POLITIK HUKUM
PENGATURAN TATA KELOLA LINGKUNGAN DI INDONESIA SEJAK KEMERDEKAAN
Oleh: Ikomatussuniah, SH.,MH
Tenaga Pengajar Fakultas Hukum Untirta
Oleh: Ikomatussuniah, SH.,MH
Tenaga Pengajar Fakultas Hukum Untirta
Pengertian
Pengelolaan lingkungan hidup terkait erat dengan kesejahteraan rakyat suatu
negara. Melalui pengelolaan lingkungan hidup, tempat sumber daya alam ada didalamnya, kesejahteraan rakyat hendak diwujudkan. Bagi negara yang mengklaim sebagai
negara kesejahteraan (welfare
state), menjadikan kesejahteraan rakyat sebagai tujuan negara atau
hidup bernegara. Segala aktivitas penyelenggaraan negara diorientasikan pada
upaya mencapai dan memenuhi kesejahteraan rakyat tersebut.
Dalam pembukaan UUD 1945 secara eksplisit dinyatakan bahwa salah satu tujuan
pendirian negara dan pembentukan pemerintahan negara adalah untuk memajukan
kesejahteraan umum. Untuk mencapai kesejahteraan umum tersebut, UUD 1945
memberikan kepada negara hak ekslusif untuk menguasai lingkungan hidup dan
sumber daya alam, yang dalam literature hukum dikenal dengan hak menguasai
negara. Integrasi lingkungan hidup dan sumber daya alam, hak menguasai negara
dan kesejahteraan rakyat sebagaimana tertuang dalam Pasal 33 ayat 3 UUD 1945
yang menyatakan bahwa “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung
didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk
kesejahteraan rakyat”.
Muhammad Hatta menterjemahkan hak
menguasai negara sebagai hak negara untuk membuat aturan guna melancarkan
kehidupan ekonomi.[1]
Berdasarkan hak menguasai negara
tersebut, Negara Indonesia telah menetapkan berbagai kebijakan
dan regulasi dalam pengelolaan lingkungan dan sumber daya alam dalam rangka
mewujudkan kesejahteraan rakyat. Dalam kenyataannya, pengelolaan lingkungan
hidup di Indonesia masih menghadapi problem yang sama yaitu adanya benturan
antara berbagai peraturan perundang-undangan, terutama antara undang-undang
sektoral terkait sumber daya alam (yang lebih berorientasi pada pemanfaatan
sumber daya lingkungan) dan undang-undang lingkungan hidup (yang dianggap
terlalu menekankan pada aspek perlindungan lindungan hidup). Akibatnya,
pengelolaan lingkungan hidup dibawah Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 yang
kemudian diganti dengan UU No. 23 Tahun 1997 dan diganti lagi
dengan UU No. 32 Tahun 2009 sebagai payung hukum belum mampu mencapai tujuan
pengelolaan lingkungan hidup, terwujudnya kelestarian fungsi lingkungan hidup
dan tercapainya kesejahteraan rakyat. Berbagai instrument pencegahan dan
pengendalian pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup menjadi tumpul karena
tidak didukung oleh
“kewenangan” yang seharusnya dilekatkan pada kewenangan pengelolaan lingkungan
hidup seperti kewajiban menyusun Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS), izin
lingkungan, sanksi administrative, pidana, dan PPNS lingkungan hidup seperti
yang ditetapkan dalam UU No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup sebagai pengganti UU No. 23 Tahun 1997.
Tentang politik hukum pengelolaan lingkungan hidup dari konstitusi hingga UU No. 32 Tahun 2009, menurut David Kairsy, politik
hukum merupakan kebijaksanaan negara untuk menerapkan hukum.[2] Teuku Muhammad Radhie
mengkonsepsi politik hukum sebagai pernyataan kehendak penguasa negara
mengenai hukum yang berlaku di wilayah suatu Negara dan mengenai arah kemana
hukum hendak dikembangkan.[3]
Moh. Mahfud MD menyatakan bahwa
politik hukum adalah legal policy yang akan atau telah dilaksanakan
secara nasional oleh Pemerintah Indonesia. Legal policy ini terdiri
dari, pertama, pembangunan hukum yang berintikan
pembuatan dan pembaruan terhadap materi-materi hukum agar dapat sesuai dengan
kebutuhan. Kedua, pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada termasuk
penegasan fungsi lembaga dan pembinaan para penegak hukum.[4]
Berdasarkan pengertian tentang
konsepsi politik hukum di atas, dalam kajian ini politik hukum dimaksudkan
sebagai kebijakan hukum yang menjadi dasar dari pengelolaan lingkungan hidup di
Indonesia. Berbicara mengenai kebijakan hukum
tentu UUD 1945 sebagai basic norm menjadi
rujukan pertama, termasuk dalam
pengelolaan lingkungan hidup dan sumber daya alam.
Sebelum adanya perubahan kedua dan
keempat UUD 1945, satu-satunya ketentuan konstitusi yang menjadi landasan hukum
bagi pengelolaan lingkungan dan sumber daya alam adalah Pasal 33 ayat (3), yang
lebih banyak ditafsirkan sebagai pemanfaatan dan ekploitasi sumber daya alam
dengan justifikasi untuk mencapai kesejahteraan rakyat, sehingga aspek
perlindungan dan keberlanjutan lingkungan dan sumber daya alam menjadi
terabaikan.
Perubahan kedua dan keempat UUD
1945, telah memasukkan ketentuan baru terkait dengan pengelolaan lingkungan
hidup dan pemanfaatan sumber daya alam, yaitu Pasal 28H ayat (1) dan Pasal 33
ayat (4) dan (5) UUD 1945. Pasal 28H ayat (1) menyatakan bahwa “setiap
orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan medapatkan
lingkungan hidup baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.”
Pasal 33 ayat 4 UUD 1945 “Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas
demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan,
berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga
keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.” Sementara Pasal 33 ayat
(5) menegaskan bahwa ketentuan lebih lanjut diatur dengan undang-undang.
Dari ketentuan Pasal 28H ayat (1),
Pasal 33 ayat (3), (4) dan (5) UUD 1945, terdapat 5 hal penting yang menjadi
kebijakan hukum negara dalam pengelolaan lingkungan hidup dan pemanfaatan
sumber daya alam:[5]
1. Pengelolaan lingkungan dan pemanfaatan
sumber daya alam harus diletakkan dalam kerangka pengakuan, perlindungan dan
pemenuhan hak asasi setiap warga Negara atas lingkungan hidup yang baik dan
sehat. Dengan kata lain hak asasi atas lingkungan hidup yang baik dan sehat
tidak dapat dikorbankan akibat pelaksanaan pembangunan dan pemanfaatan sumber
daya alam.
2. Pengelolaan lingkungan hidup dan pemanfaatan sumber daya alam
merupakan tanggung jawab negara, di mana melalui hak menguasai negara, negara
membuat aturan-aturan dan kebijakan pemanfaatan lingkungan dan sumber daya
alam.
3. Kesejahteraan rakyat menjadi dasar
filosofis dan sosiologis bagi segala aktivitas dan kegiatan pengelolaan
lingkungan hidup dan pemanfaatan sumber daya alam dipergunakan bagi
kesejahteraan rakyat.
4. Pengelolaan lingkungan hidup dan
pemanfaatan sumber daya alam merupakan sarana untuk mencapai pembangunan
berkelanjutan berwawasan lingkungan hidup, dalam arti sasaran pengelolaan
lingkungan hidup dan pemanfaatan sumber daya alam tidak saja mencakup
kesejahteraan rakyat, melainkan juga aspek keberlanjutan lingkungan hidup dan
kemajuan ekonomi nasional.
5. Adanya pendelegasian pengaturan lebih lanjut mengenai pengelolaan lingkungan
hidup dengan undang-udang. .
UU No. 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup sebagai pengganti UU No. 23 Tahun
1997 membawa perubahan mendasar dalam pengaturan pengelolaan lingkungan
hidup di Indonesia. Karena dilihat dari judul UU
No. 32 Tahun 2009 adanya penekanan pada upaya perlindungan lindungan hidup
yang diikuti dengan kata pengelolaan lingkungan hidup. Dari segi kaidah bahasa, dalam kata
pengelolaan telah termasuk didalamnya kegiatan atau aktivitas perlindungan.
Dengan adanya penekanan pada upaya perlindungan, disamping
kata pengelolaan lingkungan hidup, UU 32 Tahun 2009 memberikan perhatian serius
pada kaidah-kaidah pengaturan yang bertujuan memberikan jaminan bagi
terwujudnya pembangunan berkelanjutan dan memastikan lingkungan hidup dapat
terlindungi dari usaha atau kegiatan yang menimbulkan kerusakan atau pencemaran
lingkungan hidup.
Dikaitkan dengan pendapat Teuku
Muhammad Radhie mengenai politik hukum sebagai arah (tujuan) kemana hukum
hendak dikembangkan, maka UU No. 32 Tahun 2009 menetapkan arah (tujuan) kemana
hukum perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup hendak dikembangkan.
Menurut Pasal 3 UU 32 tahun 2009, perlindungan
dan pengelolaan lingkungan hidup bertujuan:
1.
melindungi
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dari pencemaran dan/atau kerusakan
lingkungan hidup;
2.
menjamin
keselamatan, kesehatan, dan kehidupan manusia;
3.
menjamin
kelangsungan kehidupan makhluk hidup dan kelestarian ekosistem;
4.
menjaga
kelestarian fungsi lingkungan hidup;
5.
mencapai
keserasian, keselarasan, dan keseimbangan lingkungan hidup;
6.
menjamin
terpenuhinya keadilan generasi masa kini dan generasi masa depan;
7.
menjamin
pemenuhan dan perlindungan hak atas lingkungan hidup sebagai bagian dari hak
asasi manusia;
8.
mengendalikan
pemanfaatan sumber daya alam secara bijaksana;
9.
mewujudkan
pembangunan berkelanjutan; dan
10. mengantisipasi isu lingkungan
global.
Untuk mencapai tujuan di atas, UU
No. 32 Tahun 2009 menetapkan sejumlah instrumen hukum pencegahan pencemaran dan
atau kerusakan lingkungan hidup yaitu Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS),
Tata Ruang, Baku Mutu Lingkungan Hidup, Kriteria Baku Kerusakan Lingkungan
Hidup, AMDAL, Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan
Lingkungan Hidup (UKL-UPL), Perizinan, Instrumen Ekonomis Lingkungan,
Peraturan Perundang-undangan Berbasiskan Lingkungan Hidup, Anggaran Berbasiskan
Lingkungan Hidup, Analisis Risiko Lingkungan Hidup, Audit Lingkungan Hidup, dan
instrument lain sesuai kebutuhan dan perkembangan ilmu pengetahuan, dimana KLHS
menempati posisi puncak dalam pencegahan dan pencemaran lingkungan hidup. Penekanan
pada aspek perlindungan lingkungan hidup, juga terlihat dari adanya dua
tingkatan izin yang harus dipenuhi oleh setiap orang atau pelaku usaha/kegiatan
yang terkait dengan pengelolaan lingkungan hidup yaitu adanya kewajiban
memperoleh izin lingkungan terlebih dahulu sebagai syarat untuk mendapat izin
usaha dan/atau kegiatan. Di samping instrument pencegahan, juga diatur instrument penegakan hukum
(administrasi, perdata, dan pidana) beserta penerapan sanksi administrasi,
ganti rugi dan sanksi pidana.
Penetapan UU 32 Tahun 2009 berusaha
memastikan adanya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup secara
berkelanjutan dan berwawasan lingkungan hidup sedini mungkin yaitu melalui dari
tingkat kebijakan, rencana dan program pembangunan (KLHS), maupun pada kajian
lingkungan hidup bagi kegiatan atau usaha seperti telah dikenal selama ini,
melalui mekanisme AMDAL.
Kemunculan
rezim lingkungan
internasional ditandai oleh pelaksanaan Stockholm Conference pada tahun 1972.
Konferensi ini tidak memiliki signifikansi yang besar dalam politik global
karena negara blok komunis memboikot pertemuan tersebut. Meskipun demikian,
konferensi ini menjadi awal dari kemunculan isu lingkungan di panggung politik
global. Pembahasan isu lingkungan pada level global kembali mencuat yang
ditandai dengan pelaksanaan Rio Conference pada tahun 1992. Sebenarnya yang
diuntungkan oleh konferensi ini adalah kelompok perusahaan multinasional yang
menjadi aktor dominan dalam menentukan konsepsi penyelesaian masalah
lingkungan.[6]
Pada
level internasional, power politics
masih memainkan peranan yang besar dalam pembentukan rezim internasional, sehingga mustahil menciptakan rezim lingkungan
internasional yang adil dan konsisten.[7] Paradigma penyelesaian masalah
lingkungan selama ini sangat antroposentris
dengan melihat adanya dualisme antara lingkungan dan manusia.[8] Green politics dengan dua konsep
utamanya; keberlanjutan ekologis (ecological
sustainability) serta desentralisasi tata kelola lingkungan, menjadi jalan alternatif bagi penyelesaian
masalah lingkungan,
yang biasanya bertumpu pada konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development) dan pembentukan
rezim lingkungan internasional yang terbukti belum dapat menyelesaikan problem
lingkungan dunia. Green politics menolak
pandangan antroposentris dalam
menganalisa permasalahan lingkungan hidup. Bila dilihat lebih jauh, konsep sustainable development sarat akan
pandangan antroposentrisme yang
menitikberatkan kepada pembangunan yang berkelanjutan daripada keberlanjutan
lingkungan. Institusi global telah gagal menghasilkan penyelesaian permasalahan
lingkungan,
sebab ia harus berhadapan dengan permainan power
politics dalam sistem antar-negara. Green
politics menawarkan konsep desentralisasi sebagai
strategi implementasi kontrol yang baik dalam mengatasi permasalahan
lingkungan. Green politics meyakini,
implementasi kontrol level global dapat lebih efektif dilaksanakan dalam skala
yang lebih kecil,
yakni skala komunitas lokal yang langsung memiliki interdependensi terhadap
alam sekitar dalam kehidupan mereka. Kebijakan Desentralisasi Lingkungan Hidup. Desentralisasi
berimbas kepada tumbuhnya small scale
democratic communities yang dapat menciptakan praktis keberlanjutan
lingkungan ketimbang rezim internasional antar-negara yang dipenuhi dengan
permainan power politics.[9]
Dengan konsep ini, penyelesaian masalah lingkungan lebih
menitikberatkan dimensi etis kearifan lokal yang dimiliki setiap masyarakat lokal, daripada penyelesaian
masalah lingkungan berbasiskan teknologi tinggi. Implementasi langsung dari
konsep desentralisasi lingkungan hidup yang dicetuskan
kalangan green politics adalah
mengembangkan konsep Demokrasi Ekologi Desa. UU no 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah memungkinkan masyarakat desa untuk kembali memiliki hak-hak
dasar mereka yang meliputi hak partisipasi dalam melestarikan lingkungan
melalui kearifan lokal unik yang dimiliki oleh beragam desa di Indonesia. Desentralisasi
institusi lingkungan hidup tidak semata-mata kebijakan membebankan penyelesaian
lingkungan hidup pada tataran unit terkecil seperti desa. Desentralisasi lebih
diarahkan untuk menggapai penyelesaian masalah
lingkungan yang plural sesuai dengan konteks lingkungan di masing-masing daerah
tanpa harus tersentralisasi dalam perdebatan
yang penuh dengan hasrat kepentingan
sebagaimana yang terjadi pada level global. Dengan adanya otonomi daerah dan
semakin berwenangnya desa dalam pelestarian ekologis di Indonesia,
merupakan modal bagi Indonesia untuk mengimplementasikan desentralisasi tata
kelola lingkungan hidup sebagai upaya alternatif menyelesaikan permasalahan
lingkungan. Implementasi ini kemungkinan besar
lebih efektif dalam menyelesaikan permasalahan lingkungan dari pada pembentukan
rezim internasional terus-menerus yang sampai sekarang selalu mentok ditangan
negara-negara besar.
Berkaca dari Protokol Kyoto,
sikap unilateralisme Amerika Serikat
serta pertimbangan pertumbuhan ekonomi nasional yang menyebabkan Amerika tidak
mau mengikuti Protokol Kyoto juga tampaknya akan menjadi tantangan yang sama
bagi upaya mewujudkan tata kelola lingkungan hidup global yang efektif,
demokratis dan akuntabel berdasarkan prinsip pembangunan berkelanjutan. Dengan berharap pada Menteri Lingkungan,
kiprah Indonesia diharapkan dalam pentas politik
lingkungan hidup global dengan tentunya tetap meningkatkan tata kelola
lingkungan nasional (national environmental
governance) sendiri.
[1] Roeslan Abdulgani, Aktualisasi
Pemikiran Bung Hatta tentang Demokrasi Ekonomi dalam Sri Edi Swasono
(ed), Bung Hatta Bapak Kedaulatan Rakyat, Yayasan Hatta, Jakarta,
2000, hlm. 262-263, sebagaimana dikutip oleh Mujibussalim, Perlindungan
Hukum Terhadap Sumber Daya Alam Berkaitan Dengan Peraturan Perlindungan Hutan
Dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah, Disertasi, Universitas Padjadjaran,
Bandung, 2008, hlm. 89-90,
sebagaimana dikutip oleh Edra Satmaidi dalam tulisannya yang berjudul Politik
Hukum Pengelolaan Lingkungan Hidup
Indonesia.
[2]David
Kairsy (ed). The Politics of Law, A Progressive Critique,
(New York: Pantheon Books, 1990), hlm. xi. sebagaimana
dikutip oleh Edra Satmaidi dalam tulisannya yang berjudul Politik Hukum
Pengelolaan Lingkungan Hidup Indonesia.
[5] Internet. Artikel yang
berjudul Politik Hukum Pengelolaan Lingkungan Hidup Indonesia oleh Edra
Satmaidi.
[6] www.google.com.
Artikel oleh Moch Faisal yang berjudul “Desentralisasi Tata Kelola Lingkungan
Hidup”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar