CLASS
ACTION TERHADAP UTANG
SWASTA BANTUAN LIKUIDASI BANK INDONESIA MENJADI UTANG NEGARA
Ikomatussuniah,
SH., MH.
Fakultas Hukum Universitas Sultan Ageng
Tritayasa
Jl. Raya Jakarta KM. 04
Pakupatan Serang
ABSTRACT
Liquidation
of Bank Indonesia Case Assistance in 1998, is still a mess. Ambiguity
completion BLBI indicated since been spreading the cronies culture and corruption
in Indonesia as well as the less of a forceful and law enforcement. The researcher
examines that the transfer of BLBI debt private bankers turning to the
country's debt. It is caused BLBI debt charged to the state. The debt principal
and interest of the debt rogue bankers,
is paid from the state budget that comes from the tax. This is detrimental to
people and the state, people
can do a class action.
Keywords:
bank, corruption, class action.
ABSTRAK
Kasus Bantuan Likuidasi Bank Indonesia
tahun 1998, sampai sekarang masih menjadi kemelut. Ketidakjelasan penuntasan kasus BLBI
diindikasikan karena sudah menjalarnya budaya kroni dan korupsi di negara
Indonesia serta ketidaktegasan aparat hukum dalam penegakan hukum. Dengan
penelitian literatur, penulis menelaah tentang kasus BLBI yang mengalihkan utang
para bankir swasta beralih menjadi utang negara. Hal ini menyebakan pembayaran
utang BLBI dibebankan kepada negara, yaitu pada APBN. Utang para bankir berupa pokok dan
bunganya, dibayarkan dari APBN yang berasal dari uang pajak. Ini merugikan rakyat dan negara, rakyat
dapat melakukan class action.
Kata kunci: bank, korupsi, class action.
A. Pendahuluan
Perbankan
merupakan salah satu barometer dalam melakukan pembangunan yang bertujuan
mewujudkan kesejahteraan. Kaitannya dengan kesejahteraan, melalui pengaturan
keuangan yang dilakukan oleh perbankan, dengan pemerintah sebagai regulator,
perbankan merupakan titik penting dalam mewujudkan perekonomian yang tangguh
dan berkeadilan sosial sesuai dengan tujuan konsep negara kesejahteraan. Perkembangan konsep negara hukum di masa
sekarang telah membawa kepada konsep negara kesejahteraan yang erat kaitannya
dengan peranan hukum administrasi negara. Hal ini dikarenakan dalam konsep
negara kesejahteraan peran negara dan pemerintah semakin dominan. Konsep
negara kesejahteraan telah diamanatkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945
pada alinea ke-4, bahwasanya pertama,
negara berkewajiban membentuk suatu pemerintahan negara yang memberikan
perlindungan kepada seluruh warga negara dan seluruh tumpah darah Indonesia
yang terdiri atas seluruh wilayah teritorial Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Kedua, negara berkewajiban
memajukan kesejahteraan umum, baik dalam bidang ekonomi, sosial budaya, politik
dan hukum. Ketiga, negara
berkewajiban mencerdaskan kehidupan bangsa dengan memberikan kesempatan yang
luas dan sama terhadap seluruh warga negara untuk mendapatkan pendidikan yang
layak. Keempat, Negara Indonesia sebagai
bagian dari penduduk dunia, berkewajiban melaksanakan ketertiban dunia
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Perbankan Indonesia pada tahun
1997-1998 mengalami krisis karena terimbas krisis moneter yang terjadi di
negara-negara Asia Tenggara lainnya. Krisis ini di perparah dengan gejolak
politik. Bank-bank mengalami kesulitan likuiditas. Besarnya stock utang luar negeri swasta dan umumnya
berjangka pendek serta minimya pengawasan pemerintah terhadap utang-utang yang
dilakukan oleh pihak swasta dalam negeri yang berasal dari pinjaman swasta world bank, mengakibatkan utang swasta
tersebut menjadi menumpuk sebesar 85% dari keseluruhan utang yang masuk ke
dalam negeri. Untuk menanggulangi permasalahan yang terjadi
khususnya dalam perbankan di Indonesia, pemerintah melalui Bank Indonesia
melakukan skema bantuan atau pinjaman berupa Bantuan Likuiditas Bank Indonesia
(BLBI) kepada bank-bank yang mengalami permasalahan likuditas pada saat krisis
moneter 1998. Skema ini berdasarkan perjanjian yang dibuat antara pemerintah
Indonesia dengan International Monetary Fund (IMF). Pada tahun 1998, BI
menyalurkan BLBI sebesar Rp. 147, 7 trilliun kepada 48 bank. Berdasarkan audit
BPK, terhadap penggunaan dana BLBI terdapat indikasi penyimpangan sebesar Rp.
130 triliun. Saat ini
utang BLBI berikut bunganya mencapai angka 650 triliun rupiah. Dan pembayaran
pokok berikut bunganya menjadi tanggungan negara, bukan lagi tanggungan para
pengemplang dana BLBI tersebut. Akumulasi cicilan pembayaran utang baik bunga
maupun pokok selama 12 tahun (2000-2011) mencapai Rp. 1.843,10 triliun.
Pembayaran cicilan pokok dan bunga rata-rata 25% dari APBN. Jikalau 25%
anggaran ini digunakan untuk kesejahteraan rakyat, tentu akan lebih bermanfaat. Ketidakmampuan
pemerintah untuk mengendalikan dan menuntaskan kasus BLBI ini merupakan ciri ketidaktegasan
pengambil kebijakan. Presiden dalam hal
ini sebagai penentu arah pemerintahan, ternyata dari periode ke periode
pergantian tampuk kepemimpinan, tidak ada yang memberikan kontribusi jelas
terhadap penyelesaian kasus BLBI ini. Wacana korupsi tentu sangat mungkin untuk
digelontorkan dalam kasus ini, akan tetapi sampai sekarangpun Komisi
Pemberantasan Korupsi belum juga dapat menuntaskan kasus BLBI ini. Ini juga
merupakan salah satu kegagalan pemerintah dalam mewujudkan kesejahteraan umum.
Salah satu kegagalan pemerintah dalam memenuhi hak konstitusional rakyat
Indonesia berupa kesejahteraan adalah tingginya korupsi yang kemudian
melahirkan ketidaksejahteraan bagi masyarakat.
Perekonomian merupakan salah satu hal yang penting dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara, bila perekonomian dengan disertai penegakan hukum yang
baik maka tujuan negara mencapai negara kesejahteraan dapat terwujud. Kebijakan
tentang perkonomian khususnya tentang perbankan, juga merupakan tugas
pemerintah dalam melakukan tugasnya sebagai pelayan publik. Pemerintah melalui
lembaga eksekutif dan legislatif, melakukan pengaturan keuangan dan alokasinya
melalui berbagai kebijakan yang dikeluarkan yang terencana dalan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara. Kebijakan penggunaan dana APBN tersebut
sepenuhnya dipergunakan untuk kesejahteraan seluruh masyarakat Indonesia, bukan
untuk individu ataupun golongan saja. Konsep pengalihan utang berupa obligasi
rekap BLBI sekarang ini, tentu tidak sesuai dengan Pancasila khususnya pasal
kelima yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dan Pembukaan UUD
1945 aline ke-4. Kebijakan pemerintah yang mengalihkan utang swasta BLBI ke
utang negara merupakan suatu bentuk keputusan atau ketetapan alat administrasi
negara. Jika suatu keputusan alat admisnstrasi negara ternyata merugikan rakyat
dan negara, maka rakyat dapat melakukan gugatan publik atau class action
untuk memohon pembatalan pelaksanaan keputusan tersebut kepada Peradilan Tata
Usaha Negara.
Dalam sudut tertentu, dalam negara kesejahteraan tugas pemerintah dalam
menyelenggarakan kepentingan umum menjadi sangat luas. Untuk itu diperlukan
keleluasaan untuk bergerak dalam administrasi negara sesuai kewenangan yang diberikan. Dalam kenyataannya
admininsrtasi negara dalam melaksanakan tugasnya itu terkadang melampaui batas
wewenang yang ditetapkan dalam hukum administrasi negara. Maka indikasi korupsi
dapat terjadi.
Berdasarkan Ketentuan Umum Bagian Pertama Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1986, gugatan adalah permohonan yang berisi tuntutan-tuntutan terhadap
pengadilan untuk mendapatkan keputusan. Tergugat adalah Badan atau Pejabat TUN
dan diajukan ke Pengadilan untuk mendapatkan keputusan. Gugatan dalam kasus
BLBI dapat dilakukan dengan cara class action. Class action atau
gugatan perwakilan kelompok. Dalam gugatan perwakilan (class action)
terdiri atas seluruh anggota kelas (class representatives dan class
members) sama-sama langsung mengalami atau menderita suatu kerugian dan tuntutannya
dapat berupa ganti kerugian berupa uang
(monetary damage) dan/atau tuntutan pencegahan (remedy) atau
tuntutan berupa perintah pengadilan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu
(injunction) yang sifatnya deklaratif.
Dalam kasus BLBI ini, warga negara atau rakyat dapat mengajukan class action,
karena memang telah merugikan rakyat dan negara.
Bertitik tolak pada latar belakang yang dikemukakan diatas, maka
permasalahan inti dalam tulisan ini adalah pemaparan mengenai kasus BLBI yang
merupakan utang swasta kemudian beralih kepada utang negara, ini merupakan
indikasi korupsi yang harus dibuktikan karena telah merugikan rakyat dan
negara, serta bagaimana pelaksanaan wacana class action terhadap
kebijakan obligasi rekap tersebut agar rakyat dan negara terbebas dari
kewajiban membayar utang BLBI.
B. Pembahasan
1. Pengambilalihan Utang Swasta Menjadi Utang Negara (Kasus BLBI)
Kasus
BLBI dapat digolongkan kedalam kejahatan perbankan oleh bank, hal ini kemudian
menjadi rumit ketika pemerintah merasa bahwa ini adalah tanggung jawab yang
harus dipenuhi oleh pemerintah dalam rangka menstabilkan perekonomian negara
dengan cara mengambil alih utang swasta perbankan menjadi kewajiban utang negara
pada tahun 2000. Kesalahan fatal terjadi
pada 1 November tahun 2000. DPR, Pemerintah dan BI menetapkan keputusan politik
menyangkut pembagian beban antara Pemerintah dan BI terhadap dana BLBI yang
sudah dikucurkan. Ini merupakan awal pengalihan beban utang swasta menjadi
beban utang negara.
Inilah awal konspirasi kroni politik yang berindikasikan korupsi, karena
selanjutnya pembayaran utang beserta bunganya dibayarkan dari kas negara yaitu
APBN. Ini merupakan suatu skandal besar, karena sudah jelas kejahatan BLBI
menindas ekonomi rakyat. BLBI yang dimanipulasi menjadi utang negara dalam
bentuk obligasi rekap perbankan sebesar 650 triliun rupiah pada tahun 1998, merupakan pangkal membengkaknya utang negara
hingga mencapai 1.970 triliun rupiah. Beban utang inilah yang merampas hak
rakyat untuk mendapat kesejahteraan dari uang pajak yang mereka bayarkan.
Korupsi BLBI membebani rakyat (Koran Jakarta; 15/10/2012) karena:
“Kerugian negara sebesar 650 trilun rupiah melebihi kerugian yang ada
pada kasus korupsi lainnya. Pembayaran
pokok dan bunga berbunga dari obligasi rekap BLBI sebesar 60 triliun rupiah
dianggarkan dan dibayarkan dari APBN, dimana penerimaan terbesar APBN adalah
dari pajak yang dibayarkan oleh rakyat. Logikanya, jika 60 triliun rupiah ini
digunakan untuk program pro rakyat sehingga rakyat sejahtera, tentu uang ini
lebih bermanfaat. Setiap generasi mendatang harus menanggung kewajiban
pengemplang BLBI. Semua pengemplang BLBI berkewarganegaraan
ganda. Utang Indonesia semakin membengkak karena
skandal BLBI ini, sehingga setiap warga negara bahkan bayi yang baru lahirpun
terhitung sudah harus menanggung utang.”
Menurut Dr. IS.Susanto, SH dalam makalahnya berjudul “Tinjauan
Yuridis Kejahatan Perbankan” menggolongkan tindak pidana perbankan kedalam
tindak pidana korporasi. Secara umum tindak pidana korporasi dapat dibedakan
atas, pertama, crimes for corporatian yakni pelanggaran hukum
dilakukan oleh korporasi karena menginginkan tujuannya yakni mencari keuntungan
dengan cara apapun. Kedua, criminal corporation yakni dibentuknya
badan usaha memang ditujukan untuk melakukan perbuatan jahat (Dummy
Corporation).
Dalam kasus BLBI ini dapat digolongkan pada kelompok pertama, crimes for
corporation. Dalam kasus ini para bankir dengan cara apapun termasuk
melakukan loby kepada para pengambil kebijakan untuk kepentingannya agar
mereka terbebas dari kewajibannya mengembalikan dana BLBI yang mereka telah
terima. Krisis yang terjadi pada industri perbankan pada tahun 1997, yang
kemudian menyebabkan digelontorkannya dana Bantuan Likuidasi Bank Indonesia
pada tahun 1998, merupakan indikasi yang memperlihatkan adanya
kelemahan-kelemahan internal pada industri tersebut.
Agar tidak terjerembab kedalam kemiskinan, maka obligasi rekap BLBI
harus dihentikan. Pengelolaan utang pemerintah dinilai menyesatkan karena
menempatkan pos utang dalam anggaran negara sebagai belanja tanpa ada
perimbangan aset hasil dari belanja utang tersebut. Ini berarti rakyat hanya
menanggung utang dan tidak menikmati belanja utang karena alokasi pembayaran
utang sebesar Rp. 322,709 trilliun per tahun, hanya untuk menutupi kewajiban
pengemplang dana BLBI. Oleh karena itu, demi keadilan untuk seluruh
rakyat Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan
Republik Indonesia 1945, pemerintah semestinya menghentikan pembayaran utang
pengemplang dana BLBI yang berasal dari APBN, dimana sumber pendapatan APBN
tersebut, sebagian besar berasal dari pajak yang dibayarkan oleh rakyat.
Apabila hal ini tidak dihentikan, maka pemerintah dapat dinilai telah
mengabaikan tanggung jawab menyejahterakan seluruh rakyat Indonesia tanpa
terkecuali, khususnya rakyat kecil, karena ternyata pajak rakyat digunakan
untuk membayar utang para obligor nakal dengan konsekuensi mengurangi alokasi
anggaran yang seharusnya digunakan untuk kesejahteraan rakyat. Menurut Direktur
Eksekutif Perkumpulan Prakarsa, Setyo Budiantoro menyatakan bahwa pembayaran
obligasi rekap menyebabkan anggaran untuk pembangunan dikorbankan.
Dalam kasus ini, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harus mengusut
dugaan korupsi dalam manipulasi BLBI ini sampai tuntas. BLBI yang seharusnya
adalah piutang negara, malah dibalik menjadi utang negara dalam bentuk obligasi
rekapitalisasi perbankan yang diterbitkan pada tahun 1998. Negara harus
menanggung bunga dan pokok obligasi yang akan jatuh tempo pada 2033. Hal ini dapat
dikategorikan sebagai kejahatan keuangan yang merupakan hasil kolaborasi pihak
luar, konglomerat hitam dan elite politik.
Penghapusan utang sudah merupakan pelanggaran hukum, akan tetapi ini lebih
parah lagi dimana telah terjadi pengubahan piutang menjadi utang. Hal ini tentu
menambah beban negara karena kerugian yang harus ditanggung negara akibat
mengeluarkan dana untuk membayar bunga obligasi rekap setiap tahunnya dari
APBN. Seharusnya pemerintah yang sekarang melakukan koreksi terhadap kebijakan
pemerintah terdahulu yang membuat suatu kebijakan yang salah sehingga menyengsarakan seluruh warga negara. Karena
kesalahan kebijakan dari pemerintahan terdahulu, maka APBN tersandera oleh
obligasi rekap.
Telah dipaparkan bahwa obligasi rekap merupakan utang pengemplang dana
BLBI. Untuk menyelesaikan kasus ini dan memberikan pijakan hukum, Mahkamah
Konstitusi menyatakan bahwa piutang bank BUMN bukan piutang negara. Menurut
Pakar Hukum Pidana Universitas Islam Indonesia, Mudzakir, menyatkan bahwa
keputusan MK itu adalah perintah hukum yang harus ditaati dan dijalankan. Kalau
memang piutang BUMN bukan piutang negara maka utang BUMN juga bukan utang
negara.
Hal ini dapat menjadi acuan dasar dan pijakan bahwa melalui sistematika analogi,
maka obligasi rekapitalisasi perbankan eks BLBI adalah utang swasta, bukanlah utang
negara. Oleh karena itu, seharusnya obligasi rekap ditarik dan pembayaran pokok
beserta bunga utang BLBI dari negara dihentikan. Keputusan MK dapat dijadikan
dasar tindakan pemerintah dalam menyetop pembayaran obligasi rekap. Keputusan
ini mempertegas bahwa utang swasta tidak pada tempatnya dibebankan kepada
rakyat. Beban BLBI harus menjadi tanggung jawab pengemplang BLBI dan bukan
tanggung jawab negara. BLBI merupakan dana talangan dari Bank Indonesia
sehingga merupakan uang negara dan harus dikembalikan. Menurut Abdilla Fauzi
Ahmad, anggota Komisi XI DPR-RI menyatakan: “Seharusnya pemerintah menyadari
bahwa keberadaan obligasi rekap adalah fenomena yang
tidak masuk akal. Pengemplang BLBI-lah yang berutang kepada negara, namun malah
sekarang menagih kepada negara.”
2. Class Action
Untuk dapat menuntaskan kasus BLBI ini, semua pihak harus mempunyai
komitmen yang jelas dan tegas. Pemerintah harus menjalankan putusan yang telah
dikeluarkan oleh MK, KPK harus tetap tegas dalam menjalankan tugas mulianya
memberantas korupsi salah satunya mengusut skandal BLBI ini sampai tuntas.
Tidak ada alasan bagi KPK untuk tidak menyelesaikan kasus BLBI. Terkait Masyarakat
dapat melakukan class action terhadap keputusan atau ketetapan
pemerintah yang berawal pada tanggal 1 November tahun 2000 dimana DPR,
Pemerintah dan Bank Indonesia menetapkan keputusan politik menyangkut pembagian
beban antara Pemerintah dan BI terhadap dana BLBI yang sudah dikucurkan.
Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 5
tahun 1986, istilah yang digunakan terhadap keputusan pemerintah yang bersifat
administratif ini disebut keputusan tata usaha negara, yang dalam Pasal 1 angka
3 diberikan pengertian sebagai “suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh
badan atau pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan hukum tata usaha
negara berdasarkan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret,
individual dan final, yang menimbulkan akibat-akibat hukum bagi seorang atau
badan hukum perdata ” Syarat formil sahnya suatu ketetapan atau keputusan
mencakup:
a.
Alat perlengkapan negara
yang membuat ketetapan itu haruslah alat perlengkapan negara yang berwenang.
b.
Dalam pembentukannya,
kehendak alat perlengkapan negara yang membuat ketetapan tidak boleh ada
kekurangan (bersifat yuridis).
c.
Ketetapan haruslah
berdasarkan keadaan tertentu.
d.
Ketetapan harus dapat
dilaksanakan dan tanpa melanggar peraturan-peraturan yang lain, menurut isi dan
tujuannya sesuai dengan peraturan yang menjadi dasar ketetapan itu.
Sedangkan syarat materiil sahnya keputusan meliputi
antara lain:
a.
Syarat yang ditentukan
berhubungan dengan persiapan dengan dibuatnya ketetapann dan berhubungan dengan
cara dibuatnya ketetapan harus dipenuhi.
b.
Ketetapan harus diberi
bentuk yang telah ditentukan di dalam peraturan yang menjadi dasar
dikeluarkannya ketetapan tersebut.
c.
Syarat-syarat yang ditentukan
berhubungan dengan dikeluarkannya ketetapan harus dipenuhi.
d.
Jangka waktu yang
ditentukan timbulnya hal-hal yang menyebabkan dibuatnya ketetapan tidak boleh
dilewati.
Dalam
kasus penetapan dana BLBI yang merupakan penetapan keputusan politik pemerintah
dimana utang swasta menjadi utang negara, secara persyaratan formal ketetapan
tersebut telah melanggar peraturan-peraturan yang lain, yaitu Pancasila sila
kelima dan Pembukaan UUD 1945 alinea ke-4. Sedangkan berdasarkan syarat
materiil, ketetapan tersebut tidaklah diberi bentuk, karena keputusan BLBI
menjadi tanggungan pemerintah hanyalah keputusan politik antara DPR, Pemerintah
dan Bank Indonesia pada 1 November 2000. Hal ini telah mengindikasiakan bahwa
sebenarnya keputusan tersebut mengalami kekurangan atau cacat. Kekurangan atau
cacat dari suatu keputusan dapat menjadi sebab keputusan tersebut tidak sah (niet rechtgelding).
Ketetapan
yang sah adalah ketetapan yang tidak mengandung kekurangan, dan ketetapan yang
dengan sendirinya mempunyai kekuatan hukum dan kekuatan berlaku.
Menyangkut ketetapan tidak sah menurut Van Der Wel dalam uraiannya yang juga
dikutip oleh Soehino berkesimpulan bahwa:
1)
Ketetapan yang isinya
sungguh sungguh tidak mungkin dapat dilaksanakan, dapat dianggap batal sama
sekali.
2)
Ketetapan yang mengalami
kekurangan dapat dipertimbangkan kekurangannya esensial atau tidak. Kalau tidak
menimbulkan akibat apa-apa terhadap sah tidaknya maka kekurangan ini tidak
esensial. Sedangkan terhadap kekurangan esensial haruslah dilihat kasus per
kasus.
Dalam
kasus BLBI ini, ketetapannya memiliki kekurangan esensial karena ketetapan yang
dilakukan telah melanggar peraturan diatasnya yaitu ground norm Pancasila khususnya sila kelima, dan UUD 1945 khususnya
Pasal 27 ayat (2) yaitu tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan
penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Karena keputusan mengambil alih utang
swasta para bankir nakal menjadi utang negara ini, mengakibatkan alokasi dana
untuk memberikan kehidupan yang layak bagi seluruh penduduk Indonesia demi
terwujudnya kesejahteraan tidak dapat terwujud, karena dananya dipakai untuk
membayar utang pengemplang dana BLBI. Terhadap kekurangan yang esensial ini,
maka ketetapan ini mutlak tidak sah, dan terhadap hal ini tiap orang bisa
menuntut pernyataan tidak sah dan tiap orang dapat menuntut pembatalan.
Jalan yang ditempuh dapat melalui class
action. Class action merupakan
gugatan perwakilan kelompok. Gugatan ini dilakukan dikarenakan terdapat
kesamaan kerugian dari pihak-pihak yang berkepentingan. Tentu dalam hal ini
rakyat sangat dirugikan kepentingannya. Gugatan ini dapat dilakukan oleh satu
atau sejumlah orang untuk membela haknya atau orang lain yang sama-sama
menderita kerugian, tuntutannya dapat berupa ganti kerugian berupa uang,
pemulihan atau berupa perintah pengadilan untuk melakukan atau tidak melakukan
sesuatu yang bersifat deklaratif. Ini
berarti, class action dapat dilakukan
dalam kasus pengalihan utang swasta BLBI menjadi utang negara, karena rakyat
jelas dirugikan dalam keputusan ini.
Ketetapan
tentang BLBI ini merupakan ketetapan yang tidak menyenangkan bagi masyarakat,
dan menimbulkan kerugian rakyat dan negara. Ketetapan atau keputusan ini merugikan
masyarakat karena menimbulkan kerugian terhadap perorangan yang bertentangan
dengan hukum secara luas dan kepentingan umum, dan karena pembuat ketetapan ini
adalah alat perlengkapan administrasi tinggi, yaitu DPR, pemerintah dan BI, maka dengan jalan class action permasalahan ini dapat
diajukan kepada hakim administrasi untuk menentukan sah tidaknya dan memohon
untuk pembatalannya.
C. Simpulan
Kasus pengalihan utang swasta BLBI
menjadi utang negara, berawal dari kebijakan
politis yang terjadi pada 1 November 2000 berupa keputusan bahwa DPR,
Pemerintah dan BI menanggung sebagian pembayaran utang BLBI dari para obligor
BLBI. Utang para obligor eks dana BLBI adalah sebesar 650 trilliun rupiah.
Keputusan ini ternyata membawa bencana dalam pengelolaan anggaran negara yang
terdapat dalam APBN. Pembebanan pembayaran utang bankir nakal tersebut telah
membebankan anggaran keuangan negara yang terdapat dalam APBN sehingga anggaran
negara pada tahun 2013 ini diperkirakan defisit. Utang Luar negeri semakin
menumpuk dan telah mencapai 2000 trilliun rupiah, karena harus menanggung
cicilan pokok dan bunga utang dana eks BLBI tersebut. Sungguh ironis, alokasi
dana yang seharusnya dianggarkan untuk kepentingan masyarakat agar masyarakat
dapat hidup layak sesuai dengan Pasal 27 UUD 1945, ternyata digunakan untuk
membayar utang para pengemplang dana BLBI. Keputusan nasionalisasi utang tersebut
tidak berbentuk, ini merupakan kesalahan fatal dalam suatu keputusan alat
administrasi negara, ditambah lagi keputusan tersebut bertentangan dengan
kepentingan umum. Untuk menyelesaikan kasus ini dan memberikan
pijakan hukum, Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa piutang bank BUMN bukan
piutang negara, ini berarti dapat diinterpretasikan bahwa utang swasta
bukanlah utang negara, maka Keputusan MK
dapat dijadikan dasar tindakan pemerintah dalam menyetop pembayaran obligasi
rekap. Jikalau pemerintah masih tidak memperdulikan keputusan MK tersebut, maka
rakyat melalui gugatan keterwakilan atau yang biasa disebut class action dapat mengajukan gugatan
berupa pembatalan pemberlakuan keputusan pengalihan utang swasta BLBI ke utang
negara kepada PTUN, dikarenakan cacat hukum.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Sitompul, Zulkarnain. 2007, Lembaga Penjamin Simpanan Substansi dan Permasalahan, Bandung: Book
Terrace & Library.
Ikomatussuniah,
Artikel berjudul “Salah Kaprah; Kebijakan Pemerintah Yang Mengalihkan Utang
Swasta Dana BLBI Menjadi Utang Negara”. Majalah
Dinamika Kabupaten Serang, vol. 36 No. 4, triwulan IV, 2012. Serang: CV.
Alfa Pratama Mandiri.
Ikomatussuniah, Artikel berjudul “Salah Kaprah;
Kebijakan Pemerintah Yang Mengalihkan Utang Swasta Dana BLBI Menjadi Utang
Negara”. Majalah Dinamika Kabupaten Serang, vol. 36 No. 4, triwulan IV , 2012, Serang: CV.
Alfa Pratama Mandiri, hlm. 4.