Kamis, 03 Mei 2012


MENCERMATI KASUS PENEMBAKAN TKI ASAL NUSA TENGGARA BARAT DI MALAYSIA
Oleh: Ikomatussuniah, SH., MH.
Dosen Fakultas Hukum
Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
Jl. Raya Jakarta KM 4 Pakupatan – Serang

BURUH MIGRAN
Tanah Kelahiran kita, Indonesia adalah negara yang subur makmur, potensi sumber daya alam dan manusianya sangat besar untuk dapat dimanfaatkan secara positif. Pengelolaan yang maksimal dan tertata akan membuat negara kita lebih maju dan sejahtera dari negara manapun di dunia ini. Akan tetapi, sungguh disayangkan dengan keadaan yang sekarang terjadi, bertolak belakang dengan keadaan yang seharusnya. Sumber daya alam kita terkeruk oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab, sehingga sumberdaya alam kita perlahan tapi pasti semakin menipis dan habis. Potensi sumber daya manusiapun yang banyak dan bisa diberdayakan, ternyata tidak secara maksimal termanfaatkan. Sempitnya lapangan pekerjaan yang dirasakan oleh rakyat Indonesia, mengakibatkan mereka mencari lapangan pekerjaan di negeri orang. Mereka bekerja mencari penghasilan dari negeri lain untuk mencari nafkah untuk diri sendiri dan keluarganya. Bayangan pendapatan yang lebih besar yang dapat  dihasilkan di negeri orang, membuat sebagian rakyat Indonesia lebih memilih bekerja di negeri sebrang dari pada di negeri sendiri.  Hal ini juga dipicu karena tidak adanya perlindungan yang pasti tentang hak dari tiap warga negara untuk mendapatkan penghidupan yang layak dari negaranya sendiri. Merekapun mencari pengasilan di negara lain, seperti ke Malaysia. Mereka menjadi pekerja atau buruh di negara tersebut.
Berdasarkan Undang-Undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, pekerja atau buruh adalah salah satu pihak dalam hubungan kerja, dimana pihak-pihak yang seharusnya terlibat dalam hubungan kerja selain pekerja adalah: serikat pekerja atau serikat buruh, pemberi kerja atau pengusaha, organisasi pengusaha, lembaga kerjasama bipartit dan tripartit serta pemerintah. Pada mulanya istilah  ketenagakerjaan tidak ada, tetapi yang ada adalah istilah perburuhan, sekarang istilah buruh telah dilengkapi dengan istilah pekerja. Pada zaman penjajahan Belanda, yang dimaksud dengan buruh adalah orang-orang pekerja kasar seperti kuli, mandor, tukang dan lain-lain (Zaini Asyhadie, 2007: 19). Semenjak diadakan seminar hubungan perburuhan Pancasila pada tahun 1974, istilah buruh direkomendasikan untuk diganti dengan istilah pekerja. Usulan pergantian ini didasari pertimbangan istilah buruh telah berkembang menjadi istilah yang kurang menguntungkan. Mendengar kata buruh orang akan membayangkan sekelompok pekerja kasar yang mengandalkan otot. Namun demikian dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 13 tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, istilah pekerja digandengkan dengan istilah buruh sehingga menjadi istilah pekerja atau buruh.  Berdasarkan pasal 1 angka 3 Undang-undang nomor 13 tahun 2003, definisi pekerja atau buruh adalah: “ setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain”. Sedangkan migran adalah berpindahnya seseorang dari daerah kelahirannya ke daerah lain dalam lingkup lokal, regional maupun internasional untuk menetap dan atau bekerja.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa buruh migran adalah orang yang berpindah tempat dari daerah kelahirannya ke daerah lain baik dalam lingkup lokal, regional maupun internasional untuk menetap dan bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Sinonim kata “buruh migran” Indonesia adalah Tenaga Kerja Indonesia (TKI).
DASAR FILOSOFIS, YURIDIS  TENTANG TKI
Dasar filosofis yang terkait dengan pemberangkatan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) ke luar negeri terdapat dalam Pancasila, sila ke-2 dan sila ke-5  yaitu kemanusiaan yang adil dan beradab serta keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Hal ini berkaitan dengan hak dia sebagai manusia Indonesia untuk mendapat perlakuan adil, beradab serta perlindungan kehidupan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia dimanapun dia berada. Dasar yuridis yang berkaitan dengan hal ini terdapat dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 pasal 27 ayat (2) yang menetapkan bahwa: “tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. Sudah tentu ini berkaitan dengan hak dasar setiap warga negara untuk mendapat pekerjaan dan penghasilan yang baik demi pemenuhan kebutuhan hidup mereka yang terdiri dari kebutuhan primer, sekunder dan tertier untuk dirinya serta keluarganya.
Berdasarkan analisis filosofis dan yuridis dalam tataran sosiologisnya ternyata diasumsikan pemerintah belum bisa menyediakan lapangan pekerjaan yang baik dan cukup untuk seluruh warga negaranya, hal ini mengakibatkan para calon tenaga kerja kita mencari peluang usaha dan pekerjaan diluar negeri. Upaya ini dianggap sebagai jalan keluar dari permasalahan sempitnya lapangan pekerjaan di Indonesia. Sebenarnya, jikalau kita lihat lebih jelas dan teliti, di Indonesia bukan tidak ada lapangan pekerjaan, akan tetapi pengangguran banyak muncul dikarenakan tidak cocoknya antara jenis lapangan pekerjaan yang ada dengan kemampuan tenaga kerja yang membutuhkan pekerjaan. Ditambah dengan sikap masa bodoh yang terkesan dari pemerintah pusat maupun daerah mengenai penempatan dan pengerahan tenaga kerja, walaupun hal tersebut sebenarnya telah diatur dalam Undang-Undang mengenai Ketenagakerjaan dan Undang-Undang mengenai Penempatan dan Perlindungan TKI.
Pengiriman TKI tentu mempunyai dampak. Dampak positif pengiriman TKI adalah meningkatkan devisa negara, adanya alih keahlian dan alih teknologi serta untuk mempererat hubungan antara negara pengirim dan negara penerima. Dampak negatifnya tentu tidak terlepas, yaitu seperti sering terjadinya tindakan-tindakan diluar perikemanusiaan terhadap para TKI. Ketika ada permasalahan seperti ini, pada umumnya TKI yang bekerja disektor nonformal dan TKI wanitalah yang sering mendapat perlakuan tidak manusiawi, untuk TKI yang bekerja disektor informal, hampir tidak terdengar kabar mereka mendapat perlakuan tidak manusiawi, karena pada umumnya pada pekerja informal, mereka telah mempunyai kompetensi kerja yang diakui, juga perjanjian kerja serta  penempatan dimana mereka akan bekerja jelas, sehingga perlindungan yang akan mereka dapatkanpun jelas adanya.
Untuk Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004, akan tetapi pelaksananaan dari perundangan tersebut masih jauh dari kata ideal. Inilah yang mengakibatkan carut marutnya permasalahan mengenai TKI; Law enforcement yang lemah, tidak adanya kompetensi dari TKI yang bersangkutan, lemahnya koordinasi antara pekerja dengan Lembaga Penempatan Tenaga Kerja Swasta (LPTKS) dan atau pemerintah, minimnya pengetahuan pekerja tentang cara pembuatan perjanjian kerja dengan si pemberi kerja di negara tujuan, belum semua negara penempatan memiliki MoU dengan Indonesia mengenai penempatan TKI, skill tenaga kerja yang minim dan lemah sehingga mudah untuk di intimidasi serta minimmnya bahkan tidak adanya pengawasan dan perlindungan TKI yang terkoordinasi dari pihak KBRI di negara penempatan.
KASUS PENEMBAKAN 3 TKI & ISU MAFIA PERDAGANGAN ORGAN TUBUH.
Penembakan 3 orang TKI asal Lombok, NTB (yang bernama Mad Noor, Hirman dan Abdul Kadir Jailani) oleh polisi Malaysia mengakibatkan tewasnya ketiga orang tesebut. Mereka ditembak diduga merampok dan diindikasikan akan melakukan perlawanan kepada polisi Malaysia tersebut. Permasalahan melebar kepada isu penjualan organ tubuh para korban penembakan, karena pada mayat mereka terdapat jahitan ditubuhnya dibagian mata, dada serta perut. Menurut Dr.Mun’im pada acara Apa Kabar Indonesia di TV One, untuk jahitan dimata sewaktu dilakukan otopsi itu tidaklah lazim. Kalaupun mata sampai dijahit dimungkinkan ada sesuatu yang dikeluarkan atau alasan kosmetik (keadaan mata rusak/hancur dan tidak normal yang mengharuskan mata dijahit). Proses otopsi dimulai dari tampilan luar baru tampilan dalam. Secara mudah apabila seluruh organ tubuh lengkap setelah dilakukan otopsi oleh pihak Indonesia hari ini (26 April 2012) maka isu penjualan organ tubuh tidak benar. Fungsi otopsi antara lain adalah untuk mengetahui penyebab kematian, untuk mengetahui kapan waktu kematian, untuk mengetahui penembakan dari arah depan atau belakang.Untuk hasil otopsi menurut Mun’im seharusnya semua sama, sudah ada standar internasionalnya, akan tetapi ada dugaan hasil otopsi Malaysia tidak benar.
Kemenakertrans pada tanggal 24 april 2012 sudah meminta klarifikasi dan data-data kepada pihak pemerintah Malaysia, akan tetapi pihak Malaysia tidak memberikan data akurat tentang kronologi kejadian dan data otopsi yang mereka lakukan. Ini yang membuat kita berspekulasi tentang kejadian yang sebenarnya. Indonesia adalah negara yang ikut meratifikasi konvensi buruh migran. Jikalau Malaysia terbukti melakuakan kesalahan, kita jangan ragu untuk membawanya kepengadilan Internasional.
Kasus ini lagi-lagi merupakan cermin buruknya proses penempatan, pengerahan dan perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri. Memorandun of Understanding (MoU) antara negara Indonesia dan Malaysia tentang TKI, masih belum menyentuh pada tataran implementasi yang dibutuhkan oleh para TKI. MoU baru menyentuh tataran yang bersifat birokrasi semata antara birokrat Indonesia dengan Malaysia. Bahkan, kasus ini baru di tindak lanjuti oleh Pemerintah Indonesia melalui Kemenlu, Kemenakertans dan BNP2TKI setelah para korban telah dikuburkan dan pihak keluarga mendesak untuk dilakukan otopsi ulang. Hal ini memberikan kesan bahwa pemerintah kita tidak tanggap terhadap kejadian yang menimpa warga negaranya di negara orang.
Permasalahan TKI yang beragam dan terkesan jarang ada yang terselesaikan dengan baik, dikarenakan tidak adanya good will dari hulu ke hilir untuk menyelesaikan permasalahan para TKI. Asas keterpaduan, persamaan hak, demokrasi, keadilan sosial, kesetaraan dan keadilan gender, anti diskriminasi serta anti perdagangan manusia yang bertujuan untuk memberdayakan, menjamin, melindungi dan meningkatkan kesejahteraan TKI dan keluarganya, seharusnya dilaksanakan tanpa terkecuali dan mendapat dukungan penuh dari pemerintah Indonesia agar warga negara Indonesia yang bekerja di negara penempatan tidak dianggap rendah. Apabila negara sendiri saja sudah menganggap rendah warga negaranya bagaimana dengan negara lain memandang warga negara kita. Sungguh ironis.
Dalam kasus ini dan kasus TKI lainnya, pemerintahlah yang mempunyai peran strategis untuk melindungi warga negaranya dimanapun berada dari intimidasi negara lain. Jangan sampai, dasar filosofis, yuridis yang telah dirancang seideal mungkin, hanya sebagai jorgan belaka tanpa implementasi konkrit. Dimanapun dan kapanpun serta kondisi apapun, setiap warga negara Indonesia berhak atas perlindungan yang harus mereka dapatkan. Semoga kasus ini dapat diselesaikan dengan baik, agar kepastian hukum dapat ditegakkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar