PANCASILA SEBAGAI DASAR KECERDASAN INTELEKEKTUAL,
EMOTIONAL DAN SPIRITUAL PESERTA DIDIK (STUDY KASUS TAWURAN PESERTA DIDIK)
Oleh: Ikomatussuniah, SH., MH.
Tenaga Pengajar Fakultas Hukum
Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
Jl. Raya Jakarta KM 4 Pakupatan – Serang
SILA PANCASILA
DAN KONSEP NEGARA KESEJAHTERAAN
Pancasila,
satu Ketuhanan Yang Maha Esa, dua Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab, tiga
Persatuan Indonesia, empat Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan
Dalam Permusyawarantan/Perwakilan dan Lima Keadilan Sosial Bagi Seluruh
Indonesia. Itulah Pancasila. Isi yang terkandung dari setiap sila yang dapat
dipastikan setiap orang hafal, dari tingakat Sekolah Dasar sampai Pendidikan
Tinggi. Akan tetapi, nyatanya dikehidupan berbangsa dan bernegara masih belum terlaksana
sesuai dengan cita-cita stakeholders
penyusun Pancasila. Pencetusan dan perumusan Pancasila merupakan pemikiran yang
konseptual dari Ir. Soekarno, Dr. Muhammad Hatta, Mr. Muhammad Yamin, Prof.Mr.Dr.
Soepomo dan tokoh-tokoh lainnya. Konsep yang disusun tersebut, bukanlah konsep imajiner yang susah untuk diterapkan. Nilai-nilai
Pancasila sebenarnya bukanlah ciptaan atau karangan dari para pencetus
sila-sila ini. Konsep dasar sila–sila tersebut berasal dari nilai-nilai yang hidup
dan berkembang dalam bangsa Indonesia sendiri. Nilai-nilai Pancasila digali
dari bangsa Indonesia sendiri yang telah tumbuh dan berkembang semenjak
lahirnya bangsa Indonesia. Yang dapat dipersamakan dengan lahirnya bangsa
Indonesia yang memilliki wilayah seperti Indonesia merdeka saat ini adalah masa
kerajaan Sriwijaya dan Majapahit. Pada masa itu, nilai-nilai ketuhanan, seperti
percaya kepada Tuhan telah berkembang dan sikap toleransi juga telah lahir,
begitu pula nilai kemanusiaan yang adil dan beradab serta sila-sila lainnya
(Syahrial Sarbaini, 2009:10).
Peserta didik atau
biasa kita sebut sebagai pelajar atau mahasiswa, merupakan asset negara yang
harus dididik dan dicerdaskan tidak hanya secara intelektualitas saja, tetapi
pencerdasan secara emosional dan spiritual pun harus diberikan dengan baik,
agar suatu saat kelak mereka dapat menjadi manusia yang cerdas dan berakhlak
mulia minimal untuk dirinya sendiri dan demi kemajuan kesejahteraan bangsa.
Konsep tujuan negara dalam konsep negara kesejahteraan (welfare state) yang termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia 1945 alinea ke-4 adalah:
1.
Negara berkewajiban memberikan perlindungan
kepada segenap bangsa Indonesia dan seluruh wilayah teritorial Indonesia
2. Negara
berkewajiban memajukan kesejahteraan umum
3. Negara
berkewajiban mencerdaskan kehidupan bangsa.
Konsep
negara kesejahteraan erat kaitannya dengan peranan hukum administrasi negara,
dalam hal ini pemerintah memberikan pelayanan publik kepada masyarakat dalam
memberikan fasilitas pendidikan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Dalam konsep negara kesejahteraan, peran
negara dan pemerintah semakin dominan. Negara kesejahteraan mengacu pada peran
negara yang aktif mengelola dan mengorganisasi perekonomian, politik, sosial
dan budaya. Ini berarti, pendidikan adalah tanggung jawab negara dan para stakeholders lainnya.
TAWURAN,
BUKTI GAGALNYA SISTEM PENDIDIKAN
Pencerdasan
secara intelektual, emosional dan spiritual menjadi tugas dari seluruh elemen
bangsa, yaitu lingkungan keluarga, kebijakan pemerintah, masyarakat dan stakeholders lainnya. Tawuran yang
terjadi akhir-akhir ini oleh oknum peserta didik merupakan bukti kegagalan
sistem pendidikan yang dilakukan oleh seluruh stakeholders, tidak hanya kesalahan pemerintah saja. Kebijakan yang
dikeluarkan tentang sistem pendidikan yang terkesan hanya mengedepankan
kecerdasan intelektual, mengakibatkan degradasi moral peserta didik kita.
Kecerdasan emosional dan spiritual mereka tergerus oleh lingkungan yang
terbentuk sekarang ini. Lingkungan yang hanya megedepankan sisi material,
terpaan globalisasi teknologi dengan banyak beredarnya jaringan internet yang
ternyata lebih banyak berdampak negatif sehingga mereka menjadi insan-insan
instan yang berakhlak rendah, malas dan manja.
Empat pilar kebangsaan adalah UUD 1945,
Pancasila, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika.
Pancasila
sebagai salah satu pilar bangsa mengamanatkan, nilai-nilai moral kepada seluruh
elemen bangsa. Sila kesatu Ketuhanan Yang Maha Esa, mempunyai konsep dasar
dalam kehdupan seorang warganegara. Konsep hubungan baik antara manusia dengan
Tuhan, manusia dengan manusia lainnya dan hubungan manusia dengan dengan mahluk
ciptaan Tuhan lainnya, merupakan konsep utama dalam sila kesatu. Apabila
konsep-konsep dalam sila kesatu sudah dapat dipamahi, maka nilai-nilai yang
tersurat dan tersirat dalam sila-sila berikutnya akan secara otomatis
terealisasikan. Inilah mengapa Pancasila dijadikan dasar dalam mencerdaskan
peserta didik secara intelektual, emosional dan spiritualnya. Pemahaman yang
diberikan dalam sistem pendidikan kita masih sekedar tataran teori, prakteknya
belum terlaksana. Sehingga, peserta didik menjadi peserta didik yang lebih
mengedepankan emosional daripada akal sehatnya. Pada umumnya tawuran yang
terjadi berawal dari hal-hal yang sepele, karena ketersinggungan pribadi atau
kelompok, sehingga dapat mengakibatkan tawuran yang berujung jatuhnya korban.
Unsur nalar bahwa tawuran merupakan sesuatu yang buruk, tidak menjadi
pertimbangan ketika emosional lebih dikedepankan, diperparah lagi dengan
pemakaian obat-obatan atau minuman keras sebelum tawuran agar timbul keberanian
dan tidak ada lagi rasa takut. Ini yang memperburuk keadaan. Berdasarkan hasil
wawancara penulis dengan seorang mantan peserta didik yang pernah melakukan
tawuran, sebelum mereka tawuran, mereka mengkonsumsi minuman beralkohol
terlebih dahulu sebanyak 3 atau 4 gelas. Minuman keras yang dikonsumsi
berdampak pada hilangnya rasa takut dan rasa sakit apabila mereka terkena
pukulan. Rasa sakit baru akan terasa setelah pengaruh minuman keras tersebut
hilang. Sungguh menyedihkan keadaan sistem pendidikan kita. Tenaga pengajar
atau guru, bahkan keluarga dan pemerintah terkesan tidak dapat berbuat banyak,
karena lingkungan pergaulan juga dapat mempengaruhi perkembangan psikologis seseorang.
Dengan alasan pencarian jati diri, para oknum peserta didik ini melakukan
tindakan diluar norma dan nilai-nilai yang ada dalam agama serta kehidupan
berbangsa bernegara. Kasus tawuran yang terjadi antara SMAN 70 dan SMAN 6 di
Jakarta, serta tawuran mahasiswa di Makasar, menjadi bukti tidak berdayanya
sistem pendidikan menghalau nilai-nilai negatif yang masuk pada peserta didik.
Ini juga membuktikan kegagalan sistem pendidikan yang tidak bisa memberikan
benteng secara emosional spiritual kepada peserta didik dalam menyaring hal-hal
negatif yang mungkin mempengaruhinya.
Akhirnya,
sistem pendidikan yang baik bukanlah sistem pendidikan yang hanya mengedepankan
nilai intelektualitas saja, akan tetapi kecerdasan emosional dan spiritual seseorang
juga merupakan hal utama. Kecerdasan intelektualitas apabila tidak diimbangi
dengan kecerdasan secara moral dan spiritual, maka ia akan menjadi insan yang
bisa menghalalkan segala cara. Apabila moralitas seorang peserta didik sudah
buruk, tidak terbayangkan bagaimana jadinya generasi penerus bangsa kita ini.
Pendidikan dengan tujuan mencerdaskan anak bangsa secara menyeluruh baik secara
intelektual, emosional dan spiritual menjadi pekerjaan rumah kita semua. Inilah
tugas kita bersama agar sistem pendidikan yang diterapkan bisa menciptakan
generasi yang cerdas dan berakhlak mulia. Wallahu
a’lam bisshawaab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar