Politik Hukum Lingkungan
Sejarah dan perkembangan politik hukum di Indonesia
dimulai pada saat diproklamirkannya kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal
17 Agustus 1945 oleh sang proklamator Ir. Soekarano dan Muh. Hatta. Dari kemerdekaan
itulah mulai dijalankannya suatu roda pemerintahan dengan menciptakan hukum
–hukum yang baru yang terlepas dari hukum-hukum para penjajah yang selama
hampir 3,5 abad menjajah negeri ini.
Hukum dalam pengertiannya sebagai
kaidah-kaidah yang berlaku tidaklah lahir begitu saja akan tetapi memerlukan
suatu proses pembentukan hukum, hukum itu adalah suatu produk politik yang
berasal dari kristalisasi kehendak-kehendak politik yang saling berinteraksi
serta bersaing.
Karena hukum berasal dari suatu proses politik
didalamnya maka demi menjaga kerangka cita hukum ( rechtside ) perlu adanya suatu acuan yakni Politik Hukum. Pengertian politik hukum sebagai ilmu studi ( ilmu
politik hukum ) adalah studi tentang kebijakan hukum dan latar belakang poltik
dan lingkungan yang nantinya mempengaruhi lahirnya hukum itu sendiri.
Kebijaksanaan disini
tentang menentukan bagian aspek-aspek mana yang diperlukan dalam pembentukan
hukum. Pembentukan hukum dalam suatu sistem hukum sangat
ditentukan oleh konsep hukum yang dianut oleh suatu masyarakat hukum, juga
oleh kualitas pembentuknya. Proses ini berbeda pada setiap kelas masyarakat.
Dalam masyarakat sederhana, pembentukannya
dapat berlangsung sebagai proses penerimaan terhadap kebiasaan-kebiasaan hukum
atau sebagai proses pembentukan atau pengukuhan kebiasaan yang secara langsung
melibatkan kesatuan-kesatuan hukum dalam masyarakat itu. Dalam
masyarakat Eropa Kontinental pembentukan hukum dilakukan oleh badan legislatif. Sedangkan dalam
masyarakat common law (Anglo saxon) kewenangan terpusat pada
hakim. Negara Indonesia sebagai Negara
hukum, konsep hukumnya mengikuti Eropa Kontinental, dimana pembentukan hukumnya
dilakukan oleh badan legislative (DPR). Landasan Juridis pemberian kewenangan
kekuasaan pembentukan undang-undang kepada badan legislative didasarkan pada pertama : “DPR
memegang kekuasaan membentuk undang-undang” ,“setiap RUU dibahas oleh DPR dan Presiden untuk
mendapatkan persetujuan bersama” serta “Dalam
hal rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama tersebut tidak
disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak rancangan undang-undang
tersebut disetujui rancangan undangundang tersebut sah menjadi undangundang
dan wajib diundangkan”. adalah UU No. 12 tahun 2011 tentang peraturan pembentukan
perundang-undangan sebagi landasan yuridis kedua. Kewenangan DPR dalam pembentukan
undang-undang diatur dalam BAB IV tentang “perencanaan penyusunan
undang-undang” dan BAB V tentang “pembentukan peraturan perundang-undangan”.
Kembali pada sejarah politik hukum di Indonesia dari
awal kemerdekaan hingga sampai saat ini yang mengalami beberapa periode serta
era kepemimpinan yang berkuasa didalamnya ternyata
telah terjadi tolak tarik atau dinamika antara konfigurasi politik otoriter
(nondemokratis). Demokrasi dan Otoriterisme muncul secara bergantian dengan
kecenderungan linier disetiap periode pada konfigurasi otoriter. Sejalan dengan
hal itu, perkembangan karakter produk hukum memperlihatkan keterpengaruhannya
dengan terjadi tolak tarik antara produk hukum yang berkarakter konservatif
dengan kecenderungan linier yang sama. Tolak tarik karakter hukum
menunjukan bahwa karakter produk hukum senantiasa berkembang seirama dengan
perkembangan konfigurasi politik. Meskipun kepastiannya bervariasi, konfigurasi
politik yang demokratis senantiasa diikuti munculnya produk hukum yang responsive/otonom, sedang konfigurasi
politik yang otoriter senantiasa disertai oleh munculnya hukum yang berkarakter
konserfatif/ortodoks. Dari latar belakang itulah
perlunya suatu kajian terhadap perkembangan dan sejarah poltik hukum di
Indonesia.
Pengaturan pengelolaan sumber
daya alam dan lingkungan secara nasional baru dilakukan dalam beberapa
dasawarsa terakhir ini. Sebagai langkah pertama, Menteri Negara Penertiban
Aparatur Negara (PAN) telah mengadakan rapat Pengelolaan Lingkungan Hidup dan
Pencegahan Pencemaran pada tahun 1971, sebagai persiapan menjelang Konferensi
Stockholm telah diselenggarakan sebuah seminar tentang “Pengelolaan Lingkungan
Hidup dan Pembangunan Nasional” di Bandung, yang berlangsung dari tanggal 15
sampai dengan 18 Mei 1972. Sebagai tindak lanjut dari Konferensi Stockholm,
Pemerintah Republik Indonesia membentuk Panitia Interdepartemental yang
disebut: Panitia Perumus dan Rencana Kerja bagi Pemerintah di Bidang
Pengembangan Lingkungan Hidup berdasarkan Keputusan Presiden No.16/1972.
Panitia tersebut diketuai oleh MenPan/Wakil Ketua BAPPENAS sedangkan
sekretariatnya ditempatkan di LIPI. Panitia ini berhasil merumuskan program
pembangunan lingkungan dalam wujud Bab 4 dalam Repelita II berdasarkan butir 10
Pendahuluan BAB III GBHN 1973-1978. Dengan Keputusan Presiden No. 27 tahun 1975
telah dibentuk Panitia Inventarisasi dan Evaluasi Kekayaan Alam dengan tugas pokok
menelaah secara nasional pola-pola pemerintahan dan persediaan serta
perkembangan teknologi, baik di masa kini maupun di masa datang, dengan maksud
menilai implikasi sosial, ekonomis, ekologis dan politis dari pola-pola
tersebut untuk dijadikan dasar penentuan kebijaksanaan pemanfaatan serta
pengamanannya sebagai salah satu sumber daya pembangunan nasional.
GBHN yang ditentukan oleh MPR
tahun 1978 menggariskan langkah lanjut untuk pembinaan pengelolaan lingkungan
hidup. Dalam rangka aparatur lingkungan hidup telah diangkat untuk pertama kali
dalam kabinet,
yaitu dalam Kabinet Pembangunan III, seorang Menteri yang mengkoordinasikan
aparatur pemerintah dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup.
Menteri tersebut adalan Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan
Hidup (disingkat PPLH) yang kedudukan, tugas pokok, fungsi dan tata kerjanya
ditetapkan dengan Keputusan Presiden No.35 Tahun 1978. Sebagai Menteri PPLH
telah diangkat Prof.Dr.Emil Salim, Guru Besar Ekonomi pada Universitas
Indonesia. GBHN yang ditetapkan MPR tahun 1983 meningkatkan pembinaan dan
pengelolaan lingkunan hidup yang telah digariskan dalam GBHN 1978-1983. Dalam
Kabinet Pembangun IV (1983-1988) telah ditetapkan seorang Menteri Negara
Kependudukan dan Lingkungan Hidup. Kedudukan, fungsi, tugas pokok dan tata
kerjanya ditetapkan dalam keputusan Presiden No.25 Tahun 1983. Sebagai Menteri
Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup telah diangkat Prof. Dr. Emil Salim.
Dalam Kabinet Pembangunan V (1988-1993) Prof. Dr. Emil Salim telah diangkat
kembali sebgai Menteri Kependudukan dan Lingkungan Hidup. Dalam Kabinet
Pembangunan VI (1993-1998) telah diangkat Ir. Sarwono Kusumaatmadja sebagai
Menteri Negara Lingkungan Hidup. Dalam Kabinet Pembangunan VII (1998) telah
diangkat Prof. Dr. Yuwono Sudarsono sebagai Menteri Negara Lingkungan Hidup.
Sedangkan dalam Kabinet Reformasi Pembangunan (1998-1999) telah diangkat Dr.
Paniangan Siregar sebagai menteri Negara Lingkungan Hidup. Pada Kabinet
Persatuan-Persatuan (1999-2001) dijabat oleh Dr. Alexander Sonny Keraf sebagai
Menteri Negara Lingkungan Hidup. Dalam Kabinet Gotong Royong (2001-2004)
diangkat Nabiel Karim sebagai Menteri Negara Lingkungan Hidup. Dalam Kabinet
Indonesia Bersatu (2004-2009) telah diangkat Ir. Rachmat Nadi Witoelar
Kartaadipoetra sebagai Menteri Negara Lingkungan Hidup. Dalam Kabinet Indonesia
Bersatu II (2009-sekarang) diangkat Gusti Muhammad Hatta sebagai Menteri
Lingkungan Hidup.
Sejarah peraturan
perundang-undangan Hukum Lingkungan di bagi menjadi tiga periode:
Selanjutnya
dalam sejarah peraturan perundang-undangan lingkungan terdapat
peraturan-peraturan sejak zaman Hindia Belanda, sebagaimana dikemukakan oleh
Prof. Dr. Koesnadi Hardjosoemantri, SH.ML: “Apabila diperhatikan peraturan
perundang-undangan pada waktu zaman Hindia Belanda sebagaimana tercantum dalam
Himpunan Peraturan-peraturan Perundangan di bidang Lingkungan Hidup yang
disusun oleh Panitia Perumus dan rencana kerja bagi pemerintah dibidang
pengembangan lingkungan hidup diterbitkan pada tanggal 15 Juni 1978, maka
dapatlah dikemukakan, bahwa pertama kali diatur adalah mengenai perikanan,
mutiara dan perikanan bunga karang yaitu Parelvisscherij,
Sponservisscherijordonantie (Stb.1916 No.157) dikeluarkan di Bogor oleh
Gubernur Jendral Indenburg pada tanggal 29 Januari 1916, dimana ordonansi
tersebut memuat peraturan umum dalam rangka melakukan perikanan siput mutiara,
kulit mutiara, teripang dan bunga karang dalam jarak tidak lebih dari tiga-mil
laut Inggris dari pantai-pantai Hindia Belanda (Indonesia). Yang dimaksud
dengan melakukan perikan terhadap hasil laut ialah tiap usaha dengan alat
apapun juga untuk mengambil hasil laut dari laut tersebut. Ordonansi yang sangat penting bagi lingkungan
hidup adalah Hinder-ordonantie (Stbl.1926 No. 226, yang diubah/ditambah,
terakhir dengan Stbl.1940 No. 450), yaitu ordonansi Gangguan. Dalam hubungan
dengan terjemahan Hinderordonantie menjadi Undang-Undang Gangguan yang sering
terdapat dalam berbagai dokumen dan peraturan perlu dikemukakan bahwa
ordonantie tidak dapat diterjemahkan menjadi Undang-undang, karena ordonantie
merupakan produk perundang-undangan zaman Hindia Belanda, sedangkan
undang-undang merupakan produk negara yang merdeka. Meskipun sebuah ordonantie
hanya bisa dicabut denga sebuah undang-undang, ini tidaklah berarti ordonantie
dapat diterjemahkan dengan undang-undang inilah yang tepat adalah
mentransformasikan ordonantie ke bahasa Indonesia menjadi ordonansi. Di dalam
pasal 1 Ordonansi Gangguan ditetapkan
larangan mendirikan tanpa izin tempat-tempat usaha yang perinciannya jenisnya dicantumkan
dalam ayat (1) pasal tersebut, meliputi 20 jenis perusahaan. Di dalam ordonansi
ini ditetapkan pula berbagai pengecualian atas larangan ini. Di bidang
perusahaan telah dikeluarkan Bedrijfsreglemeningsordonantie 1934 (Stbl.1938 No.
86 jo. Stbl. 1948 No.224). Ordonansi yang penting di bidang perlindungan satwa
adalah Dierenbeschermingsordonnantie (Stbl.1931 No. 134), yang mulai berlaku
pada tanggal 1 Juli 1931 untuk seluruh wilayah Hindia Belanda (Indonesia).
berdekatan dengan ordonansi ini adalah peraturan tentang uruan, yaitu
Jachtordonnantie 1931 (Stbl.1931 No.133) dan Jachtordonntie Java en Madoera
1940 (Stbl.1940 No.733) yang berlaku untuk Jawa dan Madura sejak tanggal 1 Juli
1940. Ordonansi ini mencabut yang mengatur cagar-alam dan suaka-suaka
margasatwa, yaitu Natuurmonumenten en reservatenordonnantie 1932 (Stbl.1932
No.17) dan menggantikannya dengan Natuurbeschermingsordonnantie 1941 tersebut.
Ordonansi tersebut dikeluarkan untuk melindungi kekayaan alam di Hinda Belanda
(Indonesia). Peraturan-peraturan yang tercantum didalamnya berlaku terhadap
suaka-suaka alam atau Natuur monumenten, dengan perbedaan atas suaka-suaka
margasatwa dan cagar-cagar alam.
Keempat
ordonansi di bidang perlindungan alam dan satwa tersebut diatas telah dicabut
berlakunya dengan diundangkannya UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber
Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya pada tanggal 10 Agustus 1990. Dalam hubungan
denggan pembentukan kota telah dikeluarkan Stadsvormingsordonnantie (Stbl. 1948
No. 168), disingkat SVO, yang mulai berlaku pada tanggal 23 Juli 1948. Yang
menarik disini adalah bahwa Stadsvormingsordonnantie diterbitkan pada tahun
1948, padahal Republik Indonesia di proklamasikan kemerdekaanya pada tanggal 17
Agustus 1945. Penjelasannya adalah bahwa SVO tersebut ditetapkan di wilayah
yang secara de facto diduduki Belanda. Berbagai ordonansi tersebut diatas telah
dijabarkan lebih lanjut dalam verordeningen, seperti misalnya:
Dierenbeschermingsverordening (Stbl. 1931 No. 266); berbagai
Bedrijfsreglementeringsverordeningen yang meliputi bidang-bidang tertentu
seperti pabrik sigaret, pengecoran logam, pabrik es, pengolahan kembali karet,
pengasapan karet, perusahaan tekstil; Jachtveiordening Java en Madura 1940
(Stbl. 1940 No. 247 jo. Stbl. 1941 No.51); dan Stadsvormingsverordening,
disingkat SW (Stbl. 1949 No. 40). Begitu pula terdapat peraturan tentang air,
yauit Algemeen Waterreglement (Stbl. 1936 No. 489 jo. Stbl. 1949 No. 98)
Pada waktu zaman
pendudukan Jepang, hampir tidak ada peraturan perundang-undangan di bidang
lingkungan hidup yang dikeluarkan, kecuali Osamu S Kanrei No. 6, yaitu mengenai
larangan menebang pohon aghata, alba dan balsem tanpa izin Gunseikan. Peraturan
perundang-undangan di waktu itu terutama ditentukan untuk memperkuat kedudukan
penguasa Jepang di Hindia Belanda, dimana larangan diadakan untuk menjaga bahan
pokok untuk membuat pesawat peluncur (gliders) yang berbahan pokok kayu aghata,
alba, balsem dalam rangka menjaga logistik tentara, karena kayu pohon tersebut
ringan, tetapi sangat kuat.
3. Periode Setelah Kemerdekaan
Pada periode ini
secara bertahap muncul beberapa peraturan-peraturan antara lain:
a. UU No. 4 prp Tahun 1960 tentang
Perairan Indonesia:
b. UU No. 5 Tahun 1967 tentang
Kehutanan;
c. UU No. 11 Tahun 1967 tentang
Pokok Pertambangan;
d. UU No. 1 Tahun 1973 tentang
Landas Kontinen Indonesia;
e. UU No. 11 Tahun 1974 tentang
Perairan;
f. UU No. 4 Tahun 1982 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup;
g. UU No. 5 Tahun 1983 tentang Zona
Ekonomi Ekslusif Indonesia;
h. UU No. 9 Tahun 1985 tentang
Perikanan;
i.
UU
No. 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan Konvensi Hukum Laut 1982;
j.
UU
No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Hayati dan Ekosistemnya;
k. UU No. 24 Tahun 1992 tentang
Penataan Ruang;
l.
PP
No. 17 Tahun 1974 tentang Pengawasan Pelaksanaan Eksplorasi dan Eksploitasi
Minyak dan Gas Bumi di Daerah Lepas Pantai (LN No. 20 Tahun 1974 TLN No. 3031);
m. PP No. 15 Tahun 1984 tentang
Pengelolaan Sumber Daya Alam Hayati di Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia;
n. PP No. 6 Tahun 1988 tentang
Koordinasi Instansi Vertikal di Daerah;
o. Keputusan menteri Pertanian No.
67 Tahun 1967 tentang Empat Daerah Operasi Bagi Kapal-Kapal Perikanan;
p. Keputusan Presiden No. 32 Tahun
1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung;
q. Keputusan Presiden No. 55 Tahun
1993 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan
Umum.
Selanjutnya peraturan
perundangan-undangan setelah dilakukan penggantian terhadap UU No. 4 Tahun 1982
dengan UU No. 23 tahun 1997 tentang Undang-Undang Pokok Lingkungan Hidup yang
kemudian di ganti dengan UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup, juga mulai memperhatikan bagaimana untuk menjaga
agar lingkungan tidak tercemar, yaitu mengeluarkan Undang-undang yang menjaga
agar bagaimana lingkungan secara dini akan terjaga dari pencemaran atas adanya
proses pembangunan yaitu AMDAL (Analisa Mengenai Dampak Lingkungan) Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 1993 tentang Analisis Mengenai
Dampak Lingkungan dan Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 1999 tentang
Pengelolaan Limbah B3, Peraturan Pemerintah No. 85 Tahun 1999 tentang Peraturan
Perubahan atas Peraturan pemerintah No. 18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan
Limbah B3, Peraturan Pemrintah No. 19 Tahun 1999 tentang Pengendalian
Pencemaran dan/atau Perusakan Laut, Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1999
tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan, Keputusan Menteri Negara
Lingkungan Hidup Republik Indonesia nomor: Kep-13/MENLH/3/94 tentang Pedoman Susunan Keanggotaan Dan Tata Kerja
Komisi Amdal, Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia
Nomor: Kep-14/MENLH/3/1994 tanggal 19 Maret 1994 tentang Pedoman Umum
Penyusunan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan, Keputusan Kepala Badan
Pengendalian Dampak Lingkungan Republik Indonesia Nomor: Kep-056 Tahun 1994
tentang Pedoman Mengenai Ukuran Dampak Penting, Keputusan Menteri Negara
Lingkungan Hidup Republik Indonesia Nomor: Kep-15/MENLH/3/1994 tanggal 19 Maret
1994 tentang Pembentukan Komisi Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Terpadu,
Keputusan Presiden Republik Indonesia nomor 77 tahun1994 tentang Badan
Pengendalian Dampak Lingkungan, Surat Keputusan Menteri Perindustrian Nomor:
250/M/SK/10/1994 tentang Pedoman Teknis Penyusunan Pengendalian Dampak Terhadap
Lingkungan Hidup Pada Sektor Industri, Keputusan Bersama Menteri Kesehatan
Republik Indonesia dan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup
Republik Indonesia/Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan nomor:
181/MENKES/SKB.II/1993, KEP.09/BAPEDAL/02/1993 Tanggal 26 Februari 1993 tentang
Pelaksanaan Pemantauan Dampak Lingkungan, Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor:
29 tahun 1992 tentang Pedoman Tata Cara Pelaksanaan Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan Bagi Proyek-Proyek PMA Dan PMDN di Daerah, Keputusan Menteri
Pertambangan dan Energi Nomor: 523K/201/MPE/1992 tentang Pedoman Teknis
Penyusunan Penyajian Informasi Lingkungan, Rencana Pengelolaan Lingkungan dan
Rencana Pemantauan Lingkungan Untuk Usaha Pertambangan Bahan Galian Golongan C,
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia Nomor:
KEP-11/MENLH/3/1994 tanggal 19 Maret 1994 tentang Jenis Usaha Atau Kegiatan
Yang Wajib Dilengkapi Dengan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan, Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor: 12 tahun 1995 tentang perubahan Peraturan
pemerintah Republik Indonesia nomor 19 tahun 1994 tentang Pengolahan Limbah
Bahan Berbahaya dan Beracun, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19
tahun 1994 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun, Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang, Keputusan
Presiden Republik Indonesia nomor 75 Tahun 1993 tentang Koordinasi Pengelolaan
Tata Ruang Nasional, Keputusan Presiden republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1990
tentang Pengelolaan Kawasan Lindung, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
nomor 35 tahun 1991 tentang Sungai, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 27 tahun 1991 tentang Rawa, Peraturan Pemrintah Republik Indonesia nomor 18 tahun 1994 tentang Pengusahaan
Pariwisata Alam Di Zona Pemanfaatan Taman Nasional, Taman Hutan Raya Dan Taman
Wisata Alam, Undang-undang Republik Indonesia tahun 1992 tentang Benda Cagar
Budaya, Peraturan Pemerintah Nomor 41 tahun 1999 tentang Pengendalian
Pencemaran Udara, Peraturan Pemerintah nomor 20 Tahun 1990 tentang Pengendalian
Pencemaran Air, Undang-undang nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia nomor 10 tahun 1993 tanggal 19 Februari 1993
tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 5 tahun 1992 tentang Cagar Budaya,
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia nomor:
Kep-24/MENLH/11/1994 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Audit Lingkungan,
Keputusan Menteri negara lingkungan Hidup Republik Indonesia Nomor :
Kep-10/MENLH/1994 tentang pencabutan keputusan menteri negara kependudukan dan
lingkungan hidup nomor:
a. Kep-49/MENKLH/6/1987 tentang
Pedoman penentuan dampak penting dan lampirannya;
b. Kep-50/MENKLH/6/1987 tentang
pedomann umum penyusunan analisis mengenai dampak lingkungan dan lampirannya;
c. Kep-51/MENKLH/6/1987 tentang
pedoman umum penyusunan studi evaluasi mengenai dampak lingkungan dan
lampirannya;
d. Kep-52/MENKLH/1987 tentang batas
waktu penyusunan studi evaluasi menganai dampak lingkungan;
e. Kep-53/MENKLH/6/1987 tentang
pedoman susunan keanggotaan dan tata kerja komisi.
Perkembangan hukum lingkungan tidak
dapat dipisahkan dari gerakan sedunia untuk memberikan perhatian lebih besar
kepada lingkungan hidup. Deklarasi-deklarasi Internasional yang Berkaitan
dengan Lingkungan Hidup.
a. Deklarasi Stockholm. Deklarasi
Stockholm sebagai akibat dari sidang umum PBB 1 Juni 1970 yang menyerukan untuk
meningkatkan usaha dan tindakan nasional serta internasional guna menanggulangi
“proses kemerosotan kualitas lingkungan hidup” agar dapat diselamatkan
keseimbangan dan keserasian ekologis, demi kelangsungan hidup manusia.
Deklarasi Stockholm menghasilkan :
1) Deklarasi tentang LH (Preamble
dan 26 asas yang disebut Stockholm Declaration) didalamnya terdapat hal-hal
yang memberikan arahan terhadap penangann masalah lingkungan hidup termasuk
didalamnya pengaturannya melalui perundang-undangan.
2) Rencana aksi lingkungan hidup
manusia (action plan), termasuk
didalamnya 18 rekomendasi tentang perencanaan dan pengelolaan pemukiman
manusia.
3) Rekomendasi tentang kelembagaan
dan keuangan yang menunjang aksi tersebut (UNEP).
4) Menetapkan 5 Juni sebagai hari
lingkungan hidup sedunia.
5) Sekretariat UNEP di Nairobi.
6) Bangsa-bangsa perlu membangkitkan
kesadaran serta partisipasi masyarakat dengan menyediakan informasi tentang
lingkungan yang meluas.
7) Bangsa-bangsa perlu memberlakukan
undang-undang tentang lingkungan yang efektif dan menciptakan undang-undang
nasional tentang jaminan bagi para korban pencemaran dan kerusakan lingkungan
lainnya.
8) Pihak pencemar harus menanggung
akibat pencemaran .
9) Bangsa-bangsa perlu kerjasama
menegakkan sistem ekonomi internasional yang terbuka untuk pertumbuhan ekonomi
dan pembangunan berkelanjutan.
10) Pembangunan berkelanjutan
memerlukan pemahaman ilmiah yang baik tentang masalah-masalahnya (perlu
pengetahuan dan teknologi inovatif).
11) Diperlukan partisipasi penuh para
perempuan dalam mencapai pembangunan berkelanjutan, kreativitas semangat dan
keberanian kaum muda dan perlu mengakui dan mendukung identitas kebudayaan dan
kepentingan penduduk asli.
12) Perang membawa kehancuran pada
pembangunan berkelanjutan dan bangsa-bangsa perlu menghormati hukum-hukum internasional yang melindungi
lingkungan di masa konflik bersenjata.
b. Deklarasi Rio de Jeneiro 1992
(179 negara):
1) Rio declaration tentang lingkungan
hidup dan pembangunan dengan 27 asas yang menetapkan dan tanggung jawab
bangsa-bangsa dalam memperjuangkan kesejahteraan manusia.
2) Agenda 21 rancangan tentang cara
mengupayakan pembangunan yang berkelanjutan dan segi sosial, ekonomi dan
lingkungan hidup.
3) Pernyataan tentang
prinsip-prinsip yang menjadi pedoman bagi pengelolaan, pelestarian dan
pembangunan semua jenis hutan secara berkelanjutan yang merupakan unsur mutlak
bagi pembangunan ekonomi dan pelestarian segala bentuk kehidupan.
Asas-asas Rio de Janeiro:
1) Manusia berhak atas kehidupan
yang sehat, produktif dalam keselarasan dengan alam.
2) Pembangunan masa kini tidak boleh
merugikan kebutuhan pembangunan lingkungan generasi kini dan yang akan datang.
3) Bangsa-bangsa memiliki hak dan
kedaulatan untuk memanfaatkan Sumber Daya Alam mereka sendiri tanpa menimbulkan
kerusakan lingkungan di luar wilayah perbatasan.
4) Bangsa-bangsa perlu menciptakan
undang-undang internasioanal.
5) Bangsa-bangsa perlu mengambil
tindakan pencegahan untuk melindungi lingkungan.
6) Untuk mencapai pembangunan
berkelanjutan, perlindungan lingkungan harus menjadi integral dari proses
pembangunan.
7) Mengentaskan kemiskinan dan
memperkecil kesenjangan dalam taraf kehidupan di berbagai pelosok dunia
merupakan keharusan dalam mencapai pembangunan berkelanjutan.
8) Bangsa-bangsa perlu bekerjasama
untuk melestarikan, melindungi dan memulihkan kesehatan ekosistem bumi.
9) Bangsa-bangsa perlu mengurangi
dan menghapuskan pola produksi, konsumsi yang tidak berkelanjutan dan
merencanakan kebijakan-kebijakan demografi yang layak.
10) Masalah lingkungan dapat
ditangani dengan partisipasi seluruh warga negara.
11) Bangsa-bangsa perlu membangkitkan
kesadaran serta partisipasi masyarakat dengan menyediakan informasi tentang
lingkungan yang meluas.
12) Bangsa-bangsa perlu memberlakukan
undang-undang tentang lingkungan yang efektif dan menciptakan undang-undang
nasional tentang jaminan bagi para korban pencemaran dan kerusakan lingkungan
lainnya.
13) Pihak pencemar harus menanggung
akibat penccemaran.
14) Bangsa-bangsa perlu kerjasama
menegakkan sistem ekonomi internasional yang terbuka untuk pertumbuhan ekonomi
dan pembangunan berkelanjutan.
15) Pembangunan berkelanjutan
memerlukan pemahaman ilmiah yang baik tentang masalah-masalahnya (perlu
pengetahuan dan teknologi inovatif)
16) Diperlukan partisiasi penuh para
perempuan dalam mencapai pembangunan berkelanjutan, kreativitas semangat dan
keberanian kaum muda dan perlu mengakui dan mendukung identitas kebudayaan dan
kepentingan penduduk asli.
17) Perang membawa kehancuran pada
pembangunan berkelanjutan dan bangsa-bangsa perlu menghormati hukum-hukum
internasional yang melindungi lingkungan dimasa konflik bersenjata.
Agenda 21 Rio de Janeiro. Deklarasi di
Rio de Janeiro Brasil 3 – 14 Juni 1992 yang lebih populer dengan KTT RIO
(Konferensi Tingkat Tinggi Bumi) dihadiri oleh 179 negara merupakan dokumen
komprehensif setebal 700 halaman yang berisikan program aksi pembangunan
berkelanjutan menjelang abad 21. Agenda 21 Global terdiri dari 39 bab yang
dibagi dalam 4 bagian yaitu:
1. Dimensi sosial ekonomi; membahas
masalah pembangunan yang dititik beratkan pada segi manusia serta isu-isu kunci
seperti perdagangan dan keterpaduan pengambilan keputusan.
2. Konservasi dan pengelolaan SDA
untuk pembangunan; merupakan bagian terbesar dari agenda 21 yang membahas berbagai
permasalahan SDA, ekosistem dan isu-isu penting yang mana kesemuanya perlu
pengkajian lebih lanjut bila tujuan pembangunan berkelanjutan ingin dicapai
baik pada tingkat global, nasional dan lokal.
3. Peranan kelompok utama; membahas
isu kemitraan antar pengelola lingkungan yang perlu dikembangkan dalam
mewujudkan pembangunan berkelanjutan.
4. Sarana pelaksanaan; mengkaji dan
menganalisis pertanyaan “bagaimana kita
dapat mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan berwawasan lingkungan?”. Bagian
ini menilai sumberdaya-sumberdaya yang dapat digunakan untuk mendukung
pembangunan tersebut. Selain membahas aspek pendanaan, teknologi, isu-isu
pendidikan, struktur kelembagaan dan perundang-undangan, data dan informasi
serta pengembangan kapasitas nasional yang berkaitan dengan isu pembangunan
berkelanjutan.
Secara umum dokumen agenda 21 menawarkan
berbagai kegiatan konstruktif dan inovatif yang dapat dijalankan oleh negara
maju dan berkembang, serta hal-hal penting dalam mencapai pembangunan
berkelanjutan yang berwawasan lingkungan antara lain:
1. Kemitraan nasional (hubungan
antara perencanaan pemabangunan, pengelolaan lingkungan dan
pertimbangan-pertimbangan sosial).
2. Setiap negara disarankan menggali
strategi pembangunan.
3. Aspek-aspek yang berkaitan dengan
isu-isu perdagangan, investasi dan hutang (biaya-biaya lingkungan dimasukkan
dalam pertimbangan).
4. Kemiskinan dianggap sebagai
penyebab maupun hasil dari penurunan kualitas lingkungan.
5. Pola konsumsi yang dianut
beberapa negara menyebabkan terjadinya polusi dan penurunan kualitas
lingkungan.
6. Pembangunan pertanian berkaitan
dengan keamanan pangan bagi penduduk .
7. Pentingnya
pendidikan dan kesadaran masyarakat.