Sabtu, 25 Juni 2016

KEBIJAKAN KETENAGAKERJAAN TENTANG UPAH

Ikomatussuniah, SH., MH
Dosen Fakultas Hukum Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
Jl. Raya Jakarta Km. 04 Pakupatan-Serang
ikomatussuniah-design.blogspot.com



PENDAHULUAN
       Indonesia, Negara Kesatuan yang kaya akan sumber daya alam dan faktor-faktor produksi, salah satu kekayaan sekaligus salah satu faktor produksi dalam pertumbuhan ekonomi adalah pertumbuhan penduduk Indonesia yang signifikan. Berdasarkan pemaparan BPS pada Konsolidasi Dewan Pengupahan Se-Indonesia Tahun 2014,  dipaparkan bahwa ledakan pertumbuhan penduduk yang diakibatkan oleh baby boom mengakibatkan pertumbuhan angkatan kerja meningkat. Permasalahan tejadi ketika angkatan kerja meningkat akan tetapi tidak diimbangi dengan peningkatan lapangan pekerjaan. Maka, yang terjadi adalah banyaknya pengangguran. Penduduk dikatakan penganggur apabila tidak bekerja, tetapi mencari pekerjaan, atau mempersiapkan usaha, atau mereka yang merasa tidak mungkin mendapat pekerjaan atau mereka yang sudah punya pekerjaan tetapi belum memulai bekerja (BPS, 2010). Pengangguran akan terdegradasi apabila pertumbuhan ekonomi secara makro dan mikro berkembang dengan baik. Peningkatan Pertumbuhan ekonomi akan pula meningkatkan kesempatan kerja.  Skill dan produktivitas pekerja yang baik akan pula meningkatkan kesempatan kerja. Produktivitas pekerja dapat diukur melalui rasio nilai PDB/PDRB dengan jumlah penduduk yang bekerja. Kondisi dimana full employment terjadi, terkait dengan pengupahan, maka terjadi peningkatan upah minimum sehingga mengakibatkan penurunan jumlah pekerja. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor, misalnya karena pengusaha tidak ataupun kurang mendapat order produksi sehingga efeknya berimbas kepada pemotongan biaya produksi yang berupa biaya upah tenaga kerja. Terkait dengan upah, pemerintah mengeluarkan paket kebijakan ekonomi terkait ketenagakerjaan yang mengusung ruh keadilan dan kesejahteraan untuk semua pihak.

KEBIJAKAN KETENAGAKERJAAN TENTANG UPAH
       Paket kebijakan ekonomi tahap empat terfokus kepada ketenagakerjaan. Terkait ketenagakerjaan memang merupakan ranah kajian dalam keilmuan hukum privat dan hukum publik. Berdasarkan hukum privat, ketenagakerjaan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 pada pasal 1 ayat (1) menyatakan bahwa ketenagakerjaan adalah segala hal yang berhubungan dengan tenaga kerja  pada waktu sebelum, selama dan sesudah  masa kerja. Dalam ranah privat, tenaga kerja dan pengusaha atau pemberi kerja mempunyai hubungan khusus dalam melaksanakan kesepakatan kerja yang termaktub dalam perjanjian kerja sehingga menimbulkan suatu hubungan kerja. Perjanjian kerja ini diatur secara umum dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata terkait syarat sahnya suatu perjanjian, yaitu (Subekti, 1996:134):
1.      Perizinan yang bebas dari orang-orang yang mengikatkan diri;
2.      Kecakapan untuk membeuat suatu perjanjian;
3.      Suatu hal tertentu yang diperjanjikan;
4.      Suatu sebab (“oorzaak") yang halal, artinya tidak terlarang .    
       Ranah hukum publik ketenagakerjaan tercermin dari peran pemerintah dalam mengatur regulasi ketenagakerjaan demi terciptanya keseimbangan kesejahteraan dan keadilan yang diamanatkan oleh Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar RI 1945 khususnya tentang konsep Negara kesejahteraan. Salah bentuk peran pemerintah adalah dengan dibentuknya Lembaga Kerjasama Tripartit yang merupakan forum komunikasi, konsultasi dan musyawarah tentang masalah ketenagakerjaan yang anggotanya terdiri dari unsur organisasi pengusaha, serikat pekerja/serikat buruh dan pemerintah. Terdapat pula suaut lembaga non struktural yang bersifat tripartit yaitu Organisasi Dewan Pengupahan yang bertugas memberikan saran, dan pertimbangan kepada Pemerintah dalam rangka perumusan kebijakan pengupahan dan pengembangan sistem pengupahan, yang diatur dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 107 Tahun 2004 Tentang Dewan Pengupahan.
       Kebijakan ekonomi yang dikeluarkan dalam bentuk Paket Kebijakan IV, fokus pada Ketenagakerjaan, antara lain tentang formula upah minimum, baik Upah Minimum Provinsi (UMP), Upah minimum Kabupaten/Kota (UMK) maupun Upah Minimum Sektoral Kabupaten/Kota (UMSK). Formula Kenaikan upah minimum dipengaruhi dua faktor, yaitu inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Formulasi upah ini tidak lagi berdasarkan perhitungan nilai Kebutuhan Hidup Layak yang selama ini telah dilakukan, Kebutuhan Hidup Layak akan ditinjau ulang per periode 5 (lima) tahun sekali. Formulasi kenaikan upah ini dapat berefek positif , yaitu (Koran Jakarta, 15/10/2015):
1.       Dipastikan bahwa kenaikan Upah Minimum bagi para pekerja akan terjadi setiap tahun.
2.      Formula upah tidak hanya menguntungkan pengusaha, tetapi juga pekerja.
3.      Formula tersebut membuat kenaikan upah setiap tahun lebih terprediksi dan terukur.
4.      Upah yang terformulasi dan terukur mengakibatkan dunia usaha dapat lebih bergerak dan berkembang, sehingga lapangan pekerjaan akan semakin luas.
5.      Kenaikan Upah akan realisitis dan para pedagang/pengusaha dapat dengan mudah menyesuaikan harga sehingga berpengaruh terhadap inflasi.

       Kebijakan ini telah diluncurkan dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Republik Indoneisa Nomor 78 Tahun 2015 Tentang Pengupahan. Gejolak penolakan terhadap Peraturan Pemerintah ini, khususnya dari Serikat Pekerja masif terjadi.  Akan tetapi diharapkan, lewat kebijakan ini kepastian hukum dan kepastian ekonomi sehingga regulasi yang ada dapat meningkatkan rasa keadilan serta kesejahteraan dapat terwujud dengan baik, tentunya dengan dukungan semua pihak, dalam hal ini pemerintah itu sendiri, pengusaha, pekerja, akademisi dan masyarakat pada umumnya. Wallahu ‘alam Bisshawaab