MENCERMATI KASUS
PENEMBAKAN TKI ASAL NUSA TENGGARA BARAT DI MALAYSIA
Oleh:
Ikomatussuniah, SH., MH.
Dosen Fakultas
Hukum
Universitas
Sultan Ageng Tirtayasa
Jl. Raya Jakarta
KM 4 Pakupatan – Serang
BURUH
MIGRAN
Tanah
Kelahiran kita, Indonesia adalah negara yang subur makmur, potensi sumber daya
alam dan manusianya sangat besar untuk dapat dimanfaatkan secara positif.
Pengelolaan yang maksimal dan tertata akan membuat negara kita lebih maju dan
sejahtera dari negara manapun di dunia ini. Akan tetapi, sungguh disayangkan
dengan keadaan yang sekarang terjadi, bertolak belakang dengan keadaan yang
seharusnya. Sumber daya alam kita terkeruk oleh orang-orang yang tidak
bertanggung jawab, sehingga sumberdaya alam kita perlahan tapi pasti semakin
menipis dan habis. Potensi sumber daya manusiapun yang banyak dan bisa
diberdayakan, ternyata tidak secara maksimal termanfaatkan. Sempitnya lapangan
pekerjaan yang dirasakan oleh rakyat Indonesia, mengakibatkan mereka mencari
lapangan pekerjaan di negeri orang. Mereka bekerja mencari penghasilan dari
negeri lain untuk mencari nafkah untuk diri sendiri dan keluarganya. Bayangan
pendapatan yang lebih besar yang dapat
dihasilkan di negeri orang, membuat sebagian rakyat Indonesia lebih
memilih bekerja di negeri sebrang dari pada di negeri sendiri. Hal ini juga dipicu karena tidak adanya
perlindungan yang pasti tentang hak dari tiap warga negara untuk mendapatkan
penghidupan yang layak dari negaranya sendiri. Merekapun mencari pengasilan di
negara lain, seperti ke Malaysia. Mereka menjadi pekerja atau buruh di negara
tersebut.
Berdasarkan
Undang-Undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, pekerja atau buruh
adalah salah satu pihak dalam hubungan kerja, dimana pihak-pihak yang
seharusnya terlibat dalam hubungan kerja selain pekerja adalah: serikat pekerja
atau serikat buruh, pemberi kerja atau pengusaha, organisasi pengusaha, lembaga
kerjasama bipartit dan tripartit serta pemerintah. Pada mulanya istilah ketenagakerjaan tidak ada, tetapi yang ada adalah
istilah perburuhan, sekarang istilah buruh telah dilengkapi dengan istilah
pekerja. Pada zaman penjajahan Belanda, yang dimaksud dengan buruh adalah
orang-orang pekerja kasar seperti kuli, mandor, tukang dan lain-lain (Zaini
Asyhadie, 2007: 19). Semenjak diadakan seminar hubungan perburuhan Pancasila
pada tahun 1974, istilah buruh direkomendasikan untuk diganti dengan istilah
pekerja. Usulan pergantian ini didasari pertimbangan istilah buruh telah
berkembang menjadi istilah yang kurang menguntungkan. Mendengar kata buruh
orang akan membayangkan sekelompok pekerja kasar yang mengandalkan otot. Namun
demikian dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 13 tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan,
istilah pekerja digandengkan dengan istilah buruh sehingga menjadi istilah pekerja
atau buruh. Berdasarkan pasal 1 angka 3
Undang-undang nomor 13 tahun 2003, definisi pekerja atau buruh adalah: “ setiap
orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain”. Sedangkan
migran adalah berpindahnya seseorang dari daerah kelahirannya ke daerah lain
dalam lingkup lokal, regional maupun internasional untuk menetap dan atau
bekerja.
Berdasarkan
uraian diatas dapat disimpulkan bahwa buruh migran adalah orang yang berpindah
tempat dari daerah kelahirannya ke daerah lain baik dalam lingkup lokal,
regional maupun internasional untuk menetap dan bekerja dengan menerima upah
atau imbalan dalam bentuk lain. Sinonim kata “buruh migran” Indonesia adalah
Tenaga Kerja Indonesia (TKI).
DASAR
FILOSOFIS, YURIDIS TENTANG TKI
Dasar
filosofis yang terkait dengan pemberangkatan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) ke
luar negeri terdapat dalam Pancasila, sila ke-2 dan sila ke-5 yaitu kemanusiaan yang adil dan beradab serta
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Hal ini berkaitan dengan hak dia
sebagai manusia Indonesia untuk mendapat perlakuan adil, beradab serta
perlindungan kehidupan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia dimanapun dia
berada. Dasar yuridis yang berkaitan dengan hal ini terdapat dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 pasal 27 ayat (2) yang
menetapkan bahwa: “tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan
yang layak bagi kemanusiaan”. Sudah tentu ini berkaitan dengan hak dasar setiap
warga negara untuk mendapat pekerjaan dan penghasilan yang baik demi pemenuhan
kebutuhan hidup mereka yang terdiri dari kebutuhan primer, sekunder dan tertier
untuk dirinya serta keluarganya.
Berdasarkan
analisis filosofis dan yuridis dalam tataran sosiologisnya ternyata diasumsikan
pemerintah belum bisa menyediakan lapangan pekerjaan yang baik dan cukup untuk
seluruh warga negaranya, hal ini mengakibatkan para calon tenaga kerja kita mencari
peluang usaha dan pekerjaan diluar negeri. Upaya ini dianggap sebagai jalan
keluar dari permasalahan sempitnya lapangan pekerjaan di Indonesia. Sebenarnya,
jikalau kita lihat lebih jelas dan teliti, di Indonesia bukan tidak ada
lapangan pekerjaan, akan tetapi pengangguran banyak muncul dikarenakan tidak
cocoknya antara jenis lapangan pekerjaan yang ada dengan kemampuan tenaga kerja
yang membutuhkan pekerjaan. Ditambah dengan sikap masa bodoh yang terkesan dari
pemerintah pusat maupun daerah mengenai penempatan dan pengerahan tenaga kerja,
walaupun hal tersebut sebenarnya telah diatur dalam Undang-Undang mengenai
Ketenagakerjaan dan Undang-Undang mengenai Penempatan dan Perlindungan TKI.
Pengiriman
TKI tentu mempunyai dampak. Dampak positif pengiriman TKI adalah meningkatkan
devisa negara, adanya alih keahlian dan alih teknologi serta untuk mempererat
hubungan antara negara pengirim dan negara penerima. Dampak negatifnya tentu
tidak terlepas, yaitu seperti sering terjadinya tindakan-tindakan diluar perikemanusiaan
terhadap para TKI. Ketika ada permasalahan seperti ini, pada umumnya TKI yang
bekerja disektor nonformal dan TKI wanitalah yang sering mendapat perlakuan
tidak manusiawi, untuk TKI yang bekerja disektor informal, hampir tidak terdengar
kabar mereka mendapat perlakuan tidak manusiawi, karena pada umumnya pada
pekerja informal, mereka telah mempunyai kompetensi kerja yang diakui, juga
perjanjian kerja serta penempatan dimana
mereka akan bekerja jelas, sehingga perlindungan yang akan mereka dapatkanpun
jelas adanya.
Untuk
Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia sudah diatur dalam
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004, akan tetapi pelaksananaan dari perundangan
tersebut masih jauh dari kata ideal. Inilah yang mengakibatkan carut marutnya
permasalahan mengenai TKI; Law
enforcement yang lemah, tidak adanya kompetensi dari TKI yang bersangkutan,
lemahnya koordinasi antara pekerja dengan Lembaga Penempatan Tenaga Kerja
Swasta (LPTKS) dan atau pemerintah, minimnya pengetahuan pekerja tentang cara pembuatan
perjanjian kerja dengan si pemberi kerja di negara tujuan, belum semua negara
penempatan memiliki MoU dengan Indonesia mengenai penempatan TKI, skill tenaga kerja yang minim dan lemah sehingga mudah untuk di
intimidasi serta minimmnya bahkan tidak adanya pengawasan dan perlindungan TKI
yang terkoordinasi dari pihak KBRI di negara penempatan.
KASUS
PENEMBAKAN 3 TKI & ISU MAFIA PERDAGANGAN ORGAN TUBUH.
Penembakan
3 orang TKI asal Lombok, NTB (yang bernama Mad Noor, Hirman dan Abdul Kadir
Jailani) oleh polisi Malaysia mengakibatkan tewasnya ketiga orang tesebut.
Mereka ditembak diduga merampok dan diindikasikan akan melakukan perlawanan
kepada polisi Malaysia tersebut. Permasalahan melebar kepada isu penjualan
organ tubuh para korban penembakan, karena pada mayat mereka terdapat jahitan
ditubuhnya dibagian mata, dada serta perut. Menurut Dr.Mun’im pada acara Apa
Kabar Indonesia di TV One, untuk jahitan dimata sewaktu dilakukan otopsi itu
tidaklah lazim. Kalaupun mata sampai dijahit dimungkinkan ada sesuatu yang
dikeluarkan atau alasan kosmetik (keadaan mata rusak/hancur dan tidak normal
yang mengharuskan mata dijahit). Proses otopsi dimulai dari tampilan luar baru
tampilan dalam. Secara mudah apabila seluruh organ tubuh lengkap setelah dilakukan
otopsi oleh pihak Indonesia hari ini (26 April 2012) maka isu penjualan organ
tubuh tidak benar. Fungsi otopsi antara lain adalah untuk mengetahui penyebab
kematian, untuk mengetahui kapan waktu kematian, untuk mengetahui penembakan
dari arah depan atau belakang.Untuk hasil otopsi menurut Mun’im seharusnya
semua sama, sudah ada standar internasionalnya, akan tetapi ada dugaan hasil
otopsi Malaysia tidak benar.
Kemenakertrans
pada tanggal 24 april 2012 sudah meminta klarifikasi dan data-data kepada pihak
pemerintah Malaysia, akan tetapi pihak Malaysia tidak memberikan data akurat
tentang kronologi kejadian dan data otopsi yang mereka lakukan. Ini yang
membuat kita berspekulasi tentang kejadian yang sebenarnya. Indonesia adalah
negara yang ikut meratifikasi konvensi buruh migran. Jikalau Malaysia terbukti
melakuakan kesalahan, kita jangan ragu untuk membawanya kepengadilan
Internasional.
Kasus
ini lagi-lagi merupakan cermin buruknya proses penempatan, pengerahan dan
perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri. Memorandun of Understanding (MoU)
antara negara Indonesia dan Malaysia tentang TKI, masih belum menyentuh pada
tataran implementasi yang dibutuhkan oleh para TKI. MoU baru menyentuh tataran yang bersifat birokrasi semata antara
birokrat Indonesia dengan Malaysia. Bahkan, kasus ini baru di tindak lanjuti
oleh Pemerintah Indonesia melalui Kemenlu, Kemenakertans dan BNP2TKI setelah
para korban telah dikuburkan dan pihak keluarga mendesak untuk dilakukan otopsi
ulang. Hal ini memberikan kesan bahwa pemerintah kita tidak tanggap terhadap
kejadian yang menimpa warga negaranya di negara orang.
Permasalahan
TKI yang beragam dan terkesan jarang ada yang terselesaikan dengan baik,
dikarenakan tidak adanya good will
dari hulu ke hilir untuk menyelesaikan permasalahan para TKI. Asas keterpaduan,
persamaan hak, demokrasi, keadilan sosial, kesetaraan dan keadilan gender, anti
diskriminasi serta anti perdagangan manusia yang bertujuan untuk memberdayakan,
menjamin, melindungi dan meningkatkan kesejahteraan TKI dan keluarganya,
seharusnya dilaksanakan tanpa terkecuali dan mendapat dukungan penuh dari
pemerintah Indonesia agar warga negara Indonesia yang bekerja di negara
penempatan tidak dianggap rendah. Apabila negara sendiri saja sudah menganggap
rendah warga negaranya bagaimana dengan negara lain memandang warga negara
kita. Sungguh ironis.
Dalam
kasus ini dan kasus TKI lainnya, pemerintahlah yang mempunyai peran strategis
untuk melindungi warga negaranya dimanapun berada dari intimidasi negara lain. Jangan
sampai, dasar filosofis, yuridis yang telah dirancang seideal mungkin, hanya
sebagai jorgan belaka tanpa implementasi konkrit. Dimanapun dan kapanpun serta
kondisi apapun, setiap warga negara Indonesia berhak atas perlindungan yang
harus mereka dapatkan. Semoga kasus ini dapat diselesaikan dengan baik, agar
kepastian hukum dapat ditegakkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar