Sabtu, 26 Mei 2012


POLITIK HUKUM PENGATURAN TATA KELOLA LINGKUNGAN DI INDONESIA SEJAK KEMERDEKAAN
Oleh: Ikomatussuniah, SH.,MH
Tenaga Pengajar Fakultas Hukum Untirta

             Pengertian
Pengelolaan lingkungan hidup  terkait erat dengan kesejahteraan rakyat suatu negara. Melalui pengelolaan lingkungan hidup, tempat sumber daya alam ada didalamnya, kesejahteraan rakyat hendak  diwujudkan. Bagi negara yang mengklaim sebagai negara kesejahteraan  (welfare state), menjadikan kesejahteraan rakyat sebagai tujuan negara atau hidup bernegara. Segala aktivitas penyelenggaraan negara diorientasikan  pada upaya mencapai dan memenuhi kesejahteraan rakyat tersebut.
Dalam pembukaan UUD 1945 secara  eksplisit dinyatakan bahwa salah satu tujuan pendirian negara dan pembentukan pemerintahan negara adalah untuk memajukan kesejahteraan umum. Untuk mencapai kesejahteraan umum tersebut, UUD 1945 memberikan kepada negara hak ekslusif untuk menguasai lingkungan hidup  dan sumber daya alam, yang dalam literature hukum dikenal dengan hak menguasai negara. Integrasi lingkungan hidup dan sumber daya alam, hak menguasai negara dan kesejahteraan rakyat sebagaimana tertuang dalam Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 yang menyatakan bahwa “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat”.
Muhammad Hatta menterjemahkan  hak menguasai negara sebagai hak negara untuk membuat aturan guna melancarkan kehidupan ekonomi.[1]
Berdasarkan hak menguasai negara tersebut, Negara Indonesia telah menetapkan berbagai  kebijakan dan regulasi dalam pengelolaan lingkungan dan sumber daya alam dalam rangka mewujudkan kesejahteraan rakyat. Dalam kenyataannya, pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia masih menghadapi problem yang sama yaitu adanya benturan antara berbagai peraturan perundang-undangan, terutama antara undang-undang sektoral terkait sumber daya alam (yang lebih berorientasi pada pemanfaatan sumber daya lingkungan) dan undang-undang lingkungan hidup (yang dianggap terlalu menekankan pada aspek perlindungan lindungan hidup). Akibatnya,  pengelolaan lingkungan hidup dibawah Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 yang kemudian diganti dengan UU No. 23 Tahun 1997 dan diganti lagi dengan UU No. 32 Tahun 2009 sebagai payung hukum belum mampu mencapai tujuan pengelolaan lingkungan hidup, terwujudnya kelestarian fungsi lingkungan hidup dan tercapainya kesejahteraan rakyat. Berbagai instrument pencegahan dan pengendalian pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup menjadi tumpul karena tidak didukung oleh “kewenangan” yang seharusnya dilekatkan pada kewenangan pengelolaan lingkungan hidup seperti kewajiban menyusun Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS), izin lingkungan, sanksi administrative, pidana, dan PPNS lingkungan hidup seperti yang ditetapkan dalam UU No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup sebagai pengganti UU No. 23 Tahun 1997.
Tentang politik hukum pengelolaan lingkungan hidup dari konstitusi hingga UU No. 32 Tahun 2009, menurut David Kairsy,  politik hukum merupakan kebijaksanaan negara untuk menerapkan hukum.[2] Teuku Muhammad Radhie mengkonsepsi politik hukum sebagai  pernyataan kehendak penguasa negara mengenai hukum yang berlaku di wilayah suatu Negara dan mengenai arah kemana hukum hendak dikembangkan.[3]
Moh. Mahfud MD menyatakan bahwa politik hukum adalah legal policy yang akan atau telah dilaksanakan secara nasional oleh Pemerintah Indonesia. Legal policy ini terdiri dari, pertama,  pembangunan hukum yang berintikan pembuatan dan pembaruan terhadap materi-materi hukum agar dapat sesuai dengan kebutuhan. Kedua, pelaksanaan  ketentuan hukum yang telah ada termasuk penegasan fungsi lembaga dan pembinaan para penegak hukum.[4] 
Berdasarkan pengertian tentang konsepsi politik hukum di atas,  dalam kajian ini politik hukum dimaksudkan sebagai kebijakan hukum yang menjadi dasar dari pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia.  Berbicara mengenai kebijakan hukum tentu UUD 1945 sebagai basic norm menjadi  rujukan pertama, termasuk dalam pengelolaan lingkungan hidup dan sumber daya alam.
Sebelum adanya perubahan kedua dan keempat UUD 1945, satu-satunya ketentuan konstitusi yang menjadi landasan hukum bagi pengelolaan lingkungan dan sumber daya alam adalah Pasal 33 ayat (3), yang lebih banyak ditafsirkan sebagai pemanfaatan dan ekploitasi sumber daya alam dengan justifikasi untuk mencapai kesejahteraan rakyat, sehingga aspek perlindungan dan keberlanjutan lingkungan dan sumber daya alam menjadi terabaikan.
Perubahan kedua dan keempat UUD 1945, telah memasukkan ketentuan baru terkait dengan pengelolaan lingkungan hidup dan pemanfaatan sumber daya alam, yaitu Pasal 28H ayat (1) dan Pasal 33 ayat (4) dan (5) UUD 1945. Pasal 28H ayat (1) menyatakan bahwa  “setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan medapatkan lingkungan hidup baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.” Pasal 33 ayat 4 UUD 1945 “Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi  dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.” Sementara Pasal 33 ayat (5) menegaskan bahwa ketentuan lebih lanjut  diatur dengan undang-undang.
Dari ketentuan Pasal 28H ayat (1), Pasal 33 ayat (3), (4) dan (5) UUD 1945, terdapat 5 hal penting yang menjadi kebijakan hukum negara dalam pengelolaan lingkungan hidup dan pemanfaatan sumber daya alam:[5]
1. Pengelolaan lingkungan dan  pemanfaatan sumber daya alam harus diletakkan dalam kerangka pengakuan, perlindungan dan pemenuhan hak asasi setiap warga Negara atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Dengan kata lain hak asasi atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dikorbankan akibat pelaksanaan pembangunan dan pemanfaatan sumber daya alam.
2. Pengelolaan lingkungan  hidup dan pemanfaatan sumber daya alam merupakan tanggung jawab negara, di mana melalui hak menguasai negara, negara membuat aturan-aturan dan kebijakan pemanfaatan lingkungan dan sumber daya alam.
3. Kesejahteraan rakyat menjadi dasar filosofis dan sosiologis bagi segala aktivitas dan kegiatan pengelolaan lingkungan hidup dan pemanfaatan sumber daya alam  dipergunakan bagi kesejahteraan rakyat.
4. Pengelolaan lingkungan hidup dan pemanfaatan sumber daya alam merupakan sarana untuk  mencapai pembangunan berkelanjutan berwawasan lingkungan hidup, dalam arti sasaran pengelolaan lingkungan hidup dan pemanfaatan sumber daya alam tidak saja mencakup kesejahteraan rakyat, melainkan juga aspek keberlanjutan lingkungan hidup dan kemajuan ekonomi nasional.
5. Adanya pendelegasian pengaturan  lebih lanjut mengenai pengelolaan lingkungan hidup dengan undang-udang.      .
UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup sebagai pengganti UU No. 23 Tahun 1997  membawa perubahan mendasar dalam pengaturan pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia. Karena dilihat dari judul  UU No. 32 Tahun 2009 adanya penekanan pada upaya perlindungan lindungan  hidup yang diikuti dengan kata pengelolaan lingkungan hidup. Dari segi kaidah bahasa, dalam kata pengelolaan telah termasuk didalamnya kegiatan atau aktivitas perlindungan. Dengan adanya penekanan  pada upaya perlindungan, disamping kata pengelolaan lingkungan hidup, UU 32 Tahun 2009 memberikan perhatian serius pada kaidah-kaidah pengaturan yang bertujuan memberikan jaminan bagi terwujudnya pembangunan berkelanjutan dan memastikan lingkungan hidup dapat terlindungi dari usaha atau kegiatan yang menimbulkan kerusakan atau pencemaran lingkungan hidup.
Dikaitkan dengan pendapat Teuku Muhammad Radhie mengenai politik hukum sebagai arah (tujuan) kemana hukum hendak dikembangkan, maka UU No. 32 Tahun 2009 menetapkan arah (tujuan) kemana hukum perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup hendak dikembangkan. Menurut Pasal 3 UU 32 tahun 2009, perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup bertujuan:
1.      melindungi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dari pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup;
2.      menjamin keselamatan, kesehatan, dan kehidupan manusia;
3.      menjamin kelangsungan kehidupan makhluk hidup dan kelestarian ekosistem;
4.      menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup;
5.      mencapai keserasian, keselarasan, dan keseimbangan lingkungan hidup;
6.      menjamin terpenuhinya keadilan generasi masa kini dan generasi masa depan;
7.      menjamin pemenuhan dan perlindungan hak atas lingkungan hidup sebagai bagian dari hak asasi manusia;
8.      mengendalikan pemanfaatan sumber daya alam secara bijaksana;
9.      mewujudkan pembangunan berkelanjutan; dan
10.  mengantisipasi isu lingkungan global.
Untuk mencapai tujuan di atas, UU No. 32 Tahun 2009 menetapkan sejumlah instrumen hukum pencegahan pencemaran dan atau kerusakan lingkungan hidup yaitu Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS), Tata Ruang, Baku Mutu Lingkungan Hidup, Kriteria Baku Kerusakan Lingkungan Hidup, AMDAL, Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UKL-UPL),  Perizinan, Instrumen Ekonomis Lingkungan, Peraturan Perundang-undangan Berbasiskan Lingkungan Hidup, Anggaran Berbasiskan Lingkungan Hidup, Analisis Risiko Lingkungan Hidup, Audit Lingkungan Hidup, dan instrument lain sesuai kebutuhan dan perkembangan ilmu pengetahuan, dimana KLHS menempati posisi puncak dalam pencegahan dan pencemaran lingkungan hidup. Penekanan pada aspek perlindungan lingkungan hidup, juga terlihat dari adanya  dua tingkatan izin yang harus dipenuhi oleh setiap orang atau pelaku usaha/kegiatan yang terkait dengan pengelolaan lingkungan hidup yaitu adanya kewajiban memperoleh izin lingkungan terlebih dahulu sebagai syarat untuk mendapat izin usaha dan/atau kegiatan. Di samping instrument pencegahan,  juga diatur instrument penegakan hukum (administrasi, perdata, dan pidana) beserta penerapan sanksi administrasi, ganti rugi dan sanksi pidana.
Penetapan UU 32 Tahun 2009 berusaha memastikan adanya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup secara berkelanjutan dan berwawasan lingkungan hidup sedini mungkin yaitu melalui dari tingkat kebijakan, rencana dan program pembangunan (KLHS), maupun pada kajian lingkungan hidup bagi kegiatan atau usaha seperti telah dikenal selama ini, melalui mekanisme AMDAL.
Kemunculan  rezim lingkungan internasional ditandai oleh pelaksanaan Stockholm Conference pada tahun 1972. Konferensi ini tidak memiliki signifikansi yang besar dalam politik global karena negara blok komunis memboikot pertemuan tersebut. Meskipun  demikian, konferensi ini menjadi awal dari kemunculan isu lingkungan di panggung politik global. Pembahasan isu lingkungan pada level global kembali mencuat yang ditandai dengan pelaksanaan Rio Conference pada tahun 1992. Sebenarnya  yang diuntungkan oleh konferensi ini adalah kelompok perusahaan multinasional yang menjadi aktor dominan dalam menentukan konsepsi penyelesaian masalah lingkungan.[6]
Pada level internasional, power politics masih memainkan peranan yang besar dalam pembentukan rezim internasional,  sehingga mustahil menciptakan rezim lingkungan internasional yang adil dan konsisten.[7] Paradigma penyelesaian masalah lingkungan selama ini sangat antroposentris dengan melihat adanya dualisme antara lingkungan dan manusia.[8] Green politics dengan dua konsep utamanya; keberlanjutan ekologis (ecological sustainability) serta desentralisasi tata kelola lingkungan,  menjadi jalan alternatif bagi penyelesaian masalah lingkungan, yang biasanya bertumpu pada konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development) dan pembentukan rezim lingkungan internasional yang terbukti belum dapat menyelesaikan problem lingkungan dunia. Green politics  menolak pandangan antroposentris dalam menganalisa permasalahan lingkungan hidup. Bila dilihat lebih jauh, konsep sustainable development sarat akan pandangan antroposentrisme yang menitikberatkan kepada pembangunan yang berkelanjutan daripada keberlanjutan lingkungan. Institusi global telah gagal menghasilkan penyelesaian permasalahan lingkungan, sebab ia harus berhadapan dengan permainan power politics dalam sistem antar-negara. Green politics  menawarkan konsep desentralisasi sebagai strategi implementasi kontrol yang baik dalam mengatasi permasalahan lingkungan. Green politics meyakini, implementasi kontrol level global dapat lebih efektif dilaksanakan dalam skala yang lebih kecil, yakni skala komunitas lokal yang langsung memiliki interdependensi terhadap alam sekitar dalam kehidupan mereka. Kebijakan Desentralisasi Lingkungan Hidup. Desentralisasi berimbas kepada tumbuhnya small scale democratic communities yang dapat menciptakan praktis keberlanjutan lingkungan ketimbang rezim internasional antar-negara yang dipenuhi dengan permainan power politics.[9] Dengan konsep ini,  penyelesaian masalah lingkungan lebih menitikberatkan dimensi etis kearifan lokal yang dimiliki setiap masyarakat lokal, daripada penyelesaian masalah lingkungan berbasiskan teknologi tinggi. Implementasi langsung dari konsep desentralisasi lingkungan hidup yang  dicetuskan kalangan green politics adalah mengembangkan konsep Demokrasi Ekologi Desa. UU no 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah memungkinkan masyarakat desa untuk kembali memiliki hak-hak dasar mereka yang meliputi hak partisipasi dalam melestarikan lingkungan melalui kearifan lokal unik yang dimiliki oleh beragam desa di Indonesia. Desentralisasi institusi lingkungan hidup tidak  semata-mata kebijakan membebankan penyelesaian lingkungan hidup pada tataran unit terkecil seperti desa. Desentralisasi lebih diarahkan untuk menggapai  penyelesaian masalah lingkungan yang plural sesuai dengan konteks lingkungan di masing-masing daerah tanpa harus tersentralisasi dalam perdebatan yang penuh dengan hasrat kepentingan sebagaimana yang terjadi pada level global. Dengan adanya otonomi daerah dan semakin berwenangnya desa  dalam pelestarian ekologis di Indonesia, merupakan modal bagi Indonesia untuk mengimplementasikan desentralisasi tata kelola lingkungan hidup sebagai upaya alternatif menyelesaikan permasalahan lingkungan. Implementasi ini kemungkinan  besar lebih efektif dalam menyelesaikan permasalahan lingkungan dari pada pembentukan rezim internasional terus-menerus yang sampai sekarang selalu mentok ditangan negara-negara besar. 
Berkaca dari Protokol Kyoto, sikap unilateralisme Amerika Serikat serta pertimbangan pertumbuhan ekonomi nasional yang menyebabkan Amerika tidak mau mengikuti Protokol Kyoto juga tampaknya akan menjadi tantangan yang sama bagi upaya mewujudkan tata kelola lingkungan hidup global yang efektif, demokratis dan akuntabel berdasarkan prinsip pembangunan berkelanjutan. Dengan berharap pada Menteri Lingkungan,  kiprah Indonesia diharapkan dalam pentas politik lingkungan hidup global dengan tentunya tetap meningkatkan tata kelola lingkungan nasional (national environmental governance) sendiri.


[1] Roeslan Abdulgani, Aktualisasi Pemikiran Bung Hatta tentang Demokrasi Ekonomi dalam Sri Edi Swasono (ed), Bung Hatta Bapak Kedaulatan Rakyat, Yayasan Hatta, Jakarta, 2000, hlm. 262-263, sebagaimana dikutip oleh Mujibussalim, Perlindungan Hukum Terhadap Sumber Daya Alam Berkaitan Dengan Peraturan Perlindungan Hutan Dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah, Disertasi, Universitas Padjadjaran, Bandung, 2008, hlm. 89-90, sebagaimana dikutip oleh Edra Satmaidi dalam tulisannya yang berjudul Politik Hukum Pengelolaan Lingkungan  Hidup Indonesia.

[2]David Kairsy (ed). The Politics of Law, A  Progressive Critique, (New York: Pantheon Books, 1990), hlm. xi. sebagaimana dikutip oleh Edra Satmaidi dalam tulisannya yang berjudul Politik Hukum Pengelolaan Lingkungan Hidup Indonesia.
[3] Teuku Muhammad Radhie dalam majalah PRISMA, no. 6 tahun keI-II, Desember 1973,
[4]Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, LP3ES, Jakarta, 1998, hlm. 9.
[5] Internet. Artikel yang berjudul Politik Hukum Pengelolaan Lingkungan Hidup Indonesia oleh Edra Satmaidi.
[6] www.google.com. Artikel oleh Moch Faisal yang berjudul “Desentralisasi Tata Kelola Lingkungan Hidup”.
[7] Ibid.
[8] Ibid.
[9] Ibid.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar