Jumat, 11 November 2016

SWASEMBADA PANGAN UNTUK KETAHANAN PANGAN

SWASEMBADA PANGAN UNTUK KETAHANAN PANGAN
Ikomatussuniah, SH., MH
Dosen Fakultas Hukum Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
Jl. Raya Jakarta Km. 04 Pakupatan-Serang
ikomatussuniah-design.blogspot.co.id



PENDAHULUAN
       Indonesia dikenal sebagai Negara agraris.  Negara dengan luas lahan pertanian, perkebunan, perairan dan hutan yang representatif. Akan tetapi disinyalir disetiap tahun 100.000 hektar lahan pertanian menyusut, produktivitas perkebunan menurun, hasil perairan menurun karena rusaknya daerah perairan dan semakin menurunnya luas hutan karena pembalakan liar dan sistem perizinan baik yang legal maupun illegal dalam Hak Pengelolaan Hutan yang mengakibatkan fungsi hutan menurun bahkan hilang. Sebagai negara agraris secara logis Indonesia dapat memenuhi kebutuhan pangan rakyatnya dengan baik dan berkelanjutan. Dasar penguatan hukum terkait regulasi pangan diatur dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan. Regulasi ini memberikan dasar penguatan bahwa negara hadir dalam menjamin ketersediaan pangan rakyatnya untuk mewujudkan kesejahteraan umum. Salah satu bentuk bahwa kebutuhan pangan rakyat terjaga dan terjamin adalah dengan melakukan swasembada pangan. Swasembada adalah pekerjaan rumah pemerintah karena terkait ketersediaan dan keterjangkauan bahan pangan merupakan esensi bagi rakyat untuk dapat hidup sejahtera. Pekerjaan rumah tersebut antara lain terkait dengan kestabilan harga dan pemenuhan pasokan yang seringkali mengalami masalah sehingga berimbas kepada rakyat, misalnya sampai dengan melambungnya harga bahan pangan dipasaran dan kelangkaan stok bahan pangan dipasaran. Ketika era pemerintahan Soeharto, Indonesia pernah melakukan swasembada beras, dan ini diharapakan dapat terwujud kembali.

SWASEMBADA PANGAN UNTUK KETAHANAN PANGAN
       Berdasarkan Undang-Undang Pangan 2012, Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, perairan, dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan Pangan, bahan baku Pangan, dan bahan lainnya yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan/atau pembuatan makanan atau minuman. Pangan adalah salah satu hak asasi manusia, karena ini besinggungan langsung dengan hidup dan penghidupan rakyat sebagai manusia seutuhnya. Oleh karena itu, sudah sewajarnya pemerintah melakukan perlindungan kepada rakyatnya dengan memberikan kepastian pemenuhan pangan dengan swasembada pangan demi terwujudnya ketahanan pangan. Ketahanan Pangan adalah kondisi terpenuhinya Pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya Pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan. Terkait swasembada, swasembada merupakan kemampuan manusia/rakyat dalam memenuhi kebutuhan pangannya sendiri dalam suatu lingkungan tanpa adanya impor dan campur tangan pihak luar.
       Poin ketujuh dari Nawa Cita pemerintahan Joko Widodo – Jusuf Kalla menyatakan bahwa “Mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestik”. Salah satunya penjabaran dari point tersebut adalah swasembada pangan. Berdasarkan katadata.co.id dikatakan Menteri Pertanian Amran Sulaiman bahwa pemerintah telah memenuhi janjinya mengenai swasembada pangan. Tiga komoditas pangan yang dijanjikan swasembada sudah terwujud, yaitu padi, bawang dan cabai. Swasembada tersebut berarti untuk komoditas pangan padi, bawang dan cabai tidak lagi bergantung pada impor. Kinerja pemerintah terkait swasembada pangan ternyata melebihi target awal yang dijanjikan, selain ketiga bahan pangan diatas, ternyata bahan pangan jagung juga telah swasembada. Swasembada beras misalnya dapat ditelaah dengan ketersediaan stok beras hingga saat ini mencapai dua juta ton. Beras organik hasil dari 44 Kabupaten di Indonesia sudah dapat dijual ke luar negeri, dengan harga 66 euro per kilogram atau sekitar Rp. 900.000,00. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik dinyatakan pula bahwa:
1.    Produksi padi tahun 2015 sebanyak 75.36 juta ton Gabah Kering Giling (GKG) atau mengalami kenaikan sebanyak 4.51 juta ton (6.37 persen) dibandingkan tahun 2014. Kenaikan produksi tersebut terjadi di Pulau Jawa sebanyak 2.31 juta ton dan di luar Pulau Jawa sebanyak 2.21 juta ton. Kenaikan produksi padi terjadi karena kenaikan luas panen seluas 0.32 juta hektar (2.31 persen) dan peningkatan produktivitas sebesar 2.04 kuintal/hektar (3.97 persen).
2.    Kenaikan produksi padi tahun 2015 sebanyak 4,51 juta ton (6,37 persen) terjadi pada subround Januari–April, subround Mei–Agustus, dan subround September-Desember masing-masing sebanyak 1,49 juta ton (4,73 persen), 3,02 juta ton (13,26 persen), dan 1,80 ribu ton (0,01 persen) dibandingkan dengan produksi pada subround yang sama tahun 2014 (year-on-year).
      Katadata.co.id menyatakan bahwa untuk bawang dan cabai naik masing-masing 1.8 persen dan 3.7 persen. Indonesia sudah tidak perlu lagi mengimpor tiga komoditas tersebut. Bahkan untuk bawang juga sudah bisa ekspor serta untuk jagung produksinya meningkat menjadi 21 persen dan sudah dapat memenuhi kebutuhan dalam negeri, komoditas lainnya yang mengalami kenaikan produksi adalah kelapa sawit, kakao, kopi dan karet. Keadaan yang lebih baik ini tidak terlepas dari komitmen pemerintah dalam memberikan dukungan maksimal pada sektor yang dapat memperkuat swasembada pangan.
       Kondisi terkait beberapa bahan pangan diatas yang telah dinyatakan swasembada idealnya rakyat dapat mengkases bahan pangang tersebut dengan mudah. Jika semua rakyat dengan mudah dapat mengaksesnya, maka pemerintah telah sukses melakukan swasembada dan mewujudkan ketahanan pangan, akan tetapi jika ternyata dilapangan rakyat tidak semua dapat mengaksesnya dengan baik, maka swasembada secara implementatif belum terwujud. Implementasi swasembada dan perwujudan ketahanan pangan dapat maksimal dengan dilakukannya beberapa langkah berikut:
1.      Pembenahan infrastruktur yang menunjang peningkatan produksi pangan, seperti pembenahan dan pembangunan irigasi.
2.      Pendidikan dan Pelatihan kepada para petani.
3.      Akses harga terjangkau untuk benih, bibit, pupuk serta alat pertanian atau alat penunjang keberhasilan peningkatan produksi pangan.
4.      Pembentukan dan atau Penguatan lembaga ketahanan pangan atau Badan Otoritas Pangan seperti yang diamanatkan Undang-Undang Pangan 2012.
5.      Penegakan hukum disemua lini, dari hulu ke hilir, sehingga tidak ada kartel ataupun sistem yang dapat merugikan petani khususnya dan rakyat pada umumnya.

PENUTUP

       Tindakan nyata pemerintah bersegi satu ataupun bersegi dua dalam mewujudkan swasembada pangan diperlukan untuk memperkuat ketahanan pangan yang merupakan salah satu wujud hadirnya negara dalam menciptakan kesejahteraan untuk rakyatnya. Undang-Undang Pangan tahun 2012, merupakan salah satu dasar yuridis bagi stakeholder dalam menciptakan pangan yang berdaulat. Wallahu’alambisshawaab.

Senin, 10 Oktober 2016

Majalah Dinamika, hlm, 31-33, Vol 39, No. 2, Triwulan 2, Tahun 2015. ISSN 1907-2201

STRENGTHENING THE FUNCTION OF PUBLIC-COMPANY BULOG UNDER THE FOOD LAW

Ikomatussuniah, SH., MH.
Law Faculty of Sultan Ageng Tirtayasa University 
A: Jl. Raya Jakarta KM. 04 Pakupatan Serang

Introduction
      Of all Indonesia identities, Pancasila becomes the most embedded in the people’s mind which is identical with abundant resources. The resources are managed according to the local wisdom in every single region. The regions are included in the framework of The United State of Republic of Indonesia (said ‘NKRI’). The system of government management in such framework is responsible for implementing pro-people programs in order to realize the nation's welfare which is in line with the Indonesian people’s objective included in the fourth passage of the opening of 1945 Constitution. One of the representations of the welfare is through a good guarantee of food availability for all people. The system should be able to build a network of procedures which are integrated one another under a strong scheme to drive the creation of good and sustainable food system. This food system is a description of how the food regulatory mechanism is done by the state government and driven by the President as the highest position in the state government management. The public-company BULOG is an institution initiated from the Food Law, which is implemented by Presidential Decree to establish BULOG as the national logistics institution. The function of this institution is suggested to be strengthened, so the food regulation can run well and maximally.
Strengthening the Function of BULOG under the Food Law
       Food is the primary need for human-beings. And, a country, Indonesia in particular, has an obligation to realize the availability, accessibility, and fulfilment of food consumption that is adequate, safe, qualified, and nutritionally balanced either at the national level or the regional and individual ones equally and continuously through exploiting the resources, institutions, and local wisdom. Since Indonesia is a country with a great number of inhabitants and has various natural and food resources, it must be able to fulfil the food need sovereignly and autonomously. This becomes a fundamental consideration in constructing the Food Law. The food legislation is included in the 1996 Food Law No. 7 which has been amended by the 2012 Food Law No. 18. According to the Law, article I, food is everything, raw or processed, originated from biological resources as a product of agriculture, plantation, forestry, fishery, animal farming, and water, which is used as food or drink for human consumption including its additives, raw materials, and other materials used in the preparation, processing, and/or manufacturing of food and drink. In terms of realizing food sovereignty and autonomy, as well as national food security according to the 2012 Food Law No. 18, article 126, therefore, it is established a government institution concerning to food under and accountable to the President.
       The Logistic Affairs Institution (BULOG) is an institution mandated by the Food Law from the implementation of Presidential Decree as the agency that implements price stability and manages the national food stocks. Like BULOG, there are many institutions concerning to food around the world. BULOG is a representative institution regulating the food stock and food price stability in order to realize the food availability and price affordability corresponding to the people’s financial ability. The history of BULOG as cited on www.Bulog.co.id, has been changing regarding its duty from time to time as follows.
1.      On May 10, 1967 under the Presidium Cabinet No. 114/U/P.D./5/1967, BULOG obliges to secure the food availability in order to uphold the existence of New Government.
2.      On January 21, 1969 under Presidential Decree No. 39/1969, BULOG obliges to stabilize the rice price.
3.      P.D. No. 39/1987, BULOG is responsible for supporting the development of multi food commodities.
4.      P.D. No. 103/1993, the Head of BULOG was concurrently held by the Ministry of Food Affairs. According to the decree regarding the Logistic Affairs Institution (BULOG), it is a non-departmental institution under and accountable directly to the President. BULOG has a major duty to control price, foster the availability, security, and development of grain quality, rice, sugar, wheat, flour, soy, soybean meal as well as other food and feed materials either directly or indirectly to keep the price stability for producers and consumers and to fulfil the food and food quality needs based on the government’s general policy.
5.      P.D. No. 50/1995, BULOG obliges to control price and manage the availability of rice, sugar, wheat, flour, soy, and other food and feed materials either directly or indirectly to keep the price stability for producers and consumers and to fulfil the food and food quality needs based on the government’s general policy.
6.      P.D. No. 45/1997, the commodity managed by BULOG should be decreased; remaining rice and sugar.
7.      On January 21, 1998 was P.D. No. 19 issued in which its duty is restored as in P.D. No. 39/1968. Through this decree, along with the agreement with IMF, consequently, the scope of commodities handled by BULOG is re-narrowed in which the major duty of BULOG is only to handle rice commodity, while the others are about to be in markets mechanism. This decree is surely not in line with the principle of democratic economy.
8.      P.D. No. 29/2000, the government promotes BULOG to be an organization concerning to logistic services as well as its traditional duty. The major duty of BULOG is to carry out the government’s duties dealing with logistic management through managing and controlling the rice availability, distribution, and price (keeping the government purchasing price – said ‘HPP’) based on the authorized legislation.
9.      P.D. No. 29/2000, the change is getting stronger with the issuance of P.D. No. 166/2000, which is further changed to P.D. No. 103/2000. Then, it is changed to P.D. No. 03/2002 on January 7, 2002 in which the major duty of BULOG is still the same as in P.D. No. 29/2000 with a different nomenclature giving a transitional period up to 2003. Finally, with the issuance of the Government Regulation No. 7/2003, BULOG officially switched its status to the public-company BULOG.

In conclusion, based on the glance exposure about BULOG, its role and function should be strengthened in order to achieve the purpose of the nation’s welfare, not weakened even abolished instead as in the discourse to abolish the public-company BULOG issued by Ministry of Home Affairs (Sindo News, 19/04/2015). Indonesian people have the right to get food sovereignty, autonomy, security, and safety as what has been mandated in the 1945 Constitution and the Food Law. Further, it is expected, through the public-company BULOG, to be able to realize the aforementioned right under the principle of democratic economy without any intervention from foreign parties. 

Sabtu, 08 Oktober 2016

Published on Dinamika Magazine in September 2016

THE LETHARGY OF FOOD PRICE

Ikomatussuniah, SH., MH
A lecturer at Law Faculty of Sultan Ageng Tirtayasa University
Jl. Raya Jakarta Km. 04 Pakupatan-Serang
ikomatussuniah-design.blogspot.co.id



INTRODUCTION
       Food sovereignty becomes the main issue to achieve welfare. A welfare in line with the aim of state welfare in Indonesia has been conceived in the fourth alenia of the opening Constitution of Republic of Indonesia, 1945. According to Food Law, food sovereignty is for the country and its people in which the country autonomously determines certain food policies insuring the people's food rights and giving them rights to determine the food system appropriate with the potential of local resources. In terms of food production, the country should be able to produce various domestic food that can guarantee the fulfilment of food needs adequately and up to personal level through exploiting the potentials of natural, human, social, economy, and local wisdom resources. The ideal circumstance envisioned in the law regulations at the implementation level is not realized well yet. Those aforementioned potentials have been untapped and not exploited yet maximally. When it goes to the problem of food need, the symptom of lethargy in fulfilling the need occurs. This circumstance leads to a stability fluctuation of food availability. Consequently, the price becomes inconsistent and uncertain.  It is of course about to make the people worried and feel uncomfortable.


THE LETHARGY OF FOOD PRICE
      Lethargy is a condition in which a loss of consciousness, concentration, and alertness occurs.  In this moment, the people might feel confused and be delirious, but still have ability to communicate. (Taken from: https://id.wikipedia.org/wiki/Letargi). Some researches on sociology concern on the symptoms of lethargy as forms of social behavior in a society in which the state of apathy spreads and many people become not productive, often desperate, and passionless (Robertus Robert, “Opini Kompas” 04/08/2016).
       Food price is one of the contributing criteria to the stabilized welfare in a society. If the price is stable, then the society welfare in terms of primary needs fulfilment can be well realized. In Indonesia, the food price tends to be fluctuative particularly on certain religious holidays, and this leads to the domestic economy.    (Taken from: http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2016/06/06/155929026/indef.cuma.di.indonesia.harga.pangan.selalu.naik.jelang.hari.raya, 10/08/2016). The commodities getting into a fluctuation or exactly price increase comprise rice, chicken egg, red onion, red chilies, chicken and beef meat. This happens because of lots of demand from the consumers to fulfill the need on those days. In fact, the more the demand is, the higher the negotiation will be. In this circumstance, the traders see this as an opportunity to get as much income as possible.
        Kompas magazine 09/02/2016, reported that particularly for rice, the rice crisis in Indonesia occurred in the moment to May, 1998. The society worried that rice will be diminished from the market circulation. Some national and international politic observers suggested that rice crisis becomes one of the contributing factors to the fall of Soekarno and Soeharto's presidency. The society's worries on the great crisis in the beginning of February, 1998 made the Ministry of Coordination of Production and Distribution of Cabinet Construction VI, Hartato Sastrosoenarto, along with the Head of Logistic Affairs Body (so-called Kabulog) Beddu Amang was told to get to Soeharto's residence. To journalists, they both disputed that the rice stock runs out. Even if the stock is not adequate, it will be imported. This statement triggered a lethargy in fulfilling the food need. Kabulog also emphasized that private parties are allowed to import rice, sugar, soy, and flour freely. The Soeharto's government urged that rice stock keeps being the responsibility of Bulog.  After Soeharto’s falling, Indonesia got into the reform period. Then, Soeharto got an award from United Nations (UN) in the field of food self-efficiency in 1980s. 
       Recently, the government is suggesting rice self-efficiency as done in the Soeharto's era. However, importing activity had ever occurred. Import is the characteristic of lethargy on food price in which in fulfilling the food need, the constraint is still on the lack of readiness and preparation from the stakeholders, so that a breakthrough by doing import has been a public secret. This becomes ‘a project’ for some parties. Those two constraints on this recurrent problem every year lead to the loss of society welfare. Through import, productivity becomes weak, the markets are getting passionless, and such circumstances is the sign of despair to bring back rice self-efficiency. Recently, many of either natural or human resources are not productive in managing the food availability. The food lethargy is occurred because of inconsistent condition leading to the lack of readiness and preparedness upon the food price that can be obtained by the whole society.   This also leads to an increasing food price and food security will be questioned.

CONCLUSION

       The lethargy of food price has become a current issue, and is the excess of government policy from period to period. Food security is a huge responsibility for the government and the whole stakeholders. Good intention and real actions, functioning the policy in food control from centralized to regional levels, could create a stabilized food price, so that the envisioned welfare is possibly to be realized.  Clear regulations, real actions from the government, wise entrepreneurs, productive societies, and concrete law enforcement will altogether create a stabilized food price.

Selasa, 16 Agustus 2016

LETHARGY OF FOOD PRICE

LETHARGY OF FOOD PRICE
Ikomatussuniah, SH., MH.
Law Faculty of Sultan Ageng Tirtayasa University 
A: Jl. Raya Jakarta KM. 04 Pakupatan Serang

Introduction
       Food Sovereignty is a key issue to achieve welfare. Welfare concept in the welfare state in Indonesia objectives set forth in the fourth paragraph of the Preamble to the Constitution of the Republic of Indonesia, 1945. Based on the Law of Food, Food sovereignty is the right of states and nations that independently determine the policy which guarantees the right of Food to Food for the people and which entitles people to determine Food systems in accordance with the potential of local resources. State's food production must be able to produce food that varied from country to ensure sufficient food needs until the individual level by exploiting the potential of natural resources, human, social, economic and local wisdom. Ideal circumstances aspired in the regulations-law, on the level of implementation cannot be done well. The potential of natural resources, human, social, economic and local wisdom untapped and fully utilized. When hit by a problem on the procurement of food needs, symptoms of lethargy in food needs to happen. This situation caused an uproar stability of food supply, so the price becomes erratic and there is no certainty. This of course makes people uneasy and uncomfortable.

Lethargy of Food Price
       Lethargy is a situation where a decline in awareness, concentration and alertness, at the moment of lethargy, the patient may experience confusion accompanied by delirium, but they have little ability to communicate (https://id.wikipedia.org/wiki/Letargi). Sociological research highlights the symptoms of lethargy as forms of social behavior in the community where apathy widespread and many people become unproductive, completely desperate and without passion (Robertus Robert, Kompas 04/08/2016).

       Food price stability criterion is one of welfare in society. If food prices stable, the welfare of the community in the fulfillment of basic needs can be met properly. In Indonesia, food prices are always fluctuating, especially price fluctuations will occur on the day of religious festivities, and this impact on the domestic economy (http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2016/06/06/155929026/indef.cuma.di.indonesia.harga.pangan.selalu.naik.jelang.hari.raya, 08.10.2016). Fluctuating commodity price increases precisely, among others, rice, egg, onion, red pepper, chicken and beef. It is indeed occurs because of demand from consumers to meet the needs of religious festivities. In fact, if there is condition when there are more demands so the supplies will be higher. In this condition the traders took the opportunity to profit as possible.

Rabu, 10 Agustus 2016

LETARGI HARGA PANGAN


Ikomatussuniah, SH., MH
Dosen Fakultas Hukum Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
Jl. Raya Jakarta Km. 04 Pakupatan-Serang
ikomatussuniah-design.blogspot.com



PENDAHULUAN
       Kedaulatan Pangan merupakan isu utama untuk mencapai kesejahteraaan. Kesejahteraan yang terkonsep dalam tujuan Negara welfarestate di Indonesia termaktub dalam alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Berdasarkan Undang-Undang Pangan, Kedaulatan Pangan adalah hak negara dan bangsa yang secara mandiri menentukan kebijakan Pangan yang menjamin hak atas Pangan bagi rakyat dan yang memberikan hak bagi masyarakat untuk menentukan sistem Pangan yang sesuai dengan potensi sumber daya lokal. Dalam memproduksi pangan Negara harus mampu memproduksi pangan yang beraneka ragam dari dalam negeri yang dapat menjamin pemenuhan kebutuhan pangan yang cukup sampai ditingkat perseorangan dengan memanfaatkan potensi sumber daya alam, manusia, sosial, ekonomi dan kearifan lokal.  Keadaan ideal yang dicita-citakan dalam ketentuan peraturan-perundang-undangan, pada tataran implementasi belum dapat terlaksana dengan baik. Potensi sumber daya alam, manusia, sosial, ekonomi dan kearifan lokal belum tergali dan dimanfaatkan secara maksimal. Ketika terbentur oleh suatu permasalahan tentang pengadaan kebutuhan pangan, gejala letargi dalam pemenuhan kebutuhan pangan terjadi. Keadaan ini mengakibatkan gejolak stabilitas ketersediaan pangan, sehingga harga menjadi tidak menentu dan tidak ada kepastian. Hal ini tentu saja membuat rakyat resah dan tidak nyaman.

LETARGI HARGA PANGAN
       Letargi merupakan suatu keadaan dimana terjadi penurunan kesadaran dan pemusatan perhatian dan kesiagaan, Pada saat mengalami letargi, penderita mungkin akan mengalami kebingungnan yang disertai dengan mengigau, tetapi masih mempunyai sedikit kemampuan untuk berkomunikasi (https://id.wikipedia.org/wiki/Letargi). Penelitian sosiologi menyoroti gejala letargi sebagai bentuk-bentuk perilaku sosial di dalam masyarakat di mana apati meluas dan banyak orang menjadi tidak produktif, serba putus asa, tanpa gairah (Robertus Robert, Opini Kompas 04/08/2016).
       Harga pangan merupakan salah satu patokan kestabilan kesejahteraan di masyarakat. Jika harga pangan stabil, maka kesejahteraan masyarakat dalam pemenuhan kebutuhan pokoknya dapat terpenuhi dengan baik. Di Indonesia harga pangan selalu fluktuatif, khususnya fluktuasi harga akan terjadi pada hari-hari besar keagamaan, dan ini berdampak pada perekonomian dalam negeri (http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2016/06/06/155929026/indef.cuma.di.indonesia.harga.pangan.selalu.naik.jelang.hari.raya, 10/08/2016). Komoditas yang mengalami fluktuasi tepatnya kenaikan harga antara lain beras, telur ayam, bawang merah, cabe merah, daging ayam, daging sapi. Hal ini memang tejadi karena banyaknya permintaan dari konsumen untuk memenuhi kebutuhan perayaan hari besar keagaamaan. Kenyataannya semakin banyak permintaan maka penawaran akan semakin tinggi. Dalam kondisi ini pedagang mengambil kesempatan untuk mendapat keuntungan sebaik mungkin.
       Kompas 09/02/2016, mengabarkan bahwa khusus tentang beras, krisis beras di Indonesia terjadi menjelang Mei 1998. Masyarakat khawatir beras akan hilang dari peredaran di pasar. Beberapa pengamat politik dalam dan luar negeri berpendapat bahwa krisis beras menjadi salah satu faktor penentu jatuhnya Presiden Soekarno dan Presiden Soeharto. Kekhawatiran masyarakat atas krisis berat di awal Februari 1998 membuat Menteri Koordinator Produksi dan Distribusi Kabinet Pembangunan VI Hartato Sastrosoenarto serta Kepala Badan Urusan Logistik (Kabulog) Beddu Amang dipanggil Presiden Soeharto ke tempat kediamannya. Kepada wartawan, Hartato dan Beddu Amang membantah bahwa stok beras di Bulog sudah habis. Kalaupun persediaan tidak cukup akan segera impor keluar negeri. Pernyataan ini merupakan pemicu letargi dalam pemenuhan kebutuhan pangan. Kabulog juga menekankan, pihak swasta diperkenankan untuk mengimpor beras, gula, kedelai dan tepung terigu dengan bebas.  Pemerintahan Soeharto menginginkan stok beras tetap menjadi tanggung jawab Bulog. Setelah Soeharto lengser, Indonesia memasuki masa reformasi. Soeharto mendapat penghargaan dari Perserikatan Bangsa-Bangsa bidang swasembada pangan pada tahun 1980-an.
       Pemerintahan saat ini mencanangkan swasembada beras seperti halnya pada era Soeharto. Akan tetapi sempat terjadi impor. Impor merupakan ciri letargi harga pangan, dimana dalam pemenuhan kebutuhan pangan ternyata masih terkendala ketidaksiapan dan ketidaksiagaan stakeholder, sehingga ditempuh jalur cepat melalui impor yang tentu saja sudah menjadi rahasia umum, ini menjadi “proyek” bagi segelintir oknum. Ketidaksiapan dan ketidaksiagaan terhadap permasalahan yang sebenarnya selalu berulang di setiap tahun, mengakibatkan kerugian bagi kesejahteraan rakyat. Dengan impor, produktivitas menjadi lemah, pasar tidak bergairah dan ini merupakan tanda putus asa untuk dapat melakukan swasembada. Saat ini banyak yang tidak produktif baik dalam sumber daya alam dan atau sumber daya manusia dalam mengelola ketersediaan pangan. Keadaan Letargi pangan dimana terjadi keadaan yang tidak menentu dan mengakibatkan ketidaksiapan serta ketidaksiagaan harga pangan untuk dapat diakses oleh seluruh lapisan masyarakat. Hal ini menimbulkan gejolak harga pangan dan ketahanan pangan dipertanyakan.


PENUTUP

       Letargi harga pangan yang menjadi fenomena sekarang ini merupakan ekses dari kebijakan pemerintah dari periode ke periode. Ketahanan pangan merupakan pekerjaan yang sangat besar bagi pemerintah dan seluruh stakeholder. Niat baik dan tindakan nyata pemangku kebijakan dalam pengaturan pangan dari tingkat pusat sampai daerah, dapat menciptakan kestabilan harga pangan sehingga kesejahteraan dapat terwujud.  Regulasi yang jelas, tindakan pemerintah yang nyata, pengusaha yang bijak dan masyarakat yang produktif serta penegakan hukum yang konkrit akan menciptakan kesatabilan harga pangan.  

Selasa, 12 Juli 2016

SOSIALISASI PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2015 TENTANG PENGUPAHAN

SOSIALISASI PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2015 TENTANG PENGUPAHAN

Ikomatussuniah, SH., MH
Dosen Fakultas Hukum Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
Jl. Raya Jakarta Km. 04 Pakupatan-Serang
ikomatussuniah-design.blogspot.com



PENDAHULUAN
       Upah merupakan sesuatu yang selalu menjadi perbincangan menarik, khususnya berkaitan dengan upah dalam dunia ketenagakerjaan. Berdasarkan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, pengertian ketenagakerjaan merupakan serangkaian aturan tentang tenaga kerja pada sebelum, selama dan sesudah masa kerja. Upah merupakan hak pekerja ketika telah terjadi hubungan kerja antara pekerja dengan pengusaha. Hak tersebut ditetapkan dalam  perjanjian kerja, dan ini berarti pengaturan upah sudah dimulai dari sebelum masa kerja sampai dengan sesudah masa kerja. Tentang sebelum masa kerja, pembicaraan upah telah dibahas antara calon pekerja dengan pemberi kerja ketika proses wawancara, pada saat pemberi kerja menerima calon pekerja menjadi pekerja, maka nominal besaran upah selama masa kerja dituangkan ke dalam suatu perjanjian kerja yang memuat tentang syarat kerja, hak dan kewajiban kedua belah pihak. Ketika masa kerja, upah diberikan sesuai dengan perjanjian kerja dan sistem upah berkala yang diterapkan oleh setiap pemberi kerja. Ketika masa kerja berakhir, terkait upah, bagi pekerja yang bekerja berdasarkan Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu maupun Perjanjian Kerja Waktu Tertentu mendapatkan hak upah sesuai Perjanjian kerja, seperti halnya tentang uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, uang penggantian hak dan atau uang lepas.
       Dinamisnya pengaturan upah yang dilakukan oleh pemerintah melalui regulasi upah menimbulkan pro dan kontra diantara pekerja dan pemberi kerja. Berdasarkan Ketentuan Penutup Peraturan Pemerintah Nomor 78 tahun 2015 tentang Pengupahan, menganulir Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1981 tentang Perlindungan Upah sehingga Peraturan Perlindungan Upah ini dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Akan tetapi, pada saat Peraturan Pemerintah terkait Pengupahan ini berlaku, semua peraturan pelaksana dari Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang mengatur mengenai pengupahan dan Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1981 tentang perlindungan Upah dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dana/atau tidak diganti berdasarkan Peraturan Pemerintah ini.

PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 78 TAHUN 2015 TENTANG PENGUPAHAN
       Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 Tentang Pengupahan ditetapkan dan diundangkan pada tanggal 23 Oktober 2015 di Jakarta. Tercatat di Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 237. Ditandatangani oleh Presiden Republik Indonesia Joko Widodo dan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Yasonna H. Laoly. Peraturan Pemerintah ini terdiri atas 66 Pasal. Sistematikanya terdiri atas:
a.       Bab I tentang Ketentuan Umum, terdapat dalam Pasal 1 dan 2.
b.      Bab II tentang Kebijakan Pengupahan, terdapat dalam Pasal 3.
c.       Bab III, tentang Penghasilan yang Layak, terdapat dalam Pasal 4-10.
d.      Bab IV, tentang Perlindungan Upah;
1.      Bagian Kesatu, tentang Umum, terdapat dalam Pasal 11.
2.      Bagian Kedua Penetapan Upah, terdapat dalam Pasal 12-16.
3.      Bagian Ketiga, Cara pembayaran Upah, terdapat dalam Pasal 17-22.
4.      Bagian Keempat, Peninjauan Upah, terdapat dalam Pasal 23.
5.      Bagian Kelima, Upah Pekerja/Buruh tidak Masuk Kerja dan/atau Tidak Melakukan Pekerjaan, terdapat dalam Pasal 24-32.
6.      Bagian Keenam, Upah Kerja Lembur, terdapat dalam Pasal 33.
7.      Bagian Ketujuh, Upah untuk Pembayaran Pesangon, terdapat dalam Pasal 34 dan 35.
8.      Bagian Kedelapan, Upah untuk Perhitungan Pajak Penghasilan, terdapat dalam Pasal 36.
9.      Bagian Kesembilan, Pembayaran Upah dalam Keadaan Kepailitan, terdapat dalam Pasal 37 dan 38.
10.  Bagian Kesepuluh, Penyitaan Upah Berdasarkan Perintah Pengadilan, terdapat dalam Pasal 39.
11.  Bagian Kesebelas, Hak Pekerja/Buruh Atas keterangan Upah, terdapat dalam Pasal 40.
e.       Bab V, tentang Upah Minimum;
1.      Bagian Kesatu, Umum, terdapat dalam Pasal 41-44.
2.      Bagian Kedua, Penetapan Upah Minimum Provinsi dan/atau Kabupaten/Kota, terdapat dalam Pasal 45-48.
3.      Bagian Ketiga, Penetapan Upah Minimum Sektoral Provinsi dan/atau Kabupaten/Kota, terdapat dalam Pasal 49-50.
f.       Bab VI, tentang Hal-Hal Yang Dapat Diperhitungkan Dengan Upah, terdapat dalam Pasal 51-52.
g.      Bab VII, tentang Pengenaan Denda dan Pemotongan Upah
1.      Bagian Kesatu, tentang Pengenaan Denda terdapat dalam Pasal 53-56.
2.      Bagian Kedua, tentang Pemotongan Upah terdapat dalam Pasal 57-58.
h.      Bab VIII, tentang Sanksi Administratif, terdapat dalam Pasal 59-62.
i.        Bab IX, tentang Ketentuan Peralihan, terdapat dalam Pasal 63.
j.        Bab X, tentang Penutup, terdapat dalam Pasal 64-66.

PENUTUP
       Demikian pemaparan terkait sosialisasi Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan, diluar pro dan kontra yang ada. Semoga dapat bermanfaat. Wallahu’alam bisshawaab.

             
              

Sabtu, 25 Juni 2016

KEBIJAKAN KETENAGAKERJAAN TENTANG UPAH

Ikomatussuniah, SH., MH
Dosen Fakultas Hukum Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
Jl. Raya Jakarta Km. 04 Pakupatan-Serang
ikomatussuniah-design.blogspot.com



PENDAHULUAN
       Indonesia, Negara Kesatuan yang kaya akan sumber daya alam dan faktor-faktor produksi, salah satu kekayaan sekaligus salah satu faktor produksi dalam pertumbuhan ekonomi adalah pertumbuhan penduduk Indonesia yang signifikan. Berdasarkan pemaparan BPS pada Konsolidasi Dewan Pengupahan Se-Indonesia Tahun 2014,  dipaparkan bahwa ledakan pertumbuhan penduduk yang diakibatkan oleh baby boom mengakibatkan pertumbuhan angkatan kerja meningkat. Permasalahan tejadi ketika angkatan kerja meningkat akan tetapi tidak diimbangi dengan peningkatan lapangan pekerjaan. Maka, yang terjadi adalah banyaknya pengangguran. Penduduk dikatakan penganggur apabila tidak bekerja, tetapi mencari pekerjaan, atau mempersiapkan usaha, atau mereka yang merasa tidak mungkin mendapat pekerjaan atau mereka yang sudah punya pekerjaan tetapi belum memulai bekerja (BPS, 2010). Pengangguran akan terdegradasi apabila pertumbuhan ekonomi secara makro dan mikro berkembang dengan baik. Peningkatan Pertumbuhan ekonomi akan pula meningkatkan kesempatan kerja.  Skill dan produktivitas pekerja yang baik akan pula meningkatkan kesempatan kerja. Produktivitas pekerja dapat diukur melalui rasio nilai PDB/PDRB dengan jumlah penduduk yang bekerja. Kondisi dimana full employment terjadi, terkait dengan pengupahan, maka terjadi peningkatan upah minimum sehingga mengakibatkan penurunan jumlah pekerja. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor, misalnya karena pengusaha tidak ataupun kurang mendapat order produksi sehingga efeknya berimbas kepada pemotongan biaya produksi yang berupa biaya upah tenaga kerja. Terkait dengan upah, pemerintah mengeluarkan paket kebijakan ekonomi terkait ketenagakerjaan yang mengusung ruh keadilan dan kesejahteraan untuk semua pihak.

KEBIJAKAN KETENAGAKERJAAN TENTANG UPAH
       Paket kebijakan ekonomi tahap empat terfokus kepada ketenagakerjaan. Terkait ketenagakerjaan memang merupakan ranah kajian dalam keilmuan hukum privat dan hukum publik. Berdasarkan hukum privat, ketenagakerjaan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 pada pasal 1 ayat (1) menyatakan bahwa ketenagakerjaan adalah segala hal yang berhubungan dengan tenaga kerja  pada waktu sebelum, selama dan sesudah  masa kerja. Dalam ranah privat, tenaga kerja dan pengusaha atau pemberi kerja mempunyai hubungan khusus dalam melaksanakan kesepakatan kerja yang termaktub dalam perjanjian kerja sehingga menimbulkan suatu hubungan kerja. Perjanjian kerja ini diatur secara umum dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata terkait syarat sahnya suatu perjanjian, yaitu (Subekti, 1996:134):
1.      Perizinan yang bebas dari orang-orang yang mengikatkan diri;
2.      Kecakapan untuk membeuat suatu perjanjian;
3.      Suatu hal tertentu yang diperjanjikan;
4.      Suatu sebab (“oorzaak") yang halal, artinya tidak terlarang .    
       Ranah hukum publik ketenagakerjaan tercermin dari peran pemerintah dalam mengatur regulasi ketenagakerjaan demi terciptanya keseimbangan kesejahteraan dan keadilan yang diamanatkan oleh Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar RI 1945 khususnya tentang konsep Negara kesejahteraan. Salah bentuk peran pemerintah adalah dengan dibentuknya Lembaga Kerjasama Tripartit yang merupakan forum komunikasi, konsultasi dan musyawarah tentang masalah ketenagakerjaan yang anggotanya terdiri dari unsur organisasi pengusaha, serikat pekerja/serikat buruh dan pemerintah. Terdapat pula suaut lembaga non struktural yang bersifat tripartit yaitu Organisasi Dewan Pengupahan yang bertugas memberikan saran, dan pertimbangan kepada Pemerintah dalam rangka perumusan kebijakan pengupahan dan pengembangan sistem pengupahan, yang diatur dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 107 Tahun 2004 Tentang Dewan Pengupahan.
       Kebijakan ekonomi yang dikeluarkan dalam bentuk Paket Kebijakan IV, fokus pada Ketenagakerjaan, antara lain tentang formula upah minimum, baik Upah Minimum Provinsi (UMP), Upah minimum Kabupaten/Kota (UMK) maupun Upah Minimum Sektoral Kabupaten/Kota (UMSK). Formula Kenaikan upah minimum dipengaruhi dua faktor, yaitu inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Formulasi upah ini tidak lagi berdasarkan perhitungan nilai Kebutuhan Hidup Layak yang selama ini telah dilakukan, Kebutuhan Hidup Layak akan ditinjau ulang per periode 5 (lima) tahun sekali. Formulasi kenaikan upah ini dapat berefek positif , yaitu (Koran Jakarta, 15/10/2015):
1.       Dipastikan bahwa kenaikan Upah Minimum bagi para pekerja akan terjadi setiap tahun.
2.      Formula upah tidak hanya menguntungkan pengusaha, tetapi juga pekerja.
3.      Formula tersebut membuat kenaikan upah setiap tahun lebih terprediksi dan terukur.
4.      Upah yang terformulasi dan terukur mengakibatkan dunia usaha dapat lebih bergerak dan berkembang, sehingga lapangan pekerjaan akan semakin luas.
5.      Kenaikan Upah akan realisitis dan para pedagang/pengusaha dapat dengan mudah menyesuaikan harga sehingga berpengaruh terhadap inflasi.

       Kebijakan ini telah diluncurkan dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Republik Indoneisa Nomor 78 Tahun 2015 Tentang Pengupahan. Gejolak penolakan terhadap Peraturan Pemerintah ini, khususnya dari Serikat Pekerja masif terjadi.  Akan tetapi diharapkan, lewat kebijakan ini kepastian hukum dan kepastian ekonomi sehingga regulasi yang ada dapat meningkatkan rasa keadilan serta kesejahteraan dapat terwujud dengan baik, tentunya dengan dukungan semua pihak, dalam hal ini pemerintah itu sendiri, pengusaha, pekerja, akademisi dan masyarakat pada umumnya. Wallahu ‘alam Bisshawaab