Senin, 23 Juli 2012

BENTUK TANGGUNG JAWAB MORAL PEMERINTAH DALAM SIDANG ISBAT


BENTUK TANGGUNG JAWAB MORAL PEMERINTAH DALAM SIDANG ISBAT AWAL RAMADHAN DAN LEBARAN UMAT  DEMI PERSATUAN DAN KESATUAN.
Oleh: Ikomatussuniah, SH., MH.
Tenaga Pengajar Fakultas Hukum
Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
Jl. Raya Jakarta KM 4 Pakupatan – Serang

ISLAM, RU’YAH DAN HISAB
Islam adalah rahmatallil’alamiin, rahmat bagi seluruh alam, ini berarti bukan hanya untuk umat Islam saja, tetapi memang Islam bermanfaat untuk seluruh mahluk. Esensi Islam adalah “perdamaian” (Suparman Usman, 2000: 15). Seorang muslim adalah orang yang membuat perdamaian dengan Tuhan, manusia dan mahluk ciptaan Tuhan lainnya.  Damai dengan Tuhan berarti tunduk dan patuh terhadap segala perintah-Nya dan larangan-Nya, damai dengan manusia berarti melakukan perbuatan baik dan tidak merugikan manusa lain, damai dengan mahluk ciptaan Tuhan lainnya berarti menjaga perbuatan dan tingkah laku untuk tidak menyakiti dan merugikan mahluk selain manusia, yaitu flora, fauna maupun mahluk ghaib. Ini berarti secara keseluruhan manusia harus menjaga hubungan baik antara hablumminallaah, hablumminannaas serta hablumminal khulq.
Berdasarkan laman id.answer.yahoo.com, hasil sensus pendduduk yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada Mei 2010, penduduk yang beragama Islam sebanyak 207,2 juta jiwa (87,1%), Kristen Protestan sebanyak 16,5 juta jiwa (6,96%), Katolik sebanyak 6,9 juta jiwa (2,91%), Hindu sebanyak 4 juta jiwa (1,69%), Kong Hu Chu sebanyak 117,09 ribu jiwa (0,05%,), aliran lainnya sebanyak 299,6 ribu jiwa dan yang tak teridentifikasi 896,7 ribu jiwa (0,4%). Berdasarkan laman serba-sepuluh.blogspot.com tentang daftar 10 negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia, Indonesia menempati urutan teratas. Dari data-data yang telah ada, dapat disimpulkan bahwa umat Islam di Indonesia merupakan jumlah penduduk mayoritas, akan tetapi walaupun begitu Indonesia bukanlah negara Islam.
Muslim di Indonesia terkenal dengan sifatnya yang moderat dan toleran. Cendikiawan muslim di  Indonesia tersebar diberbagai pelosok daerah. Mereka membuat perkumpulan-perkumpulan organisasi masyarakat untuk tujuan dakwah. Organisasi masyarakat  Islam yang berkembang  di masyarakat antara lain: Nahdlatul Ulama, Al Irsyad, Al Ittihadiyah, Al Wasliyah, Mathlaiul Anwar, Persatuan Islam Tionghoa Indonesia, Muhammadiyah, Perti, FPI, Syarikat Islam Indonesia, Rabithal Alawiyah, Persis, Az Zikro. Hal ini menunjukan khazanah hablumminannaas yang kompleks tetapi tetap satu untuk kemashlahatan ummat dalam mencapai rido Allah Subhaanallhu wa Ta’ala.
Berdasarkan laman emka.we.id; ormas-ormas Islam yang ada bersepakat untuk berpegang teguh pada empat pilar dalam kehidupan bernegara yaitu Pancasila, NKRI, UUD 1945 dan Bhineka Tunggal Ika. Ini berarti mereka tetap satu kesatuan visi dan misi dalam melakukan  segala bentuk aktivitas demi persatuan kesatuan umat, bangsa dan negara.
Umat Islam di Indonesia bahkan diseluruh dunia setiap tahun melakukan ibadah puasa pada bulan ramadhan dan merayakan lebaran. Untuk menentukan awal  dan akhir jatuhnya tanggal bulan ramadhan dan bulan-bulan lainnya, para ulama dan cendikiawan melakukan metode ru’yah dan hisab. Mereka yang mampu melaksanakan hisab dan ru’yah biasanya ulama yang otoritas keilmuannya di bidang falak atau ilmu astronomi diakui oleh banyak orang. Makna ru’yah secara bahasa adalah melihat hilaal dengan mata kepala, adapun hilaal secara bahasa adalah bulan yang nampak pada malam pertama sampai malam ketiga di setiap bulannya dan setelah itu barulah dikatakan bulan (lihat akhwat.web.id). Dalam bahasa Indonesia hilaal dikenal dengan bulan sabit. Makna hisab secara bahasa adalah menghitung atau mengira, dan hisab terbagi dua, yaitu:
1.      Hisab yang menghitung melalui penanggalan bulan ke bulan lainnya sesuai perjalanan matahari.
2.      Hisab yang menghitung dengan melihat perjalanan dan pergerakan bulan, matahari dan bintang (Lihat Majmu’ Al Fatawa 25/ 180-181).
KH.Syafi’i adalah seorang  ulama yang mempunyai kemampuan meru’yah bulan untuk menentukan awal bulan yang lazim disebut ru’yatul hilaal. Dalam keterangan beliau dalam Rubrik Potret di majalah Hidayah edisi 30 tahun 2004, menyatakan bahwa untuk dapat meneliti ru’yatul hilaal langkah-langkah yang dilakukan adalah;
a.       Mulanya dilakukan penelitian hisab. Hisab memudahkan untuk melakukan imkanur ru’yah (kepastian bahwa bulan sudah dapat dilihat sesuai dengan ketinggiannya). Dengan hisab, dapat diketahui jadwal waktu beribadah. Termasuk mengetahui kapan bulan puasa dimulai dan lebaran dilaksanakan.
b.      Meski sudah ada hisab, ru’yatul hilaal harus tetap dilaksankan, meski diketahui bahwa hilaal atau bulan akan tampak pada jam, hari dan bulan tertentu, tetap ru’yatul hilaal harus tetap dilaksanakan.
c.       Agar bisa melihat hilaal, pastikan sudah masuk kedalam tahap imkanur ru’yat, perkiraaan bahwa sudah benar-benar dapat melakukan ru’yatul hilaal.
d.      Penelitian dilakukan seusai maghrib.
e.       Memprediksi ketinggian bulan dengan tepat, peru’yah harus dapat memastikan dimana letak bulan tersebut. Ataukah ada disebalah utara atau selatan.Berdasarkan hal itu si peneliti datang ke lokasi tempat meru’yah.
Salah sau dasar dalil dalam al-Qur’an dalam melakukan ru’yah antara lain terdapat dalam Q.S. Al-Baqarah : 189 yang berarti: “Mereka bertanya kepadamu tentang hilaal-hilaal, katakanlah hilaal-hilaal itu adalah merupakan patokan waktu bagi (ibadah ibadah) manusia dan haji ”. Puasa merupakan salah satu ibadah manusia, maka hilaal dijadikan penentu waktu puasa dan lebaran. Ibnu Katsir rahimahullaahu berkata bahwa pada ayat ini Allah Subhaanallaahu wa Ta’ala menjadikan hilaal sebagai penentu waktu puasa kaum muslimin dan masa iddah bagi para wanita (Tafsir Ibnu Katsir 1/226).
Menurut Hadist Abi Hurairah radhiyallaahu ‘anhu, rasulullah, SAW bersabda: “kalau kalian melihat hilaal (awal ramadhan) maka berpuasalah, dan jika kalian melihatnya (hilaal tanda masuk bulan syawal) maka berbukalah. Dan jika pandangan kalian terhalangi oleh awan, maka berpuasalah tiga puluh hari” (Diriwayatkan oleh Imam Al Bukhari, Muslim dan An-Nasa’i). Berdasarkan hadist tersebut maka pendapat jumhur ulama menyatakan bahwa tidak boleh berpuasa ramadhan kecuali yakin sudah keluar dari bulan sya’ban dan yakinnya tersebut dengan cara melihat hilaal atau menyempurnakan sya’ban sebayak tiga puluh hari, demikian pula tidak dinyatakan keluar dari ramadhan kecuali dengan keyakinan dengan cara melihat hilaal juga. Penentuan hukum haruslah dengan keyakinan bukan keraguan, dengan cara melihat hilaal adalah salah satu bentuk memastikan tidak ada sedikitpun keraguan dalam menentukan awal ramadhan maupun awal bulan-bulan lainnya, termasuk awal syawal. Menurut pendapat ahlul hadist yang mengeluarkan hadist-hadist tentang ru’yah seperti Al Bukhari menyatakan perintah menggunakan ru’yah disebabkan karena rasulullah SAW, menyatakan kita adalah umat yang tak dapat menulis dan menghitung. Dan hukum itu berlaku ada atau tidak ditentukannya oleh ada atau tidaknya sebab itu, maka jika umat sudah mampu menghitung dan menulis, hisab dan ru’yah bisa digunakan kedua-duanya dalam menentukan arah bulan. Berdasarkan pernyataan tersebut dapat dipahami bahwa cara hisab dan ru’yah bisa digunakan untuk menetukan awal bulan (lihat akhwat.web.id) .

SIDANG ISBAT PEMERINTAH RI
Fenomena adanya perbedaan penentuan awal ramadhan dan lebaran yang terjadi  di negeri kita selama ini, adalah merupakan suatu rahmat  dalam beragama, bermasyarakat dan bernegara, akan tetapi ini jangan sampai merusak rasa persatuan dan kesatuan  bangsa kita, dan menjadi laknat bagi negara. Peran Pemerintah dalam menengahi perbedaan yang ada sangatlah penting. Pemerintah harus mempunyai  ketegasan untuk menengahi khilafiyah ini demi persatuan dan keutuhan umat, khususnya umat Islam di Indonesia. Peran Pemerintah berdasarkan filosofi  negara kita yaitu Pancasila, mulai dari sila Ketuhanan Yang Maha Esa sampai Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia, di uji. Dalam perbedaan yang ada, Pemerintah berkewajiban menaungi seluruh warga negara dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sidang Isbat merupakan langkah positif yang dilakukan Pemerintah melalui Kementrian Agama Republik Indonesia dalam menentukan awal ramadhan dan lebaran, agar ada persamaan pendapat dengan cara musyawarah mufakat, dan meminimalisir perbedaan  yang ada. Isbat berasal dari bahasa arab yang berarti konfirmasi, pembenaran, penegasan, peneguhan, penentuan, pengiyaan. Sidang isbat penentuan awal ramadhan dan lebaran merupakan langkah pemerintah dalam mengakomodir kemungkinan segala perbedaan yang ada dan meniadakan keraguan di masyarakat awam, hal ini dilakukan demi  untuk memberikan rasa tentram, nyaman dalam kehidupan beragama, berbangsa dan bernegara.
Menurut Q.S An-Nisa : 59 yang berarti; “hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad) dan Ulil Amri diantara kalian”. Berdasarkan ayat tersebut, maka dapatlah dikategorikan  Pemerintah adalah ulil amri  dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, jika memang Pemerintah  menganjurkan hal yang baik, walaupun para pejabatnya tidak semuanya baik, dan tentunya tidak bertentang dengan perintah serta larangan yang sudah digariskan oleh Allah , SWT dan rasul-Nya, maka wajib dipatuhi.
Sidang Isbat di Kementiran Agama Republlik Indonesia pada hari kamis, 19 Juli 2012 pukul 19.00-21.00 WIB, telah ditetapkan awal ramadhan 1433 H jatuh pada tanggal 21 Juli 2012. Hal ini berdasarkan perhitungan, penelitian dan pendapat jumhur ulama se Indonesia dan ilmuwan dari institusi Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional. Terlepas dari berbagai perbedaan tentang penentuan awal ramadhan, dari 17 ormas Islam yang diundang,  3 ormas Islam menetapkan awal ramadhan 1433 H jatuh pada tanggal 20 juli 2012, dan 14 ormas Islam lainnya menetapkan awal ramadhan 1433 H jatuh pada tanggal 21 juli 2012. Perbedaan adalah rahmat, tidak boleh menimbulkan perpecahan, disinilah rasa toleransi di uji. Persatuan dan kesatuan umat Islam di Indonesia haruslah di nomorsatukan.  Rasulullah, SAW berkata: “Mudahkanlah (dalam urusan) dan janganlah mempersulit, beritakanlah kabar yang baik dan jangan membuat orang lari, bersepakatlah dan jangan bersengketa” (Juniarso Ridwan; 2010, 15).
Tentang perbedaan pendapat yang terjadi antara kelompok yang memakai jalur ru’yah maupun hisab sering memantik perpecahan di kalangan umat. Sebenarnya baik ru’yah maupun hisab sah-sah saja bila tahu dalilnya, karena bisa dipertanggung jawabkan penelitiannya. Menurut KH.Syafi’i, perbedaan itu sebetulnya rangkaian dari ilmu yang dipelajari. “Bukankah berijtihad itu mendapat rahmat dan bukan untuk mengundang laknat. Jika salah berijtihad saja dapat pahala, apalagi ijtihadnya betul”. Semoga dengan semakin banyak orang paham tentang hal ini, umat Islam terbiasa untuk menghargai perbedaan (Hidayah; 2004, 101).
Sebagai saran, sebaiknya untuk sidang isbat penentuan awal bulan ramadhan dan lebaran dilakukan secara tertutup. Ini untuk mengantisipasi agar masyarakat awam tidak resah terhadap realita adanya perbedaaan pendapat yang sebenarnya dapat di minimalisir. Sebaiknya masyarakat cukup mengetahui keputusan akhir sidang isbat dari pemerintah. Sehingga masyarakat tidak ikut berpolemik dan menimbulkan keresahan dalam beragama, berbangsa dan bernegara. Semoga seluruh umara selalu di lindungi dan dirahmati Allah, SWT dalam menjalankan tugasnya untuk kemashlahatan umat, bangsa dan negara. Wallahu ‘alam bisshawaab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar