Kamis, 18 Oktober 2012


PANCASILA SEBAGAI DASAR KECERDASAN INTELEKEKTUAL, EMOTIONAL DAN SPIRITUAL PESERTA DIDIK (STUDY KASUS TAWURAN PESERTA DIDIK)

Oleh: Ikomatussuniah, SH., MH.
Tenaga Pengajar Fakultas Hukum
Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
Jl. Raya Jakarta KM 4 Pakupatan – Serang
SILA PANCASILA DAN KONSEP NEGARA KESEJAHTERAAN
Pancasila, satu Ketuhanan Yang Maha Esa, dua Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab, tiga Persatuan Indonesia, empat Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawarantan/Perwakilan dan Lima Keadilan Sosial Bagi Seluruh Indonesia. Itulah Pancasila. Isi yang terkandung dari setiap sila yang dapat dipastikan setiap orang hafal, dari tingakat Sekolah Dasar sampai Pendidikan Tinggi. Akan tetapi, nyatanya dikehidupan berbangsa dan bernegara masih belum terlaksana sesuai dengan cita-cita stakeholders penyusun Pancasila. Pencetusan dan perumusan Pancasila merupakan pemikiran yang konseptual dari Ir. Soekarno, Dr. Muhammad Hatta, Mr. Muhammad Yamin, Prof.Mr.Dr. Soepomo dan tokoh-tokoh lainnya. Konsep yang disusun tersebut, bukanlah konsep imajiner yang susah untuk diterapkan. Nilai-nilai Pancasila sebenarnya bukanlah ciptaan atau karangan dari para pencetus sila-sila ini. Konsep dasar sila–sila tersebut berasal dari nilai-nilai yang hidup dan berkembang dalam bangsa Indonesia sendiri. Nilai-nilai Pancasila digali dari bangsa Indonesia sendiri yang telah tumbuh dan berkembang semenjak lahirnya bangsa Indonesia. Yang dapat dipersamakan dengan lahirnya bangsa Indonesia yang memilliki wilayah seperti Indonesia merdeka saat ini adalah masa kerajaan Sriwijaya dan Majapahit. Pada masa itu, nilai-nilai ketuhanan, seperti percaya kepada Tuhan telah berkembang dan sikap toleransi juga telah lahir, begitu pula nilai kemanusiaan yang adil dan beradab serta sila-sila lainnya (Syahrial Sarbaini, 2009:10).
Peserta didik atau biasa kita sebut sebagai pelajar atau mahasiswa, merupakan asset negara yang harus dididik dan dicerdaskan tidak hanya secara intelektualitas saja, tetapi pencerdasan secara emosional dan spiritual pun harus diberikan dengan baik, agar suatu saat kelak mereka dapat menjadi manusia yang cerdas dan berakhlak mulia minimal untuk dirinya sendiri dan demi kemajuan kesejahteraan bangsa. Konsep tujuan negara dalam konsep negara kesejahteraan (welfare state) yang termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 alinea ke-4 adalah:
1.    Negara berkewajiban memberikan perlindungan kepada segenap bangsa Indonesia dan seluruh wilayah teritorial Indonesia
2.    Negara berkewajiban memajukan kesejahteraan umum
3.    Negara berkewajiban mencerdaskan kehidupan bangsa.
Konsep negara kesejahteraan erat kaitannya dengan peranan hukum administrasi negara, dalam hal ini pemerintah memberikan pelayanan publik kepada masyarakat dalam memberikan fasilitas pendidikan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.   Dalam konsep negara kesejahteraan, peran negara dan pemerintah semakin dominan. Negara kesejahteraan mengacu pada peran negara yang aktif mengelola dan mengorganisasi perekonomian, politik, sosial dan budaya. Ini berarti, pendidikan adalah tanggung jawab negara dan para stakeholders lainnya.
TAWURAN, BUKTI GAGALNYA SISTEM PENDIDIKAN
Pencerdasan secara intelektual, emosional dan spiritual menjadi tugas dari seluruh elemen bangsa, yaitu lingkungan keluarga, kebijakan pemerintah, masyarakat dan stakeholders lainnya. Tawuran yang terjadi akhir-akhir ini oleh oknum peserta didik merupakan bukti kegagalan sistem pendidikan yang dilakukan oleh seluruh stakeholders, tidak hanya kesalahan pemerintah saja. Kebijakan yang dikeluarkan tentang sistem pendidikan yang terkesan hanya mengedepankan kecerdasan intelektual, mengakibatkan degradasi moral peserta didik kita. Kecerdasan emosional dan spiritual mereka tergerus oleh lingkungan yang terbentuk sekarang ini. Lingkungan yang hanya megedepankan sisi material, terpaan globalisasi teknologi dengan banyak beredarnya jaringan internet yang ternyata lebih banyak berdampak negatif sehingga mereka menjadi insan-insan instan yang berakhlak rendah, malas dan manja.
Empat pilar kebangsaan adalah UUD 1945, Pancasila, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika.
Pancasila sebagai salah satu pilar bangsa mengamanatkan, nilai-nilai moral kepada seluruh elemen bangsa. Sila kesatu Ketuhanan Yang Maha Esa, mempunyai konsep dasar dalam kehdupan seorang warganegara. Konsep hubungan baik antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia lainnya dan hubungan manusia dengan dengan mahluk ciptaan Tuhan lainnya, merupakan konsep utama dalam sila kesatu. Apabila konsep-konsep dalam sila kesatu sudah dapat dipamahi, maka nilai-nilai yang tersurat dan tersirat dalam sila-sila berikutnya akan secara otomatis terealisasikan. Inilah mengapa Pancasila dijadikan dasar dalam mencerdaskan peserta didik secara intelektual, emosional dan spiritualnya. Pemahaman yang diberikan dalam sistem pendidikan kita masih sekedar tataran teori, prakteknya belum terlaksana. Sehingga, peserta didik menjadi peserta didik yang lebih mengedepankan emosional daripada akal sehatnya. Pada umumnya tawuran yang terjadi berawal dari hal-hal yang sepele, karena ketersinggungan pribadi atau kelompok, sehingga dapat mengakibatkan tawuran yang berujung jatuhnya korban. Unsur nalar bahwa tawuran merupakan sesuatu yang buruk, tidak menjadi pertimbangan ketika emosional lebih dikedepankan, diperparah lagi dengan pemakaian obat-obatan atau minuman keras sebelum tawuran agar timbul keberanian dan tidak ada lagi rasa takut. Ini yang memperburuk keadaan. Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan seorang mantan peserta didik yang pernah melakukan tawuran, sebelum mereka tawuran, mereka mengkonsumsi minuman beralkohol terlebih dahulu sebanyak 3 atau 4 gelas. Minuman keras yang dikonsumsi berdampak pada hilangnya rasa takut dan rasa sakit apabila mereka terkena pukulan. Rasa sakit baru akan terasa setelah pengaruh minuman keras tersebut hilang. Sungguh menyedihkan keadaan sistem pendidikan kita. Tenaga pengajar atau guru, bahkan keluarga dan pemerintah terkesan tidak dapat berbuat banyak, karena lingkungan pergaulan juga dapat mempengaruhi perkembangan psikologis seseorang. Dengan alasan pencarian jati diri, para oknum peserta didik ini melakukan tindakan diluar norma dan nilai-nilai yang ada dalam agama serta kehidupan berbangsa bernegara. Kasus tawuran yang terjadi antara SMAN 70 dan SMAN 6 di Jakarta, serta tawuran mahasiswa di Makasar, menjadi bukti tidak berdayanya sistem pendidikan menghalau nilai-nilai negatif yang masuk pada peserta didik. Ini juga membuktikan kegagalan sistem pendidikan yang tidak bisa memberikan benteng secara emosional spiritual kepada peserta didik dalam menyaring hal-hal negatif yang mungkin mempengaruhinya.
Akhirnya, sistem pendidikan yang baik bukanlah sistem pendidikan yang hanya mengedepankan nilai intelektualitas saja, akan tetapi kecerdasan emosional dan spiritual seseorang juga merupakan hal utama. Kecerdasan intelektualitas apabila tidak diimbangi dengan kecerdasan secara moral dan spiritual, maka ia akan menjadi insan yang bisa menghalalkan segala cara. Apabila moralitas seorang peserta didik sudah buruk, tidak terbayangkan bagaimana jadinya generasi penerus bangsa kita ini. Pendidikan dengan tujuan mencerdaskan anak bangsa secara menyeluruh baik secara intelektual, emosional dan spiritual menjadi pekerjaan rumah kita semua. Inilah tugas kita bersama agar sistem pendidikan yang diterapkan bisa menciptakan generasi yang cerdas dan berakhlak mulia. Wallahu a’lam bisshawaab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar