAW berkata: “Mudahkanlah (dalam
urusan) dan janganlah mempersulit, beritakanlah kabar yang baik dan jangan
membuat orang lari, bersepakatlah dan jangan bersengketa” (Juniarso Ridwan;
2010, 15).
Tentang
perbedaan pendapat yang terjadi antara kelompok yang memakai jalur ru’yah
maupun hisab sering memantik perpecahan di kalangan umat. Sebenarnya baik
ru’yah maupun hisab sah-sah saja bila tahu dalilnya, karena bisa dipertanggung
jawabkan penelitiannya. Menurut KH.Syafi’i, perbedaan itu sebetulnya rangkaian dari
ilmu yang dipelajari. “Bukankah berijtihad itu mendapat rahmat dan bukan untuk
mengundang laknat. Jika salah berijtihad saja dapat pahala, apalagi ijtihadnya
betul”. Semoga dengan semakin banyak orang paham tentang hal ini, umat Islam
terbiasa untuk menghargai perbedaan (Hidayah; 2004, 101).
Sebagai
saran, sebaiknya untuk sidang isbat penentuan awal bulan ramadhan dan lebaran
dilakukan secara tertutup. Ini untuk mengantisipasi agar masyarakat awam tidak
resah terhadap realita adanya perbedaaan pendapat yang sebenarnya dapat di
minimalisir. Sebaiknya masyarakat cukup mengetahui keputusan akhir sidang isbat
dari pemerintah. Sehingga masyarakat tidak ikut berpolemik dan menimbulkan
keresahan dalam beragama, berbangsa dan bernegara. Semoga seluruh umara selalu di lindungi dan dirahmati
Allah, SWT dalam menjalankan tugasnya untuk kemashlahatan umat, bangsa dan
negara. Wallahu ‘alam bisshawaab.