SALAH
KAPRAH KEBIJAKAN PEMERINTAH YANG MENGALIHKAN UTANG SWASTA DANA BLBI MENJADI UTANG
NEGARA
Oleh: Ikomatussuniah, SH., MH.
Tenaga Pengajar Fakultas Hukum
Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
Jl. Raya Jakarta KM 4 Pakupatan – Serang
Indonesia,
negara yang pada tahun 1998 mengalami suksesi kepemimpinan. Presiden Soeharto
setelah menjabat selama 32 tahun, mengundurkan diri atas desakan dari
masyarakat dan seluruh komponen bangsa. Demonstrasi-demonstrasi, perusakan-perusakan,
penjarahan dan ketidakstabilan keamanan yang terjadi mengakibatkan imbas
negatif untuk seluruh segi kehidupan berbangsa dan bernegara. Demonstrasi yang
diwarnai dengan kekerasan, penculikan dan pelanggaran Hak Asasi Manusia lainnya
sampai sekarang masih menjadi pekerjaan rumah pemerintah untuk penyelesainnya. Perekonomianpun
ikut goyah, akhirnya terjadilah ketidakstabilan
perekonomian yang mengakibatkan krisis moneter tahun 1997-1998. Berdasarkan
laman putracenter.net yang diunduh pada tanggal 15 oktber 2012, penyebab krisis
ekonomi Indonesia tahun 1997-1998 adalah:
1.
Yang
pertama, stok hutang luar negeri swasta yang sangat besar dan umumnya berjangka
pendek, telah menciptakan kondisi bagi “ketidakstabilan”. Hal ini diperburuk
oleh rasa percaya diri yang berlebihan, bahkan cenderung mengabaikan, dari para
menteri di bidang ekonomi maupun masyarakat perbankan sendiri menghadapi
besarnya serta persyaratan hutang swasta tersebut.
2.
Yang kedua, dan
terkait erat dengan masalah di atas, adalah banyaknya kelemahan dalam sistem
perbankan di Indonesia. Dengan kelemahan sistemik perbankan tersebut, masalah
hutang swasta eksternal langsung beralih menjadi masalah perbankan dalam
negeri.
3.
Yang
ketiga, sejalan dengan makin tidak jelasnya arah perubahan politik, maka isu
tentang pemerintahan otomatis berkembang menjadi persoalan ekonomi pula.
4.
Yang keempat,
perkembangan situasi politik telah makin menghangat akibat krisis ekonomi, dan
pada gilirannya memberbesar dampak krisis ekonomi itu sendiri.
Untuk menanggulangi permasalahan yang terjadi khususnya dalam perbankan
di Indonesia, pemerintah melalui Bank Indonesia melakukan skema bantuan atau
pinjaman berupa Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) kepada bank-bank yang
mengalami permasalahan likuditas pada saat krisis moneter 1998. Skema ini berdasarkan
perjanjian yang dibuat antara pemerintah Indonesia dengan International
Monetary Fund (IMF). Pada tahun 1998, BI menyalurkan BLBI sebesar Rp. 147,
7 trilliun kepada 48 bank. Berdasarkan audit BPK, terhadap penggunaan dana BLBI
terdapat indikasi penyimpangan sebesar Rp. 130 triliun. Dana BLBI tersebut
ternyata tidak dikembalikan ke BI oleh para bankir yang menerima dana tersebut.
Bahkan sampai sekarang beberapa orang bankir lebih memilih untuk buron,
ketimbang mengembalikan dana yang pernah mereka terima untuk pemulihan
likuiditas perbankan mereka. Ironisnya, sekarang beberapa bank yang mendapat
kucuran dana BLBI itu ternyata sudah pulih likuiditasnya, dan bisa memberikan
remunerasi kepada para direksinya, dan sampai sekaran gmereka belum juga
membayar utang BLBI yang pernah mereka terima. Saat ini utang BLBI berikut
bunganya sudah mencapai angka 650 triliun rupiah. Dan pembayaran pokok berikut
bunganya menjadi tanggungan negara, bukan lagi tanggungan para pengemplang dana
BLBI tersebut. Akumulasi cicilan pembayaran utang baik bunga maupun pokok
selama 12 tahun (2000-2011) mencapai Rp. 1.843,10 triliun. Pembayaran cicilan
pokok dan bunga rata-rata 25% dari APBN. Jikalau 25% anggaran ini digunakan
untuk kesejahteraan rakyat, tentu sangat bermanfaat.
Kesalahan fatal terjadi pada 1 November tahun 2000. DPR, Pemerintah dan
BI menetapkan keputusan politik menyangkut pembagian beban antara Pemerintah
dan BI terhadap dana BLBI yang sudah dikucurkan. Ini merupakan awal pengalihan
beban utang swasta menjadi beban utang negara. Ini merupakan suatu skandal
besar, karena sudah jelas kejahatan BLBI menindas ekonomi rakyat. BLBI yang
dimanipulasi menjadi utang negara dalam bentuk obligasi rekap perbankan sebesar
650 triliun rupiah pada tahun 1998, merupakan pangkal membengkaknya utang negara
hingga mencapai 2.000 triliun rupiah. Beban utang inilah yang merampas hak
rakyat untuk mendapat kesejahteraan dari uang pajak yang mereka bayarkan.
Korupsi BLBI membebani rakyat (Koran Jakarta; 15/10/2012) karena:
a. Kerugian negara sebesar 650 trilun rupiah melebihi kerugian yang ada
pada kasus korupsi lainnya.
b. Pembayaran pokok dan bunga berbunga dari obligasi rekap BLBI sebesar 60
triliun rupiah dianggarkan dan dibayarkan dari APBN, dimana penerimaan terbesar
APBN adalah dari pajak yang dibayarkan oleh rakyat. Logikanya, jika 60 triliun
rupiah ini digunakan untuk program pro rakyat sehingga rakyat sejahtera, tentu
uang ini lebih bermanfaat.
c. Setiap generasi mendatang harus menanggung kewajiban pengemplang BLBI.
d. Semua pengemplang BLBI berkewarganegaraan ganda.
e. Utang Indonesia semakin membengkak karena skandal BLBI ini, sehingga
setiap warga negara bahkan bayi yang baru lahirpun terhitung sudah harus
menanggung utang.
Dari pemaparan
diatas, terlihat jelas pemerintah salah kaprah dalam melihat dan melakukan
tindakan terhadap para pengemplang dana BLBI. Pemerintah selama empat kali masa
perubahan pemerintahan setelah Soeharto, mulai dari Presiden B.J. Habibie, KH. Abdurrahman
Wahid, Megawati dan Susilo Bambang Yudhoyono, terkesan membiarkan kesalahan
fatal ini. Pengambilalihan utang obligor nakal BLBI ini menjadi utang negara
dan dibebankan pada anggaran pendapatan dan belanja negara yang berasal dari
pajak rakyat, sungguh menyayat hati rakyat, dan ini bertentangan dengan konsep
negara kesejahteraan yang termaktub dalam Pembukaan UUD 1945 alinea ke-4. Negara kesejahteraan mengacu kepada peran
negara yang aktif mengelola dan mengorganisasi perekonomian. Jika pemerintah
tidak bisa mengambil keputusan yang tegas tentang dana BLBI ini, berarti
pemerintah belum bisa mewujudkan cita-cita negara kesejahteraan.
Keputusan untuk mengambil
alih utang swasta menjadi utang negara, terjadi pada masa kepemimpinan Megawati
sebagai presiden. Sekarang masyarakat sudah paham akan situasi sebenarnya, dan
tidak bisa dibodohi lagi, seharusnya pemerintah yang berkuasa saat ini di bawah
kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, berani mengambil kebijakan tegas untuk memberhentikan
pembayaran pokok dan bunga berbunga obligasi rekap BLBI yang dibayarkan dari
uang rakyat. Lebih baik uang tersebut digunakan untuk pengembangan pertanian
dan infrastruktur yang jelas-jelas akan membawa kesejahteraan rakyat secara
perekonomian, sosial dan budaya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar