Ikomatussuniah,
SH., MH
Dosen Fakultas Hukum Universitas Sultan
Ageng Tirtayasa
Jl. Raya Jakarta Km. 04 Pakupatan-Serang
ikomatussuniah-design.blogspot.com
PENDAHULUAN
Kedaulatan Pangan merupakan isu utama
untuk mencapai kesejahteraaan. Kesejahteraan yang terkonsep dalam tujuan Negara
welfarestate di Indonesia termaktub
dalam alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
1945. Berdasarkan Undang-Undang Pangan, Kedaulatan Pangan adalah hak negara dan
bangsa yang secara mandiri menentukan kebijakan Pangan yang menjamin hak atas
Pangan bagi rakyat dan yang memberikan hak bagi masyarakat untuk menentukan sistem
Pangan yang sesuai dengan potensi sumber daya lokal. Dalam memproduksi pangan
Negara harus mampu memproduksi pangan yang beraneka ragam dari dalam negeri
yang dapat menjamin pemenuhan kebutuhan pangan yang cukup sampai ditingkat
perseorangan dengan memanfaatkan potensi sumber daya alam, manusia, sosial,
ekonomi dan kearifan lokal. Keadaan
ideal yang dicita-citakan dalam ketentuan peraturan-perundang-undangan, pada
tataran implementasi belum dapat terlaksana dengan baik. Potensi sumber daya
alam, manusia, sosial, ekonomi dan kearifan lokal belum tergali dan
dimanfaatkan secara maksimal. Ketika terbentur oleh suatu permasalahan tentang
pengadaan kebutuhan pangan, gejala letargi dalam pemenuhan kebutuhan pangan terjadi.
Keadaan ini mengakibatkan gejolak stabilitas ketersediaan pangan, sehingga
harga menjadi tidak menentu dan tidak ada kepastian. Hal ini tentu saja membuat
rakyat resah dan tidak nyaman.
LETARGI
HARGA PANGAN
Letargi merupakan suatu keadaan dimana
terjadi penurunan kesadaran dan pemusatan perhatian dan kesiagaan, Pada saat
mengalami letargi, penderita mungkin akan mengalami kebingungnan yang disertai
dengan mengigau, tetapi masih mempunyai sedikit kemampuan untuk berkomunikasi (https://id.wikipedia.org/wiki/Letargi).
Penelitian sosiologi menyoroti gejala letargi sebagai bentuk-bentuk perilaku sosial
di dalam masyarakat di mana apati meluas dan banyak orang menjadi tidak
produktif, serba putus asa, tanpa gairah (Robertus Robert, Opini Kompas
04/08/2016).
Harga pangan merupakan salah satu
patokan kestabilan kesejahteraan di masyarakat. Jika harga pangan stabil, maka
kesejahteraan masyarakat dalam pemenuhan kebutuhan pokoknya dapat terpenuhi
dengan baik. Di Indonesia harga pangan selalu fluktuatif, khususnya fluktuasi
harga akan terjadi pada hari-hari besar keagamaan, dan ini berdampak pada perekonomian
dalam negeri (http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2016/06/06/155929026/indef.cuma.di.indonesia.harga.pangan.selalu.naik.jelang.hari.raya,
10/08/2016). Komoditas yang mengalami fluktuasi tepatnya kenaikan harga antara
lain beras, telur ayam, bawang merah, cabe merah, daging ayam, daging sapi. Hal
ini memang tejadi karena banyaknya permintaan dari konsumen untuk memenuhi
kebutuhan perayaan hari besar keagaamaan. Kenyataannya semakin banyak
permintaan maka penawaran akan semakin tinggi. Dalam kondisi ini pedagang
mengambil kesempatan untuk mendapat keuntungan sebaik mungkin.
Kompas
09/02/2016, mengabarkan bahwa khusus tentang beras, krisis beras di Indonesia
terjadi menjelang Mei 1998. Masyarakat khawatir beras akan hilang dari
peredaran di pasar. Beberapa pengamat politik dalam dan luar negeri berpendapat
bahwa krisis beras menjadi salah satu faktor penentu jatuhnya Presiden Soekarno
dan Presiden Soeharto. Kekhawatiran masyarakat atas krisis berat di awal
Februari 1998 membuat Menteri Koordinator Produksi dan Distribusi Kabinet
Pembangunan VI Hartato Sastrosoenarto serta Kepala Badan Urusan Logistik
(Kabulog) Beddu Amang dipanggil Presiden Soeharto ke tempat kediamannya. Kepada
wartawan, Hartato dan Beddu Amang membantah bahwa stok beras di Bulog sudah
habis. Kalaupun persediaan tidak cukup akan segera impor keluar negeri.
Pernyataan ini merupakan pemicu letargi dalam pemenuhan kebutuhan pangan.
Kabulog juga menekankan, pihak swasta diperkenankan untuk mengimpor beras,
gula, kedelai dan tepung terigu dengan bebas.
Pemerintahan Soeharto menginginkan stok beras tetap menjadi tanggung
jawab Bulog. Setelah Soeharto lengser, Indonesia memasuki masa reformasi. Soeharto
mendapat penghargaan dari Perserikatan Bangsa-Bangsa bidang swasembada pangan
pada tahun 1980-an.
Pemerintahan saat ini mencanangkan
swasembada beras seperti halnya pada era Soeharto. Akan tetapi sempat terjadi
impor. Impor merupakan ciri letargi harga pangan, dimana dalam pemenuhan
kebutuhan pangan ternyata masih terkendala ketidaksiapan dan ketidaksiagaan
stakeholder, sehingga ditempuh jalur cepat melalui impor yang tentu saja sudah
menjadi rahasia umum, ini menjadi “proyek” bagi segelintir oknum. Ketidaksiapan
dan ketidaksiagaan terhadap permasalahan yang sebenarnya selalu berulang di
setiap tahun, mengakibatkan kerugian bagi kesejahteraan rakyat. Dengan impor,
produktivitas menjadi lemah, pasar tidak bergairah dan ini merupakan tanda
putus asa untuk dapat melakukan swasembada. Saat ini banyak yang tidak
produktif baik dalam sumber daya alam dan atau sumber daya manusia dalam
mengelola ketersediaan pangan. Keadaan Letargi pangan dimana terjadi keadaan
yang tidak menentu dan mengakibatkan ketidaksiapan serta ketidaksiagaan harga
pangan untuk dapat diakses oleh seluruh lapisan masyarakat. Hal ini menimbulkan
gejolak harga pangan dan ketahanan pangan dipertanyakan.
PENUTUP
Letargi harga pangan yang menjadi
fenomena sekarang ini merupakan ekses dari kebijakan pemerintah dari periode ke
periode. Ketahanan pangan merupakan pekerjaan yang sangat besar bagi pemerintah
dan seluruh stakeholder. Niat baik dan tindakan nyata pemangku kebijakan dalam
pengaturan pangan dari tingkat pusat sampai daerah, dapat menciptakan
kestabilan harga pangan sehingga kesejahteraan dapat terwujud. Regulasi yang jelas, tindakan pemerintah yang
nyata, pengusaha yang bijak dan masyarakat yang produktif serta penegakan hukum
yang konkrit akan menciptakan kesatabilan harga pangan.