Majalah Dinamika Vol. 40, No. 1, Triwulan I Tahun 2016, ISSN 1907-2201
KEBIJAKAN KETENAGAKERJAAN TENTANG UPAH
KEBIJAKAN KETENAGAKERJAAN TENTANG UPAH
Ikomatussuniah,
SH., MH
Dosen Fakultas Hukum Universitas Sultan
Ageng Tirtayasa
Jl. Raya Jakarta Km. 04 Pakupatan-Serang
ikomatussuniah-design.blogspot.com
PENDAHULUAN
Indonesia, Negara Kesatuan yang kaya
akan sumber daya alam dan faktor-faktor produksi, salah satu kekayaan sekaligus
salah satu faktor produksi dalam pertumbuhan ekonomi adalah pertumbuhan
penduduk Indonesia yang signifikan. Berdasarkan pemaparan BPS pada Konsolidasi
Dewan Pengupahan Se-Indonesia Tahun 2014, dipaparkan bahwa ledakan pertumbuhan penduduk
yang diakibatkan oleh baby boom mengakibatkan
perumbuhan angkatan kerja meningkat. Permasalahan tejadi ketika angkatan kerja
meningkat akan tetapi tidak diimbangi dengan peningkatan lapangan pekerjaan. Maka,
yang terjadi adalah banyaknya pengangguran. Penduduk dikatakan penganggur
apabila tidak bekerja, tetapi mencari pekerjaan, atau mempersiapkan usaha, atau
mereka yang merasa tidak mungkin mendapat pekerjaan atau mereka yang sudah
punya pekerjaan tetapi belum memulai bekerja (BPS, 2010). Pengangguran akan
terdegradasi apabila pertumbuhan ekonomi secara makro dan mikro berkembang
dengan baik. Peningkatan Pertumbuhan ekonomi akan pula meningkatkan kesempatan
kerja. Skill dan produktivitas pekerja yang baik akan pula meningkatkan
kesempatan kerja. Produktivitas pekerja dapat diukur melalui rasio nilai PDB/PDRB
dengan jumlah penduduk yang bekerja. Kondisi dimana full employment terjadi, terkait dengan pengupahan, maka terjadi
peningkatan upah minimum sehingga mengakibatkan penurunan jumlah pekerja. Hal
ini disebabkan oleh berbagai faktor, misalanya karena pengusaha tidak ataupun
kurang mendapat order produksi sehingga efeknya berimbas kepada pemotongan biaya
produksi yang berupa biaya upah tenaga kerja. Terkait dengan upah, pemerintah
mengeluarkan paket kebijakan ekonomi terkait ketenagakerjaan yang mengusung ruh
keadilan dan kesejahteraan untuk semua pihak.
KEBIJAKAN KETENAGAKERJAAN TENTANG
UPAH
Paket kebijakan ekonomi tahap empat
terfokus kepada ketenagakerjaan. Terkait ketenagakerjaan memang merupakan ranah
kajian dalam keilmuan hukum privat dan hukum publik. Berdasarkan hukum privat,
ketenagakerjaan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 pada pasal
1 ayat (1) menyatakan bahwa ketenagakerjaan adalah segala hal yang berhubungan
dengan tenaga kerja pada waktu sebelum,
selama dan sesudah masa kerja. Dalam
ranah privat, tenaga kerja dan pengusaha atau pemberi kerja mempunyai hubungan
khusus dalam melaksanakan kesepakatan kerja yang termaktub dalam perjanjian
kerja sehingga menimbulkan suatu hubungan kerja. Perjanjian kerja ini diatur
secara umum dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata terkait syarat
sahnya suatu perjanjian, yaitu (Subekti, 1996:134):
1.
Perizinan yang bebas
dari orang-orang yang mengikatkan diri;
2.
Kecakapan untuk
membeuat suatu perjanjian;
3.
Suatu hal tertentu yang
diperjanjikan;
4.
Suatu sebab (“oorzaak)
yang halal, artinya tidak terlarang .
Ranah hukum publik ketenagakerjaan
tercermin dari peran pemerintah dalam mengatur regulasi ketenagakerjaan demi
terciptanya keseimbangan kesejahteraan dan keadilan yang diamanatkan oleh
Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar RI 1945 khususnya tentang konsep
Negara kesejahteraan. Salah bentuk peran pemerintah adalah dengan dibentuknya
Lembaga Kerjasama Tripartit yang merupakan forum komunikasi, konsultasi dan
musyawarah tentang masalah ketenagakerjaan yang anggotanya terdiri dari unsur
organisasi pengusaha, serikat pekerja/serikat buruh dan pemerintah. Terdapat
pula suaut lembaga non struktural yang bersifat tripartit yaitu Organisasi
Dewan Pengupahan yang bertugas memberikan saran, dan pertimbangan kepada
Pemerintah dalam rangka perumusan kebijakan pengupahan dan pengembangan sistem
pengupahan, yang diatur dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 107
Tahun 2004 Tentang Dewan Pengupahan.
Kebijakan ekonomi yang dikeluarkan dalam
bentuk Paket Kebijakan IV, fokus pada Ketenagakerjaan, antara lain tentang
formula upah minimum, baik Upah Minimum Provinisi (UMP), Upah minimum
Kabupaten/Kota (UMK) maupun Upah Minimum Sektoral Kabupaten/Kota (UMSK).
Formula Kenaikan upah minimum dipengaruhi dua faktor, yaitu inflasi dan
pertumbuhan ekonomi. Formulasi upah ini tidak lagi berdasarkan perhitungan
nilai Kebutuhan Hidup Layak yang selama ini telah dilakukan, Kebutuhan Hidup
Layak akan ditinjau ulang per periode 5 (lima) tahun sekali. Formulasi kenaikan
upah ini dapat berefek positif , yaitu (Koran Jakarta, 15/10/2015):
1.
Dipastikan bahwa kenaikan Upah Minimum bagi
para pekerja akan terjadi setiap tahun.
2.
Formula upah tidak
hanya menguntungkan pengusaha, tetapi juga pekerja.
3.
Formula tersebut
membuat kenaikan upah setiap tahun lebih terprediksi dan terukur.
4.
Upah yang terformulasi
dan terukur mengakibatkan dunia usaha dapat lebih bergerak dan berkembang,
sehingga lapangan pekerjaan akan semakin luas.
5.
Kenaikan Upah akan
realisitis dan para pedagang/pengusaha dapat dengan mudah menyesuaikan harga
sehingga berpengaruh terhadap inflasi.
Kebijakan ini telah diluncurkan dengan
dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Republik Indoneisa Nomor 78 Tahun 2015
Tentang Pengupahan. Gejolak penolakan terhadap Peraturan Pemerintah ini,
khususnya dari Serikat Pekerja massif terjadi.
Akan tetapi diharapakan, lewat kebijakan ini kepastian hukum dan
kepastian ekonomi sehingga regulasi yang ada dapat meningkatkan rasa keadilan
serta kesejahteraan dapat terwujud dengan baik, tentunya dengan dukungan semua
pihak, dalam hal ini pemerintah itu sendiri, pengusaha, pekerja, akademisi dan
masyarakat pada umumnya. Wallahu ‘alam
Bisshawaab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar