Senin, 15 Oktober 2012


SALAH KAPRAH KEBIJAKAN PEMERINTAH YANG MENGALIHKAN UTANG SWASTA DANA BLBI MENJADI UTANG NEGARA
Oleh: Ikomatussuniah, SH., MH.
Tenaga Pengajar Fakultas Hukum
Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
Jl. Raya Jakarta KM 4 Pakupatan – Serang
Indonesia, negara yang pada tahun 1998 mengalami suksesi kepemimpinan. Presiden Soeharto setelah menjabat selama 32 tahun, mengundurkan diri atas desakan dari masyarakat dan seluruh komponen bangsa. Demonstrasi-demonstrasi, perusakan-perusakan, penjarahan dan ketidakstabilan keamanan yang terjadi mengakibatkan imbas negatif untuk seluruh segi kehidupan berbangsa dan bernegara. Demonstrasi yang diwarnai dengan kekerasan, penculikan dan pelanggaran Hak Asasi Manusia lainnya sampai sekarang masih menjadi pekerjaan rumah pemerintah untuk penyelesainnya. Perekonomianpun ikut goyah, akhirnya  terjadilah ketidakstabilan perekonomian yang mengakibatkan krisis moneter tahun 1997-1998. Berdasarkan laman putracenter.net yang diunduh pada tanggal 15 oktber 2012, penyebab krisis ekonomi Indonesia tahun 1997-1998 adalah:
1.    Yang pertama, stok hutang luar negeri swasta yang sangat besar dan umumnya berjangka pendek, telah menciptakan kondisi bagi “ketidakstabilan”. Hal ini diperburuk oleh rasa percaya diri yang berlebihan, bahkan cenderung mengabaikan, dari para menteri di bidang ekonomi maupun masyarakat perbankan sendiri menghadapi besarnya serta persyaratan hutang swasta tersebut.
2.    Yang kedua, dan terkait erat dengan masalah di atas, adalah banyaknya kelemahan dalam sistem perbankan di Indonesia. Dengan kelemahan sistemik perbankan tersebut, masalah hutang swasta eksternal langsung beralih menjadi masalah perbankan dalam negeri.
3.    Yang ketiga, sejalan dengan makin tidak jelasnya arah perubahan politik, maka isu tentang pemerintahan otomatis berkembang menjadi persoalan ekonomi pula.
4.    Yang keempat, perkembangan situasi politik telah makin menghangat akibat krisis ekonomi, dan pada gilirannya memberbesar dampak krisis ekonomi itu sendiri.
Untuk menanggulangi permasalahan yang terjadi khususnya dalam perbankan di Indonesia, pemerintah melalui Bank Indonesia melakukan skema bantuan atau pinjaman berupa Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) kepada bank-bank yang mengalami permasalahan likuditas pada saat krisis moneter 1998. Skema ini berdasarkan perjanjian yang dibuat antara pemerintah Indonesia dengan International Monetary Fund (IMF). Pada tahun 1998, BI menyalurkan BLBI sebesar Rp. 147, 7 trilliun kepada 48 bank. Berdasarkan audit BPK, terhadap penggunaan dana BLBI terdapat indikasi penyimpangan sebesar Rp. 130 triliun. Dana BLBI tersebut ternyata tidak dikembalikan ke BI oleh para bankir yang menerima dana tersebut. Bahkan sampai sekarang beberapa orang bankir lebih memilih untuk buron, ketimbang mengembalikan dana yang pernah mereka terima untuk pemulihan likuiditas perbankan mereka. Ironisnya, sekarang beberapa bank yang mendapat kucuran dana BLBI itu ternyata sudah pulih likuiditasnya, dan bisa memberikan remunerasi kepada para direksinya, dan sampai sekaran gmereka belum juga membayar utang BLBI yang pernah mereka terima. Saat ini utang BLBI berikut bunganya sudah mencapai angka 650 triliun rupiah. Dan pembayaran pokok berikut bunganya menjadi tanggungan negara, bukan lagi tanggungan para pengemplang dana BLBI tersebut. Akumulasi cicilan pembayaran utang baik bunga maupun pokok selama 12 tahun (2000-2011) mencapai Rp. 1.843,10 triliun. Pembayaran cicilan pokok dan bunga rata-rata 25% dari APBN. Jikalau 25% anggaran ini digunakan untuk kesejahteraan rakyat, tentu sangat bermanfaat.
Kesalahan fatal terjadi pada 1 November tahun 2000. DPR, Pemerintah dan BI menetapkan keputusan politik menyangkut pembagian beban antara Pemerintah dan BI terhadap dana BLBI yang sudah dikucurkan. Ini merupakan awal pengalihan beban utang swasta menjadi beban utang negara. Ini merupakan suatu skandal besar, karena sudah jelas kejahatan BLBI menindas ekonomi rakyat. BLBI yang dimanipulasi menjadi utang negara dalam bentuk obligasi rekap perbankan sebesar 650 triliun rupiah  pada tahun 1998,  merupakan pangkal membengkaknya utang negara hingga mencapai 2.000 triliun rupiah. Beban utang inilah yang merampas hak rakyat untuk mendapat kesejahteraan dari uang pajak yang mereka bayarkan. Korupsi BLBI membebani rakyat (Koran Jakarta; 15/10/2012) karena:
a.       Kerugian negara sebesar 650 trilun rupiah melebihi kerugian yang ada pada kasus korupsi lainnya.
b.      Pembayaran pokok dan bunga berbunga dari obligasi rekap BLBI sebesar 60 triliun rupiah dianggarkan dan dibayarkan dari APBN, dimana penerimaan terbesar APBN adalah dari pajak yang dibayarkan oleh rakyat. Logikanya, jika 60 triliun rupiah ini digunakan untuk program pro rakyat sehingga rakyat sejahtera, tentu uang ini lebih bermanfaat.
c.       Setiap generasi mendatang harus menanggung kewajiban pengemplang BLBI.
d.      Semua pengemplang BLBI berkewarganegaraan ganda.
e.       Utang Indonesia semakin membengkak karena skandal BLBI ini, sehingga setiap warga negara bahkan bayi yang baru lahirpun terhitung sudah harus menanggung utang.
Dari pemaparan diatas, terlihat jelas pemerintah salah kaprah dalam melihat dan melakukan tindakan terhadap para pengemplang dana BLBI. Pemerintah selama empat kali masa perubahan pemerintahan setelah Soeharto, mulai dari Presiden B.J. Habibie, KH. Abdurrahman Wahid, Megawati dan Susilo Bambang Yudhoyono, terkesan membiarkan kesalahan fatal ini. Pengambilalihan utang obligor nakal BLBI ini menjadi utang negara dan dibebankan pada anggaran pendapatan dan belanja negara yang berasal dari pajak rakyat, sungguh menyayat hati rakyat, dan ini bertentangan dengan konsep negara kesejahteraan yang termaktub dalam Pembukaan UUD 1945 alinea ke-4.  Negara kesejahteraan mengacu kepada peran negara yang aktif mengelola dan mengorganisasi perekonomian. Jika pemerintah tidak bisa mengambil keputusan yang tegas tentang dana BLBI ini, berarti pemerintah belum bisa mewujudkan cita-cita negara kesejahteraan.
Keputusan untuk mengambil alih utang swasta menjadi utang negara, terjadi pada masa kepemimpinan Megawati sebagai presiden. Sekarang masyarakat sudah paham akan situasi sebenarnya, dan tidak bisa dibodohi lagi, seharusnya pemerintah yang berkuasa saat ini di bawah kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, berani  mengambil kebijakan tegas untuk memberhentikan pembayaran pokok dan bunga berbunga obligasi rekap BLBI yang dibayarkan dari uang rakyat. Lebih baik uang tersebut digunakan untuk pengembangan pertanian dan infrastruktur yang jelas-jelas akan membawa kesejahteraan rakyat secara perekonomian, sosial dan budaya. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar