Diktat Hukum Perusahaaan
IKOMATUSSUNIAH.SH.MH.
(Disarikan dari berbagai literatur dan digunakan untuk perkuliahan kalangan sendiri di FH UNTIRTA)
Istilah perusahaan lahir sebagai wujud
perkembangan yang terjadi dalam dunia usaha, kemudian diakomodir dalam KUHD.
Masuknya istilah perusahaan dalam KUHD diawali dengan ditemukannya beberapa
kekurangan atau kelemahan dalam KUHD. Istilah perusahaan ini tidak dirumuskan
secara eksplisit seperti apa yang terjadi dalam istilah pedagang dan perbuatan
perdagangan. Namun demikian beberapa ahli hukum sudah memberikan beberapa
rumusan sebagai pegangan yang akan dipaparkan lebih lanjut.
Saat ini beberapa pasal dari buku I KUHD
tentang pedagang pada umumnya sudah dianggap tidak sesuai lagi dengan
perkembangan dalam dunia usaha atau perdagangan. Ketidaksesuaian itu disebabkan
adanya kekurangan atau kelemahan yang dikandung oleh definisi pedagang dan
perbuatan perdagangan (perniagaan), sehingga menyebabkan terbatasnya ruang
lingkup usaha yang dapat dilakukan dan menjadi bagian kajian dalam hukum
dagang. Hal inilah yang kemudian mendorong membuat Undang-undang mengambil
keputusan mencabut ketentuan pasal 2-5 KUHD perihal pedagang dan perbuatan
perniagaan.
Salah
satu bagian penting perkembangan dalam Hukum Dagang adalah munculnya istilah
baru yang berusaha mengambil alih peranan Hukum Dagang, yaitu istilah Hukum
Perusahaan. Istilah Hukum Perusahaan ini jelas merupakan rangkaian tak terputus
dengan istilah Perusahaan. Bahkan saat ini Hukum Perusahaan sudah dijadikan
materi kuliah wajib dibeberapa perguruan tinggi yang terkesan berdiri sendiri
berdampingan dan atau menggantikan Hukum Dagang. Walaupun secara subtansi
keduanya hampir tidak ada perbedaan (karena Hukum Perusahaan merupakan bagian
khusus dari Hukum Dagang), tetapi secara umum bidang hukum baru ini lebih
diminati dan mudah pahami bila dibandingkan dengan Hukum Dagang. Hukum Dagang
lebih banyak dikenal oleh mahasiswa-mahasiswa fakultas hukum, sedangkan Hukum
Perusahaan (Organisasi Perusahaan) merupakan materi kuliah yang selalu
disajikan pada fakultas-fakultas ekonomi sehingga wajar bila Hukum Perusahaan
lebih banyak dikenal oleh mahasiswa-mahasiswa fakultas ekonomi.
Istilah
“Perusahaan” adalah istilah yang lahir sebagai akibat adanya pembaharuan dalam
Hukum Dagang. Oleh karena itulah, sejak beberapa pasal dalam Buku I KUHD
dicabut, maka sejak saat itu pula istilah dan pengertian pedagang dan perbuatan
perdagangan (perniagaan) tidak layak lagi mewakili kepentingan kaum pedagang
khususnya dan masyarakat pada umumnya yang kemungkinan memiliki hubungan,
kepentingan dan atau ikut ambil bagian dalam aktivitas perusahaan.
Hingga saat ini istilah hukum
perusahaan masih belum dapat menjadi istilah yang berdiri sendiri karena ia
termasuk istilah yang lahir dari lapangan hukum perdata (Hukum Dagang). Dalam
KUHD, istilah dan pengertian hukum perusahaan juga tidak dijumpai karena ia
senasib dengan istilah perusahaan. Pembentukan UU tampaknya mulai sadar bahwa
dengan membuat rumusan pengertian perusahaan (termasuk didalamnya hukum
perusahaan) berarti mengulangi kesalahan yang sama seperti yang terjadi pada
rumusan pengertian pedagang dan perbuatan perdagangan. Pembuat UU berkeinginan
agar istilah perusahaan dan Hukum Perusahaan berkembang dengan sendirinya
mengikuti perkembangan yang terjadi dalam dunia usaha atau perusahaan.
Menurut Soekardono, perusahaan
adalah salah satu pengertian ekonomi yang juga masuk kedalam lapangan Hukum
Perdata, khususnya Hukum Dagang. Melalui Staatblad; 1938/276, istilah
perusahaan masuk kedalam Hukum Dagang dengan menggantikan istilah pedagang dan
perbuatan perdagangan.
Istilah perusahaan dalam Bahasa
Indonesia mempunyai tiga pengertian yang diadopsi dari istilah Belanda, yaitu
sebagai berikut:
a.
Onderneming
Dalam istilah onderneming tercemin seakan-akan adanya suatu kesatuan kerja, namun
ini terjadi dalam suatu perusahaan.
b.
Bedrijf
Diterjemahkan dengan “perusahaan”,
yang mana dalam hal ini tercermin adanya penonjolan pengertian yang bersifat
ekonomis yang bertujuan mendapatkan laba, dalam membentuk suatu usaha yang
menyelenggarakan suatu perusahaan. Dengan kata lain, bedrijf ini merupakan kesatuan teknik untuk produksi, misalnya
industry rumah tangga, kerajinan atau keterampilan khusus, pabrik.
c. Vennootschap
Vennootschap
mengandung pengertian yuridis karena adanya suatu bentuk usaha yang ditimbulkan
dengan suatu perjanjian untuk kerjasama dari beberapa orang sekutu atau pesero.
Dengan demikian, dapat disimpulkan
perbedaan pengertian bedrijf
(perusahaan) atau ondeneming yaitu
jika bedrijf mengandung pengertian
kesatuan financial-ekonomis, maka onderneming
merupakan suatu kesatuan kerja yang semata-mata mengandung pengertian ekonomis
saja, dan kedua-duanya mengandung pengertian yang bersifat non yuridis.
Sedangkan vennootschap mengandung
pengertian yang bersifat yuridis.
Menurut
Purwosutjipto, hukum perusahaan adalah hukum yang mempelajari mengenai seluk
beluk perusahaan.
Sumber hukum perusahaan adalah:
KUHS, KUHD, UU PT, Peraturan Perundangan lainnya, Kebiasaan, Jurisprudensi,
Pendapat para ahli.
Sumber
hukum perusahaan adalah setiap pihak yang menciptakan kaidah atau ketentuan
hukum perusahaan. Pihak-pihak tersebut dapat berupa badan legislative yang menciptakan undang-undang, pihak-pihak yang
mengadakan perjanjian yang menciptakan kontrak, hakim yang memutus perkara yang
menciptakan yurisprudensi, masyarakat pengusaha yang menciptakan kebiasaan
mengenai perusahaan. Dengan demikian hukum perusahaan itu terdiri dari kaidah
atau ketentuan yang tersebar dalam perundang-undangan , kontrak, yurisprudensi,
dan kebiasaan mengenai perusahaan.
1. Perundang-undangan
Perundang-undangan ini meliputi
ketentuan undang-undang peninggalan zaman hindia Belanda dahulu, yang masih
berlaku hingga sekarang berdasarkan aturan peralihan UUD 1945, seperti
ketentuan yang terdapat dalam KUHPerdata dan KUHD. Selain itu, sudah banyak
undang-undang yang diciptakan oleh pembuat undang-undang berdasarkan pancasila
dan UUD 1945 mengenai perusahaan yang berkembang cukup pesat hingga saat ini.
Berlakunya KUHPerdata terhadap semua
perjanjian dapat diketahui berdasarkan ketentuan pasal 1319 KUHPerdata yang
menyatakan bahwa semua perjanjian baik bernama maupun tidak bernama tunduk pada
ketentuan umum yang termuat dalam bab ini dan bab yang lalu. Yang dimaksud
dengan bab ini adalah bab kedua tentang perikatan yang timbul karena
perjanjian, sedangkan yang dimaksud dengan bab yang lalu adalah bab kesatu
tentang perikatan pada umumnya. Kedua bab tersebut terdapat dalam buku III
KUHPerdata yang mengatur tentang perikatan (verbintenis).
Dengan demikian, KUHPerdata berkedudukan sebagai hukum umum (lex generalis), sedangkan KUHD
berkedudukan sebagai hukum khusus (lex
specialis). Hal ini dapat dilihat dalam ketentuan pasal 1 KUHD yang menentukan bahwa KUHPerdata
berlaku juga bagi hal-hal yang diatur dalam kitab undang-undang ini (KUHD),
sekedar dalam undang-undang ini tidak diatur secara khusus menyimpang. Misal
dalam KUHPerdata diatur tentang pemberi kuasa (lastgeving), dalam KUHD
diatur juga pemberian kuasa secara khusus mengenai surat berharga.
Selain dari ketentuan yang masih
berlaku didalam KUHPerdata dan KUHD, juga sudah diundangkan banyak sekali
undang-undang yang dibuat oleh pembuat undang-undang RI yang mengatur tentang
perusahaan, antara lain mengenai hal sebagai berikut :
a. Badan
usaha milik negara (BUMN)
b. Hak
milik intelektual (HAKI)
c. Pengangkutan
darat, perairan dan udara
d. Perasuransian
(kerugian, sejumlah uang dan social)
e. Perdagangan
dalam dan luar negeri
f. Perkoperasian
dan UMKM (usaha mikro, kecil dan menengah)
g. Pasar
modal dan penanaman modal
h. Hak-hak
jaminan atas tanah
i.
Izin usaha dan daftar perusahaan
j.
Perbankan dan lembaga pembiayaan
k. Perseroan
terbatas
l.
Dokumen perusahaan
2. Kontrak
Pada zaman modern ini, semua
perjanjian dan kontrak perusahaan selalu dibuat tertulis, baik yang bertaraf nasional
maupun internasional. Kontrak perusahaan ini merupakan sumber utama kewajiban
dan hak serta tanggungjawab pihak-pihak. Jika terjadi perselisihan mengenai
pemenuhan kewajiban dan hak, pihak-pihak juga telah sepakat untuk menyelesaikan
secara damai. Tetapi jika tidak mencapai kesepakatan antara kedua pihak,
biasanya mereka sepakat untuk menyelesaikan melalui arbitrase atau pengadilan
hal ini secara tegas dicantumkan dalam
kontrak.
Dalam pelaksanaan kontrak perusahaan
selalu melibatkan pihak ketiga, baik mengenai cara penyerahan barang maupun
cara pembayaran harga. Dalam penyerahan barang, pihak ketiga yang dapat
dilibatkan adalah perusahaan ekspedisi, pengangkutan, pergudangan, asuransi.
Sedangkan dalam pembayaran harga, pihak ketiga yang selalu dilibatkan adalah
bank. Pada perusahaan modern, semua lalu lintas pembayaran selalu dilakukan
melalui bank dengan menggunakan surat berharga yang disertai oleh
dokumen-dokumen penting lainnya.
Kontrak perusahaan selalu terikat
dengan ketentuan undang-undang berdasarkan asas pelengkap, yaitu asas yang
menyatakan bahwa kesepakatan pihak-pihak yang tertuang dalam kontrak merupakan
ketentuan yang utama yang wajib diikiuti oleh pihak-pihak. Tetapi jika dalam
kontrak tidak ditentukan, maka ketentuan undang-undang yang diberlakukan. Pada
kontrak yang bertaraf nasional mungkin tidak ada masalah dalam undang-undang
ini. Pada kontrak yang bertaraf internasional mungkin timbul masalah, yaitu
ketentuan undang-undang pihak mana yang diberlakukan, disini pihak-pihka berhadapan
dengan masalah pilihan hukum (choice of
law).
3. Yurisprudensi
Yurisprudensi merupakan sumber
perusahaan yang dapat diikuti oleh pihak-pihak yang bersangkutan terutama jika
terjadi sengketa mengenai kewajiban dan hak tertentu. Dealam yurisprudensi,
kewajiban dan hak yang telah ditetapkan oleh hakim dipandang sebagai dasar yang
adil untuk menyelesaikan sengketa kewajiban dan hak antara pihak-pihak. Melalui
yurisprudensi, hakim dapat melakukan pendekatan terhadap sistem hukum yang
berlainan, misalnya sistem hukum anglo
saxon. Dengan demikian, kekosongan hukum dapat diatasi, sehingga
perlindungan hukum terhadap pihak-pihak terutama yang berusaha di Indonesia
dapat terjamin, misalnya perusahaan penanaman modal asing di Indonesia.
4. Kebiasaan
Dalam praktik perusahaan, kebiasaan
merupakan sumber yang dapat diikuti oleh pengusaha. Dalam undang-undang dan
perjanjian, tidak semua hal mengenai pemenuhan kewajiban dan hak itu diatur.
Jika tidak ada pengaturannya, maka kebiasaan yang berlaku dan berkembang
dikalangan para pengusaha dalam menjalankan perusahaan dapat diikuti guna
mencapai tujuan yang telah disepakati. masalahnya adalah, apa kriterianya
kebiasaan yang dapat diikuti.
Kebiasaan yang dapat diikuti dalam
praktek perusahaan adalan yang memenuhi criteria sebagai berikut :
a. Perbuatan
yang bersifat keperdataan
b. Mengenai
kewajiban dan hak yang seharusnya dipenuhi
c. Tidak
bertentangan dengan undang-undang dan kepatutan
d. Diterima
oleh pihak-pihak dengan suka rela karena dianggap hal yang logis dan patut.
Menurut
pasal 2 KUHD (lama), pedagang adalah mereka yang melakukan perbuatan perniagaan
sebagai pekerjaan sehari-hari. Perbuatan perniagaan itu selanjutnya
diperjelas oleh pasal 3 KUHD (lama),
yaitu perbuatan pembelian barang-barang untuk dijual kembali. Berdasarkan
ketentuan pasal 3 KUHD (lama) Purwosutjipto mencatat bahwa :
a. Perbuatan
perniagaan hanya menyangkut perbuatan pembelian saja , sedangkan perbuatan
penjualan tidak termasuk didalamnya , karena penjualan adalah tujuan pembelian.
b. Pengertian
barang disini hanya berarti barang bergerak saja, tidak termasuk didalamnya
barang tetap (tidak bergerak)
c.
Bila terjadi perselisihan antara
pedagang dengan non-pedagang, muncul beberapa pendapat mengenai pemberlakuan
hukum dagang:
- Menurut H.R, hukum dagang baru berlaku bila bagi tergugat perbuatan
yang dipertentangkan adalah perbuatan perniagaan. Ini artinya bila tergugat
adalah pedagang, dan penggugat bukan pedagang, maka disini akan berlaku hukum
dagang. Akhirnya hukum dagang juga diberlakukan bagi non-pedang. Pendapat H.R
ini telah melanggar prinsip hukum dagang bagi pedagang. (pendapat ini bertitik
tolak pada subjek hukum di pihak tergugat)
- Pendapat kedua, menyatakan bahwa hukum dagang berlaku kalau
perbuatan yang disengketakan itu bagi kedua belah pihak merupakan perbuatan
perniagaan. (pendapat ini bertitik tolak pada obyek sengketa)
Dari pendapat di atas terlihat
dengan jelas bahwa prinsip Hukum Dagang Bagi Pedagang (koopmanrecht) tidak bisa dipertahankan lagi dalam situasi saat
ini. Karena pedagang berpeluang melakukan sengketa dengan siapapun termasuk
yang bukan pedagang. Oleh karena itu, sejak tanggal 17 Juli 1938, hukum dagang
(KUHD) mulai diberlakukan bagi semua orang, baik pedagang maupun bukan
pedagang.
d.
Pasal 4 KUHD (lama) kemudian memerinci
lagi beberapa kegiatan yang termasuk dalam kategori perbuatan perniagaan, yang
salah satunya adalah perbuatan jual-beli perlengkapan kapal dan keperluan
kapal. Dengan demikian, bila mengacu pada pendapat purwosutjipto diatas mengenai
ketentuan pasal 3 KUHD (lama), tampak bertentangan dengan pasal 4 KUHD (lama)
yang menyebut jual beli sebaga perbutan perniagaan.
Sedangkan
pasal 5 KUHD (lama) hanya menambahkan kegiatan-kegiatan yang termasuk perbuatan
perniagaan khususnya perbuatan perniagaan di laut, seperti perbuatan yang
timbul dari kewajiban-kewajiban menjalankan kapal untuk melayari laut,
kewajiban-kewajiban mengenai kecelakaan kapal, tolong menolong dan menyipan barang dilaut dll.
PP
No.6 tahun 1974 mengatur tentang pembatasan pegawai negeri sipil dalam usaha
swasta. Dasar pemikiran dari PP No.6 tahun 1974, adalah bahwa pemerintah
memandang perlu untuk membatasi kegiatan para
pegawai negeri dalam kegiatan-kegiatan mereka yang berhubungan dengan
usaha-usaha swasta. Tujuannya adalah seluruh perhatian dan kemampuan mereka
benar-benar dicurahkan pada pelaksanaa tugasnya masing-masing serta tidak akan menimbulkan pandangan atau
pemikiran yang mengurangi kebutuhan dan kewajiban tindakan pejabat, pegawai
negeri dan anggota TNI (penjelasan PP No.6 tahun 1974).
Dalam
pasal 2, PP No.6 tahun 1974 disebutkan bahwa PNS yang berpangkat Pembina (IV/a)
keatas atau memangku jabatan structural esselon I atau istrinya, dilarang
melakukan kegiatan usaha dagang baik secara resmi maupun sambilan, menjadi
direksi, pimpinan atau komisaris perusahaan swasta, kecuali melakukan pekerjaan
swasta yang mempunya fungsi social misalnya :
praktek dokter, bidan, pengajar sebagai guru, dan sebagainya, Atau istri
bekerja sebagai pegawai di instansi swasta atau perusahaan milik Negara yang
tidak ada hubungannya dengan pekerjaan atau jabatan suaminya.
Disamping
itu dalam pasal 4 PP No.6 tahun 1974 disebutkan bahwa PNS yang berpangkat
Pembina (IV/a) keatas atau memangku jabatan structural esselon I atau istrinya,
dilarang duduk sebagai pengurus, penasehat atau pelindung dalam badan social
apabila untuk itu ia menerima upah/gai/honorarium/keuntungan materiil/financial
lainnya. Bila terjadi pelanggaran terhadap No.6 tahun 1974, maka akan dikenakan
sanksi berdasarkan peraturan perundang-undangan.
a. Dia
dapat melakukan perusahaannya sendiri, tanpa pembantu;
Misal
: pengusaha-pengusaha perseorangan yang tiap hari menjajakan makanan atau
minuman dengan berjalan kaki atau naik sepeda.
b. Dia
dapat melakukan perusahaannya dengan pemantu-pembantunya;
Missal
: pengusaha yang turut serta dalam melakukan perusahaannya. Jadi dia mempunyai
dua kedudukan , yaitu sebagai pengusaha
dan sebagai pemimpin perusahaan.
c. Dia
dapat menyuruh orang lain untuk melakukan perusahaannya, sedang dia tidak turut
serat dalam melakukan perusahaan itu;
Missal
: tidak turut serta dalam melakukan perusahaan,dari sebab itu dia hanya
memiliki satu kedudukan saja, yaitu sebagai pengusaha, sedang yang menjadi
pemimpin perusahaan adalah orang lain yang mendapat kuasa dari dia.
Sebuah perusahaan dapat dikerjakan oleh
seorang pengusaha atau beberapa orang pengusahadalam bentuk kerja sama. Dalam
menjalankan perusahaannya seorang pengusaha dapat bekerja sendiri atau dapat
dibantu dengan orang-orang lain yang disebut “pembantu-pembantu perusahaan”.
Pembantu-pembantu perusahaan itu ada 2 jenis :
1. Pembantu-pembantu
dalam perusahaan, misalnya : pelayan
toko, pekerja keliling, pengurus filial, pimpinan perusahaan dll
2.
Pembantu-pembantu diluar perusahaan, misalnya : agen perusahaan, pengacara, notaris,
makelar, dan komisioner.
Mereka bukanlah pengusaha, tetapi
petugas yang diberi kuasa oleh pengusaha untuk menjalankan perusahaan. Dia
bertanggung jawab seluruh pengelolaan dan maju mundurnya perusahaan kepada
pengusaha. Dia dibayar oleh pengusaha dengan upah yang mahal sesuai dengan
keahlian dan hasil karyanya.
Hubungan hukum antara pemimpin perusahaan dengan
pengusaha bersifat :
a. Hubungan perburuhan,
yakni hubungan yang bersifat subordinasi antara majikan dan buruh, yang
memerintah dan yang diperintah. Manager mengikat dirinya untuk menjalankan
perusahaan dengan sebaik-baiknya, sedangkan pengusaha mengikatkan diri untuk
membayar upahnya. (pasal 1601 a KUHPER)
b. Hubungan pemberi kuasa, yaitu
suatu hubungan hukumyang diatur dalam pasal 1792 dsl KUHPER. Pengusaha
merupakan pemberi kuasa, sedangkan si manager merupakan pemberi kuasa. Pemegang
kuasa mengikatkan diri untuk melaksanakan perintah si pemberi kuasa, sedangkan
si pemberi kuasa mengikat diri untuk memberi upah sesuai dengan perjanjian yang
bersangkutan.
Menurut pendapat pemerintah belanda
perencana Wetboek van Koophandel, pekerja itu perbuatan-perbuatan yang
dilakukan tidak terputus-putus, secara terang-terangan dan dalam kedudukan tertentu, jadi perbuatan yang dilakukan bagi suatu pekerja
itu tidak untuk mencari laba, tetapi atas dasar cinta ilmiah, perikemanusiaan
atau agama.
Pekerja ialah :
1. Pekerjaan
dinas pemerintah yang melayani rakyat, misalnya : pencatat sipil, pencatat
perkawinan, peradilan, pamong praja, polisi dll
2. Pekerja
social, misalnya : palang merah Indonesia, perkumpulan olah-raga, perkumpulan
kebudayaan dll
3.
Pekerjaan-pekerjaan untuk agama, misalnya
: muhammadiyah, dakwah islamiyah, dll.
Setelah berlaku kurang lebih 12 tahun, seiring dengan
perubahan yang tejadi dan berkembang dalam dunia usaha, kehadiran UU No. 1
tahun 1995 dirasakan sudah tidak lagi dapat menampung berbagai perubahan yang
terjadi dalam kegiatan usaha. UU No.1 tahun 1995 dirasakan tidak lagi
sepenuhnya dapat memberikan pelayanan yang maksimal bagi para pelaku usaha
dalam melakukan aktivitasnya. Dan oleh karena itu perlu dilakukan perubahan.
Pembangunan perekonomian nasional
yang diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip
kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan,
kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi
nasional, perlu didukung oleh kelembagaan perekonomian yang kokoh dalam rangka
mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Peningkatkan pembangunan perekonomian
nasional yang sekaligus memberikan landasan yang kokoh bagi dunia usaha dalam
menghadapi perkembangan perekonomian di era globalisasi pada masa mendatang,
perlu didukung oleh suatu undang-undang yang mengatur tentang perseroan
terbatas yang dapat menjamin terselenggaranya iklim dunia usaha yang kondusif.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas dipandang sudah
tidak sesuai lagi dengan perkembangan hukum dan kebutuhan masyarakat sehingga
perlu diganti dengan undang-undang yang baru.
Disamping itu, meningkatnya
tuntutan masyarakat akan layanan yang cepat, kepastian hukum, serta tuntutan
akan pengembangan dunia usaha yang sesuai dengan prinsip pengelolaan perusahaan
yang baik (good corporate governance) menuntut penyempurnaan
Undang-undang No.1 tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas. Misi UU Perseroan
Terbatas No.40 tahun 2007 adalah:
a. mempersingkat waktu:
b. menyederhanakan prosedur;
c. menyederhanakan syarat, dan
d. menurunkan biaya.
Dalam UU No.40 tahun 2007 telah
diakomodasi berbagai perkembangan yang terjadi dalam aktivatas usaha dengan
cara, baik berupa penambahan ketentuan baru, perbaikan, penyempurnaan, maupun
mempertahankan ketentuan dalan UU No.1 tahun 1995 yang dinilai masih relevan
dalam keadaan saat ini.
Perubahan-perubahan tersebut diantaranya:
1.
Penyederhanaan Anggaran Dasar PT
2. Batas
Waktu Pengesahan Akta Pendirian PT. yaitu, 60 (enam puluh) hari terhitung sejak
akta pendirian ditandatangani.
3.
Pengesahan dan Perubahan Angaran Dasar secara Elektronik
4. Daftar
Perseroan, yang menyelenggarakan adalah menteri.
5.
Pengumuman
6. Modal
dan Saham. Besar modal adalah Rp. 50.000.000,-.
7.
Klasifikasi Saham
8. Rencana Kerja, Laporan Tahunan, dan
Penggunaan Laba.
9.
Komisaris Independen, Kommisaris Utusan dan Pengawas Syahriah.
10. Tanggung
Jawab Sosial dan Lingkungan.
11. Perseroan
yang Wajib Diaudit Akuntan Publik.
12.
Pelaksanaan RUPS Dengan Media Elektronik.
13. Pemisahan
Perseroan
14. Tim Ahli
Pemantau Hukum Perseroan.
15. Perubahan
AD PT. Tertutup Menjadi PT. Terbuka.
16.
Perpanjangan Waktu Berdirinya Perseroan Terbatas.
UU Perseroan Terbatas antara lain memuat pokok-pokok
pikiran dari perubahan-perubahan sebagai berikut :
1. Menegaskan Perseroan Terbatas adalah badan hukum
yang merupakan persekutuan modal yang
didirikan atas dasar perjanjian.
2. Memperkenalkan sistem elektronis di samping tetap
mempertahankan sistem manual dalam
keadaan tertentu, untuk pengajuan permohonan, pemberian pengesahan status badan hukum serta persetujuan
perubahan anggaran dasar, dalam rangka
memenuhi tuntutan pelayanan yang cepat dan akurat.
3. Perubahan mengenai pengumuman dan pendaftaran
akte pendirian Perseroan yang telah
disahkan dan terhadap perubahan Anggaran Dasar.
4. Kewajiban Menteri Hukum dan Hak asasi Manusia
menyelenggarakan Daftar Perseroan
Terbatas dan juga mengumumkan akta pendirian perseroan terbatas beserta Keputusan Menteri tentang Pengesahannya
sebagai badan hukum, akta perubahan
anggaran dasar perseroan terbatas yang telah disetujui beserta Keputusan
Menterinya, serta perubahan anggaran dasar yang pemberitahuannya telah diterima oleh Menteri dalam Tambahan Berita Negara RI.
5. Mengatur secara lebih rinci mengenai RUPS,
Direksi, dan Dewan Komisaris.
6. Mempertegas ketentuan mengenai pembubaran
Perseroan.
7. Melakukan perubahan-perubahan mengenai modal dan
saham.
8. Dimungkinkannya pembelian kembali saham yang
telah dikeluarkan oleh Perseroan sepanjang memenuhi persyaratan yang telah ditentukan dengan
batas waktu Perseroan hanya boleh
menguasai saham yang telah dibeli kembali paling lama 3 tahun.
9. Kewajiban Perseroan menyisihkan laba bersih
sebagai cadangan mencapai paling sedikit
20 % dari jumlah modal yang telah ditempatkan dan disetor.
10. Kewajiban Perseroan yang menjalankan kegiatan
usahanya di bidang dan/atau berkaitan
dengan sumber daya alam untuk melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan.
Diperkenalkan pembentukan Tim Ahli dengan tugas
memberi masukan kepada Menteri berkenaan
dengan Perseroan Terbatas.
Secara
historis hukum dagang adalah hukum perdata khusus bagi pedagang. Menurut KUHD
(lama) pedagang adalah mereka yang melakukan perbuatan perniagaan sebagai
pekerjaannya sehari-hari.
Pasal 3 KUHD (lama) disebutkan bahwa perbuatan
perniagaan pada umumnya adalah perbuatan pembelian barang-barang untuk dijual
kembali.
Pasal 4 KUHD (lama) merinci perbuatan perniagaan
yaitu:
a.
Perusahaan komisi.
b.
Perniagaan wesel.
c.
Perdagangan, bankir, kasir, makelar dan
sejenisnya.
d.
Pembangunan, perbaikan dan perlengkapan
kapal untuk pelayaran dilaut.
e.
Ekspedisi dan pemgangkutan barang.
f.
Jual beli perlengkapan dan keperluan
kapal.
g.
Rederij
(perusahaan perkapalan), carter kapal, bordemerij,
dan perjanjian lain tentang perniagaan laut.
h.
Mempekerjakan nahkoda dan anak buah
kapal untuk keperluan kapal niaga.
i.
Perantara laut, cargadoor (makelar tengkulak muatan kapal), convoilopers (pengawas armada), pembantu-pembantu pengusaha
perniagaan dan lain-lain.
j.
Perusahaan asuransi.
Pasal 5 KUHD (lama) ; perniagaan yaitu
perbuatan-perbuatan yang timbul dari kewajiban-kewajiban menjalankan kapal.
Pasal 2 sampai pasal 5 telah dicabut dengan stb
1938-276 sejak tanggal 17 juli 1938, dengan ketentuan istilah pedagang telah
diganti dengan istilah perusahaan.
Berdasarkan
Peraturan Pemerintah No.6/1974, pemerintah melarang pejabat/pegawai negeri
tertentu berkecimpung di dunia swasta. Pertimbangannya karena:
a.
Pejabat/pegawai negeri dan anggota ABRI
diangggap mempunyai peran yang menentukan.
b.
Pejabat/pegawai negeri dan anggota ABRI
disyaratkan memiliki kecakapan teknis dan mempunyai sikap mental bersih, jujur
serta penuh pengabdian kepada kepentingan rakyat, negara dan bangsa.
c.
Pejabat/pegawai negeri dan anggota ABRI harus
kosentrasi terhadap berbagai kebijakan pemerintah seperti penyederhanaan
organisasi, peningkatan latihan-latihan, pelaksanaan tugas-tugas, sehingga
tidak menimbulkan pandangan negatif dan penyalahgunaan wewenang yang dapat
mengurangi keutuhan dan kewibawaan tindakan-tindakan pejabat, pegawai negeri
atau anggota ABRI.
PP
No. 6/1974 pasal 2 (1):
Pegawai Negeri Sipil golongan ruang IV/a PGPS-1968 keatas,
anggota ABRI berpangkat Letnan II keatas, Pejabat serta isteri dari:
a.
Pejabat eselon I dan yang setingkat baik
di Pusat maupun di Daerah.
b.
Perwira tinggi ABRI.
c.
Pejabat-pejabat lain yang ditetapkan
oleh Menteri/Kepala Lembaga yang bersangkutan; dilarang:
-
Memiliki seluruh atau sebagian
perusahaan swasta.
-
Memimpin, duduk sebagai anggota pengurus
atau pengawas suatu perusahaan swasta.
-
Melakukan kegiatan usaha dagang, baik
resmi maupun sambilan.
Pasal 4 ayat (1) PP No.6 1974:
“Pegawai Negeri Sipil golongan ruang IV/a PGPS-19 68
keatas, anggota ABRI berpangkat Letnan II keatas dan pejabat dilarang duduk
sebagai pengurus, penasehat atau pelindung dalam Badan sosial, apabila untuk
itu ia menerima upah/gaji/honorarium atau keuntungan materiil atau finansiil lainnya”.
Badan
usaha dapat dibagi dalam beberapa bentuk:
a.
Perseroan Terbatas atau PT (Naamloze
Vennootschap).
Adalah badan
hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian,
melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham
dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam undang-undang ini serta
peraturan pelaksanaannya (pasal 1 ayat (1) UU No. 40/2007).
Naamloze
Vennootschap (Bld) adalah suatu perseroan yang tidak
memiliki sesuatu firma, dan tidak memakai nama salah seorang atau lebih dari
para perseronya – tetapi nama perseoran ini diambilkan dari (nama) tujuan dari
perseroan perusahaan tersebut, naamlooze
vennootschap yang di Indonesia sekarang ini seringkali hanya disingkat N.V.
saja – sekarang lebih tenar dengan istilah barunya Perseroan Terbatas atau
seringkali hanya disingkat P.T., sebelum P.T. ini berdiri/diakui dengan sah actenya harus dibuat oleh notaris dan
terlebih dahulu harus disampaikan kepada Menteri Kehakiman untuk legalisasinya
(Yan pramadya; kamus hukum,, hlm.614).
b.
Koperasi (Cooperatie – Bld), Cooperation
(Ingg)/ kerjasama adalah suatu perkumpulan yang bertujuan memelihara dan
memperjuangkan kepentingan materiil bagi para anggotanya tanpa mengabaikan
kepentingan umum, dimana usaha tersebut merupakan kerjasama yang memberikan
kredit, fasilitas dan lain kepentingan untuk keperluan para anggotanya. UU
Koperasi tercantum pada L.N. 967 no. 23. (Yan Pramadya, Kamus Hukum, hlm. 255).
c.
Maatschap atau persekutuan (partnership).
Unsur-unsur
persekutuan perdata berdasarkan pasal 1618 KUHPerdata, yaitu:
-
Adanya suatu unsur perjanjian kerjasama
antara dua orang atau lebih.
-
Masing-masing pihak harus memasukan
sesuatu kedalam persekutuan (inbreng).
-
Bermaksud membagi keuntungan bersama.
d.
VOF atau Vennootschap Onder Firma (Fa)
Firma adalah
istilah dalam bidang perdagangan yang sering kali disebut juga Perseroan Firma.
Peseroan Firma ini didirikan dengan akte notaris untuk menjalankan sesuatu
perusahaan dibawah satu nama atau dibawah nama bersama (KUHD pasal 16).
Setiap persero
berhak untuk bertindak untuk menerima atau mengeluarkan uang atas nama
perseroan atau untuk mengikat perseroan firma itu dengan pihak ketiga (KUHD
pasal 17).
Tiap-tiap
persero dalam perseroan firma itu bertanggung jawab secara tanggung menanggung
untuk seluruhnya atau segala perikatan dari perseroan firma tersebut (KUHD
pasal 18).
e.
Commanditaire Vennootschap (CV)
Perseroan
komanditer/limited partnership disebut juga perseroan secara melepas uang.
Perseroan ini didirikan antara beberapa orang atau beberapa persero yang secara
tanggung menanggung bertanggung jawab untuk seluruhnya pada pihak satu, dan
satu orang lebih sebagai pelepas orang pada pihak lain. Pihak pelepas uang
tidak perlu ikut aktif mengemudikan perseroan tersebut (as a sleeping partner). Perseroan komanditer dijalankan oleh
direksi yang bergelar directeur,
direktur didampingi commisaris atau anggota dewan pengawas yang berfungsi
mengawasi jalannya perseroan tersebut pada bidang-bidang keuangan dan lain
sebagainya.
Berdasarkan
kepemilikannya, perusahaan terdiri atas:
a. Perusahaan
Negara.
Perusahaan yang modalnya dimiliki
oleh negara dan merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dan selain itu adan
Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yang bisa berupa Perusahaan Daerah (PD) atau
bisa berupa PT.
Menurut UU No. 19 Prp Tahun 1960;
perusahaan negara adalah semua perusahaan dalam bentuk apapun yang modalnya
untuk seluruhnya merupakan kekayaan negara RI, kecuali ditentukan lain
berdasarkan undang-undang. Perusahaan dibedakan antara perusahaan jawatan,
perusahaan umum, dan perusahaan perseroan.
b.
Perusahaan swasta; yang modalnya
dimiliki oleh swasta, umumnya berbentuk PT atau salah satu dari bentuk-bentuk
uasha yang ada berdasarkan peraturan perundang-undangan.
c.
Perusahaan Nasional; yaitu perusahaan
yang dimiliki oleh negara dan atau swasta nasional dengan kepemilikan modal
dalam negerinya minimal 51%.
d.
Perusahaan Asing; yaitu perusahaan yang
tidak memenui ketentuan untuk persyaratan perusahaan nasional, misalnya modal
dalam negerinya/ sasta nasional yang ditanam kurang dari 51%. Perusahaan asing
tersebut bisa berupa:
-
Perusahaan patungan
-
Perusahaan murni asing (100%)
Macam
Perseroan Terbatas adalah:
a.
PT biasa, yaitu badan hukum yang
didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha yang modal dasar
seluruhnya terbagi dalam saham, dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 serta peraturan pelaksanaannya.
b.
PT. PMDN (PT. Penanaman Modal Dalam
Negeri)
Yaitu penggunaan
bagian kekayaaan masyarakat Indonesia, (termasuk hak-hak dari benda-benda yang
dimilki negara maupun swasta nasional atau swasta asing yang berdomisili di
Indonesia) yang disediakan guna menjalankan usaha sepanjang modal tesebut tidak
diatur dalam ketentuan-ketentuan pasal yang mengatur tentang Modal Asing berdasarkan UU No. 1
Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing.
c.
PT. PMA (PT Penanaman Modal Asing)
Yaitu meliputi
penanaman modal asing secara langsung yang dilakukan berdasarkan ketentuan
Undang-Undang Penanaman Modal Asing dan digunakan untuk menjalankan perusahaan
di Indonesia, pemilik modal menanggung resiko secara langsung dari penanaman
modal tersebut.
Modal asing
adalah alat pembayaran luar negeri yang tidak merupakan bagian kekayaan devisa,
dan digunakan untuk pembiayaan
perusahaan Indonesia dengan persetujuan pemerintah Indonesia.
d.
PT. Persero (PT Perusahaan Perseroan)
Yaitu bentuk
usaha negara yang semula berbentuk Perusahaan Nasional, yang kemudian demi
efisiensi diubah menjadi PT sesuai dengan UU No.40 tahun 2007 pasal 7 ayat 7 a
yang modalnya atau seluruh sahamnya dimiliki olehh negara dari kekayaan negara
yang dipisahkan.
Diatur
dalam pasal 1618 sampai dengan 1652 KUHPer. Terjemahan maatschap dalam Bahasa Indonesia adalah persekutuan, peseroan,
kompanyon.
Maatschap adalah suatu persetujuan
dimana dua orang atau lebih mengikatkan diri untuk memasukkan sesuatu kedalam
persekutuan, dengan maksud untuk membagi keuntungan yang terjadi karenanya. “Sesuatu”
bisa berarti uang, barang-barang laini, kerajinan berupa tenaga serta
keterampilan.
Unsur-unsur
Maatschap:
a.
Bertindak secara terang-terangan.
b.
Bersifat kebendaan
c.
Untuk memperoleh keuntungan
d.
Keuntungan dibagi-bagikan antara anggota
e.
Kerjasama ini tidak diberitahukan kepada
umum
f.
Ditujukan kepada sesuatu yang mempunyai
sifat yang dibenarkan dan diizinkan.
g. Untuk
kepentingan bersama anggotanya.
Bentuk maatschap
merupakan bentuk permitraan dasar (basic
partnerships form), yang paling sederhana karena:
a.
Tidak ada ketentuan mengenai besarnya
modal.
b.
Dalam rangka memasukkan sesuatu kedalam
persekutuan, selain uang atau barang boleh menyumbang tenaga saja.
c.
Tidak ada pembatasan dalam lapangan
kerjanya.
d.
Tidak ada pengumuman kepada pihak ketiga
seperti yang dilakukan dalam firma.
e. Kerjasama
berlaku sejak saat persetujuan.
Isi perjanjian, berupa;
a.
“Bagian “ yang harus dimasukkan.
b.
Cara kerja
c.
Pembagian keuntungan
d.
Tujuan bekerjasama
e.
Waktu atau lamanya
f. Lain-lain
yang perlu
Dalam maatschap
keluar, masing-masing anggota berrtindak seakan-akan untuk diri sendiri,
artinya hanya dapat mengikat dirinya sendiri kepada pihak ke tiga.
Pendirian dan kerjasama. Maatschap dapat didirkan tanpa ada pengajuan formal. Pendirinanya
cukup secara lisan, tetapi bisa juga berdasarkan akta pendirian. Perjanjiannya
bisa lisan ataupun tertulis, atau bahkan bisa dinyatakan melalui
tindakan-tindakan atau perbuatan para
pihak. Untuk perjanjian maatschap diperlukan
dua hal:
a.
Kontribusi dari tiap mitra
b. Bermaksud
untuk membagi keuntungan
Tanggung
Jawab
a.
Tanggung jawab intern antara mitra
Para mitra bisa
dengan perjanjian khusus menuunjuk salah seorang diantara mereka atau pihak
ketiga sebagai pengurus maatschap.
Berdasarkan pasal 1637 KUHPdt menetapkan bahwa pengurus yang ditunjuk berhak
melakukan semua tindakan kepengurusan yang ia anggap perlu, walaupun tidak
disetujui oleh beberapa atau semua mitra, asalkan dilakukan dengan itikad baik.
Apabila tidak ada
peraturan-peraturan khusus mengenai kepengurusan yang telah disetujui, pasal
1639 KUHPdt menetapkan bahwa setiap mitra dianggap secara timbal balik telah
memberi kuasa, supaya yang satu melakukan kepengurusan terhadap yang lain,
bertindak atas nama maatschap dan
atas nama mereka.
b.
Tanggung jawab terhadap pihak ketiga
Ketentuan
umumnya adalah bahwa pihak keiga yang mengadakan perjanjian dengan mitra maatschap tidak dapat mengandalkan pada
mitra tersebut mengikat maatschap
secara keseluruhan, atau mitra lain secara perorangan.
Menurut pasal
1642 KUHPdt menyatakan bahwa “para mitra tidaklah terikat masing-masing untuk
seluruh utang maatschap; dan
masing-masing mitra tidak bisa mengikat mitra lainnya, apabila mereka tidak
memberikan kuasa kepadanya untuk itu.
Pengecualian
terhadap aturan umum terjadi apabila perikatan yang dilaksanakan oleh seseorang
mitra itu menguntungkan maatschap secara
keseluruhan, dalam hal ini pihak ketiga bisa mengharap pada pemitraan secara
keseluruhan untuk pemenuhan gugatannya (Pasal 1644 KUHPdt).
Pembagian
keuntungan dan kerugian.
a. Pasal
1635 KUHPdt; “keuntungan atau kerugian akan dibagikan seimbang menurut nilai
kontribusi setiap mitra, dan mitra yang hanya mengkontribusikan keterampilan
dan jerih payah akan memperoleh keuntungan atau kerugian dalam bagian yang sama
dengan mitra yang kontribusinya paling kecil baik dalam hal uang ataupun barang”.
b.
Pasal 1634 KUHPdt; “Para mitra tidak
dapat memperjanjikan bahwa mereka akan menyerahkan pengaturan tentang besarnya
bagian masing-masing kepada salah seorang dari mereka atau kepada seorang pihak
ketiga”.
Pembubaran
dan penyelesaian.
Berdasarkan pasal 1646 KUHPdt, maatschap berakhir apabila:
a.
Lewatnya waktu yang ditentukan oleh perjanjian
maatschap
b.
Musnahnya barang atau diselesaikannya perbuatan
yang menjadi pokok permitraan
c.
Atas kehendak semata-mata dari beberapa
atau seseorang mitra
d. Jika
salah seorang mitra meninggal atau ditempatkan dibawah pengampuan (onder curatele), atau dinyatakan pailit.
Pembagian kekayaan maatschap, bila setelah pembayaran utang-utang kekayaan maatschap masih tersisa, kekayaan akan
dibagi diantara mitra menurut ketentuan perjanjian maatschap. Bila kekayaan tidak cukup untuk membayar semua
utang-utangnya, maka utang-utang tersebut akan dibebankan kepada tiap-tiap
mitra sesuai dengan perjanjian maatschap.
Firma
adalah bentuk permitraan yang umumnya digunakan dalam bidang komersil dan
didirikan untuk menjalankan suatu perusahaan dibawah nama bersama atau Firma,
yang merupakan suatu perikatan perdata khusus bertindak secara terang-terangan
dengan tanggung jawab masing-masing untuk seluruhnya. Firma diatur dalam pasal
16 sampai dengan 35 KUHD.
Pendirian.
Firma keberadaannya dapat dengan perjanjian tertulis
atau dengan lisan. Prakteknya yang terbaik adalah dengan perjanjian tertulis
(akta otentik) yang dibuat pada waktu mendirikan firma. Perjanjian tertulis
mungkin diperlukan sebagai bukti tentang keberadaan firma bila itu disangkal
oleh mitra atau pihak ketiga.
Pendaftaran.
Setelah didirikan dengan akta otentik, mitra segera
mendaftarkan akta pendirian dan mengumumkan dalam Berita Negara RI.
Firma yang tidak didaftarkan akan dianggap sebagai
mempunyai maksud usaha yang tidak terbatas, mitra dengan tanggung jawab tidak terbatas
dan jangka waktu keberadaan firma tidak tertentu. Pihak ketiga yang bertindak
dengan itikad baik terlindungi bila melakukan transaksi dengan firma tidak
terdaftar.
Bila firma telah didaftarkan, pihak ketiga akan
menanggung resiko terlibat dalam bisnis dengan mitra yang kurang kewenangan
untuk melaksanakan bisnis tersebut.
Hak
dan tanggung jawab anggota.
a. Setiap
anggota berhak melakukan pengumuman dan bertindak keluar atas nama firma
b. Perjanjian
yang dibuat oleh seorang anggota juga mengikat anggota-anggota lainnya.
c. Segala
sesuatu yang diperoleh oleh seseorang anggota menjadi harta firma.
d.
Tiap-tiap anggota secara tanggung
menanggung bertanggung jawab untuk seluruhnya atas perikatan firma yang disebut
tanggung jawab solider.
No
|
Firma
|
Maatschap
|
1
|
Bertanggung jawab untuk seluruhnya
|
Bertanggung jawab sendiri-sendiri
|
2
|
Tidak perlu diberi kuasa
|
Masing-masing anggota tidak bisa mengikat anggota
lain, kecuali telah memberi kuasa untuk itu.
|
3
|
Mempunyai harta kekayaan
|
Tidak mempunyai harta kekayaan
|
4
|
Didirikan dengan perjanjian atas dasar
konsensualitas;
-
Akta otentik
-
Didaftarkan isi aktanya
-
Diumumkan dalam berita Negara RI
|
Didirikan dengan perjanjian konsensualitas, tetapi
bukan merupakan syarat mutlak melainkan hanya sebagai alat bukti.
|
5
|
Pembagian keuntungan berdasarkan perbandingan
besar kecilnya modal masing-masing.
|
Keuntungan dibagi-bagi diantara anggota.
|
6
|
Firma badan hukum yang bisa mempunyai kekayaan
terpisah dari kekayaan mitra secara perseorangan.
|
Kekayaannya hanya jumlah dari apa yang
dikontribusikan oleh mitra ditambah keuntungan yang mereka buat bersama,
dikurangi utang-utang pada pihak ketiga.
|
7
|
Firma mempertaruhkan seluruh harta pribadi.
|
Maatschap tidak mempertaruhkan seluruh harta
pribadi
|
No
|
Firma
|
Maatscahap
|
8
|
Dalam hubungan dengan pihak ketiga mitra punya hak
untuk bertindak atas nama firma terhadap orang-orang ketiga kecuali telah
menyatakan telah menolak hak tersebut (pasal 17 KUHD). Setiap mitra
bertanggung jawab
|
Dalam hubungan dengan pihak ketiga mitra tidak
mengikat mitra lainnya kecuali telah diberi kuasa atau permitraan telah
memperoleh manfaat-manfaat dari transaksi.
|
Sebab-sebab berakhirnya suatu firma dan maatschap
sama, yaitu:
a.
Lewat waktu perjanjian
b.
Musnahnya barang / selesai perbuatan
c.
Kehendak beberapa atau seorang mitra
d.
Salah seorang mitra meninggal atau di
bawah pengampuan atau dinyatakan pailit.
Koperasi dan Yayasan merupakan dua bentuk badan
hukum yang tidak lain merupakan persekutuan yang telah lama dikenal dan
dipraktekan oleh bangsa Indonesia. Kedua badan persekutuan tersebut sudah
menjadi bagian dari corak kehidupan masyarakat Indonesia yang bertumpu pada
demokrasi ekonomi yang berasaskan pada asas kekeluargaan dan kebersamaan,
persekutuan mana tidak berlandaskan pada orientasi keuntungan samata.
Pengaturan
menganai Koperasi telah ada sejak zaman kolonial Belanda, yaitu antara lain
diatur dalam Cooperatieve Belsuit No.431
Tahun 1915, Algemeene op de Cooperatieve
Verenigingen (stbl Tahun 1933 No.189) dan Regeling Cooperatieve Verenigingen (stbl Tahun 1949 No.179). Namun
pelbagai aturan hukum yang merupakan produk kolonial Belanda tersebut dirasa
tidak sesuai dengan kultur ekonomi masyarakat Indonesia yang berlandaskan pada
asas kekeluargaan, gotong royong, kebersamaan, dan asas-asas perekonomian asli
bangsa Indonesia lainnya.
Pada
masa setelah kemerdekaan Indonesia, produk hukum warisan kolonial Belanda
tersebut tidak lantas dicabut dan hapus dari bumi Nusantara karena berlakunya
pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 (sebelum amandemen). Berdasarkan pasal II
Aturan Peralihan tersebut, segala peraturan perundang-undangan yang ada masih
langsung berlaku selama belum diadakan yang baru. Perundang-undangan kolonial
Belanda di bidang koperasi baru dicabut dan dinyatakan tidak berlaku ketika undang-undang koperasi pertama buatan
bangsa Indonesia terbit, yaitu Undang-Undang No.79 Tahun 1958 yang diundangkan
pada tanggal 27 Oktober 1958.
Dari
kurun waktu tahun 1958 ketika berlakunya UU No.79 Tahun 1958 sampai saat ini,
pengaturan di bidang koperasi (undang-undang tentang Koperasi) telah beberapa
kali dicabut dan diganti. Undang-undang No.79 Tahun 1958 sendiri dicabut dan
diganti dengan UU No.14 Tahun 1965 tentang Perkoperasian. Selanjutnya pada masa
orde baru, UU No.14 Tahun 1965 tentang Perkoperasian dicabut dan diganti dengan
UU No.12 tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Perkoperasian.
Saat
ini UU No.12 Tahun 1967 telah dicabut dan diganti dengan UU No.25 Tahun 1992
tentang Perkoperasian. Dalam setiap konsiderans undang-undang koperasi yang
baru yang kemudian menggantikan undang-undang koperasi yang lama, selalu dasar
pertimbangannya adalah bahwa undang-undang
yang lama sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan dan tuntutan zaman.
Dengan
demikian terlihat adanya suatu pergerakan dan pembaharuan hukum di bidang
koperasi dari masa ke masa. Tujuan yang esensi dari pergerakan dan pembaharuan
itu tentunya adalah untuk menyeleraskan perangkat hukum di bidang perkoperasian
dengan keadaan dan tuntutan zaman. Dalam hal ini tepatlah kiranya bunyi sebuah
asas dalam ilmu hukum bahwa “Het recht
hinkt achter de feiten aan” yaitu pada hakikatnya hukum selalu tertinggal
dari peristiwa yang diaturnya. Oleh karenyalah pembuat undang-undang
mengantisipasi permasalahan tersebut dengan berupaya untuk membentuk aturan
hukum (undang-undang) yang konform dan sesuai dengan perkembangan masyarakat).
Berbeda
dengan perangkat hukum yang mengatur perkoperasian yang telah ada sejak zaman
kolonial, perangkat hukum yang mengatur Yayasan secara eksplisit tidak pernah
ditemukan sebelum berlakunya Undang-Undang No.16 Tahun 2001 tentang Yayasan.
Artinya UU No.16 Tahun 2001 adalah undang-undang pertama yang dibentuk untuk
mengatur perihal Yayasan.
Selama
sebelum adanya UU No.16 Tahun 2001 tentang Yayasan, kegiatan dan kelangsungan
Yayasan lebih banyak bertumpu pada hukum tidak tertulis, yaitu kebiasaan. Ada
pun salah satu bentuk usaha untuk mengimbangi perkembangan hukum Yayasan
sebelum adanya UU No.16 tahun 2001 adalah melalui yurisprudensi-yurisprudensi
badan peradilan, khususnya Mahkamah Agung. Keadaan tersebut tentu “kurang
menguntungkan” bagi pelaku kegiatan Yayasan karena kurang menjamin kepastian
hukum (rechtzerkerheid), mengingat
kedudukan Yurisprudensi yang tidak mempunyai daya mengikat (binding authority).
Menimbang
dan mengakomodir kebutuhan hukum di bidang Yayasan tersebut, Pemerintah bersama
DPR ketika itu (1992) memutuskan untuk membentuk undang-undang yang akan
mengatur perihal Yayasan. Pada tanggal 6 Agustus 2001, setelah 56 tahun
merdeka, barulah untuk pertama kalinya terbit dan berlaku undang-undang yang
mengatur tentang Yayasan, yaitu Undang-Undang No.16 Tahun 2001 tentang Yayasan.
Kemudian pada Tahun 2008, Undang-Undang No.16 Tahun 2004 direvisi/dirubah
dengan UU No.28 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No.16 Tahun 2001 tentang
Yayasan.
Terbitnya
kedua undang-undang yang mengatur tentang yayasan diatas membawa dampak bagi
pelaksanaan kegiatan Yayasan. Kegiatan Yayasan harus patuh dan mengikuti
ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam undang-undang tersebut. Undang-undang
mana memberikan pengaturan tentang bagaimana seharusnya yayasan dijalankan dan
diurus guna mencapai maksud dan tujuannya.
Perlu diingat bahwa kata Koperasi merupakan kata
yang berakar pada istilah asing, yaitu berasal dari bahasa Latin “coopere” yang berarti bekerja
bersama-sama atau usaha bersama. Hal tersebut menunjukan bahwa sebetulnya kata
koperasi adalah kata serapan dari bahasa asing. Dengan demikian dapatlah
dimengerti bahwa akar sejarah koperasi/perkoperasian di Indonesia sebagai badan
persekutuan, berasal dari luar bangsa Indonesia. Kendati pun demikian, bukan
berarti masyarakat Indonesia tidak mengenal sistem persekutuan kerja
sama/gotong royong. Namun bentuk kerja sama tradisional masyarakat Indonesia
itu belum menjelma menjadi suatu kelembagaan koperasi/perkoperasian seperti
yang sekarang kita kenal. Oleh sebab itu penting kiranya mengemukakan latar
belakang sejarah koperasi secara umum di dunia.
Dapat dikatakan bahwa latar belakang munculnya
koperasi di dunia ini adalah sebagai reaksi dan upaya resistensi atas sistem
kapitalisme yang berorientasi pada keuntungan yang sebesar-besarnya. Dalam
sistem tersebut masyarakat terbelah menjadi dua golongan besar; kaum pemilik
modal (kapitalis/borjuis) dan kaum rakyat biasa/pekerja (proletar).
Berbicara mengenai sistem kapitalisme yang tumbuh di
lingkungan budaya liberal sepertinya tidak akan terepas dari salah satu
peristiwa besar di dunia, yaitu Revolusi Industri. Sistem kapitalisme yang
mula-mula berkembang di eropa pasca Revolusi Industri, memberikan keuntungan
yang besar kepada kaum pemilik modal, sedangkan disisi lain masyarakat biasa
dihisap sumber dayanya untuk kepentingan dan keuntungan para kapitalis
tersebut.
Revolusi Indusri yang mula-mula terjadi di Inggris
dan kemudian menyebar dan berkembang di negara-negara Eropa lainnya pada abad
ke 18 M membawa dampak yang signifikan terhadap tatanan kehidupan manusia, baik
kehidupan ekonomi, sosial, politik, dan lain-lain. Tenaga manusia ketika itu
mulai terdegradasi oleh efektifitas dan efisiensi kerja mesin-mesin industri.
Akibatnya sumber daya manusia kurang dihargai secara ekonomis, tergantikan oleh
mesin-mesin. Proses produksi menjadi lebih cepat dan bermutu tinggi, harga
barang menjadi murah karena ongkos produksi relatif lebih murah. Keadaan yang
demikian pada akhirnya membawa ekses buruk bagi kalangan buruh/pekerja.
Gaji/upah buruh menjadi rendah, tingkat penganggugaran menjadi semakin tinggi.
Singkatnya kaum pekerja/buruh ketika itu berada di jurang kesengsaraan.
Sistem kapitalisme ini kemudian merambah kebelahan
dunia lain baik di Asia, Afrika, maupun di Amerika melalui penjahahan, tak
terkecuali juga Indonesia. Negara-negara jajahan dijadikan lahan pemasok bahan
baku industri dan sekaligus tempat pemasarannya. Akibatnya kesengsaraan di negara
jajahan melalui politik penghisapan oleh penjajah menjadi tidak terelakan.
Penduduk pribumi (Inlander) ketika
itu menjadi objek penghisapan sumber daya oleh penjajah.
Melihat dan belajar dari kenyataan diatas, para
pemerhati ekonomi kemudian mulai memikirkan suatu cara/alternatif solusi,
minimal untuk meringankan beban penderitaan rakyat. Dengan begitu, mulailah
digagas suatu sistem persekutuan usaha yang diharapkan dan dimaksudkan untuk
mensejahterakan anggotanya pada khususnya, dan masyarakat pada umumnya.
Persekutuan usaha yang demikian itu adalah koperasi.
Di Inggris didirikan koperasi yang pertama pada
tahun 1844 yang dikenal dengan “Rochdale
Cooperation” dibawah pimpinan Charles Howart. Kemudian di Jerman Frederich
Wilhelm Raiffeisen dan Herman Sculze mempelopori berdirinya koperasi simpan
pinjam. Di Perancis juga bermunculan tokoh-tokoh koperasi seperti Charles
Fourier, Louis Blance, dan Ferdinand Lassalle.
Di Indonesia sendiri tokoh yang pertama kali dikenal
sebagai pelopor koperasi adalah seorang pamong praja di Purwokerto yang bernama
Raden Aria Wiraatmadja. R.A Wiraatmadja yang dibantu oleh E. Sieberg (asisten
residen Purwakarta) pada tahun 1896 mendirikan sebuah bank yang bertujuan untuk
menolong para pegawai, pedagang, dan petani dengan menggunakan sistem koperasi
kredit model (simpan pinjam) seperti di Jerman.
Usaha R.A Wiraatmadja itu terdorong oleh keinginan
untuk menolong dan membebaskan masyarakat kecil dari jerat bunga rentenir yang
mencekik dan para pengijon yang menghisap hasil usaha petani dan pengusaha
kecil.
Usaha dari R.A Wiraatmadja tersebut kemudian
diteruskan oleh De Wolffvan Westerrode, seorang asisten residen Belanda.
Mula-mula ia belajar dan mengamati koperasi yang ada di Jerman ketika ia cuti
kerja. Kemudian hasil pengamatan dan pembalajarannya tersebut ia bawa ke
Indonesia dan diaplikasikan dengan mengubah Bank Pertolongan Tabungan menjadi
Bank Pertolongan, Tabungan, dan Pertanian. Ia juga menganjurkan untuk
menjadikan bank tersebut menjadi koperasi. Selain itu ia juga menggagas
berdirinya koperasi kredit padi bagi para petani.
Usaha De Wolffvan Westrrode untuk menjadikan Bank
Pertolongan, Tabungan, dan Pertanian menjadi koperasi tidak terwujud karena
pemerintah Hindia Belanda tidak menyetujuinya.
Pada tanggal 20 Mei 1908 beridiri sebuah pergerakan
nasional yang bernama Boedi Utomo. Pergerakan tersebut juga turut andil dalam
memberikan penyuluhan dan sosialisasi koperasi ditengah-tengah masyarakat
Indonesia yang masih awam akan koperasi. Bahkan gerakan Boedi Utomo juga tercatat
sebagai gerakan yang turut memajukan koperasi konsumsi.
Setelah Boedi Utomo kemudian bermunculan
pergerakan-pergerakan nasional lainnya seperti Sarekat Islam pada tahun 1911.
Sarekat Islam turut mengembangkan koperasi di bumi nusantara dengan memberikan
modal bagi para pedagang Islam dan mendirikan toko koperasi.
Pada
tahun-tahun perjuangan kemerdakaan selanjutnya, upaya “membumikan” koperasi
ditengah-tengah masyarakat Indonesia semakin semarak dengan berdirinya
organisasi-organisasi pergerakan nasional lainnya seperti PNI pada Tahun 1927.
Bahkan dalam kongresnya di Jakarta, PNI menggelorakan semangat koperasi
sehingga kongres tersebut dinamai “kongres koperasi.”
Pergerakan koperasi selama
penjajahan Belanda tidak dapat berjalan lancar. Pemerintah Belanda selalu
berusaha menghalanginya, baik secara langsung maupun tidak langsung. Selain
itu, kesadaran masyarakat atas koperasi sangat rendah akibat penderitaan yang
dialaminya. Untuk membatasi laju perkembangan koperasi, Pemerintah Belanda
mengeluarkan peraturan Cooperatieve
Besluit No. 431 pada 7 April Tahun 1915. Berdasarkan peraturan ini rakyat
tidak mungkin mendirikan koperasi karena :
1. mendirikan
koperasi harus mendapat izin dari gubernur jenderal
2. akta dibuat
dengan perantaraan notaris dan dalam bahasa Belanda
3. ongkos
materai sebesar 50 golden
4. hak tanah
harus menurut hukum Eropa
5. harus
diumumkan di Javasche Courant yang
biayanya juga tinggi
Peraturan ini mengakibatkan
munculnya reaksi dari kaum pergerakan nasional dan para penganjur koperasi.
Oleh karena itu, pada tahun 1920 pemerintah Belanda membentuk “Panitia
Koperasi” yang diketuai oleh J. H. Boeke. Panitia ini ditugasi untuk meneliti
mengenai perlunya koperasi. Setahun kemudian, panitia itu memberikan laporan
bahwa koperasi perlu dikembangkan. Pada tahun 1927 pemerintah mengeluarkan
Peraturan No. 91 yang lebih ringan dari Peraturan 1915. Isi Peraturan No. 91
antara lain :
1. akta tidak
perlu dengan perantaraan notaris, tetapi cukup didaftarkan pada Penasehat
Urusan Kredit Rakyat dan Koperasi serta dapat ditulis dalam bahasa daerah
2. ongkos
materai 3 golden
3. hak tanah
dapat menurut hukum adat
4. berlaku
untuk orang Indonesia asli, yang mempunyai hak badan hukum secara adat
Dengan keluarnya peraturan ini,
gerakan koperasi mulai tumbuh kembali. Pada Tahun 1932, Partai Nasional
Indonesia mengadakan kongres koperasi di Jakarta. Pada Tahun 1933, Pemerintah
Belanda mengeluarkan lagi Peraturan No. 108 sebagai pengganti peraturan yang
dikeluarkan pada Tahun 1915. Peraturan ini merupakan salinan dari peraturan
koperasi Belanda tahun 1925, sehingga tidak cocok dan sukar dilaksanakan oleh
rakyat.
Pada masa penjajahan Jepang,
koperasi mengalami nasib yang lebih buruk. Kantor Pusat Jawatan Koperasi
diganti oleh pemerintah Jepang menjadi Syomin Kumiai Cou Jomusyo dan Kantor Daerah
diganti menjadi Syomin Kumiai Saodandyo. Kumiai yaitu koperasi model Jepang,
mula-mula bertugas untuk mendistribusikan barang-barang kebutuhan rakyat. Hal
ini hanya alat dari Jepang untuk mengumpulkan hasil bumi dan barang-barang
kebutuhan untuk Jepang. Walau hanya berlangsung selama 3,5 tahun tetapi rakyat
Indonesia mengalami penderitaan yang jauh lebih dahsyat. Jadi, dalam masa
penjajahan Jepang koperasi Indonesia dapat dikatakan mati.
Setelah Indonesia merdeka,
pertumbuhan dan perkembangan koperasi kembali bergeliat bahkan dapat dikatakan
tumbuh pesat.
Berdasarkan pasal II Aturan
Peralihan UUD 1945 (sebelum amandemen), segala peraturan perundang-undangan
yang ada masih langsung berlaku sebelum diadakan yang baru menurut
Undang-Undang Dasar ini. Seperti yang telah diketahui bahwa fungsi daripada
aturan peralihan (transitoi recht)
ialah agar jangan sampai terjadi kevakuman hukum (recht vacuum). Oleh karena itu berdasarkan pasal II aturan
Peralihan UUD 1945, peraturan kolonial Belanda yang mengatur tentang koperasi
masih berlaku sepanjang belum diadakan yang baru/diganti.
Pada Tahun 1946, dibawah Jawatan
Koperasi, Kementrian Koperasi, diadakanlah pendaftaran koperasi secara
sukarela. Hasilnya adalah terdapat sebanyak 2.500 koperasi yang terdaftar di
Kementerian Kemakmuran pada saat itu.
Menginsyafi arti penting pasal 33
UUD 1945, pemerintah mulai melakukan langkah konkrit guna mewujudkan suatu
perkonomian nasional yang berdasarkan atas asas kekeluargaan. Bangunan usaha
yang cocok dan equivalen dengan dasar perekonomian negara yang tertuang dalam
pasal 33 UUD 1945 tersebut adalah koperasi. Untuk itu pada Tahun 1947
pemerintah melangsungkan Kongres Koperasi I di Tasikmalaya. Kongres tersebut
menghasilkan beberapa keputusan penting, antara lain:
1.
Mendirikan Sentral Organisasi Koperasi Rakyat
Indonesia ( SOKRI)
2.
Menetapkan gotong royong sebagai asas koperasi
3.
Menetapkan pada tanggal 12 Juli sebagai hari Koperasi
Pada tanggal 12 Juli 1953 pemerintah
kembali menggelar kongres koperasi. Kongres tersebut adalah Kongres Koperasi II
yang diselenggarakan di Bandung. Kongres tersebut menghasilkan beberapa
keputusan penting, antara lain:
1.
Membentuk Dewan Koperasi Indonesia ( Dekopin ) sebagai
pengganti SOKRI
2.
Menetapkan pendidikan koperasi sebagai salah satu mata
pelajaran di sekolah
3.
Mengangkat Moh. Hatta sebagai Bapak Koperasi Indonesia
4.
Segera akan dibuat undang-undang koperasi yang baru
Sebagaimana yang telah dikemukakan
sebelumnya bahwa kendati pun Indonesia telah merdeka namun hukum warisan
kolonial Belanda yang mengatur tentang Koperasi masih tetap berlaku sampai dicabut
dan dinyatakan tidak berlaku dengan diundangankannya undang-undang koperasi
pertama buatan bangsa Indonesia, yaitu Undang-Undang No.79 Tahun 1958 yang
diundangkan pada tanggal 27 Oktober 1958.
Dari kurun waktu
Tahun 1958 ketika berlakunya UU No.79 Tahun 1958 sampai saat ini, pengaturan di
bidang koperasi (undang-undang tentang Koperasi) telah beberapa kali dicabut
dan diganti. Undang-undang No.79 Tahun 1958 sendiri dicabut dan diganti dengan
UU No.14 Tahun 1965 tentang Perkoperasian. Selanjutnya pada masa orde baru, UU
No.14 ahun 1965 tentang Perkoperasian dicabut dan diganti dengan UU No.12 tahun
1967 tentang Pokok-Pokok Perkoperasian.
Saat
ini UU No.12 Tahun 1967 telah dicabut dan diganti dengan UU No.25 Tahun 1992
tentang Perkoperasian. Undang-Undang No.25 Tahun 1992 tentang Koperasi ini
hingga kini masih berlaku.
a. Pengertian
Koperasi
Sebelum masuk pada pembahasan mengenai pengertian
koperasi, haruslah diketahui terlebih dahulu bahwa kata Koperasi adalah kata serapan dari bahasa asing, bukan asli dari
perbendaharaan kata dalam bahasa Indonesia.
Secara etimologis koperasi berasal dari bahasa
Latin, yaitu “coopere” yang berarti
bekerja sama atau usaha bersama. Istilah koperasi dalam bahasa Inggris adalah “cooperation” dan dalam bahasa Belanda
disebut “cooperatieve.”
Kata-kata koperasi, coopere, cooperation, atau coveratieve
merupakan kata-kata yang telah lama dipergunakan untuk menggambarkan dan
memvisualisasikan adanya suatu kerja sama/usaha bersama ditengah-tengah
masyarakat. Bahkan dapat dikatakan bahwa kata-kata yang menggambarkan hakikat
manusia sebagai zoon politicon/homo socius itu telah ada dan berumur
setua perdaban manusia itu sendiri. Namun demikian, konsep koperasi pada zaman
dahulu belumlah terlembagakan sebagai koperasi yang merupakan badan hukum
seperti yang kita kenal sekarang.
Berdasarkan
kamus hukum: Cooperatie=koperasi; kerjasama adalah suatu perkumpulan yang
bertujuan memelihara dan memperjuangkan kepentingan materiil bagi para
anggotanya tanpa mengabaikan kepentingan umum, dmana usaha tersebut merupakan
kerjasama yang memberikan kredit, fasilitas dan lain kepentingan untuk
keperluan para anggotanya. UU koperasi tercantum pada L.N 967 No.23.
Berikut ini adalah beberapa pendapat tentang
pengertian/definisi koperasi:
-
Mohammad Hatta (Bapak Koperasi
Indonesia)
Koperasi adalah usaha bersama untuk memperbaiki nasib penghidupan ekonomi berdasarkan
tolong-menolong. Semangat tolong menolong tersebut didorong oleh keinginan
memberi jasa kepada kawan berdasarkan ‘seorang buat semua dan semua buat
seorang.’
-
Drs. Arifinal Chaniago
Koperasi sebagai suatu perkumpulan yang beranggotakan orang-orang atau badan
hukum, yang memberikan kebebasan kepada anggota untuk masuk dan keluar, dengan
bekerja sama secara kekeluargaan menjalankan usaha untuk mempertinggi
kesejahteraan jasmaniah para anggotanya.
-
International Labour Organization
Dalam definisi ILO terdapat 6 unsur yang terkandung dalam koperasi, yaitu :
1)
Koperasi
adalah perkumpulan orang-orang
2)
Penggabungan
orang-orang berdasarkan kesukarelaan
3)
Terdapat
tujuan ekonomi yang ingin dicapai
4)
Koperasi
berbentuk organisasi bisnis yang diawasi dan dikendalikan secara demokratis
5)
Terdapat
kontribusi yang adil terhadap modal yang dibutuhkan
6)
Anggota
koperasi menerima resiko dan manfaat secara seimbang
-
Pasal 1 ayat (1) UU No.25 Tahun 1992
tentang Perkoperasian
Koperasi
adalah badan usaha yang beranggotakan orang-seorang atau badan hukum Koperasi
dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip Koperasi sekaligus sebagai
gerakan ekonomi rakyat yang berdasar atas asas kekeluargaan.
b. Landasan
dan Asas Koperasi
Mengenai
landasan dan asas koperasi ini, UU No.25 Tahun 1992 pasal 2 menegaskan bahwa
koperasi berlandaskan pada Pancasila dan UUD 1945. Sedangkan asas yang
melandasi perkoperasian Indonesia adalah asas kekeluargaan.
Dasar
hukum yang utama yang melandasi perkoperasian Indonesia adalah pasal 33 UUD
1945 (tentang Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial). Dalam ayat (1)
pasal tersebut dikatakan bahwa “Perokonomian nasional disusun sebagai usaha
bersama berdasar atas asas kekeluargaan.” Sedangkan bangunan usaha yang cocok
dan equivalen dengan pasal 33 UUD 1945 tersebut adalah koperasi, yaitu suatu
badan usaha yang berdasar atas asas kekeluargaan. Konsekuensi dari asas
kekeluargaan tersebut adalah bahwa koperasi tidak dimaksudkan untuk menjadi badan
usaha yang hanya berorientasi pada keuntungan semata, melainkan lebih bersifat
kepada usaha bersama (kebersamaan) untuk mewujudkan masyarakat yang maju, adil
dan makmur berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dalam tata
perekonomian nasional yang disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas
kekeluargaan dan demokrasi ekonomi.
c.
Tujuan Koperasi
Tujuan
koperasi secara tegas dituangkan dalam pasal 3 UU No.25 Tahun 1992 tentang
Perkoperasian. Tujuan koperasi tersebut adalah untuk memajukan kesejahteraan
anggota pada khususnya dan masyarakat pada umumnya serta ikut membangun tatanan
perekonomian nasional dalam rangka mewujudkan masyarakat yang maju, adil, dan
makmur berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
a.
Fungsi dan Peran Koperasi
Pasal 4 UU No.25 Tahun 1992 menyebutkan mengenai fungsi dan peran
koperasi, yakni sebagai berikut:
1)
membangun dan mengembangkan
potensi dan kemampuan ekonomi anggota pada khususnya dan masyarakat pada
umumnya untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi dan sosialnya;
2)
berperan serta secara aktif
dalam upaya mempertinggi kualitas kehidupan manusia dan masyarakat;
3)
memperkokoh perekonomian rakyat
sebagai dasar kekuatan dan ketahanan perekonomian nasional dengan Koperasi sebagai
sokogurunya;
4)
berusaha untuk mewujudkan dan
mengembangkan perekonomian nasional yang merupakan usaha bersama berdasar atas
asas kekeluargaan dan demokrasi ekonomi.
b.
Prinsip Koperasi
Prinsip koperasi
merupakan dasar bekerjanya/dasar melakukan kegiatan koperasi yang merupakan
ciri khas yang membedakannya dengan badan usaha lainnya. Prinsip-prinsip
koperasi tersebut ialah:
1)
Keanggotaan bersifat sukarela
dan terbuka; Sifat kesukarelaan dalam keanggotaan Koperasi mengandung makna
bahwa menjadi anggota Koperasi tidak boleh dipaksakan oleh siapapun. Sifat
kesukarelaan juga mengandung makna bahwa seorang anggota dapat mengundurkan
diri dari Koperasinya sesuai dengan syarat yang ditentukan dalam Anggaran Dasar
Koperasi. Sedangkan sifat terbuka memiliki arti bahwa dalam keanggotaan tidak
dilakukan pembatasan atau diskriminasi dalam bentuk apapun.
2)
Pengelolaan dilakukan secara
demokratis; Prinsip demokrasi menunjukkan bahwa pengelolaan Koperasi dilakukan
atas kehendak dan keputusan para anggota. Para anggota itulah yang memegang dan
melaksanakan kekuasaan tertinggi dalam Koperasi.
3)
Pembagian sisa hasil usaha
dilakukan secara adil sebanding dengan besarnya jasa usaha masing-masing
anggota; Pembagian sisa hasil usaha kepada anggota dilakukan tidak semata-mata
berdasarkan modal yang dimiliki seseorang dalam Koperasi tetapi juga
berdasarkan perimbangan jasa usaha anggota terhadap Koperasi. Ketentuan yang
demikian ini merupakan perwujudan nilai kekeluargaan dan keadilan.
4)
Pemberian balas jasa yang
terbatas terhadap modal; Modal dalam Koperasi pada dasarnya dipergunakan untuk
kemanfaatan anggota dan bukan untuk sekedar mencari keuntungan. Oleh karena itu
balas jasa terhadap modal yang diberikan kepada para anggota juga terbatas, dan
tidak didasarkan semata-mata atas besarnya modal yang diberikan. Yang dimaksud
dengan terbatas adalah wajar dalam arti tidak melebihi suku bunga yang berlaku
di pasar.
5) Kemandirian; Kemandirian mengandung pengertian dapat berdiri
sendiri, tanpa bergantung pada pihak lain yang dilandasi oleh kepercayaan
kepada pertimbangan, keputusan, kemampuan, dan usaha sendiri. Dalam kemandirian
terkandung pula pengertian kebebasan yang bertanggung jawab, otonomi, swadaya,
berani mempertanggungjawabkan perbuatan sendiri, dan kehendak untuk mengelola
diri sendiri.
a.
Bentuk Koperasi:
1) Koperasi Primer; adalah koperasi yang didirikan oleh dan
beranggotakan orang seorang (individu-individu orang).
2) Koperasi Sekunder; adalah koperasi yang didirikan oleh dan
beranggotakan badan hukum koperasi (himpunan koperasi-koperasi).
b.
Jenis-jenis Koperasi:
Dasar untuk
menentukan jenis Koperasi adalah kesamaan aktivitas, kepentingan, dan kebutuhan
ekonomi anggotanya, seperti antara lain Koperasi Simpan Pinjam, Koperasi
Konsumen, Koperasi Produsen, Koperasi Pemasaran, dan Koperasi Jasa. Khusus
Koperasi yang dibentuk oleh golongan fungsional seperti pegawai negeri, anggota
ABRI, karyawan dan sebagainya, bukan merupakan jenis Koperasi tersendiri.
Jenis-jenis
koperasi;
1) Koperasi Simpan Pinjam; adalah koperasi yang kegiatan usahanya
menghimpun dana anggotanya dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada
anggota yang membutuhkan dalam bentuk kredit/pinjaman
2) Koperasi Konsumen; adalah koperasi yang kegiatan usahanya
menyediakan barang-barang kebutuhan sehari-hari
3) Koperasi Produsen; adalah koperasi yang melakukan kegiatan usaha
dibidang pembuatan barang/produk
4) Koperasi Pemasaran; adalah koperasi yang melakukan kegiatan usaha
berupa pemasaran barang-barang tertentu
5) Koperasi jasa; koperasi yang kegiatan usahanya adalah memberikan
pelayanan jasa
6) Koperasi serba usaha; ialah koperasi yang kegiatan usahanya
bermacam-macam atau multi usaha, baik dibidang produsen, konsumen, jasa, dan
atau lain-lain.
Berdasarkan
bentuknya koperasi dibedakan menjadi dua, yaitu koperasi primer dan koperasi
sekunder. Koperasi primer dibentuk oleh sekurang-kurangnya 20 orang. Sedangkan
koperasi sekunder dibentuk oleh sekurang-kurangnya 3 koperasi. Selanjutnya
Koperasi tersebut harus bertempat/berkedudukan di wilayah Indonesia.
Syarat dan tata
cara pembentukan koperasi:
1) Pembentukan koperasi, baik koperasi primer maupun koperasi sekunder,
dilakukan dengan akta pendirian.
2) Akta pendirian memuat anggaran dasar yang harus memuat
sekurang-kurangnya;
a)
nama dan tempat kedudukan;
b)
maksud dan tujuan serta bidang
usaha;
c)
ketentuan mengenai keanggotaan;
d)
ketentuan mengenai Rapat
Anggota;
e)
ketentuan mengenai pengelolaan;
f)
ketentuan mengenai permodalan;
g)
ketentuan mengenai jangka waktu
berdirinya;
h)
ketentuan mengenai pembagian
sisa hasil usaha;
i)
ketentuan mengenai sanksi.
3) Mengajukan permintaan pengesahan akta pendirian koperasi yang
disertai anggaran dasar koperasi secara tertulis kepada Menteri Koperasi dan
Usaha Kecil dan Menengah (selanjutnya disebut menteri)
4) Permintaan pengesahan akta pendirian diajukan dengan melampirkan;
a)
dua rangkap akta pendirian Koperasi,
satu diantaranya bermaterai cukup;
b)
berita acara rapat pembentukan Koperasi,
termasuk pemberian kuasa untuk mengajukan permohonan pengesahan apabila ada;
c)
surat bukti penyetoran modal,
sekurang-kurangnya sebesar simpanan pokok;
d) rencana awal kegiatan usaha Koperasi
Pengesahan akta pendirian oleh menteri dilakukan dalam jangka waktu
paling lama 3 bulan setelah diterimananya permintaan pengesahan secara lengkap.
Namun tidak semua permintaan pengesahan akta pendirian koperasi untuk menjadi
badan hukum koperasi dapat dikabulkan/disahkan oleh menteri. Dalam hal-hal
tertentu, permintaan pengesahan akta pendirian koperasi dapat ditolak, yaitu
apabila anggaran dasar koperasi tidak sesuai/bertentangan dengan UU No.25 Tahun
1992, bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan. Dalam hal yang
demikian menteri akan menolak permintaan pengesahan akta pendirian koperasi.
Apabila permintaan pengesahan akta pendirian koperasi ditolak oleh
menteri, maka para pendiri atau kuasanya dalam jangka waktu 1 bulan dapat
mengajukan permintaan ulang kepada menteri. Menteri memberikan keputusan
terhadap permintaan ulang tersebut dalam jangka waktu paling lama 1 bulan
setelah permintaan ulang diterima olehnya. Keputusan menteri atas permintaan
ulang pengesahan akta pendirian koperasi bersifat final. Artinya apabila
permintaan ditolak maka pendiri/kuasanya tidak dapat lagi mengajukan permintaan
ulang untuk kedua kalinya.
Koperasi mendapatkan status sebagai badan hukum sejak saat akta
pendiriannya disahkan oleh menteri. Dengan begitu koperasi telah secara resmi
diakui sebagai badan hukum yang dapat turut serta dalam lalu lintas hukum dalam
menjalankan kegiatan usahanya.
Anggaran dasar mempunyai kedudukan yang penting atau bahkan dapat
dikatakan sebagai hukum dasar bagi koperasi. Anggaran dasar memuat
ketentuan-ketentuan paling penting menyangkut koperasi tersebut. Oleh karenanya
undang-undang juga mengatur mengenai perubahan anggaran dasar koperasi.
Perubahan anggaran dasar koperasi hanya dapat dilakukan melalui
rapat anggota. Rapat anggota dalam sebuah koperasi sama halnya dengan RUPS
dalam sebuah perseroan terbatas, mempunyai kedudukan tertinggi dalam jenjang
organisasi koperasi.
Perubahan anggaran dasar koperasi hanya dapat dilakukan melalui
rapat anggota yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya ¾ anggota dari seluruh
anggota koperasi dan disetujui oleh sekurang-kurangnya ¾ anggota yang hadir.
Perubahan anggaran dasar yang menyangkut bidang usaha (jenis usaha
koperasi), penggabungan, atau pembagian koperasi, harus dimintakan permintaan
pengesahannya kepada menteri. Sedangkan untuk perubahan anggaran dasar yang
tidak menyangkut 3 hal diatas, perubahan anggaran dasarnya cukup dilaporkan
kepada menteri dalam waktu selambat-lambatnya 1 bulan setelah perubahan
dilakukan.
Keanggotaan
koperasi diatur dalam bab V UU No.25 Tahun 1992.
Setiap warganegara
Indonesia yang mampu melakukan tindakan hukum atau Koperasi yang memenuhi
persyaratan sebagaimana ditetapkan dalam Anggaran Dasar dapat menjadi anggota
koperasi. Namun terhadap orang tertentu yang ingin mendapat pelayanan dan
menjadi anggota Koperasi, namun tidak sepenuhnya dapat memenuhi persyaratan
sebagaimana ditetapkan dalam Anggaran Dasar, mereka dapat diterima sebagai
anggota luar biasa. Ketentuan tersebut memberi peluang bagi penduduk Indonesia
bukan warga negara dapat menjadi anggota luar biasa dari suatu Koperasi
sepanjang memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Keanggotaan
koperasi didasarkan pada kesamaan kepentingan ekonomi dalam lingkup (bidang)
usaha koperasi. Keanggotaan koperasi dapat diperoleh dan berakhir apabila
syarat yang ditentukan dalam anggaran dasar terpenuhi. Anggota koperasi adalah
pemilik dan sekaligus juga pengguna jasa koperasi. Dalam rapat anggota, setiap
anggota koperasi primer mempunyai hak 1 suara.
Keanggotaan
koperasi tidak dapat dipindahtangankan karena persyaratan untuk menjadi anggota
Koperasi adalah kepentingan ekonomi yang melekat pada anggota yang
bersangkutan. Dalam hal anggota Koperasi meninggal dunia, keanggotaannya dapat
diteruskan oleh ahli waris yang memenuhi syarat dalam Anggaran Dasar. Hal ini
dimaksudkan untuk memelihara kepentingan ahli waris dan mempermudah proses
mereka untuk menjadi anggota. Jadi jelaslah dalam hal keanggotaan, koperasi
berbeda dengan badan usaha lainnya seperti perusahaan perseorangan (maatschap), Firma, dan CV, dimana
berhenti atau meninggalnya anggota koperasi bukan merupakan suatu alasan
bubarnya koperasi.
Anggota koperasi
mempunyai kewajiban-kewajiban, yaitu sebagai berikut;
1)
mematuhi Anggaran Dasar dan
Anggaran Rumah Tangga serta keputusan yang telah disepakati dalam Rapat Anggota
2)
berpartisipasi dalam kegiatan
usaha yang diselenggarakan oleh Koperasi
3)
mengembangkan dan memelihara
kebersamaan berdasar atas asas kekeluargaan
Disamping kewajiban
seperti disebutkan diatas, anggota koperasi pun memiliki sejumlah hak. Hak-hak
anggota koperasi adalah sebagai berikut;
1)
menghadiri, menyatakan
pendapat, dan memberikan suara dalam Rapat Anggota;
2)
memilih dan/atau dipilih
menjadi anggota Pengurus atau Pengawas;
3)
meminta diadakan Rapat Anggota
menurut ketentuan dalam Anggaran Dasar;
4)
mengemukakan pendapat atau
saran kepada Pengurus diluar Rapat Anggota baik diminta maupun tidak diminta;
5)
memanfaatkan Koperasi dan
mendapat pelayanan yang sama antara sesama anggota;
6)
mendapatkan keterangan mengenai
perkembangan Koperasi menurut ketentuan dalam Anggaran Dasar.
Organ koperasi/perangkat
koperasi terdiri dari:
a. Rapat anggota
b. Pengurus
c. Pengawas
Penjelasan mengenai ketiga organ/perangkat diatas akan dipaparkan
dibawah ini:
a. Rapat Anggota
Rapat anggota
merupakan pemegang kekuasaan tertinggi dalam koperasi. Setiap keputusan dalam
rapat anggota harus selalu didahulukan/diupayakan musyawarah mufakat. Apabila
tidak diperoleh keputusan berdasarkan musyawarah mufakat, maka keputusan
diambil dengan voting/suara terbanyak.
Rapat anggota
dilakukan paling sedikit sekali dalam setahun. Rapat anggota untuk menerima dan
mengesahkan pertanggungjawaban pengurus diselenggarakan paling lambat 6 bulan
setelah tahun buku berlalu.
Dalam hal ihwal
keadaan yang mengharuskan koperasi untuk mengambil keputusan/tindakan yang
segera yang wewenangnya ada pada rapat anggota, dapat diselenggarakan rapat
anggota luar biasa. Wewenang rapat anggota luar biasa sama dengan wewenang
rapat anggota.
Rapat anggota
menetapkan:
1)
Anggaran Dasar;
2)
kebijaksanaan umum dibidang
organisasi manajemen, dan usaha Koperasi;
3)
pemilihan, pengangkatan,
pemberhentian Pengurus dan Pengawas;
4)
rencana kerja, rencana anggaran
pendapatan dan belanja Koperasi, serta pengesahan laporan keuangan;
5)
pengesahan pertanggungjawaban
Pengurus dalam pelaksanaan tugasnya;
6)
pembagian sisa hasil usaha;
7) penggabungan, peleburan,
pembagian, dan pembubaran Koperasi.
b. Pengurus
Pengurus merupakan pemegang kuasa rapat anggota. Pengurus dipilih
dari dan oleh anggota koperasi sesuai persyaratan yang ditentukan dalam
anggaran dasar untuk masa jabatan 5 tahun dan setelah itu dapat dipilih
kembali.
Tugas pengurus:
1)
mengelola Koperasi dan
usahanya;
2)
mengajukan rancangan rencana
kerja serta rancangan rencana anggaran pendapatan dan belanja Koperasi;
3)
menyelenggarakan Rapat Anggota;
4)
mengajukan laporan keuangan dan
pertanggungjawaban pelaksanaan tugas;
5)
menyelenggarakan pembukuan
keuangan dan inventaris secara tertib;
6) memelihara daftar buku anggota dan pengurus.
Wewenang pengurus:
1)
mewakili Koperasi di dalam dan
di luar pengadilan;
2)
memutuskan penerimaan dan
penolakan anggota baru serta pemberhentian anggota sesuai dengan ketentuan
dalam Anggaran Dasar;
3) melakukan tindakan dan upaya bagi kepentingan dan kemanfaatan
Koperasi sesuai dengan tanggung jawabnya dan keputusan Rapat Anggota.
Selain tugas dan wewenang
diatas, pengurus bertanggung jawab terhadap segala kegiatan pengelolaan
Koperasi dan usahanya kepada Rapat Anggota atau Rapat Anggota Luar Biasa. Dalam
menjalankan kegiatan pengurusan/pengelolaan koperasi, pengurus dapat mengangkat
pengelola yang diberi kuasa untuk melakukan pengelolaan usaha koperasi. Sebelum
menangkat pengelola, pengurus harus menyampaikan maksudnya tersebut kepada
rapat anggota untuk mendapat persetujuan. Yang dimintakan persetujuan adalah
rencana pengangkatan pengelola usaha. Sedangkan pemilihan dan pengangkatan
pengelola usaha dilaksanakan oleh Pengurus. Selanjutnya pengelola beranggung
jawab kepada pengurus.
Setelah tahun buku Koperasi ditutup, paling
lambat 1 (satu) bulan sebelum diselenggarakan rapat anggota tahunan, Pengurus
menyusun laporan tahunan yang memuat sekurang-kurangnya:
1) perhitungan tahunan yang terdiri dari neraca
akhir tahun buku yang baru lampau dan perhitungan hasil usaha dari tahun yang
bersangkutan serta penjelasan atas dokumen tersebut;
2) keadaan dan usaha Koperasi
serta hasil usaha yang dapat dicapai.
c. Pengawas
Pengawas dipilih
dari dan oleh anggota koperasi dalam rapat anggota sesuai persyaratan yang
ditentukan dalam anggaran dasar. Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya,
pengawas bertanggung jawab kepada rapat anggota.
Tujuan adanya
pengawas adalah agar pengelolaan koperasi lebih berkembang dan mandiri.
Pengawasan ini pada dasarnya bertujuan untuk:
1) Memberikan bimbingan kepada pengurus dan pengelola koperasi serta
mencegah terjadinya penyelewengan
2) Menilai hasil kerja pengurus dengan rencana yang sudah ditetapkan
Tugas pengawas:
1)
Melakukan pengawasan terhadap
pelaksanaan kebijaksanaan dan pengelolaan Koperasi;
2) Membuat laporan tertulis tentang hasil pengawasannya
Wewenang pengawas:
1)
Meneliti catatan yang ada pada
Koperasi;
2)
Mendapatkan segala keterangan
yang diperlukan
Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, pengawas wajib merahasiakan
hasil pengawasannya terhadap pihak ketiga.
Modal koperasi terdiri dari:
1) Modal sendiri, modal sendiri berasal dari;
a. Simpanan pokok; adalah sejumlah uang yang sama banyaknya yang wajib
dibayarkan oleh anggota kepada Koperasi pada saat masuk menjadi anggota.
Simpanan pokok tidak dapat diambil kembali selama yang bersangkutan masih
menjadi anggota.
b. Simpanan wajib; adalah jumlah simpanan tertentu yang tidak harus
sama yang wajib dibayar oleh anggota kepada Koperasi dalam waktu dan kesempatan
tertentu. Simpanan wajib tidak dapat diambil kembali selama yang bersangkutan
masih menjadi anggota.
c. Dana cadangan; adalah sejumlah uang yang diperoleh dari penyisihan
sisa hasil usaha, yang dimaksudkan untuk memupuk modal sendiri dan untuk
menutup kerugian Koperasi bila diperlukan.
d. Hibah; pemberian sukarela dan tidak mengikat
2) Modal pinjaman, modal pinjaman berasal dari:
a.
anggota;
b.
Koperasi lain dan/atau anggotanya;
c.
bank dan lembaga keuangan lainnya;
d.
penerbitan obligasi dan surat hutang lainnya;
e. sumber lain yang
sah
3)
Modal penyertaan, modal penyertaan berasal dari;
a. Pemerintah;
b. anggota masyarakat;
c. badan usaha; dan
d. badan-badan lainnya
Pemupukan
Modal penyertaan dilakukan berdasarkan perjanjian antara koperasi dengan
pemilik modal/penanam modal. Perjanjian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
sekurang-kurangnya memuat:
a. nama koperasi dan Pemodal;
b. besarnya modal penyertaan;
c. usaha yang akan
dibiayai modal penyertaan;
d. pengelolaan dan pengawasan;
e. hak dan kewajiban Pemodal dan koperasi;
f. pembagian keuntungan;
g. tata cara pengalihan modal penyertaan
yang dimiliki Pemodal dalam koperasi;
h. penyelesaian perselisihan.
Untuk dapat memupuk modal penyertaan, suatu koperasi
harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a.
telah memperoleh status sebagai badan hukum;
b.
membuat rencana kegiatan dari usaha yang akan dibiayai modal penyertaan; dan
c. mendapat persetujuan Rapat Anggota
Hak dan kewajiban penanam modal:
a.
Pemodal berhak memperoleh
bagian keuntungan dari usaha yang dibiayai modal penyertaan
b.
Pemodal turut menanggung resiko
dan bertanggung jawab terhadap kerugian usaha yang dibiayai modal penyertaan
sebatas nilai modal penyertaan yang ditanamkannya dalam koperasi.
Ketentuan mengenai sisa hasil usaha dalam suatu koperasi diatur
dalam pasal 45 UU No.25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian. Ketentuan tersebut
yakni:
1)
Sisa Hasil Usaha Koperasi merupakan pendapatan Koperasi yang diperoleh dalam
satu tahun buku dikurangi dengan biaya, penyusutan, dan kewajiban lainnya
termasuk pajak dalam tahun buku yang bersangkutan.
2)
Sisa Hasil Usaha setelah dikurangi dana cadangan, dibagikan kepada anggota standing
dengan jasa usaha yang dilakukan oleh, masing-masing anggota dengan Koperasi,
serta digunakan untuk keperluan pendidikan perkoperasian dan keperluan lain
dari Koperasi, sesuai dengan keputusan Rapat Anggota.
3) Besarnya pemupukan dana cadangan ditetapkan dalam Rapat Anggota.
a. Pembubaran
Pembubaran koperasi dilakukan
berdasarkan/oleh:
1)
Keputusan rapat anggota
2)
Keputusan Pemerintah
Pembubaran koperasi berdasarkan
keputusan pemerintah dilakukan apabila koperasi yang bersangkutan:
a)
Tidak memenuhi ketentuan UU
No.25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian atau tidak malaksanakan ketentuan dalam
anggaran dasarnya
b)
Kegiatan Koperasi bertentangan dengan ketertiban umum dan atau kesusilaan yang
dinyatakan berdasarkan keputusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum
yang pasti; atau
c) Koperasi dinyatakan pailit berdasarkan
keputusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang pasti; atau
d) Koperasi tidak melakukan kegiatan
usahanya secara nyata selama dua tahun berturut-turut terhitung sejak tanggal
pengesahan Akta Pendirian Koperasi
Sebelum
pemerintah (Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah) menetapkan keputusan
tentang pembubaran suatu koperasi, ia harus memberitahu rencana pembubaran
koperasi tersebut kepada pengurus atau anggotanya.
Pengurus
atau anggota koperasi yang akan dibubarkan tersebut dapat mengajukan keberatan
kepada menteri dalam jangka waktu paling lama 2 bulan sejak diterimanya surat
pemberitahuan rencana pembubaran koperasi. Keberatan atas rencana pembubaran
tersebut hanya berlaku bagi pembubaran koperasi oleh pemerintah (huruf a dan d
sebagaimana tersebut diatas).
Atas
keberatan pengurus atau anggota koperasi, menteri wajib memutuskan untuk
menerima atau menolak keberatan tersebut. Dalam hal keberatan ditolak, menteri
mengeluarkan surat keputusan pembubaran koperasi dalam jangka waktu paling lama
1 bulan sejak keputusan penolakan ditetapkan. Namun jika keberatan diterima,
maka menteri mengeluarkan keputusan pembatalan rencana pembubaran koperasi
dalam jangka waktu paling lama 1 bulan sejak saat keputusan untuk menerima
keberatan ditetapkan. Keputusan menteri atas keberatan tersebut bersifat final.
Keputusan
pembubaran koperasi oleh rapat anggota disampaikan kepada kreditor dan
pemerintah. Sedangkan apabila pembubaran koperasi dilakukan oleh pemerintah
maka pemerintah yang memberitahukan perihal pembubaran koperasi tersebut kepada
kreditor. Dalam pemberitahuan tersebut dicantumkan nama dan alamat penyelesai
dan ketentuan bahwa dalam jangka waktu 3 bulan setelah pemberitahuan pembubaran
koperasi diterima oleh kreditor, ia berhak melakukan penagihan atas piutangnya
kepada koperasi melalui penyelesai/kuarator.
b. Penyelesaian
Dalam
pasal 51 UU No.25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian disebutkan bahwa “Untuk kepentingan kreditor dan para anggota Koperasi, terhadap
pembubaran Koperasi dilakukan penyelesaian pembubaran yang selanjutnya disebut
penyelesaian.”
Penyelesaian koperasi setelah
koperasi tersebut dibubarkan dilakukan oleh penyelesai. Tugas pokok penyelesai
ialah mengurusi penyelesaian hak dan kewajiban (hutang dan piutang) koperasi
pasca pembubaran koperasi.
Dalam hal pembubaran koperasi
dilakukan oleh rapat anggota maka penyelesai ditunjuk oleh rapat anggota.
Sedangkan apabila pembubaran koperasi dilakukan oleh pemerintah maka pemerintah
yang menunjuk penyelesai.
Selama dalam proses penyelesaian,
koperasi tersebut tetap ada dengan sebutan “Koperasi dalam penyelesaian.”
Penyelesaian suatu koperasi segara dilakukan setelah koperasi tersebut
dibubarkan. Dalam menjalankan tugasnya penyelesai bertanggung jawab kepada
kuasa rapat anggota apabila ia ditunjuk oleh rapat anggota, sedangkan apabila
ia ditunjuk oleh pemerintah maka ia bertanggung jawab kepada pemerintah.
Singkatnya penyelesai bertanggung jawab kepada siapa yang telah menunjuknya.
Penyelesai mempunyai hak,
wewenang, dan kewajiban sebagai berikut:
1) melakukan segala perbuatan hukum untuk dan
atas nama "Koperasi dalam penyelesaian";
2) mengumpulkan segala keterangan yang diperlukan;
3) memanggil Pengurus, anggota dan bekas
anggota tertentu yang diperlukan, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama;
4) memperoleh, memeriksa, dan menggunakan segala
catatan dan arsip Koperasi;
5)
menetapkan dan melaksanakan segala kewajiban pembayaran yang didahulukan dari
pembayaran hutang lainnya;
6) menggunakan sisa kekayaan Koperasi untuk
menyelesaikan sisa kewajiban Koperasi;
7) membagikan sisa hasil penyelesaian kepada
anggota;
8) membuat berita acara penyelesaian
Dalam
hal terjadi pembubaran dan penyelesaian koperasi, anggota bertanggung jawab
atas kerugian koperasi hanya sebatas pada nilai simpanan pokok, simpanan wajib,
dan modal penyertaannya saja. Dalam bidang perusahaan keadaan diatas dikenal
dengan istilah limited liability,
yaitu pertanggungjawaban terbatas, hanya sebatas kekayaan yang ia serahkan
kepada perusahaan. Jadi dapat disimpulkan bahwa kekayaan pribadi anggota tidak
dilibatkan untuk menutupi hutang koperasi karena koperasi mempunyai kekayaan
tersendiri yang terpisah dari kekayaan anggotanya.
Pembubaran
koperasi diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia. Status badan hukum
koperasi hapus/lenyap sejak saat diumumkannya pembubaran koperasi dalam Berita
Negara Republik Indonesia.
Yayasan
(Stichting-Bld) Berdasarkan kamus
hukum yayasan adalah suatu peguyuban atau badan yang pendiriannya disahkan
dengan akte hukum atau akte yang dibuat oelh naotaris, dimana yayasan itu
aktivitasnya bergerak dibidang soisal; misalnya mendirikan sesuatu atau sekolahan.
Yayasan dapat juga berbentuk badan hukum. Suatu yayasan yang pendiriannya tanpa
akta hukum hanya berfungsi terbatas.
Merujuk
pada konsiderans menimbang huruf a, b, dan c UU No.16 Tahun 2001 tentang
Yayasan, dapat dimengerti bahwa selama Indonesia merdeka sampai dengan Tahun
2001 dimana undang-undang koperasi diundangkan, pengaturan mengenai yayasan
diatur dalam kebiasaan. Hal itu terjadi karena baru di Tahun 2001-lah bangsa
Indonesia mempunyai undang-undang yang mengatur tentang Yayasan. Praktik
penyelenggaraan kegiatan yayasan sebelumnya bertumpu pada kebiasaan-kebiasaan
dan yurisprudensi, belum ada undang-undang yang secara tegas mengatur tentang
yayasan.
Kendati
pun penyelenggaraan kegiatan yayasan belum diatur dalam suatu undang-undang
(ketika itu), namun yayasan berkembang pesat. Yayasan sudah tidak asing lagi di
kalangan masyarakat karena penyelenggaraan kegiatan yayasan begitu dekat dengan
masyarakat. Hal itu tentu dapat dipahami mengingat yayasan adalah suatu badan
yang bergerak dibidang keagamaan, sosial, dan kemanusiaan. Lebih daripada itu,
peran dan kedudukan yayasan sebagai badan persekutuan kekayaan yang bertujuan
sosial, keagamaan, dan kemanusiaan, tidak bisa dianggap remeh. Yayasan tumbuh
dan berkembang seiring dengan perkembangan masyarakat. Kegiatannya banyak
membantu dan turut meringankan beban hidup masyarakat yang terus dihimpit oleh
komersialisasi yang semakin merajalela.
Peran
dan fungsi sosial yayasan ini perlu dipertahankan, diperkuat, dan dikembangkan
agar dapat menjadi lokomotif yang mampu menarik masyarakat kearah kesejahteraan
dan kemakmuran. Kebijakan untuk memberdayakan yayasan sesuai dengan fungsi dan
tujuannya itu tentu memerlukan instrumen yuridis sebagai suatu dasar bagi
yayasan dalam menyelenggarakan kegiatannya. Oleh sebab itu pada 6 Agustus 2001,
disahkanlah undang-undang yang mengatur tentang yayasan, undang-undang tersebut
adalah UU No.16 Tahun 2001 tentang Yayasan.
Seiring dengan perkembangan masyarakat
dan tuntutan zaman, UU No.16 Tahun 2001 tentang Yayasan mulai dirasakan
kekuarangannya. Undang-undang No.16 Tahun 2001 diarasa belum menampung seluruh
kebutuhan dan perkembangan hukum dalam masyarakat, serta terdapat beberapa
substansi yang dapat menimbulkan berbagai penafsiran. Oleh karena itu
diadakanlah perubahan (revisi)
terhadap UU No.16 Tahun 2001. Hasilnya pada tanggal 6 Oktober 2004, lahirlah UU
No.28 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No.16 Tahun 2001 tentang Yayasan.
Berdasarkan pasal 1 ayat (1) UU No.16
Tahun 2001 tentang Yayasan, Yayasan adalah badan hukum yang terdiri atas
kekayaan yang dipisahkan dan diperuntukkan untuk mencapai tujuan tertentu di
bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan, yang tidak mempunyai anggota.
Selain sebagai badan yang diperuntukan
untuk mencapai tujuan yang bersifat sosial, keagamaan, dan kemanusiaan, yayasan
pun dapat mendirikan atau ikut serta dalam suatu badan usaha yang berorientasi
laba. Hal itu dimaksudkan untuk menegaskan bahwa yayasan tidak digunakan
sebagai wadah usaha yang menjalankan kegaiatan usaha secara langsung, melainkan
harus melalui badan usaha yang didirikannya atau badan usaha lainnya dimana
yayasan menyertakan kekayaannya.
Dengan demikian yayasan masih juga
diperbolehkan untuk mendirikan badan usaha/ikut serta dalam badan usaha dengan
ketentuan-ketentuan yang cukup ketat. Hal tersebut dimaksudkan agar yayasan
tetap pada fungsi dan tujuannya yang bersifat sosial. Namun demikian, fungsi
dan tujuannya yang bersifat sosial itu tidak menutup kemungkinan bagi yayasan
untuk turut serta dalam kegiatan usaha (secara tidak langsung) sebagai upaya
untuk menunjang yayasan dalam mencapai maksud dan tujuannya.
Dalam mendirikan/turut serta dalam badan
usaha, ada rambu-rambu yang harus diperhatikan dan dipatuhi oleh yayasan, yaitu
sebagaimana yang diatur dalam pasal 7 UU No.16 Tahun 2001, yakni:
(1) Yayasan
dapat mendirikan badan usaha yang kegiatannya sesuai dengan maksud dan tujuan
yayasan.
(2)
Yayasan dapat melakukan penyertaan dalam berbagai bentuk usaha yang
bersifat prospektif dengan ketentuan seluruh penyertaan tersebut paling banyak
25 % (dua puluh lima persen) dari seluruh nilai kekayaan Yayasan.
(3)
Anggota Pembina, Pengurus, dan Pengawas Yayasan dilarang merangkap
sebagai AnggotaDireksi atau Pengurus dan Anggota Dewan Komisaris atau Pengawas
dari badan usaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2).
Selain
daripada yang disebutkan diatas, yayasan juga dilarang untuk mendirikan/ikut
serta dalam badan usaha yang kegiatannya bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan, ketertiban umum, dan kesusilaan. Misal, dilarang mendirikan
badan usaha yang kegiatannya memproduksi petasan, dilarang turut serta dalam
badan usaha yang kegiatannya menawarkan jasa PSK (pekerja seks komersial).
Sebagai
badan yang diperuntukan untuk mencapai tujuan soaial, keagamaan, dan
kemanusiaan, yayasan melarang kekayaannya untuk dialihkan atau dibagikan, baik
secara langsung ataupun tidak langsung dalam bentuk gaji, honorarium, atau
bentuk lainnya kepada pembina, pengurus, mapun, pengawas. Namun demikian masih
terdapat pengecualian mengenai hal diatas, yakni pengurus yang bukan pendiri
dan tidak memiliki afiliasi (hubungan keluarga karena perkawinan dan keturunan)
dengan pendiri, pembina, dan pengawas serta bekerja dengan penuh waktu, dapat
diberikan gaji atau upah atau honorarium.
Walaupun
pembina, pengurus, dan pengawas tidak diperkenankan menerima gaji/bagian dari
kekayaan yayasan, namun yayasan wajib membayar/mengganti biaya yang telah
dikeluarkan oleh organ yayasan tersebut dalam rangka menjalankan tugas yayasan.
Yayasan didirikan oleh satu orang atau lebih dengan
memisahkan kekayaannya untuk digunakan sebagai kekayaan yayasan. Selain
didirikan oleh orang seorang, yayasan juga dapat didirkan berdasarkan surat
wasiat. Pendirian yayasan tersebut dilakukan dengan akta notaris yang memuat
anggaran dasar dan keterangan lain yang dianggap perlu.
Dalam
suatu anggaran dasar harus memuat sekurang-kurangnya:
1)
nama dan tempat kedudukan;
2)
maksud dan tujuan serta kegiatan untuk
mencapai maksud dan tujuan tersebut;
3)
jangka waktu pendirian;
4)
jumlah kekayaan awal yang dipisahkan
dari kekayaan pribadi pendiri dalam bentuk uang atau benda;
5)
cara memperoleh dan penggunaan kekayaan;
6)
tata cara pengangkatan, pemberhentian,
dan penggantian anggota Pembina, Pengurus, dan Pengawas;
7)
hak dan kewajiban anggota Pembina,
Pengurus, dan Pengawas;
8)
tata cara penyelenggaraan rapat organ
Yayasan;
9)
ketentuan mengenai perubahan Anggaran
Dasar;
10)
penggabungan dan pembubaran Yayasan; dan
11) Penggunaan
kekayaan sisa likuidasi atau penyaluran kekayaan Yayasan setelah pembubaran.
Keterangan lain selain yang termuat
dalam anggaran dasar sekurang-kurangnya memuat: nama, alamat, pekerjaan, tempat
dan tanggal lahir, serta kewarganegaraan Pendiri, Pembina, Pengurus, dan
Pengawas antara lain.
Setelah akta pendirian yang memuat
anggaran dasar dan syarat-syarat lain telah dibuat, maka pendiri/kuasanya
melalui notaris yang membuat akta pendirian yayasan tersebut, mengajukan
permohonan pengesahan secara tertulis kepada menteri yang dalam pelaksanaannya
diserahkan kepada Kepala Kanwil Kemenkumham di daerah dimana yayasan
berkedudukan. Pengajuan permohonan pengesahan akta pendirian yayasan tersebut
dilakukan oleh notaris paling lama 10 hari setelah akta pendirian tersebut
ditandatangani.
Kepala Kanwil Kemekumham memberikan
pengesahan atau menolak pengesahan akta pendirian yayasan dalam waktu 30 hari
setelah permohonan pengesahan diterima secara lengkap. Namun apabila Kepala
Kanwil Kemenkumham merasa perlu meminta pertimbangan kepada instansi terkait
maka pengesahan diberikan atau ditolak dengan ketentuan batas waktu sebagai
berikut:
1)
Dalam jangka waktu paling lambat 14 hari
sejak tanggal diterimanya jawaban atas permintaan pertimbangan dari isntansi
terkait
2)
Dalam jangka waktu paling lambat 30
(tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal permintaan pertimbangan disampaikan
kepada instansi terkait namun instansi tersebut tidak memberikan jawaban
Dalam hal
permohonan pengesahan akta pendirian diterima dan disahkan oleh Kepala Kanwil
Kemenkumham atas nama Menteri Hukum dan HAM, maka sejak saat itu yayasan yang
bersangkutan memperoleh status sebagai badan hukum. Tetapi apabila akta
pendirian yayasan ditolak dan tidak disahkan oleh Kepala Kanwil Kemenkumham
atas nama Menteri Hukum dan Ham, maka Kepala Kanwil Kemenkumham memberikan
surat tertulis yang disertai alasan penolakan. Alasan penolakan tersebut ialah
karena permohonan yang diajukan tidak sesuai dengan UU No.16 Tahun 2001 jo UU
No.28 Tahun 2004 dan peraturan pelaksananya (PP No.63 Tahun 2008 tentang
Pelaksanaan Undang-Undang tentang Yayasan.
Yayasan
harus mempunyai nama sendiri serta tidak boleh:
1)
menggunakan nama yayasan yang telah dipakai secara sah
oleh yayasan lain
2)
menggunakan nama yang bertentangan dengan ketertiban
umum dan/atau kesusilaan
Selain larangan mengenai penggunaan nama
yayasan diatas, setiap nama yayasan harus didahului oleh kata “Yayasan.”
Apabila suatu yayasan berasal dari wakaf maka kata “Yayasan” diikuti oleh kata
“Wakaf,” sehingga menjadi “Yayasan Wakaf ...”
Dalam
anggaran dasar dapat dicantumkan bahwa yayasan didirikan untuk jangka waktu
yang ditentukan atau tidak ditentukan.
Undang-undang No.16 Tahun
2001 tentang Yayasan (pasal 17) menentukan bahwa anggaran dasar dapat dirubah
kecuali mengenai maksud dan tujuan yayasan.
Perubahan anggaran dasar
harus dilakukan melalui tata cara sebagai berikut:
Anggaran dasar hanya
dapat dirubah melalui keputusan rapat pembina. Rapat pembina itu harus dihadiri
oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah seluruh pembina yayasan. Keputusan
rapat pembina mengenai perubahan anggaran dasar ditetapkan dengan musyawarah
mufakat. Dalam hal musyawarah mufakat tidak dapat dicapai maka keputusan
ditetapkan dengan persetujuan pembina sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah
pembina yang hadir. Dalam hal kuorum persetujuan sebesar 2/3 tersebut tidak
tercapai maka rapat pembina ditunda paling sebentar 3 hari. Dalam rapat pembina
yang berikutnya, keputusan perubahan anggaran dasar dapat ditetapkan apabila
dihadiri oleh lebih dari ½ jumlah pembina
dan disetujui oleh suara terbanyak (50+1 suara). Perubahan anggaran dasar yang
sudah ditetapkan dalam rapat pembina dituangkan dalam akta notaris.
Selanjutnya perubahan
anggaran dasar yayasan terbagi menjadi 2, yaitu:
1)
Perubahan anggaran dasar yang mengharuskan adanya
persetujuan menteri, yaitu perubahan anggaran dasar yang meliputi perubahan
nama dan kegiatan yayasan
2)
Perubahan anggaran dasar yang tidak mengharuskan
adanya persetujuan menteri tetapi cukup hanya diberitahukan kepada menteri,
yaitu perubahan anggaran dasar yang menganai hal lain selain perubahan nama dan
kegiatan yayasan
Akta
pendirian Yayasan yang telah disahkan sebagai badan hukum atau perubahan
Anggaran Dasar yang telah disetujui, wajib diumumkan dalam Tambahan Berita
Negara Republik Indonesia.
Pengumuman
sebagaimana dimaksud diatas, dilakukan oleh Menteri dalam jangka waktu paling
lambat 14 (empat belas) hari terhitung sejak tanggal akta pendirian Yayasan
disahkan atau perubahan Anggaran Dasar
disetujui atau diterima Menteri.
Kekayaan yayasan berasal dari sejumlah
kekayaan yang dipisahkan dalam bentuk uang maupun barang. Dalam anggaran dasar
disebutkan kekayaan awal untuk dipergunakan guna mencapai maksud dan tujuan
yayasan. Kekayaan awal suatu yayasan diatur dalam PP No.63 Tahun 2008 tentang
Pelaksanaan Undang-Undang tentang Yayasan (pasal 6), yaitu sebagai berikut :
(1) Jumlah
kekayaan awal Yayasan yang didirikan oleh Orang Indonesia, yang berasal dari
pemisahan harta kekayaan pribadi pendiri, paling sedikit senilai
Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).
(2) Jumlah
kekayaan awal Yayasan yang didirikan oleh Orang Asing atau Orang Asing bersama
Orang Indonesia, yang berasal dari pemisahan harta kekayaan pribadi pendiri,
paling sedikit senilai Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah)
Selain kekayaan sebagaimana dimaksud
diatas, kekayaan Yayasan dapat diperoleh dari :
a. sumbangan atau bantuan yang tidak
mengikat;
b. wakaf;
c. hibah;
d. hibah wasiat; dan
e. perolehan lain yang tidak
bertentangan dengan Anggaran Dasar Yayasan dan/atau peraturan
perundang-undangan yang berlaku
Organ yayasan terdiri dari:
a.
Pembina
b.
Pengurus
c.
Pengawas
Penjelasan mengenai organ
yayasan diatas adalah sebagai berikut.
a. Pembina
Pembina
adalah organ Yayasan yang mempunyai kewenangan yang tidak diserahkan kepada
Pengurus atau Pengawas oleh Undang-undang tentang Yayasan dan Anggaran Dasar.
Yang dapat menjadi pembina adalah mereka pendiri yayasan atau mereka yang
ditunjuk melalui rapat pembina untuk menjadi pembina karena dinilai mempunyai
dedikasi yang tinggi dalam mencapai maksud dan tujuan yayasan.
Pasal 28 ayat (2) UU No.16
Tahun 2001 menyebutkan wewenang pembina yayasan. Kewenangan tersebut meliputi:
1)
keputusan mengenai perubahan Anggaran
Dasar;
2)
pengangkatan dan pemberhentian anggota
Pengurus dan anggota Pengawas;
3)
penetapan kebijakan umum Yayasan
berdasarkan Anggaran Dasar Yayasan;
4)
pengesahan program kerja dan rancangan
anggaran tahunan Yayasan; dan
5)
penetapan keputusan mengenai
penggabungan atau pembubaran Yayasan.
Selain mempunyai
wewenang, pembina yayasan juga harus tunduk pada ketentuan larangan yang
ditetapkan oleh undang-undang. Ketentuan larangan bagi pembina yaitu pembina
dilarang merangkap sebagai pengurus maupun pengawas yayasan. Larangan
perangkapan jabatan tersebut dimaksudkan untuk menghindari kemungkinan tumpang
tindih kewenangan, tugas, dan tanggung jawab antara Pembina, Pengurus dan
Pengawas yang dapat merugikan kepentingan Yayasan atau pihak lain.
Pembina mengadakan
rapat sekurang-kurangnya sekali dalam setahun. Rapat tahunan pembina bertujuan
untuk mengadakan evaluasi terhadap kekayaan, hak, dan kewajiban yayasan tahun
yang lampau guna dijadikan dasar pertimbangan mengenai perkembangan yayasan di
tahun berikutnya.
b.
Pengurus
Pengurus adalah organ Yayasan
yang melaksanakan kepengurusan Yayasan. Yang dapat menjadi pengurus yayasan
adalah orang perorangan yang mampu melakukan perbuatan hukum. Sebagaimana
halnya pembina, pengurus pun dilarang merangkap jabatan, baik sebagai pengawas
maupun sebagai pembina.
Pengurus diangkat oleh
pembina berdasarkan keputusan rapat pembina untuk jangka waktu/masa bakti 5
tahun dan setelahnya dapat dipilih kembali. Susunan kepengurusan suatu yayasan
sekurang-kurang terdiri dari: seorang ketua, seorang sekretaris, dan seorang
bendahara.
Oleh karena pengurus diangkat
oleh pembina, maka melalui rapat pembina, pengurus dapat diberhentikan dari
jabatannya apabila pembina menganggap bahwa pengurus melakukan tindakan yang
merugikan yayasan. Terhadap pemberhentian dan penggantian pengurus, pengurus
atau kejaksaan (karena kepentingan umum) dapat mengajukan permohonan kepada
pengadilan negeri untuk membatalkan pemberhentian atau penggantian pengurus.
Pengadilan dalam waktu paling lama 30 hari sejak diterimanya permohonan,
menetapkan apakah pemberhentian dan penggantian pengurus tersebut dibatalkan
atau tidak.
Tugas, wewenang dan tanggung
jawab pengurus:
(1)
Pengurus Yayasan bertanggung jawab penuh atas kepengurusan Yayasan untuk
kepentingan dan tujuan Yayasan serta berhak mewakili Yayasan baik di dalam
maupun di luar Pengadilan.
(2) Setiap Pengurus menjalankan tugas
dengan itikad baik, dan penuh tanggung jawab untuk kepentingan dan tujuan
Yayasan.
(3) Dalam menjalankan tugas sebagaimana
dimaksud dalam poin (2), Pengurus dapat mengangkat dan memberhentikan pelaksana
kegiatan Yayasan.
(4) Ketentuan mengenai syarat dan tata
cara pengangkatan d pemberhentian pelaksana kegiatan Yayasan diatur dalam
Anggaran Dasar Yayasan.
(5) Setiap Pengurus bertanggung jawab
penuh secara pribadi apabila yang bersangkutan dalam menjalankan tugasnya tidak
sesuai dengan ketentuan Anggaran Dasar, yang mengakibatkan kerugian Yayasan
atau pihak ketiga.
c. Pengawas
Dalam setiap yayasan
wajib mempunyai sekurang-kurangnya seorang (satu orang) pengawas yang tugas,
wewenang, dan tanggung jawabnya diatur dalam anggaran dasar. Pengawas adalah
organ Yayasan yang bertugas melakukan pengawasan serta memberi nasihat kepada
Pengurus dalam menjalankan kegiatan Yayasan. Ketentuan mengenai siapa saja yang
dapat menjadi pengawas dan larangan rangkap jabatan bagi pengurus berlaku juga
bagi pengawas.
Dalam hal tugas pengawasan
yang dilakukannya, pengawas dapat memberhentikan sementara pengurus dengan
menyebutkan alasannya. Dalam waktu paling lama 7 hari sejak pemberhentian
sementara pengurus, pengawas wajib melaporkan secara tertulis perihal
pemberhentian sementara pengurus itu. Kemudian pembina dalam waktu paling
lambat 7 hari harus memanggil pengurus yang diberhentikan sementara untuk
mendengar pembelaannya. Dalam waktu paling lama 7 hari sejak hari pemanggilan
dan pembelaan pengurus yang diberhentikan sementara, pembina memutuskan apakah
mencabut surat pemberhentian sementara yang ditetapkan oleh pengawas atau
memberhentikan pengurus yang bersangkutan secara tetap.
Pengangkatan pengawas
dilakukan oleh pembina melalui rapat pembina. Syarat pengangkatan pengawas oleh
pembina ditentukan dalam anggaran dasar. Pengawas diangkat untuk jangka waktu 5
tahun dan setelahnya dapat dipilih kembali.
Pengawas yang oleh
pembina dinilai telah melakukan tindakan yang merugikan yayasan, diberhentikan
dan diganti oleh pembina melalui rapat pembina. Namun demikian pemberhentian
tersebut tidak bisa dilakukan secara sewenang-wenang (detournement de pouvoir) melainkan harus sesuai dengan ketentuan
anggaran dasar. Pengawas yang diberhentikan atau kejaksaaan (demi kepentingan
umum), dapat mengajukan permohonan pembatalan pemberhentian dan penggantian
pengawas kepada pengadilan negeri. Selanjutnya dalam waktu 30 hari sejak
permohonan pembatalan diterima, pengadilan negeri menetapkan apakah membatalkan
atau tidak membatalkan pemberhentian yang dilakukan oleh pembina.
Dalam hal kepailitan
terjadi karena kesalahan atau kelalaian pengawas dan kekayaan yayasan tidak
cukup untuk membayar hutang-hutangnya, maka pengawas bertanggung jawab secara
tanggung renteng (bersama-sama) atas kerugian tersebut. Namun demikian apabila
seorang pengawas dapat membuktikan bahwa kepailitan terjadi bukan karena
kalalaian atau kelasahannya, maka ia dibebaskan dari kewajiban untuk
bertanggung jawab secara tanggung renteng atas kerugiannya tersebut.
Yayasan
dapat dibubarkan karena:
1)
jangka waktu yang ditetapkan dalam
Anggaran Dasar berakhir;
2)
tujuan Yayasan yang ditetapkan dalam
Anggaran Dasar telah tercapai atau tidak tercapai;
3)
putusan Pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap berdasarkan alasan:
a)
Yayasan melanggar ketertiban umum dan
kesusilaan;
b)
tidak mampu membayar utangnya setelah
dinyatakan pailit; atau
c)
harta kekayaan Yayasan tidak cukup untuk
melunasi utangnya setelah pernyataan pailit dicabut.
Dalam
hal yayasan dibubarkan karena jangka waktunya telah berakhir atau tujuan
yayasan telah tercapai/tidak tercapai, pembina menunjuk likuidator yang
bertugas melakukan pemberesan terhadap yayasan. Apabila pembina tidak menunjuk
likuidator maka pembina bertindak sebagai likuidator. Dalam hal yayasan
dibubarkan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap, maka pengadilan yang bersangkutan menunjuk kurator yang bertugas
melakukan pemberesan yayasan.
Selama
dalam pemberesan, yayasan yang dibubarkan dicantukan frasa “Dalam Likuidasi”
setelah namaYayasan.
Dalam
waktu paling lama 5 hari Setelah likuidator/kurator ditunjuk untuk melakukan
proses likuidasi terhadap yayasan yang dibubarkan, likuidator/kurator
mengumumkan pembubaran dan proses likuidasi yayasan yang bersangkutan dalam
surat kabar harian berbahasa Indonesia.
Likuidator/kurator
dalam jangka waktu paling lambat 7 hari sejak proses likuidasi berakhir, wajib
melaporkan hasil likuidasi/pembubaran kepada pembina. Selain itu dalam jangka
waktu paling lama 30 hari sejak proses likuidasi berakhir, likuidator/kurator
wajib mengumumkan hasil likuidasi pada surat kabar harian berbahasa Indonesia.
Kekayaan sisa hasil likuidasi diserahkan pada Yayasan
lain yang mempunyai kesamaan kegiatan. Jika tidak, maka kekayaan sisa hasil likuidasi
tersebut diserahkan kepada Negara dan penggunaannya dilakukan sesuai dengan
kegiatan Yayasan yang bubar.
Adalah
tanda daftar yang diberikan kepada perusahaan yang telah disahkan pendaftarannya.
Dasar hukumnya adalah Peraturan
Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 37/MDAG/PER/9/2007 tentang
Penyelenggaraan Pendaftaran Perusahaan.
Perusahaan yang wajib didaftarkan dalam Daftar Perusahaan (TDUP) adalah:
1.
Setiap Perusahaan yang berbentuk Perseroan Terbatas (PT)
2.
Koperasi
3.
Persekutuan Komanditer (CV)
4.
Firma
5.
Perseorangan, dan
6.
Bentuk Usaha Lainnya (BUL),
7.
Perusahaan Asing dengan status Kantor Pusat, Kantor Tunggal, Kantor Cabang,
Kantor Pembantu, Anak Perusahaan, Agen Perusahaan, dan Perwakilan Perusahaan
yang berkedudukan dan menjalankan usahanya di wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Prosedur
Persyaratan
1.
Pemohon mengisi formulir permohonan Tanda Daftar Perusahaan dilampiri
berkas
– berkas persyaratan disampaikan kepada Bupati melalui Kepala
BPPT.
2.
Petugas pendaftaran menerima dan meneliti kelengkapan permohonan
Tanda
Daftar Perusahaan.
3.
Pemohon membayar retribusi.
4.
Dinas teknis menerbitkan rekomendasi.
5.
Petugas administrasi memproses dan menerbitkan Tanda Daftar
Perusahaan.
6.
Pemohon mengambil dokumen Tanda daftar Perusahaan dengan
menunjukkan
bukti pembayaran retribusi Tanda Daftar Perusahaan.
Persyaratan
1.
Foto copy KTP.
2.
Surat Keterangan dari Kepala Desa yang diketahui oleh Camat.
3.
Surat Keterangan Tempat Usaha ( HO ).
4.
Nomor Pokok Wajib Pajak ( NPWP ).
5.
Akta pendirian perusahaan.
6.
Data akta pendirian perusahaan.
7.
Akta perubahan pendirian perusahaan.
8.
Keputusan pengesahan.
9.
Neraca perusahaan terakhir.
10.
TDP yang telah dilegalisir.
11.
Akta pembukaan cabang.
12.
Surat penunjukan dari Kantor Pusat untuk Kantor Cabang yang disahkan
oleh
Notaris.
Jangka
Waktu Berlakunya
Masa
berlakunya TDUP selama 5 tahun, setelahnya wajib mendaftar ulang
Waktu
Penyelesaian
Maksimal
5 ( lima ) hari kerja setelah permohonan diterima dengan lengkap dan
benar.
Pengecualian
Tanda
Daftar Perusahaan dengan Surat Izin Usaha Perdagangan Mikro dan Kecil
perizinannya diterbitkan kecamatan.
SIUP adalah Izin Usaha yang
dikeluarkan Instansi Pemerintah melalui Dinas Perindustrian dan Perdagangan
Kota/Wilayah sesuai domisili perusahaan. SIUP digunakan untuk menjalankan
kegiatan usaha dibidang Perdagangan Barang/Jasa di Indonesia sesuai dengan KLUI
“Klasifikasi Lapangan Usaha Indonesia”.
Berdasarkan besarnya jumlah
Modal dan Kekayaan Bersih di luar tanah dan bangunan atau jumlah modal disetor
dalam akta pendirian/perubahan, maka penggolongan SIUP dibedakan menjadi 3
(tiga) yaitu :
- SIUP
BESAR, diberikan kepada perusahaan yang memiliki modal dan kekayaan bersih
atau modal disetor dalam AKTA PENDIRIAN/PERUBAHAN dengan nilai diatas
Rp.500.000.000,- (lima ratus juta rupiah).
- SIUP
MENENGAH, diberikan kepada perusahaan yang memiliki modal dan kekayaan
bersih atau modal disetor dalam AKTA PENDIRIAN/PERUBAHAN dengan nilai
diatas Rp.200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) s/d Rp. 500.000.000,-
(limaratus juta rupiah).
- SIUP
KECIL, diberikan kepada perusahaan yang memiliki modal dan kekayaan bersih
atau modal disetor dalam AKTA PENDIRIAN/PERUBAHAN dengan nilai sampai
dengan Rp.200.000.000- (duartus juta rupiah).
Perusahaan mengambil formulir,
mengisi dan mengajukan permohonan SIUP beserta persyaratannya melalui Kantor
Dinas Perindustrian & Perdagangan Kota/Wilayah sesuai domisili perusahaan
untuk permohonan SIUP Menengah dan SIUP Kecil. Sedangkan untuk permohonan
SIUP-BESAR diajukan melalui Kanwil Perindustrian dan Perdagangan Kota/Propinsi
sesuai domisili perusahaan.
- Copy Akta
pendiran (asli diperlihatkan)
- Copy Akta
perubahannya & Laporannya, jika ada (asli diperlihatkan)
- Copy SK.
Menteri Hukum & HAM RI (asli diperlihatkan) atau Bukti PNBP untuk
PT-Baru
- Copy
Surat Keterangan Domisili perusahaan, (asli diperlihatkan)
- Copy
SITU-Surat Izin Tempat Usaha (bagi perusahaan yang dipersyaratan)
- Copy
Kontrak/Sewa T.Usaha/Surat Keterangan dari pemilik gedung
- Copy
NPWP-Nomor Pokok Wajib Pajak (asli diperlihatkan)
- Copy KTP
Pemegang Saham atau NPWP jika badan usaha
- Copy KTP
Pengurus perseroan(Direksi
& Komisaris)
- Copy KK
jika Pimpinan/Penanggung Jawab perusahaan adalah Wanita
- Pas Photo
Direktur Utama/Pimpinan Perusahaan (3 x 4) 2 lembar
- Copy
Neraca Awal Perusahaan
SIUP berlaku selama perusahaan
masih menjalankan kegiatan usaha perdagangan barang/jasa sejak tanggal
dikeluarkan.
a. Fotocopy
Akte Pendirian Koperasi yang telah mendapatkan pengesahan dari Instansiberwenang
b. Fotocopy Kartu Tanda Penduduk (KTP) Pimpinan / Penanggung jawab Koperasi
c. Fotocopy Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) Perusahaan
d. Fotocopy Surat Izin Gangguan bagi kegiatan dan usaha Perdagangan yang
dipersyaratkan
e. Neraca Awal Perusahaan
a. Fotocopy Akte Pendirian
Perusahaan/Akte Notaris yang telah didaftarkan pada PengadilanNegeri
b. Fotocopy KTP Pemilik/Direktur Utama Penanggung jawab Perusahaan
c. Fotocopy Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) Perusahaan
d. Fotocopy Surat Izin Gangguan bagi kegiatan dan usaha Perdagangan yang
dipersyaratkan
e. Neraca Awal Perusahaan
a. Fotocopy KTP Pemilik/Direktur
Utama/Penanggung jawab Perusahaan
b. Fotocopy Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) Perusahaan
c. Fotocopy Surat Izin Gangguan bagi kegiatan dan usaha Perdagangan yang
dipersyaratkan
d. Neraca Awal Perusahaan
Untuk setiap berkas permohonan dilengkapi
dengan
1. Surat domisili usaha
2. Denah lokasi usaha
3. Foto 4x6 berwarna 3 lembar.
4. Susunan pengurus (kecuali Perusahaan Perorangan).
5. Legalisir SIUP Pusat (jika perusahaan berupa cabang).
Ketentuan
dan Tata Cara Pemberian TDUP dan SIUP
Menteri Perindustrian dan Perdagangan kembali mengeluarkan ketentuan dan tata
cara pemberian Tanda Daftar Usaha Perdagangan (TDUP) dan Surat Izin Usaha
Perdagangan (SIUP) berupa keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI
No.408/MPP/10/1997 Tanggal 3-10-1997. Ketentuan tersebut mengatur sebagaimana
diuraikan di bawah ini, bahwa setiap perusahaan yang melakukan kegiatan usaha
perdagangan wajib memperoleh perizinan di bidang perdagangan meliputi:
a. Tanda Daftar Usaha Perdagangan atau TDUP, dan
b. Surat Izin Usaha Perdagangan atau SIUP.
Perbedaan antara TDUP dan
SIUP
a. Perusahaan yang melakukan kegiatan usaha Perdagangan dengan nilai investasi
Perusahaan seluruhnya sampai dengan Rp 200.000.000 tidak termasuk tanah dan
bangunan tempat usaha, wajib memperoleh TDUP yang diberlakukan sebagaiSIUP.
b. Perusahaan yang melakukan kegiatan usaha Perdagangan dengan nilai investasi
Perusahaan di atas Rp 200.000.000 tidak termasuk tanah dan bangunan tempat
usaha, wajib memperolah SIUP.
c. Perusahaan yang telah memperoleh TDUP apabila dalam perkembangannya nilai
investasi Perusahaan seluruhnya tidak termasuk tanah dan bangunan melampaui Rp
200.000.000 atau memiliki penjualan tahunan telah melampaui Rp 1.000.000.000
maka Perusahaan yang bersangkutan dapat mengganti TDUP-nya menjadi SIUP apabila
dikehendaki oleh yang bersangkutan.
Perusahaan
yang Dibebaskan
Setiap Perusahaan yang melakukan kegitan usaha perdagangan diwajibkan
memperolah perizinan di bidang perdagangan. Namun di samping itu ada Perusahaan
yang dibebaskan dari kewajiban tersebut.
Perusahaan yang dibebaskan dari kewajiban memperoleh TDUP dan SIUP adalah:
a. Cabang perusahaan yang dalam menjalankan kegiatan Usaha Perdagangan
mempergunakan TDUP atau SIUP Perusahaan Pusat.
b. Perusahaan yang telah mendapatkan Izin Usaha yang setara dari Departemen
Teknis berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
c. Perusahaan produksi yang didirikan dalam rangka Undang-Undang No. 6 Tahun
1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri.
d. BUMN dan BUMD
e. Perusahaan kecil perorangan dengan memenuhi ketentuan sebagai berikut:. 1. Tidak berbentuk Badan Hukum atau
Persekutuan
2. Diurus, dijalankan atau dikelola sendiri oleh
pemiliknya atau dengan mempekerjakan anggota keluarganya yang terdekat.
f. Pedagang keliling, pedagang
pinggir jalan atau pedagang kaki lima.
TDUP atau SIUP diterbitkan berdasarkan tempat kedudukan (domisili) perusahaan
dan berlaku untuk seluruh wilayah Republik Indonesia.
Perubahan Perusahaan
Yang dimaksud dengan Perubahan Perusahaan adalah meliputi Perubahan: Nama
Perusahaan, Alamat Kantor Perusahaan, Nama Pemilik/ Penanggung Jawab, NPWP,
Nilai Investasi, Bidang Usaha, Jenis Kegiatan Usaha, Jenis Barang Jasa DagangUtama.
Apabila Perusahaan melakukan perubahan, maka diwajibkan melakukan permintaan
perubahan TDUP atau SIUP.
Perubahan sepanjang yang menyangkut investasi ditetapkan sebagai berikut:
a) Nilai investasi seluruhnya setelah perubahan turun menjadi atau kurang dari
Rp 200.000.000 tidak diwajibkan melakukan perubahan SIUP.
b) Nilai investasi seluruhnya setelah perubahan menjadi diatas Rp 200.000.000
dapat mengajukan perubahan TDUP menjadi SIUP.
c) Nilai investasi seluruhnya yang semula sudah diatas Rp 200.000.000 sehingga
investasinya menjadi lebih besar dari semula, tidak diwajibkan mengajukan
perubahan SIUP.
d) Nilai investasi seluruhnya yang semula diatas Rp 200.000.000 setelah
perubahan turun menjadi sampai dengan Rp 200.000.000 dapay menyesuaikan SIUPnya
menjadi TDUP.
Perubahan-perubahan yang tidak termasuk perubahan seperti disebutkan diatas
wajib dilaporkan secara tertulis kepada pejabat yang berwenang menerbitkan TDUP
atau SIUP.
Wajib Lapor
a) Perusahaan yang dengan nilai investasi sampai dengan Rp 200.000.000 yang
telah memperoleh TDUP menyampaikan laporan kepada Ka KANDEP yang besangkutan.
b) Perusahaan yang dengan nilai investasi diatas Rp 200.000.000 yang telah
memperoleh SIUP wajib menyampaikan laporan kepada Ka KANWIL yang bersangkutan.
Setiap perusahaan yang tidak lagi melakukan kegiatan Usaha Perdagangan atau
menutup Perusahaan, wajib lapor kepada Ka KANDEP atau Ka KANWIL setempat
disertai pengembalian TDUP atau SIUP asli.
Uang Jaminan
dan Biaya Administrasi
Berdasarkan ketentuan dalm Keputusan Menperindag No. 227/MPP/Kep/7/1997 tentang
Penyempurnaan Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi No.04/Kp/i/1980, maka
uang jaminan dan Biaya Administarsi dalam pengurusan TDUP atau SIUP sebesar nol
Rupiah.
Peraturan
Perusahaan adalah peraturan yang dibuat secara tertulis oleh Perusahaan, yang di
dalamnya memuat syarat-syarat kerja dan tata tertib perusahaan (UU No. 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan). Sebuah Peraturan
Perusahaan baru dikatakan sah dan mengikat Perusahaan dan Karyawan apabila telah mendapatkan
pengesahan dari Menteri Ketenagakerjaan dan Transmigrasi. Pengesahan itu
dilakukan oleh pejabat yang ditunjuk, yaitu kepala instansi yang bertanggung
jawab di bidang ketenagakerjaan Kabupaten/Kota (untuk perusahaan yang terdapat
dalam satu Kabupaten/Kota) dan kepala instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan tingkat Provinsi (untuk Perusahaan yang terdapat dalam lebih
dari satu wilayah Kabupaten/Kota).
Kewajiban membuat Peraturan Perusahaan berlaku
terhadap Perusahaan yang memiliki paling sedikit 10 orang Karyawan. Kewajiban itu tidak berlaku apabila Perusahaan
telah memiliki Perjanjian Kerja Bersama
(PKB), yaitu perjanjian antara Serikat
Pekerja dan Perusahaan yang di dalamnya mengatur syarat-syarat kerja, serta hak dan kewajiban kedua belah pihak.
Selain mengatur syarat-syarat kerja yang belum diatur
dalam peraturan perundang-undangan, Peraturan
Perusahaan juga merinci lebih lanjut ketentuan-ketentuan umum yang
terdapat dalam peraturan perundang-undangan Ketenagakerjaan. Dalam hal
Peraturan Perusahaan mengatur kembali (menegaskan) ketentuan peraturan
perundang-undangan, maka ketentuan itu kondisinya harus lebih baik dari
peraturan perundang-undangan. Peraturan Perusahaan sekurang-kurangnya memuat :
- Hak dan kewajiban Perusahaan.
- Hak dan kewajiban Karyawan.
- Syarat kerja.
- Tata tertib perusahaan.
- Jangka waktu berlakunya Peraturan Perusahaan.
Dalam satu Perusahaan hanya boleh dibuat satu
Peraturan Perusahaan yang berlaku bagi seluruh Karyawan. Jika Perusahaan
memiliki cabang, maka selain Peraturan Perusahaan induk yang berlaku bagi semua
Karyawan, Perusahaan juga dapat membuat Peraturan Perusahaan turunan yang
berlaku khusus bagi Karyawan di masing-masing cabang Perusahaan sesuai dengan
kondisi masing-masing Perusahaan cabang. Dalam hal beberapa perusahaan
tergabung dalam satu grup, dan masing-masing Perusahaan merupakan badan hukum yang
berdiri sendiri-sendiri, maka Peraturan Perusahaan harus dibuat oleh
masing-masing Perusahaan itu sebagai badan hukum.
Tugas penyusunan Peraturan Perusahaan merupakan
tanggung jawab dari Perusahaan. Sebelum disahkan oleh Menteri, penyusunan itu
dilakukan oleh Perusahaan dengan memperhatikan saran dan pertimbangan dari
Karyawan terhadap draf Peraturan Perusahaan. Karena masukan dari Karyawan itu
bersifat “saran” dan “pertimbangan”, maka pembuatan Peraturan Perusahaan tidak
dapat diperselisihkan – bila terjadi perbedaan pendapat antara Karyawan dan
Perusahaan. Karena sifatnya saran dan pertimbangan, maka Karyawan dapat juga
untuk tidak memberikan saran dan pertimbangan tersebut meskipun telah diminta
oleh Perusahaan.
Pemilihan wakil Karyawan dalam rangka memberikan saran
dan pertimbangannya harus dilakukan dengan tujuan untuk mewakili kepentingan
para Karyawan. Pemilihan itu dilakukan secara demokratis, yaitu dipilih oleh
Karyawan sendiri terhadap Karyawan yang mewakili setiap unit kerja di dalam
Perusahaan. Apabila di dalam Perusahaan telah terbentuk Serikat Pekerja, maka
saran dan pertimbangan tersebut diberikan oleh pengurus Serikat Pekerja.
Untuk memperoleh saran dan pertimbangan dari wakil
Karyawan, pertama-tama Perusahaan harus menyampaikan naskah rancangan Peraturan
Perusahaan itu kepada wakil Karyawan – atau Serikat Pekerja. Saran dan
pertimbangan tersebut harus sudah diterima kembali oleh Perusahaan dalam waktu
14 hari kerja sejak tanggal diterimanya naskah rancangan Peraturan Perusahaan
oleh wakil Karyawan. Jika dalam waktu 14 hari kerja itu wakil Karyawan tidak
memberikan saran dan pertimbangannya, maka Perusahaan sudah dapat mengajukan
pengesahan Peraturan Perusahaan itu tanpa saran dan pertimbangan dari Karyawan
– dengan disertai bukti bahwa Perusahaan telah meminta saran dan pertimbangan
dari wakil Karyawan namun Karyawan tidak memberikannya.
Permohonan pengesahan Peraturan Perusahaan diajukan
kepada Menteri melalui pejabat yang ditunjuk. Pengajuan permohonan itu
dilakukan dengan melengkapi:
- Permohonan tertulis yang memuat keterangan
mengenai Perusahaan.
- Naskah Peraturan Perusahaan dalam rangkap 3 yang
telah ditandatangani oleh Perusahaan.
- Bukti telah dimintakan saran dan pertimbangan
dari wakil Karyawan.
Setelah Pejabat yang ditunjuk meneliti kelengkapan
dokumen-dokumen tersebut, dan dalam naskah Peraturan Perusahaan juga tidak
terdapat materi yang bertentangan dengan peraturan perundangan-undangan,
selanjutnya Pejabat yang ditunjuk wajib mengesahkan Peraturan Perusahaan.
Pengesahan itu dilakukan dengan menerbitkan Surat Keputusan dalam waktu paling
lama 30 hari kerja sejak tanggal diterimanya permohonan pengesahan.
Sebaliknya, Jika syarat-syarat itu tidak terpenuhi,
maka Pejabat yang ditunjuk akan mengembalikan secara tertulis permohonan
pengesahan Peraturan Perusahaan kepada Perusahaan yang bersangkutan dalam waktu
paling lama 7 hari kerja sejak diterimanya pengajuan permohonan pengesahan.
Pengembalian itu disertai dengan catatan-catatan tentang kelengkapan yang perlu
diperbaiki. Perusahaan wajib menyampaikan Peraturan Perusahaan yang telah
dilengkapi atau diperbaiki kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan dalam waktu paling lama 14 hari sejak tanggal diterimanya
pengembalian Peraturan Perusahaan. Jika Perusahaan tidak memenuhinya sesuai
waktu yang telah ditentukan, maka Perusahaan dapat dinyatakan tidak mengajukan
permohonan pengesahan Peraturan Perusahaan – sehingga dapat dianggap belum
memiliki Peraturan Perusahaan.
Masa berlakunya Peraturan Perusahaan paling lama
adalah 2 tahun, dan setelahnya wajib diperbaharui kembali. Selama masa
berlakunya peraturan perusahaan, apabila Serikat Pekerja menghendaki untuk
diadakannya perundingan Perjanjian
Kerja Bersama, maka Perusahaan wajib melayaninya. Namun jika perundingan
itu tidak mencapai kesepakatan, maka Peraturan Perusahaan tetap berlaku sampai
habis jangka waktunya.
Mengenai
klasifikasi perseroan diatur dalam UUPT 2007, tersurat dan tersirat dalam Pasal
1 angka 6 dan Pasal 1 angka 7.
Perseroan
Tertutup
Perseroan, pada dasarnya adalah
badan hukum yang memenuhi syarat ketentuan Pasal 1 angka 1 UUPT 2007. Dia
merupakan persekutuan modal yang terbagi dalam saham. Didirikan berdasarkan
perjanjian diantara pendiri atau poemegang saham, serta melakukan kegiatan
usaha, dan kelahirannya juga melalui proses hukum yang dikukuhkan berdasarkan
keputusan pengesahan oleh Menkumham.
Pada perseroan tertutup terdapat ciri khusus, antara lain:
a.
Biasanya pemegang sahamnya “terbatas”
dan “tertutup” (besloten, close).
Hanya terbatas pada orang-orang yang masih kenal mengenal atau pemegang
sahamnya hanya terbatas diantara mereka yang masih ada ikatan keluarga, dan
tertutup bagi luar.
b.
Saham perseroan yang ditetapkan dalam
AD, hanya sedikit jumlahnya, dan dalam AD, sudah ditentukan dengan tegas siapa
yang boleh menjadi pemegang saham.
c.
Sahamnya juga hanya atas nama (aandeel op nam, registered share) atas
orang-orang tertentu secara terbatas.
Berdasarkan
karakter yang demikian perseroan yang semacam ini disebut dan diklasifikasi
perseroan yang bersifat “tertutup” (besloten
vennootschaap, close corporation) atau disebut juga perseroan terbatas keluarga
(famalie vennootschaap, corporate family).
Perseroan terbatas yang tertutup,
dalam kenyataan praktik, dapat juga diklasifikasi lagi, yang terdiri atas :
a.
Murni tertutup
Ciri
perseroan terbatas yang murni tertutup, dapat dijelaskan sebagai berikut:
·
Yang boleh menjadi pemegang saham
benar-benar terbatas dan tertutup secara mutlak, hanya terbatas pada lingkungan
teman tertentu atau anggota keluarga tertentu saja.
· Sahamnya diterbitkan atas nama oang-orang tertentu
dimaksud
· Dalam AD ditentukan dengan tegas, pengalihan saham, hanya
boleh dan terbatas diantara sesama pemegang saham saja.
Itu
sebabnya perseroan terbatas yang tertutup yang seperti ini, diebut murni
tertutup atau absolut tertutup. Tidak diberi ruang gerak kepada orang luar
untuk menjadi pemegang saham.
b.
Sebagian Tertutup, Sebagian Terbuka
Tipe lain perseroan terbatas bersifat
tertutup yang dijumpai dalam praktik adalah yang tidak murni atau tidak absolut
tertutup. Coraknya sebagian
tertutup, dan sebagian lagi terbuka dengan acuan sebagai berikut :
·
Seluruh saham perseroan, dibagi mejadi
dua kelompok
· Satu
kelompok saham tertentu, hanya boleh dimiliki orang atau kelompok tertentu
saja. saham yang demikian, misalnya dikelompokkan atau digolongkan “saham
istimewa”, hanya dapat dimiliki orang tertentu dan terbatas,
·
Sedang kelompok saham yang lain, boleh
dimiliki secara terbuka oleh siapapun.
Perseroan Publik
Pasal 1 angka 8 UUPT 2007 yang berbunyi :
“Perseroan
publik adalah perseroan yang telah memenuhi kriteria jumlah pemegang saham dan
modal disetor sesuai dengan ketentuan peraturan”.
Rujukan peraturan perundang-undangan yang dimaksud Pasal
1 angka 8 UUPT 2007 adalah UU No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal dalam hal
ini Pasal 1 angka 22. Menurut pasal ini, agar perseroan menjadi perseroan
publik, harus memenuhi kriteria sebagai berikut :
a.
Saham
perseroan yang bersangkutan, telah dimiliki sekurang-kurangnya 300 pemegang
saham
b. Memiliki
modal disetor (gestort capital, paid up
capital) sekurang-kurangnya Rp 3.000.000.000, (tiga milyar rupiah)
c. Atau
suatu jumlah pemegang saham dengan jumlah modal disetor yang ditetapkan oleh
Peraturan Pemerintah.
Kalau perseroan telah memenuhi
kriteria yang disebut di atas, perseroan itu harus mematuhi ketentuan Pasal 24
UUPT 2007. Menurut pasal ini :
a.
Perseroan yang telah memenuhi kriteria
sebagai perseroan publik, wajib mengubah AD menjadi perseroan terbuka
(perseroan tbk)
b. Perubahan
AD dimaksud, harus dilakukan dalam jangka waktu 30 hari terhitung sejak
terpenuhinya kriteria tersebut
c. Selanjutnya,
Direksi perseroan “wajib” mengajukan pernyataan pendaftaran sesuai dengan ketentuan peratuan perundang-undangan di
bidang Pasar Modal.
Perseroan Terbuka
(Perseroan Tbk)
Klasifikasi atau
tipe yang ketiga adalah perseroan terbuka (perseroan tbk), sebagaimana yang
dinyatakan pada Pasal 1 angka 7 UUPT 2007, yang berbunyi :
“Perseroan terbuka adalah perseroan
publik atau perseroan yang melakukan penawaran umum saham, sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal”
Jadi yang dimaksud dengan perseroan
tbk menurut Pasal 1 angka 7 UUPT 2007, adalah :
·
Perseroan publik yang telah memenuhi
ketentuan Pasal 1 angka 22 UU No. 8 Tahun 1995 yakni memiliki pemegang saham
sekurang-kurangnya 300 orang, dan modal disetor sekurang-kurangnya Rp.
3.000.000.000, (tiga milyar rupiah).
· Perseroan yang melakukan penawaran umum (public offtering) saham di Bursa Efek.
Maksudnya perseroan tersebut, menawarkan atau menjual saham atau efeknya kepada
masyarakat luas.
Hanya emiten yang boleh melakukan penawaran umum. Menurut
Pasal 1 angka 6 UUPM, emiten adalah
pihak yang melakukan penawaran umum, dan penawaran umum baru dapat dilakukan
emiten setelah lebih dulu mendaftar ke Badan Pengawasan Pasar Modal (BAPEPAM).
Sesuai dengan ketentuan Pasal 3 UUPM, BAPEPAM, berfungsi melakukan pembinaan,
pengaturan, dan pengawasan sehari-hari kegiatan Pasar Modal. BAPEPAM berada
dibawah dan bertanggung jawab kepada Menteri Keuangan.
Mengenai tata cara pendaftaran perseroan tbk dalam rangka
melakukan penawaran umum (public offering)
saham yang diterbitkannnya, dapat dijelaskan secara ringkas, antara lain
sebagai berikut :
a. Setiap perseroan publik yang hendak melakukan penawaran
umum, “wajib” mendaftarkan diri kepada BAPEPAM.
b. Bentuk
dan isi Pendaftaran
Berdasarkan Pasal 1 angka 19 UUPM,
pernyataan pendaftaran adalah dokumen yang wajib disampaikan kepada BAPEPAM oleh emiten dalam
rangka penawaran umum yang harus mencangkup semua “informasi” dan “fakta
material” mengenai perseroan publik tersebut, yang dapat “mempengaruhi”
keputusan permodal adau investor membeli saham atau efek yang ditawarkan.
c. Memberikan informasi dan Fakta Material yang perlu dan
layak diketahui Investor.
Perseroan Grup (Group
Company)
Pada masa
sekarang, banyak perseroan yang memanfaatkan prinsip limited liability atau pertanggungjawaban terbatas. Dalam rangka
memanfaatkan limited liability, sebuah perseroan dapat mendirikan “perseroan
anak” atau subsiadiry untuk
menjalankan bisnis “perseroan induk” (parent
company). Dengan demikian, sesuai dengan prinsip keterpisahan (separation) dan perbedaan (distinction) yang dikenal dengan istilah
separate entity, maka asset perseroan induk dengan perseroan anak “terisolasi”
terhadap kerugian potensial (potential loses) yang akan dialami oleh satu
diantaranya.
Pada masa
sekarang, bisa dijumpai satu perseroan grup (group company), terdiri atas sejumlah bahkan beratus perseroan
sebagai perseroan anak (subsidiary).
Perseroan holding (parent company)
kemungkinan besar tidak aktif melakukan kegiatan bisnis atau perdagangan. Hanya
sahamnya ditanamkan dalam berbagai perseroan anak, dan mereka itu yang
melakukan dan melaksanakan kegiatan usaha.
Pada UUPT 2007,
tidak menjelaskan maupun mengatur ketentuan mengenai perseroan grup atau
perseroan holding. Padahal dalam praktik perlu diketahui apa yang dimaksud
perseroan grup (group company) atau
perseroan holding (holding company)
yang bisa disebut perseroan induk atau parent
company berhadapan dengan perseroan anak atau anak perusahaan (subsidiary company).
Pada penjelasan
Pasal 29 UUPT 1995, penjelasan ini mengatakan, yang dimaksud dengan “perusahaan
anak” (subsidiary) adalah perseroan yang mempunyai hubungan khusus dengan
perseroan lainnya yang dapat terjadi karena hal-hal sebagai berikut :
a.
lebih dari 50% suara dalam RUPS,
dikuasai oleh induk perusahaan (holding
company);
b.
lebih dari 50% suara dalam RUPS,
dikuasai oleh induk perusahaannya;
c.
kontrol
atas jalannya perseroan, pengangkatan dan pemberhentian Direksi dan Komisaris
sangat dipengaruhi oleh induk perusahaan;
Dengan
demikian apa yang dikemukakan pada penjelasan Pasal UUPT 1995, masih dianggap
relevan sebagai landasan memahami dan menerapkan perseroan induk (parent or holding Company) dan perseroan Anank (Subsidiary).
Dasar
hukum pembentukan suatu perseroan terbatas (PT) adalah sebagai berikut:
a. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas;
b. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1997 tentang Dokumen
Perusahaan;
c. Undang-Undang nomor 8 tahun 1995 tentang Pasar Modal
berkaitan dengan pembentukan PT Terbuka;
d. Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 1998 tentang
Pemakaian Nama Perseroan Terbatas;
e. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1998 tentang
Pemakaian Nama Perseroan Terbatas;
f.
Keputusan
Menkumham Republik Indonesia No. M-01.HT.01.01 Tahun 2000 Tanggal 4 Oktober
2000 tentang Pemberlakuaan Sistem Administrasi Badan Hukum dan Hak Asasi
Manusia Republik Indonesia;
g. Keputusan Jenderal Administrasi Hukum Umum No. C-1.HT.01.01 Tahun 2001 tentang Dokumen Pendukung Format
Isian Akta Notaris (FIAN) Model 1 dan Dokumen Pendukung Format Isian Akta
Notaris (FIAN) model 11 untuk Perseroan Terbatas Tertentu;
h. Keputusan Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum
Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia No. C-01.HT.01.01
Tahun 2003 tanggal 22 januari 2003 tentang Tata Cara Pengajuan Permohonan dan
Pengesahan Akta Pendirian dan Persetujuan Akta Perubahan Anggaran Dasar
Perseroan Terbatas;
i.
Keputusan
Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum Departemen Hukum dan Hak Asasi
Manusia Republik Indonesia No. C-01.HT.01.04 Tahun 2003 tanggal 22 januari 2003
tentang Tata Cara Penyampaian Laporan Akta Perubahan Anggaran Dasar Perseroan
Terbatas;
j.
Keputusan
Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum Departemen Hukum dan Hak Asasi
Manusia Republik Indonesia No. C-03.HT.01.04 Tahun 2003 tanggal 5 Maret 2003
tentang Tata Cara Penyampaian Pemberitahuan Akta Perubahan Anggaran Dasar
Perseroan Terbatas;
k. Surat Edaran Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum
Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia No. C-HT.01.10-03
tanggal 8 Maret 2004 tentang Berakhirnya Sistem Manual terhadap Permohonan
Pengesahan Akta Pendirian, Persetujuan, dan Pelaporan Akta Perubahan Anggaran
Dasar Perseroan Terbatas;
l.
Surat
Edaran Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum Departemen Hukum dan Hak Asasi
Manusia Republik Indonesia No. C-24.HT.01.10-03 Tahun 2004 tanggal 12 November
2004 tentang Petunjuk Teknis Sistem Administrasi Hukum Umum.
Perseroan
terbatas (PT) merupakan badan hukum (legal
entity), yaitu badan hukum “mandiri” (persona
standi in judicio) yang memiliki sifat dan ciri kualitas yang berbeda dari
bentuk usaha yang lain, yang dikenal sebagai karakteristik suatu PT yaitu
sebagai berikut:
1. Sebagai
asosiasi modal;
2. Kekayaan dan
hutang PT adalah terpisah dari kekayaan dan utang pemegang saham;
3. Pemegang saham:
a. bertanggung
jawab hanya pada apa yang disetorkan, atau tanggung jawab terbatas (limited liability);
b. tidak bertanggung jawab atas kerugian
perseroan (PT) melebihi nilai saham yang telah diambilnya;
c. tidak
bertanggung jawab secara pribadi atas perikatan yang dibuat atas nama
perseroan;
4. Adanya pemisahan fungsi antara pemegang
saham dan Pengurus atau Direksi;
5. Memiliki Komisaris yang berfungsi
sebagai pengawas;
6. Kekuasaan tertinggi berada pada
Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).
Posedur yang
harus ditempuh untuk mendirikan suatu PT menurut KUHD adalah sebagai berikut:
Persyaratan
Akta pendirian suatu perusahaan harus memenuhi
syarat-syarat sebagai berikut:
a.
Dibuat
dalam bentuk otentik sesuai dengan Pasal 38 KUHD
Akta pendirian sebuah PT harus dibuat dalam bentuk
otentik dengan ancamannya akan batal. Maksudnya adalah Akta pendiriannya harus
dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, yaitu dibuat oleh atau
di hadapan notaris. Bila tidak dibuat demikian maka akta tersebut dianggap
batal.
b. Memperoleh persetujuan dari Menteri Kehakiman RI menurut
Pasal 36 KUHD
Tahap ini merupakan langkah awal untuk sahnya suatu
pendirian suatu perseroan terbatas.
c.
Didaftarkan
di Kepaniteraan Pengadilan Negeri di daerah hukum tempat kedudukan perseroan,
dan
d.
Diumumkan
dalam Berita Negara RI, sesuai dengan Pasal 38 KUHD.
Persetujuan
Menteri Kehakiman
Surat
Keputusan Persetujuan oleh Menteri Kehakiman RI memuat klausula yang berbunyi:
“Menyatakan
bahwa PT ini baru dianggap badan hukum setelah mendapat pengesahan dari Departemen
Kehakiman, pendaftaran pada Pengadilan Negeri yang bersangkutan dan pengumuman dalam Berita Negara RI”.
Ini
menunjukan bahwa sebelum suatu PT diakui sebagai badan hukum, maka PT tersebut
belum bisa bertindak melakukan perbuatan hukum. Dengan kata lain tidak bisa
melakukan kegiatan transaksi, seperti melakukan jual-beli, membuat perjanjian
dan lain sebagainya (rectsbetrekkingen).
Kemudian pada tanggal 26 Oktober 1972, hal tersebut telah diubah menjadi
persetujuan pengesahan tidak lagi dengan memakai klausula tersebut. Dengan
demikian maka perusahaan sudah mulai dapat menjalankan kegiatannya tanpa harus
menunggu sampai pendirian perusahaan diumumkan dalam Berita Negara RI.
Dasar
pertimbangan
Pertimbangan yang
dipergunakan dalam memberikan persetujuan atas pendirian suatu PT adalah
apabila pendirian tersebut:
1. Tidak
bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum menurut Pasal 37 KUHD;
2. Tidak ada
keberatan-keberatan yang penting terhadap pendiriannya;
3. Tidak memuat
ketentuan-ketentuan yang berlawanan dengan hal-hal yang diatur dalam KUHD Buku
Kesatu Bab III Bagian 3 mengenai PT, yaitu mulai Pasal 38 sampai dengan Pasal
55.
Cara pemberian persetujuan
Persetujuan
yang diberikan oleh Menteri Kehakiman itu ada 2 macam:
1. Bersyarat,
yaitu persetujuan diberikan dengan catatan bahwa perseroan akan bersedia
dibubarkan apabila Menteri Kehakiman mengganggap perlu untuk kepentingan umum;
2. Tanpa
syarat, yaitu persetujuan diberikan tanpa catatan yang artinya tidak bisa
dibubarkan kecuali oleh Mahkamah Agung atas dasar ketentuan perundang-undangan
yang berlaku.
Apabila
pendirian PT tidak disetujui maka alasan untuk itu akan disampaikan kepada
pemohon agar diketahui, kecuali pemberitahuan itu dianggap tidak sepantasnya.
Tahap berikutnya adalah mendaftarkan
pendirian PT pada Kantor Panitera Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya
meliputi tempat kedudukan atau domisili perseroan atau PT tersebut, dan yang
akhirnya adalah pengumuman atau diumumkan secara resmi dalam Berita Negara RI.
Pendirian
perseroan diatur dalam Bab II, Bagian Kesatu UUPT 2007, yang terdiri atas Pasal
7-14.
Syarat sahnya pendirian perseroan
Terdapat
beberapa syarat yang harus dipenuhi supaya pendirian perseroan sah sebagai
badan hukum, yang terdiri atas:
a.
Harus
didirikan oleh 2 (dua) orang atau lebih;
b. Pendirian
berbentuk akta notaris;
c. Dibuat
dalam bahasa Indonesia;
d.
Setiap
pendiri wajib mengambil saham;
e. Mendapat
pengesahan dari Menkumham.
Syarat tersebut bersifat “kumulatif” bukan bersifat
“fakultatif” atau “alternative”. Satu saja dari syarat itu cacat (defect) atau tidak terpenuhi,
mengakibatkan pendiriannya tidak sah sebagai badan hukum.
a.
pendiri
perseroan 2 (dua) orang atau lebih
Syarat
pendiri perseroan harus 2 (dua) atau lebih diatur pada Pasal 7 ayat (1) UUPT
2007. Pengertian “pendiri” (promoters)
menurut hukum adalah orang-orang yang mengambil bagian dengan sengaja (intention) untuk mendirikan perseroan.
Selanjutnya orang-orang itu dalam rangka pendirian itu mengambil
langkah-langkah yang penting untuk mewujudkan pendirian tersebut, sesuai dengan
syarat yang ditentukan peraturan perundang-undangan. Jadi syarat pertama, pendiri perseroan paling
sedikit 2 (dua) orang. Kurang dari itu, tidak memenuhi syarat, sehingga tidak
mungkin diberikan “pengesahan” sebagai badan hukum oleh Menteri.
1). Didirikan
berdasarkan perjanjian
Cara
mendirikan perseroan oleh para pendiri (promoters),
dilakukan berdasarkan “perjanjian”. Hal ini ditegaskan pada Pasal 1 angka 1
UUPT 2007 yang mengatakan, perseroan sebagai badan hukum yang merupakan
persekutuan modal, didirikan oleh para pendiri “berdasarkan perjanjian”.
Berarti pendirian perseroan dilakukan secara “konsensual” (consensueel, consensual) dan “kontraktual” (contractueel, by contract) berdasarkan Pasal 1313 KUH Perdata.
Pendirian perseroan berdasarkan
perjanjian menurut penjelasan Pasal 7 ayat (1) aline Kedua, merupakan penegasan
prinsip yang berlaku bagi UUPT 2007. Pada dasarnya perseroan sebagai badan hukum, didirikan berdasarkan
perjanjian. Karena itu mempunyai lebih dari 1 (satu) orang pemegang saham.
2). Yang
dimaksud dengan orang
Pendiri
(promoters) perseroan terdiri atas
“orang”, yakni 2 (dua) orang atau lebih. Yang dimaksud dengan “orang” merujuk
kepada alinea pertama penjelasan Pasal 7 ayat (1) adalah:
a.
orang
perorangan (naturlijk persoon, natural
person) yakni perorangan atau pribadi kodrati atau manusia secara alamiah (human being) baik Warga Negara Indonesia
maupun Warga Negara Asing;
b. badan
hukum (rechts persoon, legalperson or
legal entity)
3). Pemegang saham kurang dari 2 (dua) orang
Apabila
setelah suatu perseroan mendapat pengesahan atau memperoleh status sebagai
badan hukum dari Menteri, namun pemegang sahamnya kurang dari 2 (dua) orang
maka telah diatur penyelesaiannya maupun akibat hukumnya pada Pasal 7 ayat (5)
dan (6) UUPT 2007 sebagai berikut:
a. kurangnya pemegang saham dari 2 (dua) orang
hanya dapat ditolerir dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan
menurut ketentuan Pasal 7 ayat (5), apabila perseroan telah memperoleh
status badan hukum, pada dasarnya pemegang saham tidak boleh kurang dari 2
(dua) orang. Apabila kurang dari 2 (dua) orang, hal itu dapat “ditolerir” oleh
undang-undang paling lama dalam jangka waktu 6 (enam) bulan. Selama itu,
meskipun pemegang saham kurang dari 2 (dua) orang, perseroan tetap sah memiliki
legalitas sebagai badan hukum. Pada perseroan itu masih melekat prinsip separate entity dan limited liability. Semua perbuatan hukum yang dilakukan selama
jangka waktu tersebut, sepenuhnya menjadi tanggung jawab perseroan. Tidak dapat
dipikulkan menjadi tanggung jawab pribadi (personal
liability) dari pemegang saham.
b. tindakan yang harus dilakukan pemegang saham,
apabila telah lewat 6 (enam) bulan
kalau keadaan
pemegang saham yang kurang dari 2 (dua) orang telah melampaui batas waktu 6
(enam) bulan, pemegang saham “tunggal” wajib melakukan tindakan
alternatif berikut:
·
wajib
mengalihkan sebagian saham
yang dimilikinya kepada orang lain, atau
·
mengeluarkan saham baru kepada orang lain.
c. apabila
kurangnya pemegang saham lebih dari 6 (enam) bulan
apabila kekurangan itu terus terjadi karena ternyata
pemegang saham tunggal tersebut tidak mengalihkan sebagian sahamnya kepada
orang lain atau tetap tidak mengeluarkan saham baru kepada orang lain maka
akibat hukum yang timbul atas peristiwa demikian sebagaimana diatur pada Pasal
7 ayat (6) UUPT 2007, yaitu sebagai berikut:
·
pemegang
saham bertanggung jawab secara pribadi (personalijkeaanpraakelijkkheid,
personal liability) atas segala
perikatan dan kerugian yang dibuat dan dialami perseroan.
·
pihak
yang berkepentingan dapat mengajukan permohonan pembubaran perseroan. Atas
permohonan itu, pengadilan Negeri dapat membubarkan perseroan. Pengajuan
permintaan pembubaran perseroan dalam hal pemegang saham kurang dari 2 (dua)
orang baru dapat diajukan pihak yang berkepentingan apabila kekurangan itu
telah berlangsung lewat dari 6 (enam) bulan dan bentuk permintaannya adalah
“permohonan” (verzoek, petition),
bukan berbentuk gugatan (vordering, claim),
dengan proses pemeriksaan secara “ex
parte”.
Selama tidak ada yang mengajukan pembubaran, perseroan
masih tetap eksis dan dapat melakukan kegiatan usaha. Namun
tanggung jawab atas segala kontrak, transaksi, dan utang yang timbul sepenuhnya
dibebankan menjadi tanggung jawab pribadi (personal
liability) pemegang saham. Pada kasus yang seperti ini, prinsip tanggung
jawab terbatas (beperkte
aanspraakelijkheid, limited liability)
yang digariskan pada Pasal 3 ayat (1) UUPT 2007, hapus dan gugur sehingga
menembus harta pribadi pemegang saham atau piercing
the corporate veil berdasarkan Pasal 3 ayat (2) UUPT 2007.
4). Pengecualian
terhadap syarat pendiri dan pemegang saham terdiri dari 2 (dua) orang atau
lebih
Pengecualian
ini dikemukakan pada Pasal 7 ayat (7), yang mengatakan, ketentuan yang
mewajibkan perseroan didirikan oleh 2 (dua) orang atau lebih, tidak berlaku
terhadap perseroan tertentu.
a.
persero
yang seluruh sahamnya dimiliki oleh Negara
menurut
penjelasan Pasal 7 ayat (7) huruf a, yang dimaksud dengan persero adalah badan
usaha milik negara (BUMN) yang berbentuk perseroan yang modalnya terbagi dalam
saham yang diatur dalam UU tentang BUMN. Pengecualian ini baru berlaku kepada
BUMN yang berbentuk persero apabila seluruh sahamnya dimiliki oleh
negara. Jika tidak seluruhnya dimiliki oleh negara, harus tunduk pada syarat
yang ditentukan Pasal 7 ayat (1) UUPT 2007, yakni pemegang sahamnya minimal 2
(dua) orang.
b.
perseroan
yang mengelola bursa efek, lembaga kliring dan penjaminan, lembaga penyimpanan
dan penyelesaian, dan lembaga lain sebagaimana diatur dalam UU tentang Pasar
Modal (UU No. 8 Tahun 1995).
b. Akta pendirian (Akta van Oprichting, Deed of incorporation
or Articles of Incorporation) berbentuk akta notaris
Akta pendirian ini harus berupa akta notaris tidak boleh berbentuk akta di
bawah tangan. Keharusan akta pendirian harus berbentuk akta notaris ini, tidak
hanya berfungsi sebagai probationis causa.
Maksudnya akta notaris tersebut tidak hanya berfungsi sebagai “alat bukti”,
melainkan juga berfungsi sebagai solemnitatis
causa yakni apabila tidak dibuat dalam akta notaris maka akta pendirian
perseroan itu tidak dapat memenuhi syarat, sehingga terhadapnya tidak dapat
diberikan “pengesahan” oleh Menkumham. Hal-hal yang
menyangkut ruang lingkup syarat akta notaris tersebut.
1). Hal-hal
yang harus dimuat dalam akta pendirian
Pasal 8
Ayat (1), menentukan supaya akta notaris yang berfungsi sebagai akta pendirian
yang sah menurut hukum, harus memuat hal-hal tertentu yang terdiri dari:
a.
memuat
anggaran dasar (AD)
menurut
Pasal 8 ayat (1) UUPT 2007, akta pendirian harus memuat AD perseroan yang
rumusan dan ketentuannya telah disepakati oleh para pendiri (promoters), dengan ketentuan AD tidak
boleh bertentangan dengan UUPT 2007 termasuk ketentuan pelaksanaannya. Akta
pendirian yang tidak memuat AD tidak memenuhi syarat, menjadi tidak sah dan
tidak dapat dijadikan dasar untuk memberi pengesahan perseroan sebagai badan
hukum.
b.
Harus
memuat keterangan lain
yang
dimaksud dengan keterangan lain sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat (2) UUPT
2007, sekurang-kurangnya terdiri atas:
· nama
lengkap, tempat dan tanggal lahir, pekerjaan, tempat tinggal dan kewarganegaraan
pendiri perseorangan, atau nama, tempat kedudukan dan alamat lengkap serta
nomor dan tanggal Keputusan Menteri mengenai pengesahan badan hukum dari
pendiri Perseroan.
· nama
lengkap, tempat dan tanggal lahir, pekerjaan, tempat tinggal, kewarganegaraan
anggota Direksi dan Dewan Komisaris yang pertama kali diangkat.
· nama
pemegang saham yang telah mengambil bagian saham, rincian jumlah saham, dan
nilai nominal saham yang telah ditempatkan dan disetor
2). Pembentukan
akta pendirian dapat diwakili
Menurut ketentuan Pasal 8 ayat (3)
UUPT 2007, pembuatan akta pendirian tidak mutlak mesti dilakukan mesti
dilakukan para pendiri secara in person
atau secara pribadi, tetapi dapat pula diwakili orang lain. Orang ini akan
bertindak sebagai kuasa untuk dan atas nama para pendiri sesuai dengan
ketentuan Pasal 1792 KUH Perdata.
Pembuatan akta pendirian juga dapat dituangkan dalam
bentuk surat kuasa. Supaya sah bertindak mewakili para pendiri menghadap notaris atas pembuatan akta pendirian, harus
berdasarkan “surat kuasa” (schriftelijk
machtiging, written authorization).
3). Akta
pendirian dibuat dalam bahasa Indonesia
Hal lain yang mesti dipenuhi akta pendirian yang
digariskan Pasal 7 ayat (1), adalah syarat material yang mengharuskan dibuat
dalam bahasa Indonesia. Semua hal yang melekat pada akta pendirian termasuk AD
dan keterangan lainnya, harus dibuat dalam bahasa Indonesia. Dengan demikian AD
perseroan yang dibuat dalam bahasa asing, tidak sah.
c. Setiap pendiri wajib mengambil
bagian saham
Syarat formil lain mendirikan perseroan diatur pada Pasal
7 ayat (2) UUPT 2007 yaitu setiap pendiri perseroan “wajib” mengambil bagian
saham, dan pengambilan atas bagian itu wajib dilaksanakan setiap pendiri pada
saat perseroan didirikan. Dengan demikian, agar syarat ini sah menurut hukum,
pengambilan bagian saham itu harus sudah dilakukan setian pendiri perseroan
pada saat pendirian perseroan itu berlangsung. Tidak sah apabila dilakukan
sesudah perseroan didirikan.
d. memperoleh
keputusan pengesahan status badan hukum dari Menteri
Agar suatu perseroan sah berdiri sebagai badan hukum (rechts persoon, legal entity or legal person),
harus mendapat pengesahan dari Menteri. Pengesahan diterbitkan dalam bentuk
Keputusan Menteri yang disebut Keputusan Pengesahan Badan Hukum Perseroan. Tata
cara dan prosedur permohonan untuk memperoleh keputusan Pengesahan Badan Hukum
Perseroan dari Menteri diatur lebih lanjut pada Pasal 9 dan Pasal 10 UUPT 2007,
dan Bab II Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia No. M-01-HT.01.10
Tahun 2007, tanggal 21 September 2007.
1). Yang mengajukan permohonan pengesahan, notaris
sebagai kuasa dari pendiri
Pada
Pasal 9 ayat (3) UUPT 2007 mengatakan, dalam hal pendiri tidak mengajukan
sendiri permohonan pengesahan, pendiri hanya dapat memberikan kuasa kepada
notaris. Yang dapat atau berhak mengajukan permohonan pengesahan badan hukum
perseroan kepada Menteri adalah; pendiri perseroan secara bersama-sama, dan
mereka dapat memberi kuasa untuk mengajukan permohonan tetapi yang dapat diberi
kuasa hanya terbatas kepada notaris saja.
Akan tetapi menurut Pasal 2 ayat (1)
PERMEN No. M. 01-HT 01-10/2007 memang yang mempunyai hak untuk mengajukan
permohonan adalah pendiri perseroan. Namun untuk melakukan pengajuan
permohonan, pendiri memberi kuasa kepada notaris sehingga yang sah secara
formil mengajukan permohonan harus dilakukan notaris dalam kualitas dan
kapasitas sebagai kuasa dari pendiri.
2). Permohonan diajukan kepada Menteri atau pejabat
yang ditunjuk
Berdasarkan
Pasal 9 ayat (1) UUPT 2007, permohonan pengesahan badan hukum perseroan
diajukan kepada Menteri. Akan tetapi, pada Pasal 2 ayat (2) PERMEN No. M01 HT
01-10/2007, notaris mengajukan permohonan pengesahan badan hukum perseroan
kepada Menteri atau pejabat yang ditunjuk.
Berdasarkan
Pasal 1 angka 8 PERMEN No. M01 HT 01-10/2007, yang dimaksud dengan pejabat yang
ditunjuk berkaitan dengan pengajuan permohonan pengesahan dimaksud adalah
Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum (Dirjen AHU). Dengan demikian, permohonan pengesahan dapat diajukan
notaris baik kepada Menteri atau Dirjen AHU.
3). Bentuk
pengajuan permohonan pengesahan, melalui sistem administrasi badan hukum
(Sisminbakum)
Bentuk
atau sistem permohonan pengesahan administrasi badan hukum secara elektronik menurut Pasal 1 angka 2
PERMEN No. M01 HT 01-10/2007, diberi nama Sisminbakum. Sisminbakum pada
dasarnya bukan hanya disediakan untuk mengajukan permohonan pengesahan badan
hukum perseroan. Tetapi sistem ini meliputi permohonan persetujuan atau
pemberitahuan perubahan AD maupun pemberitahuan perubahan data perseroan
seperti pengangkatan atau penggantian anggota Direksi atau anggota Dewan
Komisaris.
4). Caranya,
mengisi Format Isian Akta Notaris (FIAN)
Pasal
9 ayat (1) UUPT 2007 menegaskan, pengajuan permohonan melalui Sisminbakum
dengan cara mengisi format isian. Dan
format isian itu oleh Pasal 1 angka 3 PERMEN No. M01 HT 01-10/2007, disebutkan
Format Isian Akta Notaris (FIAN).
Selanjutnya FIAN diklasifikasi pada Pasal 1 angka 4, 1 angka 5, dan 1 angka 6
menjadi:
a. FIAN model I adalah FIAN untuk
permohonan pengesahan status badan hukum perseroan;
b. FIAN model II
adalah FIAN untuk permohonan persetujuan perubahan AD perseroan;
c. FIAN model III adalah FIAN untuk
penyampaian pemberitahuan perubahan AD dan data perseroan yang diwajibkan UUPT
2007.
Berdasarkan
klasifikasi FIAN yang dijelaskan di atas, menurut Pasal 3 ayat (1) PERMEN No.
M01 HT 01-10/2007, permohonan pengesahan badan hukum perseroan yang diajukan
notaris melalui Sisminbakum dengan cara mengisi FIAN Model I, setelah pemakaian
nama perseroan disetujui oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk (Dirjen AHU)
yang dilengkapi dengan keterangan mengenai dokumen pendukung.
5). Tenggang
waktu mengajukan permohonan melalui Sisminbakum
Mengenai jangka waktu permohonan untuk memperoleh
Keputusan Menteri melalui Sisminbakum menurut Pasal 10 ayat (1) UUPT 2007 dan
Pasal 6 ayat (5) PERMEN No. M-01 HT 01-10/2007 yaitu harus diajukan kepada
Menteri atau Dirjen AHU paling lambat 60 (enam puluh) hari terhitung sejak
tanggal akta pendirian ditandatangani dan permohonan dilengkapi dengan
keterangan dokumen pendukung.
Berdasarkan ketentuan Pasal 10 ayat (9) UUPT 2007 dan
Pasal 6 ayat (5) PERMEN No. M-01 HT 01-10/2007, apabila dalam jangka waktu 60
(enam puluh) hari dan tanggal penandatanganan Akta Pendirian tidak diajukan
permohonan pengesahan badan hukum atas perseroan itu, maka demi hukum atau
karena hukum (van recthswege, ipso jure)
perseroan yang belum memperoleh status badan hukum itu bubar atau likuidasi (liquidatie, liquidation or winding up).
6). Menteri atau dirjen AHU, dapat menyatakan
tidak keberatan secara langsung melalui sistem Sisminbakum
Menurut Pasal 10 ayat (3) UUPT 2007 dan Pasal 5 ayat 1
PERMEN No. M-01 HT 01-10/2007, apabila FIAN Model I dan keterangan mengenai
dokumen pendukung telah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,
Menteri atau Dirjen AHU langsung menyatakan tidak keberatan atas permohonan
pengesahan yang diajukan dan pernyataan tidak keberatan tersebut dilakukan
Menteri atau Dirjen AHU langsung melalui Sisminbakum secara elektronik.
Sebaliknya,
menurut Pasal 10 ayat (4) UUPT 2007, apabila FIAN Model I dan keterangan
mengenai dokumen pendukung tidak sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan maka Menteri atau Dirjen AHU langsung memberitahukan
penolakan atas permohonan pengesahan yang diajukan notaris, dan pemberitahuan
penolakan permohonan disertai dengan alasan kepada pemohon melalui Sisminbakum
secara elektronik.
7). Berdasarkan pernyataan tidak keberatan,
notaris wajib menyampaikan permohonan pengesahan secara fisik
Berdasarkan Pasal 10 ayat (5) UUPT 2007 dan Pasal 5 ayat
(2) PERMEN No. M-01 HT 01-10/2007,
apabila Menteri atau Dirjen AHU telah menyampaikan pernyataan tidak keberatan
atas permohonan pengesahan badan hukum yang diajukan notaris maka berbarengan
dengan pernyataan tidak keberatan itu, notaris yang bersangkutan wajib
menyampaikan secara fisik surat permohonan pengesahan serta lampiran dokumen
pendukung dan dibuktikan dengan tanda terima.
Surat
permohonan lan lampiran dokumen pendukung wajib disampaikan kepada Menteri atau
Dirjen AHU dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung
sejak tanggal pernyataan tidak keberatan melalui Sisminbakum dilakukan.
8). Jika
semua persyaratan dipenuhi, Menteri atau Dirjen AHU menerbitkan keputusan
pengesahan badan hukum perseroan
Sesuai
dengan Pasal 10 ayat (6) UUPT 2007 dan Pasal 5 ayat (3) PERMEN No. M-01 HT 01-10/2007, apabila semua
persyaratan telah terpenuhi secara lengkap maka Menteri atau Dirjen AHU akan
menerbitkan Keputusan tentang Pengesahan Badan Hukum Perseroan. Jangka waktu penerbitan Keputusan tentang Pengesahan
Badan Hukum Perseroan tersebut paling lambat 14 (empat belas) hari. Keputusan
tentang pengesahan tersebut oleh Menteri atau Dirjen AHU ditandatangani secara
elektronik.
9). Menteri
atau Dirjen AHU memberitahukan kepada notaris apabila persyaratan tidak
terpenuhi
Apabila
persyaratan tentang jangka waktu dan kelengkapan dokumen pendukung tidak
terpenuhi maka Menteri atau Dirjen AHU langsung memberitahukan hal tersebut
kepada notaris yang bersangkutan melalui Sisminbakum dan permberitahuan
disertai penegasan bahwa pernyataan tidak keberatan yang diberikan menjadi
gugur. Kecuali juka notaris dapat membuktikan telah menyampaikan secara fisik
permohonan yang dilampiri dengan dokumen pendukung dalam batas waktu 30 (tiga
puluh) hari dari tanggal pernyataan tidak keberatan sebagaimana yang dimaksud
Pasal 10 ayat (5) UUPT 2007 dan Pasal 5 ayat (2) PERMEN No. M-01 HT 01-10/2007. dalam hal yang demikian persyaratan tidak keberatan
tersebut tidak gugur.
Selanjutnya
Pasal 6 ayat (3) PERMEN tersebut mengatakan, apabila notaris dapat membuktikan
bahwa penyampaian permohonan secara fisik telah dilampiri dengan dokumen yang
dimaksud Pasal 7 PERMEN No. M-01 HT
01-10/2007 secara lengkap, serta diajukan dalam jangka waktu 30 (tiga puluh)
hari sejak tanggal pernyataan tidak keberatan maka dalam hal yang demikian,
notaris dapat menyampaikan secara fisik “surat kedua” yang dilampiri dokumen
pendukung. Penyampaian secara fisik surat kedua, paling lambat 30 (tiga puluh)
hari terhitung sejak tanggal pemberitahuan persyaratan tentang jangka waktu dan
dokumen pendukung tidak dipenuhi.
10).Proses penyelesaian apabila penyataan
tidak keberatan menjadi gugur
Pasal
6 ayat (4) PERMEN No. M-01 HT 01-10/2007
mengatur proses penyelesaian hukumnya sebagai berikut:
a. permohonan
dalam hal ini notaris, dapat mengajukan kembali permohonan untuk memperoleh
Keputusan Menteri;
b. permohonan
diajukan oleh notaris melalui Sisminbakum dengan cara mengisi FIAN Model I
setelah pemakaian nama disetujui Menteri atau Dirjen AHU yang dilengkapi
keterangan mengenai dokumen pendukung;
c. batas
waktu pengajuan kembali permohonan adalah 60 (enam puluh) hari terhitung sejak
tanggal akta pendirian ditandatangani.
11).Cara penyelesaian permohonan
pengesahan badan hukum perseroan bagi notaris yang wilayah kerjanya belum
mempunyai jaringan elektronik
Pasal 6 PERMEN No. M-01 HT 01-10/2007 memberi jalan keluar:
a. notaris dapat mengajukan permohonan pengesahan
badan hukum perseroan secara manual;
b. permohonan
pengesahan dilampiri dengan:
(1) dokumen pendukung yang disebut pada Pasal 7
PERMEN No. M-01 HT 01-10/200
(2) surat keterangan dari Kepala Kantor
Telekomunikasi (PT Telkom Tbk) setempat yang menyatakan bahwa wilayah kerja
notaris yang bersangkutan belum terjangkau oleh fasilitas internet.
Pada
dasarnya para pendiri maupun Direksi selama perseroan belum mendapat pengesahan
berstatus badan hukum, berada dan berdiri dalam “kedudukan terpercaya” (stands in fiduciary position)
terhadap perseroan. Oleh karena itu, mereka bertanggung jawab penuh secara
pribadi (personal liability) atas
segala tindakan hukum yang mereka lakukan dengan pihak ketiga. Hal ini pun
ditegaskan pada Pasal 3 ayat (2) huruf a UUPT 2007, bahwa perbuatan hukum yang
dilakukan sebelum perseroan sah sebagai badan hukum menjadi tanggung jawab
pribadi orang yang melakukan.
a.
perbuatan hukum yang berkaitan dengan kepemilikan saham
Sesuai dengan ketentuan Pasal 12 ayat (1) UUPT 2007,
perbuatan hukum yang berkaitan dengan kepemilikan saham dan penyetorannya
dilakukan oleh calon pendiri sebelum perseroan didirikan, harus dicantumkan
dalam akta pendirian (Akta van
Oprichting, Deed of Incorporation)
1). Perbuatan hukum dinyatakan dengan akta yang
bukan akta autentik
Apabila
perbuatan hukum yang berkaitan dengan kepemilikan saham dan penyetorannya itu
dinyatakan dengan akta yang bukan akta autentik. Agar perbuatan hukum itu sah
dan mengikat, harus diikuti ketentuan Pasal 12 ayat (2), yaitu perbuatan hukum
kepemilikan saham dan penyetorannya itu harus dicantumkan dalam Akta Pendirian
dan akta yang menyatakan perbuatan hukum yang bentuknya tidak otentik itu
dilekatkan pada akta pendirian.
2). Perbuatan
hukum dinyatakan dengan akta autentik (authenticke akte, public deed)
Dari
ketentuan Pasal 12 ayat (3) UUPT 2007, apabila perbuatan hukum yang berkaitan
dengan kepemilikan saham dan penyetorannya dinyatakan dalam akta autentik atau
akta notaris, agar perbuatan hukum itu sah dan mengikat maka kepemilikan saham
dan penyetorannya itu harus dicantumkan dalam akta pendirian. Selanjutnya nomor
akta, tanggal, dan nama serta tempat kedudukan notaris yang membuat akta
autentik tersebut, disebutkan dalam akta pendirian.
3). Tidak
dipenuhi tata cara yang ditentukan
Pasal 12 ayat (4) UUPT 2007, mengatur akibat hukum (rechtsgevolg, legal effect), apabila
tata cara pelekatan dan penyebutan yang ditentukan di atas tidak dipenuhi maka
perbuatan hukum tersebut tidak menimbulkan hak (recht, right) dan kewajiban (plicht,
duty, or obligation) kepada
perseroan, serta perbuatan hukum itu tidak mengikat (niet bindend, no binding)
perseroan.
b.
tanggung jawab atas perbuatan hukum yang dilakukan calon
pendiri untuk kepentingan perseroan yang belum didirikan
Bertitik tolak dari ketentuan Pasal 13 ayat (1) UUPT
2007, pada prinsipnya perbuatan hukum yang dilakukan calon pendiri untuk
kepentingan perseroan yang belum didirikan “mengikat” kepada perseroan setelah
perseroan sah memperoleh status badan hukum. Akan tetapi, tidak langsung demi
hukum (van rechtswege, ipso jure) perbuatan
hukum itu mengikat perseroan. Namun harus dipenuhi syarat-syarat yang
ditentukan Pasal 13 yang terdiri dari hal berikut.
1). RUPS pertama secara tegas menyatakan menerima
atau mengambil alihnya
RUPS pertama perseroan
secara tegas mengatakan menerima atau mengambil alih semua hak dan kewajiban
yang timbul dari perbuatan hukum yang dilakukan calon pendiri atau kuasanya.
Penegasan dan pernyataan itu, tidak dibenarkan, ditegaskan, dan diputuskan pada
RUPS kedua dan seterusnya. Rasio dari ketentuan yang
mengharuskan diambil pada RUPS pertama, bertujuan untuk tegaknya kepastian
hukum (legal certainly), terutama
bagi pihak yang terlibat dalam perbuatan hukum itu.
2). RUPS pertama harus diselenggarakan dalam
jangka waktu tertentu
Menurut Pasal 13 ayat (2),
agar RUPS pertama untuk menerima atau mengambil alih hak dan kewajiban calon
pendiri, harus dilakukan paling lambat 60 (enam puluh) hari setelah perseroan
memperoleh status badan hukum.
3). Keputusan RUPS pertama yang dianggap sah
Menurut
Pasal 13 ayat (3) UUPT 2007, supaya keputusan RUPS pertama yang akan menerima
atau mengambil alih hak dan kewajiban yang timbul dari perbuatan hukum yang
dilakukan calon pendiri itu sah menurut hukum maka RUPS harus dihadiri oleh
pemegang saham yang mewakili semua saham dengan hak suara dan keputusan
disetujui dengan suara bulat.
4). Perbuatan
hukum jatuh menjadi tanggung jawab pribadi calon pendiri
Kapan perbuatan hukum yang
dilakukan calon pendiri jatuh menjadi tanggung jawab pribadi (persoonlijke
aanspraakelijkheid, personal
liability), diatur dalam Pasal 13 ayat (4) UUPT 2007:
a. RUPS
pertama untuk itu, tidak diselenggarakan dalam jangka waktu paling lambat 60
(enam puluh) hari dari tanggal perseroan memperoleh status badan hukum, atau
b. RUPS pertama memang diadakan dalam jangka
waktu tersebut, akan tetapi RUPS tidak berhasil mengambil keputusan dengan
suara bulat.
5). Persetujuan
RUPS tidak diperlukan
Pasal
13 ayat (5) UUPT 2007, mengatur tata cara atau metode yang dapat langsung
mengalihkan hak dan kewajiban perbuatan hukum yang dilakukan calon pendiri
kepada perseroan, dengan ketentuan sebagai berikut:
a. perbuatan
hukum itu dilakukan oleh semua calon pendiri. Dalam kasus yang seperti ini,
oleh karena yang melakukan perbuatan hukum itu semua calon pendiri, cukup
beralasan untuk memikulkan tanggung jawabnya kepada perseroan,
b. atau
disetujui secara tertulis oleh semua calon pendiri sebelum pendirian perseroan.
c. tanggung jawab perbuatan yang
dilakukan atas nama perseroan yang belum memperoleh status badan hukum
Terhadap
perbuatan hukum yang demikian diatur klasifikasinya pada Pasal 14 UUPT 2007
sebagai berikut.
1). Perbuatan
hukum dilakukan oleh semua anggota Direksi bersama semua anggota Dewan
Komisaris atas nama perseroan
Apabila
perbuatan hukum dilakukan atas nama perseroan oleh semua anggota Direksi
bersama-sama semua pendiri serta semua anggota Komisaris, padahal saat
dilakukan perbuatan hukum perseroan belum berstatus badan hukum maka
pertanggungjawabannya dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. pada prinsipnya menjadi tanggung jawab
secara tanggung renteng (hoofdelijken
gezameljk aanspraakelijk, jointly and severally liable) atas perbuatan
hukum tersebut;
b. tanggung jawab secara renteng itu, beralih
menjadi tanggung jawab perseroan setelah perseroan menjadi badan hukum.
2). Perbuatan hukum yang dilakukan pendiri atas
nama perseroan yang belum memperoleh status badan hukum
Dalam
kasus yang demikian, perbuatan hukum itu menjadi tanggung jawab pribadi pendiri
yang bersangkutan dan perbuatan hukum itu tidak mengikat kepada perseroan. Hal
ini dipertegas dalam penjelasan Pasal 14 ayat (2) UUPT 2007. yang dimaksud
dengan tanggung jawab pendiri yang bersangkutan dan tidak mengikat perseroan
adalah tanggung jawab pendiri yang melakukan perbuatan tersebut secara pribadi,
perseroan tidak akan bertanggung jawab atas perbuatan hukum yang dilakukan
pendiri itu.
Tetapi
menurut Pasal 14 ayat (4) UUPT 2007, tanggung jawab pribadi pendiri itu dapat
berubah menjadi tanggung jawab perseroan dengan syarat sebagai berikut:
a. perbuatan hukum itu disetujui
oleh semua pemegang saham dalam RUPS yang dihadiri oleh semua pemegang saham
perseroan;
b. RUPS tersebut
adalah RUPS pertama dan harus diselenggarakan paling lambat 60 (enam puluh)
hari setelah perseroan memperoleh status badan hukum.
Pasal
29 ayat (1) menegaskan, daftar perseroan diselenggarakan oleh Menteri. Perlu diingat
penegasan ketentuan Pasal 29 ayat (5), bahwa daftar perseroan terbuka untuk
umum. Siapa saja dapat melihatnya di
Depkumham, tidak terbatas hanya pada orang tertentu saja. Ketentuan
ini bersifat hukum dan memaksa (dwingendrecht,
mandatory rules).
a. data
yang dimuat dalam daftar perseroan
Mengenai data apa saja
yang dimuat dalam daftar perseroan, disebut dalam Pasal 29 ayat (2) UUPT 2007
meliputi:
1. nama dan tempat kedudukan, maksud dan tujuan
seta kegiatan usaha, jangka waktu pendirian dan permodalan;
2. alamat lengkap
perseroan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 5;
3. nomor dan
tanggal akta pendirian dan Keputusan Menteri mengenai pengesahan badan hukum
perseroan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (4);
4. nomor dan tanggal akta perubahan AD dan
persetujuan Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1);
5. nomor dan tanggal perubahan AD dan tanggal
penerimaan pemberitahuan oleh Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat
(2);
6. nama dan tempat kedudukan notaris yang membuat
akta pendirian dan akta perubahan AD
7. nama lengkap dan alamat pemegang saham,
anggota Direksi, dan anggota Dewan Komisaris perseroan;
8. nomor dan tanggal akta pembubaran atau nomor
dan tanggal penetapan pengadilan tentang pembubaran perseroan yang telah
diberitahukan kepada Menteri;
9. berakhirnya
status badan hukum perseroan;
10. neraca dan
laporan laba rugi dari tahun buku yang bersangkutan bagi perseroan yang wajib
diaudit.
b.
tanggal
pemasukan data perseroan dalam daftar perseroan
Data
perseroan yang dimasukkan dalam daftar sebagaimana dijelaskan di atas,
dimasukkan pada tanggal yang bersamaan dengan tanggal:
1. Keputusan Menteri mengenai pengesahan
perseroan menjadi badan hukum, atau tanggal persetujuan Menteri atas perubahan
AD yang memerlukan persetujuan;
2. penerimaan pemberitahuan perubahan AD yang
tidak memerlukan persetujuan; atau
3. penerimaan
pemberitahuan perubahan data perseroan yang bukan merupakan perubahan AD.
Yang dimaksud dengan perubahan data perseroan menurut
penjelasan Pasal 29 ayat (4) huruf c adalah antara lain data tentang pemindahan
hak atas saham, penggantian anggota Direksi dan Dewan Komisaris, pembubaran
perseroan.
Mengenai
pengumuman perseroan diatur pada Bab II, Bagian Ketiga, Paragraf 2 yang terdiri
atas Pasal 30 UUPT 2007. Sama halnya dengan penyelenggaraan daftar perseroan,
pengumuman pun dibebankan pada Pasal 30 ayat (1) kepada Menteri. Agar
pengumuman perseroan sah menurut hukum, harus dicantumkan secara khusus dalam
Tambahan Berita Negara Republik Indonesia (TBNRI). Adapun materi yang harus
diumumkan dalam TBN terdiri atas:
a. akta
pendirian perseroan beserta Keputusan Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal
7 ayat (4);
b.
akta
perubahan AD Perseroan beserta Keputusan Menteri sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 21 ayat (1);
c.
akta
perubahan AD yang telah diterima pemberitahuannya oleh Menteri.
Jangka waktu pengumuman harus dilakukan Menteri dalam TBN
digariskan pada Pasal 30 ayat (2) UUPT 2007:
·
dalam
waktu paling lambat 14 (empat belas) hari terhitung sejak tanggal diterbitkan
Keputusan Menteri mengenai pengesahan perseroan menjadi badan hukum;
·
dalam
waktu paling lambat 14 (empat belas) hari terhitung sejak tanggal diterbitkan
Keputusan Menteri mengenai persetujuan perubahan AD tertentu yang memerlukan persetujuan
Menteri;
· dalam
dalam waktu paling lambat 14 (empat belas) hari terhitung sejak tanggal
diterima perubahan AD yang tidak memerlukan persetujuan.
Meskipun perseroan telah mendapat
pengesahan dari Menteri sebagai badan hukum atau perubahan AD telah mendapat
persetujuan Menteri maupun telah disampaikan pemberitahuannya maka selama hal
itu belum diumumkan dalam TBN, belum sah dan belum mengikat kepada pihak
ketiga. Apabila Menteri lalai mengumumkan pengesahan, persetujuan atau
pemberitahuan perubahan AD dalam TBN maka Menteri bertanggung jawab atas segala
kerugian yang timbul dari kelalaian itu.
Dalam Penjelasan
Pasal 41 ayat (1) UUPT 2007, bahwa yang dimaksud dengan modal perseroan adalah
modal dasar, modal ditempatkan, dan modal disetor.
Struktur modal perseroan
a.
modal
dasar
Modal
dasar (Statutair capital, nominal /
authorized capital) adalah seluruh nilai nominal saham perseroan
yang disebut dalam AD. Hal itu ditegaskan pada Pasal 31 ayat (1), bahwa modal
dasar perseroan terdiri atas seluruh nilai nominal saham. Secara umum,
perkataan modal atau capital dihubungkan dengan perseroan mengandung pengertian
sesuatu yang diperoleh perseroan dalam bentuk uang melalui penerbitan saham (issued of shares). Modal dasar perseroan
pada prinsipnya merupakan total jumlah saham yang dapat diterbitkan oleh
perseroan.
Setiap lembar saham mempunyai nilai
nominal yang akan menjadi jumlah nilai nominal modal dasar perseroan, yang sama
nilainya dengan nilai nominal seluruh saham. Pasal 31 ayat (2) memberi
kemungkinan menetapkan saham tanpa nominal. Kemungkinan itu bisa terjadi
apabila peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal mengatur modal
perseroan terdiri atas saham tanpa nilai nominal.
1). Jumlah
modal dasar harus disebut dalam AD
Aspek yuridis pertama, besarnya
modal dasar perseroan harus disebut dan dicantumkan dalam AD:
a. jumlah modalnya
harus terbagi dalam saham dengan nilai nominal yang pasti (fixed nominal values);
b. namun dapat
diperbesar jumlahnya dengan menerbitkan saham baru
2). Batas
minimal modal dasar
Berdasarkan Pasal 32 ayat (1) UUPT 2007, modal dasar
perseroan yang dibenarkan paling sedikit adalah Rp. 50.000.000,00 (lima
puluh juta rupiah).
3). Undang-undang
yang mengatur kegiatan usaha tertentu, dapat menetukan jumlah minimum yang
lebih besar
Pasal 32
ayat (2) membuka kemungkinan menetapkan jumlah minimal modal dasar perseroan
yang lebih besar dari Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). Kemungkinan
itu terbuka bagi perseroan yang melakukan kegiatan usaha tertentu dengan syarat
hal itu ditentukan dalam undang-undang yang mengatur kegiatan usaha tertentu.
Yang dimaksud dengan kegiatan usaha tertentu menurut penjelasan Pasal 32 ayat
(2), antara lain usaha perbankan, asuransi, atau freight / forwarding.
4). Perubahan
besarnya modal dasar merupakan perubahan AD tertentu
Sesuai
dengan ketentuan Pasal 21 ayat (2) huruf d UUPT 2007, perubahan AD mengenai
besarnya modal dasar termasuk perubahan AD tetentu yang memerlukan persetujuan
Menteri.
5). Perubahan
batas minimal modal dasar ditempatkan dalam bentuk PP
Perubahan ketentuan Pasal 32 ayat
(1) tidak perlu melalui revisi atau amandemen UUPT 2007. Hal itu dianggap
menghambat kebutuhan perkembangan hukum yang mendesak. Oleh karena itu, cukup
melalui sarana hukum yang berbentuk Peraturan Pemerintah sehingga tidak perlu
melalui proses yang berbelit melibatkan campur tangan DPR atau badan
legislatif.
b.
modal
ditempatkan
Pengertian
modal ditempatkan adalah jumlah saham yang sudah diambil pendiri atau pemegang
saham, dan saham yang diambil itu ada yang sudah dibayar dan ada pula yang
belum dibayar.
Modal ditempatkan adalah modal yang disanggupi pendiri
atau pemegang saham untuk dikuasainya, dan saham itu telah diserahkan kepadanya
untuk dimiliki. Berdasarkan ketentuan Pasal 33 ayat (1) UUPT 2007, paling
sedikit 25% (dua puluh lima persen) dari modal dasar, harus ditempatkan.
c.
modal
disetor
Modal
disetor (gestort capital, paid-up capital)
yakni saham yang telah dibayar penuh oleh pemegang atau pemiliknya. Jadi modal
disetor adalah modal yang sudah dimasukkan pemegang saham sebagai pelunasan
pembayaran saham yang diambilnya sebagai modal yang ditempatkan dari modal
dasar perseroan. Ketentuan Pasal 33 ayat (1) UUPT 2007 berbunyi, “paling sedikit 25% (dua puluh lima persen)
dari modal dasar sebagaimana dimaksud dalamPasal 32 harus ditempatkan dan
disetor penuh”.
Mengenai penyetoran modal yang ditempatkan menurut Pasal 33 ayat (2),
dibuktikan dengan tanda bukti penyetoran yang sah. Menurut penjelasan pasal
ini, bukti penyetoran yang sah, antara lain bukti setoran pemegang saham ke
dalam rekening bank atas nama perseroan, data laporan keuangan yang telah
diaudit oleh akuntan, atau neraca perseroan yang ditandatangani oleh Direksi
dan Dewan Komisaris.
Setiap pengeluaran saham portefel
harus dibayar lunas
Modal
atau saham protefel (aandelen
portefeeulle, sahare portfolio) adalah saham yang belum dikeluarkan
atau belum ditempatkan. Kalau saham yang dikeluarkan atau ditempatkan
berjumlah 25% dari modal dasar, berarti modal portefel yang belum dikeluarkan
atau ditempatkan sebesar 75%. Cara pengeluaran saham protefel ini harus sesuai
dengan ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUPT 2007, yang menegaskan bahwa pengeluaran
saham lebih lanjut yang dilakukan dalam rangka untuk menambah modal ditempatkan
harus disetor penuh. Pembayarannya tidak boleh dilakukan secara
mengangsur.
Penyetoran saham dalam bentuk lain
Pasal
34 ayat (1) UUPT 2007 mengatakan, penyetoran atas modal saham dapat dilakukan
dalam bentuk uang dan / atau dalam bentuk lainnya.
a.
syarat-syarat
yang harus dipenuhi
Pada umumnya penyetoran saham adalah
dalam bentuk uang. Tetapi tidak menutup kemungkinan penyetoran saham dalam
bentuk lainnya dengan ketentuan:
(1). baik berupa
benda berwujud maupun benda tidak berwujud;
(2). dapat dinilai
dengan uang;
(3). secara nyata
telah diterima oleh perseroan;
(4). penyetoran
saham dalam bentuk lain selain uang, harus disertai rincian yang menerangkan
nilai atau harga, jenis atau macam, status, tempat kedudukan dan lain-lain yang
dianggap perlu demi kejelasan mengenai penyetoran tersebut.
Bentuk
penyetoran saham bentuk lain, biasa disebut “pemasukan barang” modal atau “inbreng” atau “capital brought in to / put into the business”.
b.
penilaian
ditentukan berdasarkan nilai wajar
Berdasarkan
Pasal 34 ayat (2) UUPT 2007, penyetoran modal saham yang dilakukan dalam bentuk
lain, penilaian setoran modal saham tersebut ditentukan berdasarkan “nilai
wajar” (fair value):
·
ditetapkan
sesuai dengan “harga pasar” (market
values), atau
·
berdasarkan
“penilaian ahli” yang tidak terafiliasi dengan perseroan.
Cara
penerapan “nilai wajar” sesuai dengan nilai pasar atas barang modal yang
dimasukkan sebagai setoran saham, dikemukakan pada Penjelasan Pasal 34 ayat (2)
dengan penggarisan:
· mula-mula
wajar itu ditentukan sesuai dengan nilai pasar (market value);
· jika
nilai pasar tidak tersedia, nilai wajar ditentukan berdasarkan “teknik
penilaian” yang paling sesuai dengan karakteristik setoran, berdasarkan
informasi yang relevan dan terbaik.
Sedangkan
penerapan “ahli yang tidak terafiliasi dengan perseroan” adalah ahli yang:
(a). tidak mempunyai hubungan keluarga karena
perkawinan atau keturunan sampai derajat kedua, baik secara horizontal maupun
vertikal dengan pegawai, anggota Direksi, Dewan Komisaris, atau pemegang saham
dari perseroan;
(b). tidak mempunyai hubungan dengan perseroan
karena adanya kesamaan satu atau lebih anggota Direksi atau Dewan Komisaris;
(c). tidak mempunyai hubungan pengendali dengan
perseroan baik langsung maupun tidak langsung; dan / atau
(d). tidak mempunyai hubungan kepemilikan saham
dalam perseroan sebesar 20% atau lebih.
c. pengumuman
penyetoran saham yang berbentuk benda tidak bergerak
Apabila penyetoran saham dalam bentuk lain terdiri atas
benda tidak bergerak (onroerend goed,
immovable property), penyetoran itu menurut Pasal 34 ayat (3) UUPT 2007,
harus diumumkan dalam 1 (satu) surat kabar atau lebih, serta pengumuman
dilakukan dalam jangka 14 (empat belas) hari setelah akta pendirian
ditandatangani atau setelah RUPS memutuskan penyetoran saham tersebut.
Maksud
pengumuman tersebut adalah untuk memenuhi asas publisitas, yakni agar diketahui
umum dan memberi kesempatan kepada pihak yang berkepentingan untuk mengajukan
keberatan atas penyetoran benda tersebut sebagai setoran modal saham padahal
benda itu bukan milik penyetor, tetapi milik pihak ketiga.
Kompensasi
tagihan pemegang saham kreditor atas kewajiban penyetoran harga saham
Pasal 35 UUPT
2007 telah mengatur cara penyelesaian yang dapat dibenarkan menurut hukum
sebagai berikut.
a. prinsipnya,
hak tagih tidak dapat digunakan sebagai kompensasi penyetoran harga saham
Berdasarkan Pasal 35 ayat (1), pada prinsipnya hak tagih
yang dimiliki pemegang saham atau kreditor terhadap perseroan, tidak dapat dikompensasi
(schuldvergelijking, set-off) untuk
membayar kewajiban penyetoran atas harga saham yang diambilnya. Bertitik
tolak dari ketentuan ini, tidak segala jenis tagihan atau piutang pemegang
saham atau kreditor dapat dikompensasi dengan pelunasan pembayaran setoran
saham yang diambil.
b. kebolehan mengkompensasi hak tagih
Boleh
dilakukan kompensasi atas hak tagih terhadap perseroan, apabila dipenuhi
ketentuan yang digariskan Pasal 35 ayat (1) dan (2) UUPT 2007.
1). Kompensasi
hak tagih “disetujui” RUPS
Penjelasan Pasal 35 ayat (1) tersebut
mengatakan, diperlukannya persetujuan RUPS adalah untuk menegaskan, bahwa hanya
dengan persetujuan RUPS dapat dilakukan kompensasi, karena dengan disetujuinya
kompensasi, hak didahulukan (voorrecht,
right of priority) pemegang saham lainnya untuk mengambil saham baru dengan
sendirinya dilepaskan.
2). Hak tagih terhadap perseroan harus memenuhi
kategori tertentu
Agar hak tagih dapat dikompensasi menjadi setoran saham
yang diambil pemegang saham atau kreditor, harus sesuai dengan patokan yang
ditentukan Pasal 35 ayat (2):
(a). perseroan telah menerima uang atau penyerahan
benda berwujud atau tidak berwujud yang dapat dinilai dengan uang;
(b). pihak yang menjadi penanggung atau penjamin (borg, guarantor) utang perseroan telah
membayar lunas utang perseroan sebesar yang ditanggung atau yang dijamin;
(c). perseroan menjadi penanggung atau penjamin
utang dari pihak ketiga dan perseroan telah menerima manfaat berupa uang atau
barang yang dapat dinilai dengan uang yang langsung atau tidak langsung secara
nyata telah diterima perseroan.
Larangan
mengeluarkan saham untuk dimiliki sendiri
a. jangkauan
larangan meliputi perseroan lain
Menurut Pasal 36 ayat (1), meliputi perseroan lain yang
sahamnya secara langsung atau tidak langsung telah dimiliki oleh perseroan. Pada
prinsipnya pengeluaran saham adalah suatu upaya pengumpulan modal, oleh karena
itu kewajiban penyetoran atas saham seharusnya dibebankan kepada pihak lain.
b.
kepemilikan saham sendiri yang tidak dilarang
Ketentuan larangan kepemilikan saham tidak berlaku
terhadap kepemilikan saham yang diperoleh perseroan berdasarkan:
· perolehan
karena hukum;
· karena
hibah; atau
· karena
hibah wasiat.
Sebab
dalam peristiwa yang demikian, “tidak ada pengeluaran saham yang memerlukan
setoran dana” dari pihak lain sehingga tidak melanggar ketentuan larangan
sebagaimana dimaksud pada Pasal 35 ayat (1).
c. kewajiban mengalihkan kepada pihak
lain
Pasal
36 ayat (3) membatasi jangka waktu kebolehan kepemilikan oleh perseroan:
· hanya
boleh dimiliki sendiri paling lama dalam jangka waktu 1 (satu) tahun dari atau
sejak tanggal perolehan;
· sebelum
lewat batas waktu tersebut saham itu harus dialihkan kepada pihak lain
yang tidak dilarang memiliki saham dalam perseroan.
Apabila
yang memperoleh pengalihan saham berdasarkan hukum, hibah, atau hibah wasiat
adalah perseroan yang merupakan perusahaan efek, berlaku ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang pasar modal.
Perlindungan Modal dan Kekayaan
Perseroan
Bab III bagian kedua UUPT 2007 mengatur mengenai
Perlindungan Modal Kekayaan Perseroan.
Perseroan
dapat membeli kembali saham yang telah dikeluarkan
Pasal 37 mengatur kebolehan untuk “membeli kembali” saham
yang dikeluarkan dengan ketentuan:
·
pembelian
kembali saham tersebut tidak menyebabkan kekayaan bersih perseroan menjadi
lebih kecil dari jumlah modal yang ditempatkan ditambah cadangan wajib yang
telah disisihkan;
·
jumlah
nilai nominal seluruh saham yang dibeli kembali oleh perseroan dan gadai saham
atau jaminan fidusia atas saham yang dipegang oleh perseroan sendiri dan / atau
perseroan lain yang secara langsung atau tidak langsung dimiliki oleh
perseroan, tidak melebihi 10% (sepuluh persen) dari jumlah modal yang
ditempatkan dalam perseroan, kecuali diatur lain dalam peraturan
perundang-undangan di bidang pasar modal.
a. pembelian
kembali yang bertentangan dengan undang-undang
Ketentuan yang harus ditaati Direksi apabila perseroan
hendak membeli kembali saham yang telah dikeluarkan, harus tunduk kepada
ketentuan Pasal 37. Apabila pembelian kembali bertentangan dengan ketentuan
tersebut, dikategorikan pembelian kembali itu “bertentangan” dengan
undang-undang. Akibat hukum atas pelanggaran itu, diatur pada Pasal 37 ayat (2)
dan (3).
1). Pembelian kembali saham itu “batal karena
hukum” (van rechtswegenietg, ipso jure null and void)
Sesuai dengan ketentuan Pasal 1451 KUH
Perdata, suatu perikatan atau transaksi yang dikategorikan batal demi hukum, pihak
dan barangnya dipulihkan kepada keadaan semula (rechtsherstel in de vorige toestand, restitution in integrum,
restitution to the original condition).
2). Direksi
secara tanggung renteng bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan
pembelian kembali
Direksi
secara renteng bertanggung jawab (hoofdelijk
aanspraakkelijk, jointly and severaly liable) atas kerugian yang diderita
pemegang saham yang beritikad baik yang timbul dari pembelian kembali yang
bertentangan dengan hukum.
b.
saham
yang dibeli kembali hanya boleh dikuasai perseroan paling lama 3 (tiga) tahun
Pasal 37 ayat (4) UUPT 2007, membatasi
kebolehan perseroan untuk menguasainya. Hanya boleh dikuasai perseroan paling
lama 3 (tiga) tahun. Pembatasan kebolehan penguasaan itu menurut penjelasan
ayat ini, dimaksudkan agar perseroan dapat menentukan apakah saham tersebut
akan dijual kepada orang lain atau ditarik kembali dengan cara pengurangan
modal perseroan.
Pembelian kembali atau pengalihan
lebih lanjut harus berdarsarkan persetujuan RUPS
Baik
pembelian kembali maupun pengalihan lebih lanjut saham tersebut hanya boleh
dilakukan Direksi berdasarkan “persetujuan” RUPS, kecuali ditentukan lain dalam
peraturan perundang-undangan. Keputusan RUPS sah apabila dilakukan sesuai
dengan ketentuan mengenai panggilan rapat, kuorum, dan persetujuan jumlah suara
untul perubahan
RUPS dapat menyerahkan kewenangan
kepada Dewan Komisaris untuk meyetujui pelaksanaan keputusan RUPS
Berdasarkan
Pasal 39, RUPS dapat menyerahkan kewenangan kepada Dewan Komisaris untuk
menyetujui pelaksanaan keputusan RUPS untuk membeli kembali atau untuk
mengalihkan lebih lanjut saham yang dibeli, dengan ketentuan sebagai berikut:
(1). penyerahan kewenangan itu kepada Dewan
Komisaris, hanya terbatas untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun;
(2). namun
jangka waktu itu, setiap kali dapat diperpanjang untuk jangka waktu 1 (satu)
tahun; dan
(3). penyerahan kewenanga itu sewaktu-sewaktu
dapat dapat dicabut oleh RUPS.
Saham yang dikuasai kembali tidak
mempunyai hak suara dan hak dividen
Hal
lain yang diatur pada Perlindungan Modal dan Kekayaan Perseroan berkenaan
dengan hak suara (voting right) dan
hak dividen (dividend right) atas
saham yang dikuasai perseroan menurut Pasal 40 UUPT 2007:
· yang
dimaksud dengan saham yang dikuasai perseroan, karena pembelian kembali,
peralihan karena hukum, karena hibah atau hibah wasiat;
· saham
yang dikuasai perseroan yang terjadi karena hal-hal yang tersebut di atas:
(1). tidak dapat digunakan untuk megeluarkan
suara dalam RUPS, dan tidak diperhitungkan dalam menentukan jumlah kuorum yang
harus dicapai sesuai dengan ketentuan undang-undang ini dan / atau AD;
(2). Saham
tersebut tidak berhak mendapat “pembagian” dividen.
Penambahan Modal
Penambahan
modal diatur dalam Bab III, bagian ketiga UUPT 2007, yang terdiri dari pasal
41-43.
Penambahan modal perseroan
berdasarkan persetujuan RUPS
Mengenai
penambahan atau pengurangan modal perseroan menurut Pasal 21 ayat (1) UUPT 2007
dikategori perubahan AD tertentu. Dan
menurut Pasal 19 ayat (1), setiap perubahan AD ditetapkan oleh RUPS. Oleh
karena itu, menurut hukum itu mungkin terjadi penambahan modal perseroan tanpa
persetujuan RUPS.
a. RUPS
dapat meyerahakan kewenangan kepada Dewan Komisaris
Menurut Pasal 41 ayat (2), RUPS dapat meyerahkan
kewenangan kepada Dewan Komisaris guna menyetujui pelaksanaan keputusan RUPS
atas penambahan modal perseroan. Selain daripada itu,
perlu diperhatikan ketentuan pemberian kewenangan yang diatur pada Pasal 41 ayat
(2) dan (3) yang menggariskan hal-hal berikut.
1). Penyerahan
kewenangan kepada dewan Komisaris guna menyetujui pelaksanaan RUPS, hanya untuk
jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun
Artinya apabila jangka waktu itu
dilampaui, dengan sendirinya penyerahan kewenangan itu berakhir.
2). Penyerahan
kewenangan tersebut sewaktu-waktu dapat ditarik kembali oleh RUPS
b.
RUPS
untuk menambahkan modal dasar disamakan dengan RUPS perubahan AD tertentu
Agar
keputusan RUPS untuk menambah modal dasar (authorized
capital) sah:
1. harus tunduk
kepada ketentuan Pasal 88 jo. Pasal 19 ayat (1) dan Pasal 21 ayat (2) huruf d
UUPT 2007;
2. oleh karena
itu, RUPS dilakukan dengan memperhatikan persyaratan kuorum 2/3 bagian dari
jumlah seluruh saham dengan hak suara, hadir atau diwakili dalam RUPS, dan
keputusan sah jika disetujui paling sedikit 2/3 dari jumlah suara yang
dikeluarkan;
3. keputusan RUPS
harus mendapat persetujuan Menteri.
c.
RUPS
untuk menambah modal ditempatkan dan disetor
Kualitas
dan sifat RUPS penambahan modal ditempatkan dan disetor, tidak dikategori RUPS
perubahan AD, tetapi disamakan dengan RUPS biasa sebagaimana yang diatur dalam
Pasal 86 UUPT 2007. Dengan demikian, keputusan RUPS sah apabila RUPS dilakukan
dengan kuorum kehadiran lebih dari ½ bagian dari seluruh jumlah saham dengan
hak suara dan disetujui oleh lebih ½ bagian dari jumlah seluruh suara yang
dikeluarkan, kecuali ditentukan lebih besar dalam AD.
Wajib menawarkan lebih dulu seluruh
saham yang dikeluarkan untuk penambahan modal kepada setiap pemegang saham
Pasal 43 UUPT 2007 mengatur tata
cara penawaran saham yang dikeluarkan untuk penambahan modal kepada setiap
pemegang saham, sesuai dengan acuan berikut.
a. penawaran
atas saham klasifikasi yang sama
Mengenai hal ini diatur pada Pasal 43 ayat (1) dengan
ketentuan sebagai berikut:
1). seluruh saham yang dikeluarkan untuk perubahan
modal harus “terlebih dahulu” ditawarkan kepada setiap pemegang saham;
2). penawarannya “seimbang” dengan pemilikan saham
untuk klasifikasi saham yang sama.
b. penawaran
klasifikasi saham yang belum pernah dikeluarkan
Menurut Pasal 43 ayat
(2) UUPT 2007, yang berhak membeli saham lebih dahulu adalah seluruh pemegang
saham dan caranya sesuai dengan “perimbangan” jumlah saham yang dimilikinya.
c.
pengeluaran
saham yang tidak perlu ditawarkan kepada pemegang saham
Pada
Pasal 43 ayat (3) UUPT 2007, terdapat ketentuan yang tidak mewajibkan perseroan
menawarkan pengeluaran saham dalam rangka penambahan modal kepada setiap
pemegang saham. Ketentuan yang mewajibkan penawaran seluruh saham yang
dikeluarkan untuk penambahan modal harus terlebih dahulu ditawarkan kepada
setiap pemegang saham seimbang dengan pemilikan saham untuk klasifikasi yang
sama, “tidak berlaku” apabila pengeluaran saham:
1). ditujukan kepada karyawan perseroan;
2). saham yang ditujukan kepada pemegang obligasi
atau efek lain yang dapat dikonversikan menjadi saham yang telah dikeluarkan
dengan persetujuan RUPS;
3). dilakukan dalam rangka “reorganisasi” atau
“restrukturisasi” yang telah disetujui RUPS
d.
menawarkan
sisa yang tidak diambil pemegang saham kepada pihak ketiga
Tindakan
yang demikian dapat dilakukan perseroan apabila pemegang saham tidak
menggunakan hak untuk membeli dan membayar lunas saham yang dibeli
dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari terhitung sejak tanggal penawaran.
Pengurangan Modal
Yang
dimaksud dengan pengurangan modal perseroan menurut penjelasan Pasal 44 ayat
(1) UUPT 2007, adalah pengurangan modal dasar, modal ditempatkan, dan modal
disetor.
Pengurangan
modal dikategorikan sebagai perubahan AD tertentu
Pasal 21 ayat
(1) jo. Pasal 21 ayat (2) huruf e, pengurangan modal ditempatkan dan disetor
merupakan perubahan AD tertentu yang harus mendapat persetujuan Menteri.
Kewajiban Direksi atas pengurangan
modal
Apabila
RUPS mengambil keputusan untuk mengurangi modal ditempatkan dan modal disetor,
Pasal 44 ayat (2) memikulkan kewajiban kepada Direksi untuk melakukan tindakan
yang bersifat publisitas yaitu memberitahukan keputusan RUPS pengurangan modal
tersebut kepada semua kreditor. Cara pemberitahuannya dilakukan Direksi dalam
bentuk pengumuman dalam 1 (satu) surat kabar atau lebih. Pengumuman tersebut
dilakukan paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal keputusan RUPS.
Tujuan daripada pengumuman ini, agar kreditor mengetahui adanya pengurangan
modal ditempatkan dan modal disetor perseroan.
Prosedur pengajuan keberatan atau
gugatan oleh kreditor terhadap pengurangan modal
Apabila
kreditor merasa dirugikan atas pengurangan modal tersebut, yang bersangkutan dapat
mengambil langkah-langkah sesuai dengan tata cara yang diatur pada Pasal 46.
a.
mengajukan
keberatan terhadap keputusan RUPS
Menurut
Pasal 46 ayat (1), kreditor dapat mengajukan keberatan terhadap pengurangan
modal tersebut dengan mengajukan keberatan “secara tertulis” disertai alasannya
kepada perseroan atas keputusan pengurangan modal dimaksud. Tembusan surat
keberatan tersebut kemudian disampaikan kepada Menteri. Dan jangka waktu
pengajuan keberatan adalah 60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal
pengumuman dilakukan oleh Direksi.
b.
Perseroan
wajib memberikan jawaban
Jika
ada kreditor yang mengajukan surat keberatan terhadap keputusan RUPS atas
pengurangan modal, Pasal 45 ayat (2) menggariskan bahwa perseroan wajib
memberikan jawaban secara tertulis atas keberatan yang diajukan kreditor.
Jawaban wajib diberikan Direksi perseroan dalam jangka waktu 30 (tiga puluh)
hari terhitung sejak tanggal pengumuman dilakukan Direksi.
c.
timbulnya
hak kreditor mengajukan gugatan
Pasal
45 ayat (3) memberi hak kepada kreditor untuk mengajukan gugatan ke Pengadilan
Negeri atas keputusan pengurangan modal apabila:
1. Perseroan menolak keberatan atau tidak
memberian penyelesaian yang disepakati kreditor dalam jangka waktu 30 (tiga
puluh) hari terhitung sejak tanggal jawaban perseroan diterima; atau
2. Perseroan tidak memberikan tanggapan dalam
jangka waktu 60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal keberatan diajukan
kepada perseroan
Terhadap
keputusan RUPS pengurangan modal perseroan, kreditor tidak dapat langsung
mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri. Gugatan yang demikian cacat formil
dalam bentuk “prematur”. Hak untuk mengajukan gugatan pada diri kreditor baru
timbul apabila telah ditempuh lebih dulu proses pengajuan keberatan secara
tertulis kepada perseroan.
Syarat-syarat
pemberian persetujuan Menteri atas pengurangan modal
Menurut Pasal 46 ayat (2), persetujuan Menteri atas
pengurangan modal perseroan baru dapat diberikan Menteri, apabila terpenuhi
hal-hal berikut:
a.
tidak
terdapat keberatan tertulis dari kreditor dlaam jangka waktu 60 (enam puluh)
hari terhitung sejak tanggal pengumuman Direksi atas keputusan RUPS mengenai
pengurangan modal perseroan;
b.
telah
dicapai penyelesaian atas keberatan yang diajukan kreditor; atau
c. gugatan
kreditor ditolak oleh pengadilan berdsarkan putusan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap.
Cara
pengurangan modal ditempatkan dan modal disetor
Teknis maupun mekanisme pengurangan modal ditempatkan dan
disetor diatur pada penjelasan Pasal 44 ayat (1) dan Pasal 47, dengan cara
berikut.
a.
penarikan
kembali saham
Artinya saham tersebut “ditarik dari peredaran” dalam
rangka penguranagan modal ditempatkan dan disetor. Dengan penarikan kembali
saham yang demikian, mengakibatkan penghapusan saham tersebut dari peredaran.
b.
penurunan
nilai nominal saham
Mekanisme
berikutnya adalah pengurangan modal ditempatkan dan modal disetor dengan cara menurunkan
nilai nominal saham tanpa pembayaran kembali kepada pemegang saham, dan
pelaksanaannya meurut Pasal 47 ayat (3) dan 14 UUPT 2007 harus dilakukan secara
seimbang terhadap sleuruh saham dari setiap klasifikasi saham, dan keseimbangan
tersebut dapat dikecualikan dengan persetujuan semua pemegang saham yang nilai
nominal sahamnya dikurangi.
Saham Perseroan
Saham
perseroan merupakan sejumlah uang yang diinvestasikan oleh investor dalam suatu
perseroan. Saham merupakan
kekayaan pribadi (personal property)
pemegang saham yang bersifat benda bergerak (movable property) yang tak dapat diraba (intangible), namun demikian dapat dialihkan (fronsferable). Pemegang saham sebagai anggota perseroan pada
dasarnya tidak mempunyai kepentingan atas pengurusan harta kekayaan perseroan.
Kepemilikannya atas saham perseroan dalam kedudukannya sebagai pemegang saham hanya
mempunyai keterlibatan yang terbatas mempunyai partisipasi dalam RUPS yang
diselenggarakan perseroan serta berhak atas dividen sepanjang perseroan masih
berlangsung. Serta berpasrtisipasi atas sisa asset hasil likuidasi perseroan
apabila perseroan dibubarkan.
Pemegang
saham tidak bertanggung jawab terhadap kontrak dan transaksi yang dilakukan
perseroan. Juga tidak bertanggung jawab atas hutang perseroan melebihi saham
yang dimilikinya dalam perseroan.
Saham
yang boleh dikeluarkan hanya atas nama
Pasal 48 ayat (1) menegaskan bahwa, saham perseroan
dikeluarkan atas nama pemiliknya. Penjelasan pasal ini mengatakan, perseroan
hanya diperkenankan mengeluarkan saham “atas nama” pemiliknya. Perseroan tidak
dibenarkan mengeluarkan “saham atas tunjuk” (aadeel aan toonder, bearer share / share issued in bearer form).
Persyaratan kepemilikan saham
Mengenai
persyaratan kepemilikan saham dapat ditetapkan dalam AD dengan memperhatikan
persyaratan yang ditentukan oleh instansi yang berwenang sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan. Kalau persyaratan kepemilikan saham
telah ditetapkan dalam AD dan ternyata persyaratan itu tidak dipenuhi maka
pihak yang memperoleh kepemilikan saham tersebut, tidak dapat menjalankan hak
selaku pemegang saham. Tidak dapat menjalankan hak selaku pemegang saham antara
lain hak untuk dicatat dalam Daftar Pemegang Saham (DPS), hak untuk menghadiri
dan mengeluarkan suara dalam RUPS atau hak untuk menerima dividen yang
dibagikan. Dan saham tersebut tidak diperhitungkan dalam kuorum yang harus
dicapai sesuai dengan ketentuan undang-undang ini dan / atau AD.
Nilai nominal saham
Pasal
49 UUPT 2007 berisi ketentuan, bahwa nilai nominal saham harus dicantumkan pada
atau di atas saham, dan nilai nominal yang harus dicantumkan di atas saham
dalam mata uang rupiah. Setiap saham mempunyai nilai nominal yang dicantumkan
di atas saham. Saham tanpa nilai nominal, tidak dapat dikeluarkan. Dan nilai
nominal saham adalah sebesar yang tercantum di atas saham. Nilai nominal itu yang
disebut per value stock atau “harga a
pari”.
Maksudnya nilai saham dengan nilai yang tertulis dihitung sebagai nilai
“akutansi” pada neraca perseroan.
Direksi wajib mengadakan dan
menyimpan Daftar Pemegang Saham (DPS) dan daftar khusus
Pasal
50 UUPT 2007 mengatur daftar khusus pengadaan dan penyimpanan DPS, seperti yang
dijelaskan berikut ini.
a.
pengadaan
dan penyimpanan DPS
Direksi perseroan wajib mengadakan dan memlihara DPS yang
memuat sekurang-kurangnya:
1. nama dan alamat
pemegang sah;
2. jumlah, nomor,
tanggal perolehan saham yang dimiliki pemegang saham dan klasifikasinya dalam
hal dikeluarkan lebih dari satu klasifikasi saham;
3. jumlah yang
disetor atas setiap saham;
4. nama dan alamat
dari perorangan atau badan hukum yang mempunyai hak gadai atas saham atau
sebagai penerima jaminan fidusia saham dan tanggal perolehan hak gadai atau
tanggal pendaftaran jaminan fidusia tersebut.
5. keterangan
penyetoran saham dalam bentuk lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat(2).
b.
pengadaan
dan penyimpanan daftar khusus
Yang
dimaksud dengan daftar khusus adalah salah satu sumber informasi mengenai
besarnya kepemilikan dan kepentingan anggota Direksi dan Dewan Komisaris pada
perseroan yang bersangkutan atau perseroan lain, sehingga pertentangan
kepentingan yang mungkin timbul dapat ditekan sekecil mungkin. Daftar khusus
memuat keterangan mengenai saham anggota Direksi dan dewan Komisaris beserta
keluarganya dalam perseroan dan / atau pada perseroan lain, serta tanggal saham
diperoleh.
c.
Direksi
wajib mencatat segala perubahan kepemilikan saham baik yang terjadi dalam DPS
maupun pada daftar khusus
d.
Menyediakan
DPS dn daftar khusus di tempat kedudukan perseroan
Yang
dapat melihat DPS dan daftar khusus hanya terbatas pemegang saham saja.
Pembatasan ini dianggap wajar, karena yang buka pemegang saham tidak ada
kepentingan untuk mengetahui perubahan susunan pemegang saham perseroan yang
bersangkutan.
Bukti dan hak kepemilikan saham
a.
bukti
pemilikan saham
Pada
umumnya, bukti saham yang diberikan kepada pemegang saham (aandelhouder, shareholder) berbentuk surat “sertifikat saham” (certificaat van aandelen, depositary receipt
for shares).
b.
hak
pemilik saham
Sesuai
dengan ketentuan Pasal 52, saham memberikan hak kepada pemiliknya untuk:
1. menghadiri dan mengeluarkasn suara dalam RUPS;
2. menerima pembayaran dividend an sisa kekayaan
hasil likuidasi;
3. menjalankan haknya berdasarkan UUPT 2007.
c. setiap
saham memberikan kepada pemiliknya hak yang tidak dapat dibagi
Hak ini dikemukakan
pada Pasal 52 ayat (4), Penjelasan pasal ini mengatakan bahwa berdasarkan
ketentuan ini, para pemegang saham tidak diperkenankan membagi-bagi hak atas 1
(satu) saham menurut kehendaknya sendiri.
Klasifikasi saham
Pada
Pasal 53 UUPT 2007, yang dimaksud dengan klasifikasi saham adalah pengelompokan
saham berdasarkan karakteristik yang sama.
a.
saham
biasa
Disebut
juga ordinary share (common share, equity share). Menurut
Pasal 53 ayat (3), yang dimaksud dengan dengan saham biasa menurut
Penjelasannya adalah, saham yang mempunyai hak suara untuk mengambil keputusan
dalam RUPS mengenai segala hal yang berkaitan dengan pengurusan perseroan,
mempunyai hak untuk menerima dividen yang dibagikan, dan mempunyai hak menerima
sisa kekayana hasil likuidasi.
b. saham
dengan tanpa hak suara
Menurut Pasal 53 ayat (4) huruf a membolehkan pengeluaran
saham tanpa hak suara (aandelen
zonderstemrecht, non voting share)
bagi pemiliknya. Dengan demikian, pemilik saham jenis ini tidak berhak
mengikuti RUPS perseroan, karena tidak mempunyai hak suara dalam pengambilan
keputusan berkenaan dengan pengurusan perseroan
c. saham
dengan hak khusus untuk mencalonkan anggota Direksi dan / atau anggota
Komisaris
Pemilik saham jenis ini mempunyai “hak berbicara khusus”
(bijzondere zeggenschaprechten). Kepada pemilik saham ini diberi hak prioritas atau hak
khusus untuk mencalonkan anggota Direksi dan / atau anggota Dewan Komisaris,
dan hak itu tidak diberikan kepada pemilik klasifikasi saham yang lain.
d.
saham
yang dapat ditarik kembali
Klasifikasi selanjutnya
yaitu saham yang setelah jangka waktu tertentu ditarik kembali atau ditukar
dengan klasifikasi lain (converteerbaar
aandelen, convertible share).
e. saham
yang memberikan hak dividen lebih dahulu
Saham klasifikasi ini
disebut juga “saham utama” (preference
aandelen). Saham ini memberi atau mempunyai hak lebih dahulu dari saham
biasa dalam memperoleh keuntungan dan / atau saldo.
1). Saham
preferen atau saham utama (preferente aandelen, preference share) memperoleh
dividen
Saham ini mempunyai hal lebih dahulu
memperoleh pembagian dividen dari pemegang saham klasifikasi lain.
2). Saham
utama kumulatif (cumulatief preferent aandiel, cumulative preference share)
Saham ini mempunyai hak lebih
dahulu daripada saham utama atau saham preferen untuk memperoleh hak atas
“dividen tunggakan”.
f.
saham
utama menerima lebih dahulu pembagian sisa kekayaan perseroan dalam likuidasi
Saham
jenis ini disebut juga liquidation
preference. Dalam AD dapat ditetapkan klasifikasi saham yang mempunyai hak
utama memperoleh pembagian hasil sisa kekayaan likuidasi (liquidation preference) dari klasifikasi lain.
Bentuk
dan cara pemindahan hak atas saham
Pasal 55 UUPT 2007, membolehkan pemindahan hak atas
saham. Cara pemindahannya diatur dalam AD dengan syarat, caranya sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan sebagai berikut.
a. dilakukan
dengan akta pemindahan hak
Pemindahan hak atas saham menurut Pasal 56 ayat (1) harus
dilakukan dengan akta pemindahan hak. Boleh berbentuk akta autentik atau akta
bawah tangan.
b.
akta
atau salinannya disampaikan secara tertulis kepada perseroan
Menurut
Pasal 56 ayat (2), akta pemindahan hak atau salinannya disampaikan secara
tertulis (schriftelijke, in writing)
kepada perseroan. Penyampaian kepada perseroan dapat dilakukan pihak yang
memindahkan hak atau yang menerima hak.
c.
Direksi wajib mencatat dan memberitahukan
pemindahan hak atas saham
Kewajiban
Direksi sehubungan dengan pemindahan hak atas saham yaitu memberitahukan
perubahan susunan pemegang saham kepada Menteri. Kemudian Menteri mencatat pemindahan hak atas saham
tersebut paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal pencatatan
pemindahan hak.
Apabila
pemberitahuan pemindahan hak atas saham belum dilakuakn oleh direksi, Menteri
menolak permohonan persetujuan atau pemberitahuan yang dilakukan berdasarkan
susunan dan nama pemegang saham yang belum diberitahukan tersebut.
Syarat pemindahan hak atas saham
Pasal
57 UUPT 2007, menggariskan persyaratan pemindahan hak atas saham, dikatakan
dalam AD dapat diatur persyaratan mengenai pemindahan hak atas saham yaitu
sebagai berikut.
a.
keharusan
menawarkan terlebih dahulu kepada pemegang saham dengan klasifikasi tertentu
atau pemegang saham lainnya
Apabila
pemegang saham hendak menjual sahamnya, harus lebih dahulu ditawarkan kepada
pemegang saham dalam klasifikasinya yang sama atau pemegang saham lainnya.
1). Pemegang
saham dapat menawarkan kepada pihak ketiga apabila dalam jangka waktu 30 (tiga
puluh) hari, pemegang saham lain tidak membeli
2). Pemegang
saham penjual berhak menarik kembali penawaran
Pasal
58 ayat (2) memberi hak kepada pemegang saham penjual “menarik kembali” (herroepen, revoke) penawaran tersebut
sebagai acuan berikut:
· setelah
jangka waktu 30 (tiga puluh) hari, pemegang saham lain tidak membeli saham yang
ditawarkan; dan
· setelah
ditariknya kembali penawaran, tidak ada lagi kewajiban bagi pemegang saham
tersebut untuk menawarkan kepada pemegang klasifikasi tetentu atau pemegang
saham lain, karena kewajiban menawarkan terlebih dahulu yang demikian, hanya
berlaku 1 (satu) kali.
Dengan
demikian, apabila telah gugur kewajiban menawarkan kepada pemegang saham lain
atau jika pemegang saham penjual telah menarik penawaran tersebut, dia dapat
langsung menawarkan kepada pihak ketiga.
b. keharusan
mendapat persetujuan terlebih dahulu dari organ perseroan
Apabila AD menentukan pemindahan hak atas saham harus
atas persetujuan terlebih dahulu dari organ perseroan, tata caranya adalah sebagai
berikut:
1). Persetujuan atau penolakan harus diberikan
organ perseroan secara tertulis (in writing) dan harus diberikan dalam jangka
waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari terhitung sejak tanggal organ
perseroan menerima permintaan persetujuan pemindahan hak.
2). Jangka waktu dilampaui, dianggap menyetujui
pemindahan hak atas saham
Dalam jangka waktu 90
(semilan puluh) hari dilampaui atau dilewati organ perseroan tidak memberikan
persetujuan tertulis maka organ perseroan dianggap menyetujui pemindahan hak
atas saham yang bersangkutan.
3). Organ perseroan menyetujui pemindahan
Apabila
dalam jangka waktu yang disebutkan di atas organ perseroan memberikan
persetujuan tertulis, pemindahan hak atas saham harus dilakukan dalam bentuk
akta pemindahan hak atas saham sesuai dengan ketentuan Pasal 56, bisa dalam
bentuk akta autentik (akta notaris) maupun akta bawah tangan. Serta pemindahan
hak atas saham itu, harus dilakukan dalam jagka waktu paling lama 90 (sembilan
puluh) hari terhitung sejak tanggal persetujuan diberikan organ perseroan.
c. keharusan
mendapat persetujuan terlebih dahulu dari instansi yang berwenang sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan
a.
saham
merupakan benda bergerak
Pasal
60 ayat (1) menegaskan, saham merupakan “benda bergerak” (roerende goederen, movable property), dan memberikan hak kepada
pemiliknya sesuai dengan ketentuan Pasal 52 UUPT 2007 untuk menghadiri dan
mengeluarkan suara dalam RUPS, menerima pembayaran dividend dan sisa kekayaan hasil
likuidasi, serta menjalankan hak lainnya berdasarkan UUPT 2007. oleh karena dia
benda bergerak, harus tunduk kepada ketentuan Pasal 1977 KUH Perdata yang
mengatur prinsip bezit atas benda bergerak merupakan title yang sempurna (bezit geldt als volko men title, possession
amounts to perfect title), juga pemilik saham dapat atau berhak menjual,
menghibahkan, mengagunkan, dan memungut hasil saham tersebut.
b.
bentuk
pengagunan yang dibenarkan hukum
Bentuk
pengagunan menurut ketentuan pasal 60 UUPT 2007 adalah sebagai berikut:
1). Saham dapat diagunkan dengan gadai atau
jaminan fidusia
Mengenai cara
penggadaian saham tunduk kepada ketentuan Buku Kedua, Bab Kesepuluh KUH Perdata
yang terdiri atas Pasal 1150-1160. Adapun
cara pemberian jaminan fidusia tunduk kepada ketentuan UU No. 42 Tahun 1999
tentang Jaminan Fidusia.
2). Gadai
saham atau jaminan fdusia atas saham dicatat dalam DPS atau daftar khusus
Apabila
saham yang digadaikan atau dijaminkan dalam bentuk jaminan fidusia terdiri dari
saham yang telah didaftarkan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan maka gadai saham atau jaminan fidusia itu wajib
dicatat dalam DPS atau daftar khusus sesuai dengan ketentuan Pasal 50. Rasionya
adalah agar perseroan atau pihak lain yang berkepentingan dapat mengetahui
mengenai status saham tersebut.
3). Hak
suara atas saham yang diagunkan tetap berada pada pemegang saham
Baik
dalam bentuk gadai saham atau jaminan fidusia, dalam Pasal 60 ayat (4)
menegaskan bahwa haksuara atas saham tersebut tetap berada pada pemegang saham,
bukan beralih kepada pemegang gadai atau penerima jaminan fidusia. Menurut
Penjelasan ini, ketentuan ini merupakan penegasan kembali asas hukum yang tidak
memungkinkan pengalihan hak secara terlepas dari kepemilikan saham. Sedangkan
hak lain di luar hak suara seperti hak atas dividen dapat diperjanjikan sesuai
dengan kesepakatan di antara pemegang saham dan pemegang agunan.
Pasal 65 mengatur hak pemegang saham pengajuan gugatan,
sesuai dengan ketentuan berikut.
a.
bentuknya
gugatan (vordering claim)
Gugatannya
bersifat partai atau inter-partes,
dengan proses pemeriksaan secara kontradiktor (contradictoir, counter examination), bukan permohonan (verzoek, petition).
b. Legal standing atau yang berhak mengajukan
gugatan
Yaitu
setiap pemegang saham tanpa digantungkan kepada jumlah saham yang dimilikinya.
Oleh karena itu, dapat diajukan oleh seorang pemegang saja atau lebih.
c.
yurisdiksi
relatifnya
Yaitu
diajukan ke Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan
perseroan maka gugatan yang diajukan sesuai dengan asas actor sequitor forum rei yang digariskan Pasal 118 ayat (1)
HIR.
d.
yang
ditarik sebagai tergugat
Yang
ditarik sebagai penggugat adalah perseroan. Oleh karena itu, supaya gugatan
tidak cacat formil dalam bentuk error in
persona, gugatan harus ditujukan terhadap perseroan, bukan terhadap Direksi
atau Dewan Komisaris.
e.
dasar
dalil gugatan (fundamentum petendi)
Dasar
dalil gugatan menurut Pasal 61 ayat (1), tindakan perseroan dianggap “tidak adil”
(unjust) dan “tanpa alasan wajar” (without fair reason) sebagai keputusan
RUPS, Direksi dan / atau Dewan Komisaris, dan tindakan perseroan itu,
menimbulkan kerugian kepada pemegang saham yang bersangkutan.
f.
petitum
gugatan
Mengenai
petitum gugatan, dikemukakan dalam penjelasan Pasal 61 ayat (1) yang terdiri
atas:
1. menuntut atau memohon ke pengadilan agar
perseroan menghentikan tindakan yang merugikan tersebut;
2. menuntut agar perseroan mengambil langkah
tertentu baik untuk mengatasi akibat yang sudah timbul maupun untuk mencegah
tindakan serupa di kemudian hari.
Agar
gugatan tidak kabur (obscuur libel),
penggugat harus benar-benar dapat menunjukkan fakta-fakta konkret dan objektif
tindakan mana yang tidak adil dan tanpa alasan wajar yang dilakukan perseroan
tersebut.
Hak pemegang saham meminta agar
perseroan membeli sahamnya
Hak
lain yang diberikan undang-undang kepada pemegang saham, diatur pada Pasal 62
UUPT 2007, yang dapat dijelaskan sebagai berikut.
a.
hak
meminta kepada Perseroan agar sahamya dibeli perseroan
Hak
itu diberikan kepada “setiap pemegang saham” tanpa mempersoalkan berapa besar
jumlah saham yang dimilikinya, dengan demikian setiap pemegang saham dapat
mempergunakan hak tersebut sesuai dengan keadaan dan kebutuhan.
b. harga yang diminta adalah harga
yang wajar (fair value)
Pemegang
saham yang bersangkutan dapat menuntut kepada perseroan agar sahamnya dibeli
dengan harga yang wajar (fair value)
dan perseroan tidak boleh sewenang-wenang menentukan harga saham yang tidak
wajar.
c.
dasar alasan yang dibenarkan hukum meminta perseroan
membeli saham pemegang saham
Yaitu apabila pemegang saham tersebut tidak meyetujui
tindakan perseroan dan tindakan yang tidak disetujuinya itu, merugikan pemegang
saham atau perseroan, berupa tindakan:
1. perubahan AD;
2. pengalihan atau penjaminan kekayaan perseroan
yang mempunyai nilai lebih dari 50% (lima puluh persen) kekayaan bersih
perseroan;
3. penggabungan, peleburan, pengambilalihan,
atau pemisahan.
d. pembelian saham yang diminta
pemegang saham, tidak melebihi batas pembelian kembali saham oleh perseroan
Pasal
62 ayat (2) mengemukakan, apabila jumlah saham yang diminta pemegang saham
untuk dibeli perseroan melebihi 10% (sepuluh persern) dari jumlah modal yang
ditempatkan dalam perseroan maka yang dapat dibelinya hanya sampai batas tidak
melebihi 10% dari jumlah modal yang ditempatkan dalam perseroan. Selanjutnya
perseroan wajib mengusahakan agar sisanya dibeli oleh pihak ketiga.
Dalam Undang –
Undang No.40 Tahun 2007 di dalam pasal 1 Organ Perseroan
adalah Rapat Umum Pemegang Saham, Direksi, dan Dewan Komisaris. Salah satu
organ penting dalam sebuah perusahaan harus ada seorang Direksi yaitu Organ
Perseroan yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan Perseroan
untuk kepentingan Perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan serta
mewakili Perseroan, baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan
ketentuan anggaran dasar.
Jadi disatu pihak Direksi mempunyai tugas dan tanggung jawab dalam
hal pengurusan perseroan, dan dipihak lain Direksi berwenang mewakili
perseroan. Meski
pengurusan itu dijalankan Direksi sesuai dengan kebijakannya sendiri dengan
itikad baik dan penuh tanggung jawab, namun harus tetap dalam batas-batas yang
ditentukan Undang-Undang dan Anggaran Dasarnya. Dalam menjalankan pengurusan Perseroan, Direksi dapat
memberikan kuasa tertulis kepada karyawan Perseroan, atau kepada orang lain,
untuk melakukan perbuatan hukum tertentu atas nama Perseroan.
Sebagai pengurus Perseroan, Direksi
dapat mewakili Perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan. Kewenangan
itu dimiliki Direksi secara tak terbatas dan tak bersyarat, selama tidak
bertentangan dengan Undang-undang dan Anggaran Dasarnya serta Keputusan RUPS.
Jika anggota Direksi terdiri lebih dari satu orang, yang berwenang mewakili
Perseroan adalah setiap anggota Direksi, kecuali Anggaran Dasarnya menentukan
lain – misalnya Anggaran Dasar menentukan bahwa hanya Direktur Utama yang
berwenang.
Menurut Undang-undang, anggota
Direksi tidak berwenang mewakili Perseroan di pengadilan untuk sengketa yang
terjadi diantara Perseroan dan anggota Direksi yang bersangkutan. Ketidak berwenangan
mewakili itu juga berlaku apabila anggota Direksi yang bersangkutan mempunyai
benturan kepentingan dengan Perseroan. Dalam keadaan tersebut, yang berhak
mewakili Perseroan adalah anggota Direksi yang lainnya, atau jika seluruh
anggota Direksi mempunyai perbenturan kepentingan maka kewenangan itu
dilaksanakan oleh Dewan Komisaris..
Karena pengurusan Perseroan
merupakan tanggung jawab Direksi, maka Direksi bertanggung jawab pula terhadap
kerugian Perseroan yang diakibatkan oleh kesalahan atau kelaliannya
dalam menjalankan tugasnya. Anggota Direksi menanggung secara pribadi kerugian
tersebut – dalam hal Direksi terdiri dari 2 orang atau lebih maka tanggung
jawab itu berlaku secara tanggung renteng.
Anggota Direksi dapat terlepas dari
tanggung jawab kerugian itu jika mereka dapat membuktikan bahwa kerugian itu
bukan akibat kesalahan atau kelalaiannya, dan Direksi telah melakukan
pengurusan dengan itikad baik dan hati-hati, tidak mempunyai benturan
kepentingan, serta telah mengambil tindakan pencegahan. Pemegang saham, atas
nama Perseroan, dapat mengajukan gugatan melalui pengadilan terhadap anggota
Direksi yang karena kesalahan atau kelalaiannya itu menimbulkan kerugian
Perseroan.
Persyaratan Anggota Direksi
Bila memperhatikan peraturan yang
berlaku selama ini, maka tidak ada suatu ketentuan manapun yang mengatur
tentang persyaratan bagi seseorang yang hendak diangkat menjadi anggota
direksi, seseorang itu harus memenihi persyaratan yang telah ditentukan , yaitu
:
** Orang (perseorangan) yang mampu
melaksanakan perbuatan hokum, dan tidak pernah dinyatakan pailit, atau menjadi
anggota direksi atau komisaris yang dinyatakan bersalah menyebabkan suatu
perseroan dinyataka pailit, atau orang yang pernah dihukum karena melaksanakan
tindak pidana yang merugikan keuangan Negara.
Orang perseorangan disini
dimaksudkan adalah sebagai lawan atas kebalikan dari badan hukum. Sebab dimasa
lampau masih dimungkinkan untuk mengangkat “badan hokum” untuk menjabat sebagai
anggota direksi, selain memang dapat mengangkat natural person atau orang
perseorangan.
Mengenai pernyataan “tidak pernah dinyatakan pailit, atau menjadi
anggota direksi atau komisaris yang dinyatakan bersalah menyebabkan suatu
perseroan dinyataka pailit, atau orang yang pernah dihukum karena melaksanakan
tindak pidana yang merugikan keuangan Negara” , dalam hal ini undang –
undang memberikan batasan waktu yaitu dalam jangka waktu 5 tahun sebelum
pengangkatan. Bagi yang dinyatakan pailit atau bersalah maka waktu 5 tahun
tersebut dihitug sejak orang yang bersangkutan dinyatakan bersalah pada
kekuatan hokum yang tetap. Sedangkan yang melakukan tindak pidana yang meugikan
keuangan Negara, batas waktu 5 tahun dihitung sejak yang bersangkutan selesai
menjalani hukumannya.
Pengangkatan dan Pemberhentian Direksi
Orang yang dapat diangkat menjadi
anggota Direksi adalah orang perseorangan yang cakap melakukan perbuatan hukum.
Selain syarat umum tersebut, secara khusus undang-undang juga mengatur bahwa
seseorang tidak dapat diangkat menjadi anggota Direksi jika dalam waktu 5 tahun
sebelum pengangkatannya ia pernah dinyatakan pailit, menjadi anggota Direksi
atau Dewan Komisaris yang dinyatakan bersalah menyebabkan suatu Perseroan
dinyatakan pailit, atau dihukum karena melakukan tindak pidana yang merugikan
keuangan negara atau yang berkaitan dengan sektor keuangan.
Anggota Direksi diangkat oleh RUPS.
Pada saat pendirian, pengangkatan itu untuk pertama kalinya dilakukan oleh
Pendiri Perseroan dan dicantumkan dalam akta pendiriannya. Pengangkatan itu
dilakukan untuk jangka waktu tertentu dan setelahnya dapat diangkat kembali.
Anggaran dasar dapat mengatur tentang tata cara pengangkatan, penggantian, dan
pemberhentian anggota Direksi, termasuk tata cara pencalonannya. Keputusan RUPS
mengenai pengangkatan, penggantian, dan pemberhentian anggota Direksi juga
menetapkan saat mulai berlakunya pengangkatan, penggantian, dan pemberhentian
tersebut. Jika RUPS tidak menetapkannya, maka mulai berlakunya pengangkatan,
penggantian, dan pemberhentian anggota Direksi mulai berlaku sejak ditutupnya
RUPS.
Pengangkatan, penggantian, dan
pemberhentian anggota Direksi harus diberitahukan kepada Menteri Hukum dan HAM
– Departemen Hukum dan HAM. Pemberitahuan itu bertujuan agar perubahan anggota
Direksi dicatat dalam Daftar Perseroan. Dengan pencatatan tersebut, maka calon
anggota Direksi telah sah menjadi anggota Direksi, dan efektif dalam
menjalankan pengurusan Perseroan. Pemberitahuan itu dilakukan dalam jangka
waktu 30 hari sejak tanggal keputusan RUPS. Jika pemberitahuan itu belum
dilakukan, Menteri akan menolak setiap permohonan atau pemberitahuan yang
disampaikan kepada Menteri oleh Direksi yang baru – yang belum tercatat dalam
Daftar Perseroan.
a.
Pemberhentian
Sewaktu – waktu
Anggota Direksi dapat sewaktu –
waktu dapat diberhentikan berdasrakan keputusan RUPS dengan menyebutkan
alasannya setlah yang bersangkutan diberi kesempatan mmbela diri dalam RUPS.
Dengan demikian kedudukan sebagai anggota Direksi berakhir.
b.
Pemberhentian
sementara
Anggota Direksi juga dapat
diberhentikan untuk sementara waktu oleh Dewan Komisaris dengan menyebutkan
alasannya. Pemberhentian sementara itu diberitahukan secara tertulis kepada
anggota Direksi, dan anggota Direksi yang diberhentikan sementara itu tidak berwenang
melakukan tugas-tugasnya. Namun unntuk itu perlu diperhatikan sebagai berikut :
1. Dalam jangka waktu paling lambat 30
hari setelah tanggal pemberhentian sementara harus diselenggarakan RUPS. Dalam
RUPS anggota Direksi yang bersangkutan diberi kesempatan untuk membela diri.
Dalam hal RUPS menguatkan keputusan pemberhentian sementara, anggota Direksi
yang bersangkutan diberhentikan untuk seterusnya.
2. Ada dua kemunginan yang dapat
ditempuh dalam RUPS yaitu RUPS dapat mencabut keputusan pemberhentian sementara
tersebut atau memberhentikan anggota direksi yang bersangkutan.
3. Apabila dalam waktu 30 hari itu
telah lewat dan RUPS tidak juga diselenggarakan, atau RUPS tidak dapat
mengambil keputusan, pemberhentian sementara itu menjadi batal.
4. Dalam anggaran dasar diatur
ketentuan mengenai pengisian sementara jabatan direksi yang kosong, atau
apabila direksi diberhentikan untuk sementara atau berhalangan.
Tugas
dan Wewenang
Pembagian
tugas dan wewenang setiap anggota Direksi serta besar dan jenis penghasilannya
ditetapkan oleh RUPS. Namun dalam anggaran dasar dapat ditentukan bahwa
wewenang RUPS dilakukan oleh komisaris atas nama RUPS.
Kewajiban Direksi
Dalam menjalankan tugasnya melakukan
pengurusan Perseroan, Direksi wajib membuat Daftar Pemegang Saham, Daftar
Khusus, Risalah RUPS, dan
Risalah Rapat Direksi. Selain
dokumen-dokumen tersebut, Direksi juga berkewajiban membuat Laporan Tahunan Perseroan dan Dokumen Keuangan Perseroan, serta
memelihara seluruh daftar, risalah, dan dokumen keuangan itu. Direksi wajib memberikan
izin kepada pemegang saham untuk memeriksa dokumen-dokumen itu atas permohonan
tertulis. Dalam mengurus saham Perseroan, anggota Direksi wajib melaporkan
kepada Perseroan mengenai saham yang dimiliki anggota Direksi yang bersangkutan
dan keluarganya, untuk selanjutnya dicatat dalam Daftar Khusus.
Dalam mengurus harta kekayaan
Perseroan, Direksi wajib meminta persetujuan RUPS untuk mengalihkan kekayaan
tersebut atau untuk menjadikannya jaminan hutang. Kekayaan Perseroan yang wajib
mendapat persetujuan RUPS itu adalah kekayaan Perseroan yang terdiri lebih dari
50% jumlah kekayaan bersih Perseroan – baik dalam satu transaksi atau lebih,
baik yang berkaitan satu sama lain maupun tidak. Transaksi itu adalah transaksi
pengalihan kekayaan yang terjadi dalam jangka waktu satu tahun buku, atau bisa
juga jangka waktu yang lebih lama asalkan diatur dalam Anggaran Dasarnya.
Persetujuan RUPS tidak diperlukan
jika tindakan pengalihan atau penjaminan itu telah diatur dalam Anggaran
Dasarnya. Tindakan Direksi dalam mengalihkan atau menjaminkan kekayaan
Perseroan, meskipun dilakukan tanpa persetujuan RUPS dan tidak diatur dalam
Anggaran Dasarnya, tetap mengikat Perseroan sepanjang pihak lain dalam
perbuatan hukum itu beritikad baik.
Tanggung Jawab
Direksi Dalam Kepailitan
Dalam hal kepailitan, Direksi tidak
berwenang mengajukan permohonan pailit atas Perseroan sendiri kepada Pengadilan
Niaga sebelum memperoleh persetujuan RUPS. Undangn-undang PT telah
mensyaratkan, bahwa persetujuan untuk menyatakan pailitnya Perseroan harus
dengan persetujuan RUPS. Dalam hal kepailitan terjadi karena kesalahan atau
kelalaian Direksi, dan harta pailit tidak cukup untuk membayar seluruh
kewajiban Perseroan, maka setiap anggota Direksi secara tanggung renteng
bertanggung jawab atas seluruh kewajiban yang tidak terlunasi dari harta
pailit. Tanggung jawab tersebut juga berlaku terhadap anggota Direksi yang
salah atau lalai yang pernah menjabat sebagai anggota Direksi dalam jangka
waktu 5 tahun sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan. Anggota Direksi
dapat menghindar dari tanggung jawab kepailitan apabila dirinya dapat
membuktikan:
- Kepailitan
tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya.
- Anggota
Direksi telah melakukan pengurusan dengan itikad baik, kehati-hatian, dan
penuh tanggungjawab untuk kepentingan Perseroan dan sesuai dengan maksud
dan tujuannya.
- Anggota
Direksi tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak
langsung atas tindakan pengurusan yang dilakukannya.
- Anggota
Direksi telah mengambil tindakan untuk mencegah terjadinya kepailitan.
Usia Pensiun Direktur
Berbicara mengenai batas usia
seorang Direjtur, sebenarnya tidak ada ketentuan khusus utuk mengatur hal
tersebut. Undang – undang hanya memberikan persyaratan mengenai “siapa” yang
bias diangkat, dan bukan “usia berapa atau sampai usia berapa”.
Mengenai usia karyawan pada umumnya,
memang ada Keputusan Menteri Tenaga Kerja RI ( Kep.Men 02/1995 ) yang menngatur
tentang batas usia karyawan untuk pensiun. Dalam keputusannya diatur usia
pensiun sorang karyawan adalah usia 55 tahun. Jika memang mengacu pada Kep.Men
trsebut maka seorang Direktur harus pensiun pada usia 55 tahun atau maksimum 60
tahun. Namun dalam hal ini undang – undang tidak menegaskan ketetapan Kep Men
tersebut berlaku pada Direktur.
Bahwa pada hakikatnya seorang
Direktur diangkat untuk masa jabatan yang sudah ditetapkan jangka waktunya dan
masa jabatan direktur diatur dalam anggaran dasar perseroan. Hal ini juga
berlaku bagi seorang komisaris, karena seorang komisaris dan direksi diangkat berdasarkan
persyaratan yang sama.
Komisaris adalah
Organ perseorangan yang ber tugas melakukan pengawasan secara umum atau khussus
memberikan masihat kepda direksi dalam menjalan kan perseroan adalah komisaris
lebih lanjut mengenai tugas dan kewajiban komisaris adalah sbagai berikut.
Fungsi
komisaris
Komisaris seperti juga dan rapat
umum pemegang saham, merupakan organ perseroan.
Keberadaan
komisaris
Perseroan memiliki komisaris yang
wewenang dan kewajibannya ditetapkan dalam anggaran dasar perseroan.
Tugas
dan kewajiban komisaris
Komisaris
bertugas melakukan pengawasan secara umum dan atau khusus serta memberikan
nasehat kepada direksi dan menjalankan perseroan. Fungsi control dan pemberian
advis ini bias di jabarkan lebih lanjut sebagai berikut:
a.
Komisaris bertugas mengawasi kebijakan
direksi dalam menjalankan perseroan serta memberikan nasehat kepada direksi.
b.
Komisaris wajib dengan itikad baik dan
penuh tangung jawab menjalankan tugas untuk kepentingan dan usaha perseroan
(fiduciary duty).
c.
Komisaris wajib melaporkan kepada
perseroan mengenai kepemilikan sahamnya dan atau keluarganya (suami, istri atau
anak-anaknya) pada perseroan tersebut dan perseroan lainnya.
Pengangkatan dan pemberhentian
a.
Komisaris diangkat oleh RUPS untuk
jangka waktu tertentu dengan kemungkinan diangkat kembal. Untuk pengkatan
komisaris dilakukan dengan mencantumkan susunan, nama lengkap,tanggal lahir,
pekerjaan, tempat tinggal, dan kewarga negaraan komisaris dengan akta pendirian
b.
Anggota komisaris dapat dihentikan
sementara oleh RUPS dengan membritahukan secara tertulis kepada anggota
komisaris yang bersangkutan.
c.
Anggota komisaris yang diberhentikan
sementara tersebut tidak berwenang melakukan tugasnya.
d.
Dalam waktu lambat 30 (tiga pluh) hari
setelah pemberitahuan sementara, harus diadakan RUPS dan anggota komisaris yang
bersangkutandiberi kesempatan untuk membela diri.
e.
RUPS dapat mencabut keputusan
pemberhentian sementara tersebut atau memberhentikan anggota komisaris yang
bersangkutan.
f.
Apabila dalam waktu 30(tiga puluh) hari
tidak adakan RUPS sebagai mana disebutkan di atas pemberitahuan sementara
tersebut batal.
g.
Anggota komisaris yang dapat
sewaktu-waktu yang dapat diberhentikan berdasarkan keputusan RUPS dengan
menyebutkan alasannya, sehingga setelah yang bersangkutan diberi kesempatan
untuk membela diri dalam RUPS.
h. Dengan
keputusan tersebut makakedudukannya sebagai anggota komisaris berakhir.
Kualifikasi
atau Persyaratan
Orang yang dapat di angkat
menjadi komisaris harus memenuhi
persyaratan sebagai berikut;
a. Orang
perseorangan.
b. Yang
mampu melakukan perbuatan hukum, dan
c. Tidak
pernah :
-
Dinyatakan pailit, atau
-
Menjadi anggota direksi atau komisaris
yang dinyatakan bersalah menyebabkan suatu perseroan dinyatakan failit, atau
-
Dihukum karna melakukan tindak pidana
yang mengigatkan keuangan Negara, dalam jangka waktu 5lima) tahun sebelum
pengangkatan, terhitung sejak yang bersangkutan dinyatakan pailit atau bersalah
penyebab perseroan pailit atau apabila dihukum terhitung sejak dia menjalani
hukuman.
Anggaran
dasar perseroan
a.
Ditetapkan wewenang dan kewajiban.
b.
Diatur tata cara pencalon, pengangkatan
dan pemberhentian komisaris tanpa mengurangi hak pemegang saham dan pencalonan.
c. Dapat
di atur dan didasarkan pada keputusan RUPS,
komisaris dapat melakukan tindakan pengurusan perseroan dalam keadan tertentu
untk jangka waktu tertentu.
Gugatan
terhadap komisaris
Atas
nama perseroan , pemegang saham yang mewakili paling sedikit 1/10
(satupersepuluh) bagian dari seluruh saham dengan hak suara yang sah, dapat
mengajukan gugatan ke Pengadilan Negri terhadap Komisaris yang karna kesalahan
atau kekalahannya menimbulkan kerugian kepada perseroan, dan ini tercantum
dalam Pasal 98 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1995 tentang Undang-Undang perseroan
Terbatas.
RUPS atau Rapat
Umum Pemegang Saham merupakan organ perseroan yang memegang kekuasaan tertinggi
dan memgang segala wewenang yang tidak diserahkan kepada direksi dan komisaris.
RUPS adalah rapat yang diselenggarakan oleh direksi perseroan setiap tahun dan
setiap waktu berdasarkan kepentingan perseroan, ataupun atas permintaan
pemegang saham sesuai dengan ketentuan Anggaran Dasar.
1.
Hak dan Wewenang RUPS
a. Memiliki
segala wewenang yang tidak diberikan kepada direksi dan komisaris dalam batas
yang ditentukan oleh UU no. 1 tahun 1995 dan atau anggaran dasar.
b. Berhak
memperoleh segala keterangan yang berkaitan dengan kepentingan perseroan dari
direksi dan komisaris.
2.
Kedudukan dan Tempat RUPS Diadakan
a. Tempat
kedudukan perseroan adalah tempat dimana kantor pusatnya berada atau tempat
perseroan melakukan kegiatan usahanya.
b. RUPS
diadakan di tempat kedudukan perseroan. Dalam Anggaran Dasar dapat ditetapkan
bahwa RUPS dapat dilakukan diluar tempat kedudukan perseroan atau kecuali ditentukan
lain dalam Anggaran Dasar tetapai harus terletak di wilayah Republik Indonesia.
3.
Macam – Macam RUPS
a. RUPS
terdiri dari RUPS tahunan dan RUPS lainnya.
b. RUPS
tahunan diadakan dalam waktu paling lambat 6 (enam) bulan setelah tahun buku,
dan dalam RUPS tahun tersebut harus diajukan semua dokumen perseroan.
c. RUPS
lainnya dapat diadakan sewaktu-waktu berdasarkan kebutuhan, yang juga biasa
disebut Rapat Umum Luar Biasa Pemegang Saham.
4.
Penyelenggaraan RUPS
a. Direksi
adalah sebagai penyelenggara RUPS.
b. Direksi
menyelenggarakan RUPS tahunan dan untuk kepentingan perseroan berwenang
menyelenggarankan RUPS lainnya, atau dapat juga dilakukan atas permintaan satu
pemegang saham atau lebih yang bersama-sama mewakili 1/10 bagian dari jumlah
seluruh saham dengan hak suara yang sah, atau suatu jumlah yang lebih kecil
sebagaimana ditentukan dalam Anggaran Dasar perseroan yang bersangkutan. Permintaan
pemegang saham tersebut diajukan kepada direksi atau komisaris dengan surat
tercatat disertai alasannya. Dan RUPS seperti itu hanya dapat membicarakan
masalah yang berkaitan alasan yang diajukan tersebut.
5.
Peran Pengadilan Negeri
Ketua Pengadilan
Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan perseroan dapat
memberikan izin kepada pemohon untuk:
a. Melakukan
sendiri pemanggilan RUPS tahunan atas permohonan pemegang saham, apabila
Direksi atau Komisaris tidak menyelenggarakan RUPS tahunan pada waktu yang
telah ditentukan; atau
b. Melakukan
sendiri pemanggilan RUPS lainnya, atas permohonan pemegang saham yang secara
bersama-sama mewakili 1/10 bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara
yang sah, atau suatu jumlah yang lebih kecil sebagaimanan ditentukan dalam
Anggaran Dasar Perseroan yang bersangkutan, apabila Direksi atau Komisaris
setelah lewat waktu 30 hari terhitung sejak permintaan tidak memanggil RUPS
lainnya.
Pengadilan Negeri dalam hal tersebut diatas dapat
menetapkan bentuk, isi dan jangka pemanggilan RUPS serta menunjuk ketua rapat
tanpa terikat kepada ketentuan UU No. 1 Tahun 1995 atau Anggaran Dasar. Dalam
hal RUPS diselenggarakan sebagaimana disebutkan diatas, Ketua Pengadilan Negeri
dapat memerintahkan Direksi dan atau KOmisaris untuk hadir. Ketetapan Ketua
Pengadilan Negeri mengenai pemberian izin tersebut diatas merupakan penetapan
instansi pertama dan terakhir, yang dimaksudkan agar pelaksanaan RUPS tidak
tertunda.
6.
Kuasa Menghadiri RUPS
Pemegang
saham dengaan hak suara yang sah baik sendiri maupun dengan kuasa tertulis
berhak menghadiri RUPS dan menggunakan hak suaranya. Dalam pemungutan suara
anggota Direksi, anggota Komisaris, dan karyawan perseroan yang bersangkutan
dilarang bertindak sebagai kuasa dari pemegang saham tersebut diatas.
7.
Hak Suara dalam RUPS
Setiap
saham yang dikeluarakan oleh perseroan mempunyai satu hak suara kecuali
Anggaran Dasar menentukan lain. Sejalan dengan ketentuan tentang saham yang
menyatakan bahwa perseroan dapat mengeluarkan satu atau lebih klasifikasi
saham, maka dimungkinkan untuk diberikan atau tidaknya hak suara kepada saham
yang diterbitkan, termasuk dalam hal ini variasi dari hak suara itu sendiri.
Dalam hal Anggaran Dasar tidak menentukan lain mengenai hal tersebut, maka
dapat dianggap bahwa setiap saham yang dikeluarkan memiliki satu hak suara
sebagaimana disebutkan dalam pasal 72 ayat (1) UUPT.
Saham
pereroan yang dimiliki perseroan itu sendiri tidak mempunyai hak suara. Dengan
ketentuan ini maka saham perseroan yang dimiliki oleh perseroan tersebut baik
secara langsung maupun tidak langsung, tidak mempunyai tidak memiliki hak suara
dan tidak dihitung dalam penentuan kuorum.saham perusahaan yang dimiliki oleh
anak perusahaannya juga tidak mempunyai hak suara.
8.
Korum untuk RUPS
“Kuorum”
adalah jumlah mininmum anggota yang harus hadir dalam rapat, agar dapat
mengesahkan suatu putusan (to make it valid). RUPS dapat dilangsungkan apabila
dihadiri oleh pemegang saham yang mewakili lebih dari ½ bagian dari jumlah
seluruh saham dengan hak suara yang sah kecuali UUPT dan atau Anggaran Dasar
menentukan lain. Penyimpangan atas ketentuan tersebut hanya dimungkinkan dalam
hal yang ditentukan oleh UUPT.
Anggaran
Dasar tidak boleh menentukan kuorum yang lebih kecil dari kuorum yang
ditentukan oleh UUPT. Dalam hal kuorum atau jumlah anggota yang menghadiri
rapat tidak memenuhi ketentuan, maka diadakan pemanggilan RUPS kedua. Karena
panggilan RUPS ini sebagai akibat dari tidak tercapainya kuorum dalam RUPS
pertama, maka acara RUPS kedua harus sama dengan acara RUPS pertama dan
pemanggilan harus dilakukan pailing lambat 7 hari sebelum RUPS kedua
diselenggarakan.
RUPS
kedua diselenggarakan paling cepat 10 hari dan paling lambat 21 hari dari RUPS
pertama. Dan RUPS kedua sah dan berhak mengambil keputusan apabila dihadiri
oleh pemegang saham yang mewakili paling sedikit 1/3 bagian dari jumlah seluruh
saham dengan hak suara yang sah. Apabila kuorum RUPS kedua juga tidak tercapai,
maka atas permohonan perseroan kuorum ditetapkan oleh Pengadilan Negeri. Bila
Ketua Pengadilan Negeri berjalangan, maka penetapan dilakukan oleh pejabat lain
yang mewakili Ketua.
9.
Keputusan RUPS
Keputusan
RUPS diambil berdasarkan musyawarah untuk mufakat. Apabila hal tersebut tidak
tercapai, maka keputusan diambil berdasarkan suara terbanyak biasa dari jumlah
suara yang dikeluarkan secara sah kecuali UUPT dan atau Anggaran Dasar
menentukan bahwa keputusan harus diambil berdasarkan suara yang lebih besardari
suara terbanyak.
Pada
dasarnya keputusan RUPS harus dicapai melalui musyawarah untuk mifakat. Apabila
setelah diusahakan agar supaya demikian, namun musyawarah untuk mufakat juga
tidak bias tercapai maka keputusan RUPS dapat diambil melalui pemungutan suara
dengan suara terbanyak. Secara umum suara terbanyak yang diperlukan adalah
suara terbanyak biasa, yaitu jumlah suara lebih banyak dari kelompok suara
lain, tanpa harus mencapai jumlah yang lebih dari setengah, dari keseluruhan
suara dalam pemungutan suara tersebut.
Namun
demikian dalam hal-hal tertentu keputusan RUPS yang berkaitan dengan sesuatu
yang sangat mendasar bagi keberadaan, keberlangsungan, atau sifat dari suatu
perseroan, UUPT, atau Anggaran Dasar dapat menetapkan suara terbanyak yang
lebih besar dari suara terbanyak biasa, yaitu suara terbanyak mutlak (absolute
majority) atau suara terbanyak khusus (qualified/special majority). Suara
terbanyak mutlak adalah suara terbanyak yang lebih dari 1/2 dari seluruh junlah
suara dalam pemungutan suara tersebut. Sedangkan suara terbanyak khusus adalah
suara terbanyak yang ditentukan secara pasti jumlahnya seperti 2/3, 3/4, 3/5
dan sebagainya.
Keputusan
RUPS untuk mengubah Anggaran Dasar sah apabila dihadiri oleh pemegang saham
yang mewakili paling sedikit 2/3 bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak
suara yang sah dan disetujui paling sedikit 2/3 bagian dari seluruh dari jumlah
tersebut. Apabila kuorum yang dimaksudkan tersebut tidak tercapai dalam RUPS
kedua, keputusan sah apabila dihadiri 2/3 bagian dari jumlah seluruh saham
dengan hak suara yang sah dan disetujui oleh suara terbanyak dari jumlah suara
tersebut.
Dalam
hal penggabungan, peleburan, pengambilalihan, kepailitan, dan pembubaran
perseroan, keputusan RUPS sah apabila dihadiri oleh pemegang saham yang
mewakili paling sedikit ¾ bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara
yang sah dan disetujui oleh paling sedikit ¾ bagian dari jumlah suara tersebut.
Keputusan
RUPS untuk mengalihkan atau menjadikan jaminan utang, seluruh atau sebagian
besar kekayaan perseroan, sah apabila dihadiri oleh pemegang saham yang
mewakili paling sedikit ¾ bagian jumlah seluruh saham dengan hak suara yang sah
dan disetujui oleh paling sedikit ¾ bagian dari seluruh jumlah suara tersebut.
Setiap
penyelenggaraan RUPS wajib dibuat risalah dan dibubuhi tanda tangan ketua rapat
dan paling sedikit satu orang pemegang saham yang ditunjukan dari dan oleh
RUPS. Maksud pembuatan risalah dengan penandatangannan tersebut dimaksudkan
dalah untuk menjamin kepastian dan kebenaran isi risalah tersebut. Isi risalah
RUPS tersebut dibuat oleh Notaris maka kewajiban untuk menandatangani
sebagaimana yang dimaksudkan di atas tidak diperlukan. diambil dengan cara lain
dari rapat, yaitu keputusan yang diambil dengan cara mengirimkan secara
tertulis usul yang akan diputuskan kepada semua pemegang saham dan keputusan
ini hanya sah apabila semua pemegang saham menyetujui secara tertulis cara
pengambilan keputusan dan usul tersebut. Perlu diperhatikan bahwa “cara lain”
ini tidak berlaku bagi perseroan yang mengeluarkan saham atas tunjuk. Apabila
Anggaran Dasar tidak mengatur ketentuan seperti dimaksud tersebut, keputusan
dapat diambil apabila semua pemegang saham dengan hak suara yang sah telah
menyetujui secara tertulis baik mengenai cara maupun keputusan yang diambil.
Pemanggilan
RUPS
Untuk menyelenggarakan RUPS, Direksi melakukan
pemanggilan kepada pemegang saham. Dalam hal-hal tertentu yang ditetapkan dalam
Anggaran Dasar, pemanggilan RUPS dapat dilakukan oleh Komisaris.
Pemanggilan RUPS adalah kewajiban Direksi. Namun
dalam hal Direksi berhalangan atau terdapat pertentangan kepentingan antara
Direksi dan Perseroan, pemanggilan RUPS dapat dilakukan oleh Komisaris.
Ketentuan yang
harus dipenuhi dan hal-hal yang patut memperoleh perhatian dalam pemanggilan
adalah sebagai berikut:
a. Pemanggilan
RUPS dilakukan dengan surat tercatat paling lambat 14 hari sebelum RUPS
diadakan. Maksudnya ialah untuk memastikan bahwa panggilan telah dilakukan dan
ditujukan ke alamat pemegang saham. Pemanggilan RUPS untuk Perseroan Terbuka
dilakukan dalam dua surat kabar harian.
b. Dalam
pemanggilan RUPS dicantumkan tanggal, waktu, tempat, dan acara rapat disertai
pemberitahuan bahwa bahan yang akan dibicarakan dalam RUPS tersedia di kantor
perseroan sejak hari pemanggilan RUPS dilakukan sampai dengan hari RUPS
diadakan dan perseroan wajib memberikan salinan bahan yang akan dibicarakan
kepada pemegang saham secara cuma-Cuma.
c.
Apabila waktu dan cara pemanggilan tidak
sesuai dengan ketentuan, keputusan tetap sah asalkan RUPS dihadiri oleh seluruh
pemegang saham dengan hak suara yang sah dan disetujui dengan suara bulat.
Untuk Perseroan
Terbuka, sebelum pemanggilan RUPS dilakukan, wajib didahului dengan pengumuman
mengenai akan diadakan pemanggilan RUPS dalam dua surat kabar harian dengan
maksud untuk memberikan kesempatan kepada pemegang saham untuk menyampaikan
usul penambahan acara RUPS kepada Direksi dan pengumuman tersebut dilakukan
paling lambat 14 hari sebelum pemanggilan RUPS.
Laporan tahunan
merupakan laporan perkembangannya dan pencapaian yang berhasil diraih organisasi
dalam setahun. Data dan informasi yang akurat menjadi kunci penulisan laporan
tahunan. Isi dari laporan tahunan tersebut mencakup laporan keuangan dan
prestasi akan kinerja organisasi selama satu tahun.
Fungsi
Laporan Tahunan
Terdapat beberapa fungsi mendasar dari sebuah
laporan tahunan yang dibuat oleh masing-masing perusahaan, yaitu sumber dokumentasi informasi
perusahaan tentang apa yang telah dicapai perusahaan selama setahun, sebagai
alat pemasaran
yang
kreatif bagi
perusahaan melalui integritas desain dan tulisan, menambah daya tarik perusahaan
di mata konsumen,
sebagai dokumen lengkap yang menceritakan secara mendetail kinerja perusahaan,
beserta dengan neraca rugi laba perusahaan dalam
setahun, serta memberikan gambaran mengenai tugas dan pekerjaan masing-masing
bidang.
Pedoman
Penulisan Laporan Tahunan
Penulisan laporan tahunan bukanlah sebuah proses yang mudah, melainkan memerlukan waktu yang cukup lama. Laporan tahunan
ini biasa ditulis oleh seorang praktisi humas yang mengetahui secara rinci
kinerja organisasi. Terdapat beberapa acuan penulisan laporan tahunan yaitu:
- Disusun secara objektif. Pesan yang disusun digunakan
untuk membangun kesadaran publik akan
perkembangan suatu perusahaan.
- Disusun dan ditulis dalam bentuk majalah berita dengan
disertai foto yang
mengkilap dan desain yang menarik.
- Evaluasi atas laporan tahunan sebelumnya menjadi dasar
untuk penulisan laporan tahunan selanjutnya
- Dilengkapi dengan fakta dan data-data statistik untuk
menggambarkan keadaan perusahaan secara lebih detail.
Tahapan
Laporan Tahunan
Penulisan laporan tahunan bukanlah sebuah proses yang mudah, melainkan memerlukan waktu yang cukup lama. Laporan tahunan
ini biasa ditulis oleh seorang praktisi humas yang mengetahui secara rinci
kinerja organisasi .Terdapat beberapa acuan penulisan laporan tahunan yaitu:
- Disusun secara objektif. Pesan yang disusun digunakan
untuk membangun kesadaran publik akan
perkembangan suatu perusahaan.
- Disusun dan ditulis dalam bentuk majalah berita dengan
disertai foto yang
mengkilap dan desain yang menarik.
- Evaluasi atas laporan tahunan sebelumnya menjadi dasar
untuk penulisan laporan tahunan selanjutnya.
- Dilengkapi dengan fakta dan data-data statistik untuk
menggambarkan keadaan perusahaan secara lebih detail.
Kelebihan
dan Kelemahan Laporan Tahunan
Kelebihan
laporan tahunan yang dibuat secara lengkap dan didesain secara menarik akan
menjadi sebuah dokumen yang sangat efektif untuk menginformasikan sekaligus mempromosikan
perusahaan tersebut kepada publik sasaran, sedangkan kelemahan dari laporan tahunan
yang berbentuk seperti buku dan tebal seringkali membuat
publik sasaran enggan untuk membaca keseluruhan laporan tahunan tersebut.
Sumber
Buku
Nadapdap,
Binoto, SH.MH., 2009, Hukum Perseroan
Terbatas, cetakan 1, Jakarta: Jala Permata Aksara.
Widjaya,
I.G.Rai, 2002, Hukum Perusahaan,
cet.ke-2, Jakarta: Kesaint Blanc.
Khaerandy,
Ridwan, 1999, Pengantar Hukum Dagang
Indonesia I, cet.ke-4, Yogyakarta: Gama Media
Purwosutjipto,
H.M.N, 1983, Pengertian Pokok Hukum
Dagang Indonesia I, cet.ke-3, Jakarta: Djambatan
Sulaiman,
Robintan, 2001, Otopsi Kejahatan Bisnis,
cet ke-1, Jakarta: PT. Delta Citra Grafindo
Kosidin,
Koko, 1999, Perjanjian Kerja Perjanjian
Perburuhan dan Peraturan Perusahaan, cet.ke-1,
Harahap, M. Yahya, 2009, Hukum Perseroan Terbatas. Jakarta: Sinar Grafika.
Hasyim, Farida, 2009, Hukum Dagang. Jakarta: Sinar
Grafika.
Kansil,C.C.T
dan Christine Kansil, 1995, Hukum
Perusahaan Indonesia (Aspek Hukum dalam Ekonomi). Jakarta: Pradnya
Paramita.
Hasyim, Farida. 2009. Hukum Dagang. Jakarta: Sinar Grafika.
Muhammad, Abdulkadir, 1999, Hukum Perusahaan Indonesia. Bandung:
Citra Aditya Bakti.
Redaksi
Kepustakaan Populer Gramedia (KPG).2010. Hatta
Jejak yang Malampaui Zaman dalam Seri Buku Tempo: Bapak Bangsa. Jakarta: Gramedia.
Rido,
R. Ali. 2004. Badan Hukum dan Kedudukan
Badan Hukum Perseroan, Perkumpulan, Koperasi,
Yayasan, dan Wakaf. Edisi Kedua. Cetakan Kedua. Bandung: Alumni.
Ritonga,
dkk. 2004. Ekonomi SMA untuk Kelas X.
Jakarta: Erlangga.
Riswandi, Budi Agus dan M.
Syamsudin. 2004. Hak Kekayaan Intelektual
dan Budaya Hukum. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Harahap,M. Yahya. 1996. Tinjauan Merek Secara Umum dan Hukum Merek di Indonesia Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1992, Bandung: Citra Aditya Bakti.
Gautama, Sudargo dan Rizawanto Winata. 1987. Himpunan Keputusan Merek Dagang.
Bandung: Alumni.
Sumber Peraturan Perundang-Undangan
Indonesia,
Undang-Undang Dasar 1945.
Indonesia,
Undang-Undang No.25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian.
Indonesia, Undang-Undang
No.16 Tahun 2001 tentang Yayasan.
Indonesia,
Undang-Undang No.28 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No.16 Tahun 2001
tentang Yayasan.
Indonesia,
Undang-Undang No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
Indonesia,
Peraturan Pemerintah No.4 tahun 1994 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pengesahan Akta Pendirian dan Perubahan
Anggaran Dasar Koperasi .
Indonesia, Peraturan Pemerintah No.17 Tahun 1994 tentang Pembubaran
Koperasi oleh Pemerintah.
Indonesia, Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 1995 tentang Pelaksanaan
Kegiatan Usaha Simpan Pinjam oleh Koperasi.
Indonesia, Peraturan Pemerintah No.33 Tahun 1998 tentang Modal Penyertaan
pada Koperasi.
Indonesia, Peraturan Pemerintah No.63 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan
Undang-Undang tentang Yayasan.
Sumber Internet
Pasal 1 ayat (1) PP No.4 Tahun
1994 tentang Persyaratan dan Tata cara Pengesahan Akta Pendirian dan Perubahan
Anggaran Dasar Koperasi: “Akta Pendirian Koperasi adalah akta perjanjian yang
dibuat oleh para pendiri dalam rangka pembentukan Koperasi, dan memuat anggaran
dasar Koperasi.”
Modal penyertaan berdasarkan pasal 1 ayat
(1) PP No.33 Tahun 1998 tentang Modal Penyertaan pada Koperasi adalah Modal Penyertaan adalah sejumlah uang atau
barang modal yang dapat dinilai dengan uang yang ditanamkan oleh Pemodal untuk menambah
dan memperkuat
struktur permodalan koperasi dalam meningkatkan kegiatan usahanya.
(1) Jumlah
kekayaan awal Yayasan yang didirikan oleh Orang Indonesia, yang berasal dari
pemisahan harta kekayaan pribadi pendiri, paling sedikit senilai
Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).
(2) Jumlah
kekayaan awal Yayasan yang didirikan oleh Orang Asing atau Orang Asing bersama
Orang Indonesia, yang berasal dari pemisahan harta kekayaan pribadi pendiri,
paling sedikit senilai Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah)